Selasa, 09 Juni 2009

PEREMPUAN MENJADI IMAM DI MATA AMINA WADUD MUHSIH

BAB I
PENDAHULUAN
aware

A. Latar Belakang
“Khaalif, tu’raf!”. Nyelenehlah kamu, kamu akan terkenal, begitu kata pepatah Arab. Bahkan Ali ra pernah mengatakan, bul maa'a zam-zam (kencingilah air zam-zam). Atau, dalam istilah Latin: “esto alius, notus es!”.
Laju informasi yang cepat dapat mengetahui kejadian di belahan dunia manapun Pada Hari Jumat, 18 Maret 2005, dunia Islam dikejutkan oleh sebuah peristiwa di sebuah gereja di Amerika Serikat. Ketika itu, seorang tokoh Islam Liberal yang dikenal aktif memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality), bernama Prof. Dr. Aminah Wadud, menjadi imam 100 jemaah lelaki dam perempuan serta menjadi khatib untuk salat Jum'atnya di sebuah Gereja di Universiti Commanwealth di New York.
Jama’ahnya berjumlah sekitar 100 orang bercampur laki-laki dan wanita. Dari gambar-gambar yang disiarkan oleh media massa terlihat shaf shalat bercampur aduk antara laki-laki dan wanita. Shaf laki-laki dan wanita sejajar. Disamping itu, muazinnya seorang wanita yang tidak mengenakan jilbab, tetapi ia ikut salat jumat juga. Para ulama di dunia Islam, seperti Syaikhul Azhar dan Yusuf Qaradhawi, telah memberikan kritik keras terhadap peristiwa tersebut. Sementara Abdul Aziz al-Shaikh, Mufti Agung Arab Saudi, menganggap Amina sebagai “musuh Islam yang menentang hukum Tuhan” (Associated Press, 19/3). Beberapa koran di Mesir dan Arab Saudi menempatkan berita itu di halaman utama, dan menganggap Amina sebagai “wanita sakit jiwa” yang berkolaborasi dengan Barat kafir untuk menghancurkan Islam (Associated Press, 19/3) .
Tindakan kontroversial yang diambil Aminah Wadud tiga tahun yang lalu tersebut nampaknya masih cukup menarik diperbincangkan dikarenakan di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung sesungguhnya mengandung multi aspek yang perlu diteliti lagi. Katakanlah aspek social, biologi, psikologi, dan tentu saja agama. Dan pada akhirnya semua aspek ini nampak mengerucut pada masalah gender yang sebagaimana kita ketahui adalah suatu issu yang sudah lama diperjuangkan oleh Amina Wadud. Apakah benar demikian?
B. Rumusan Masalah
Dengan kapasitas sebagai orang yang masih awam dalam mempelajari Islam, maka segala bentuk tindakan 'ijtihad' bisa diterima selapang-lapangnya, sebatas kekosongan pikiran dan ketumpulan kemampuan analisis dalam mengkritisi tindakan "brave and applausable" tersebut, atau sebaliknya, kita lakukan tindakan cerdas: pelajari sedalam-dalamnya dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Siapakah Amina Wadud Muhsin itu?
2. Bagaimanakah pemikirannya?
3. Tokoh siapakah yang mempengaruhi dan dipengaruhi pemikirannya?
4. Bagaimanakah analisis penulis mengenai pendapat Amina Wadud Muhsin tentang bolehnya perempuan menjadi imam sholat dan pemberian khutbah Jum’at?
C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah berikut diantaranya adalah:
1. Memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Pemikiran Modern Dunia Islam
2. Menambah referensi mengenai Aminah Wadud Muhsin bagi civitas akademika Ushuluddin, IAIN Sunan Ampel Surabaya
3. Memperdalam pengetahuan mahasiswa mengenai riwayat hidup dan ide Aminah Wadud Muhsin.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat

Amina Wadud dilahirkan di Nigeria. Adapula yang berpendapat bahwa dia dilahirkan pada 25 September 1952 di Bethesda, Maryland . Bapanya merupakan seorang pendeta yang taat sekaligus paderi Methodist dan ibunya pula berketurunan hamba dari Arab, Berber dan Afrika pada kurun ke-lapan Masehi .
Amina Wadud adalah seorang Mualaf dari Amerika Serikat . Dia mengucapkan shahadat pada waktu kuliah S1 di University of Pennsylvania pada tahun 1972, bertepatan dengan thanksgiving day sebelum mengetahui asal-usul keluarga sebelah ibu beliau. Dia belajar bahasa Arab dan Quran di al-Azhar University di Mesir sehingga mendapat gelar doktor , dan gelar Ph.D nya diraih di University of Michigan pada tahun 1988. Ia merupakan seorang yang aktif di berbagai organisasi perempuan di Amerika, berbagai diskusi tentang perempuan, serta gigih menyuarakan keadilan Islam terhadap laki-laki dan perempuan di berbagai diskusi ilmiah pada beberapa daerah maupun Negara. Ia mendirikan organisasi Sister Islam di Malaysia . Ketajaman analisisnya menjadi salah satu inspiasi para feminist muslim setelahnya untuk menggeluti issu-issu perempuan .
Amina Wadud kini berkhidmat sebagai Profesor Madya Pengajian Islam (Associate Professor of Islamic Studies) di Universiti Commonwealth Virginia (Virginia Commonwealth University) di Richmond, Virginia, Amerika Syarikat. Sebelum itu beliau menyandang jawatan Profesor Madya di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia, untuk tempoh yang lama semenjak 1989 sekaligus mengajarkan mata kuliah Revealed Knowledge and Heritage. Dia berpahaman Wahabi dan tepatnya seorang yang berpahaman Islam Liberal .
Aminah Wadud adalah berlatar belakangkan pendidikan liberal dan sekular. Walaupun bidang pengajian dan kajian berhubung dengan Islam dan menghasilkan buku `Qur`an And Woman`` dia dipengaruhi pandangan sekular dan mempersoalkan tentang hukum hakam yang ditafsirkan oleh ulama terhadap al-Qur`an dan juga Sunnah. Beliau seolah-olah menganjurkan penentengan, bahkan pemberontakan terhadap apa yang disifatkan ketidakadilan terhadap wanita.
Dalam bukunya, Inside The Gender Jihad, ia menulis bahwa ia telah menjadi the single parent lebih dari 30 tahun bagi empat orang anaknya. Hal ini, menurutnya, merupakan awal jihadnya dalam memperjuangkan hak-hak keadilan bagi para wanita Islam.
Sikap Amina yang tidak menyenangkan khalayak berhubung dengan persoalan Islam dapat dinilai dari peristiwa di mana beliau dijemput kepersidangan mengenai HIV/AIDS pada bulan Mei 2003 di Kuala Lumpur membentangkan kertaskerja di samping kertas-kertas kerja perwakilan peringkat antarbangsa termasuk dari Afrika mengenai bagaimana Islam seharusnya menangani masalah HIV/AIDS.

B. Ide dan Pemikiran

Secara garis besar, pemikiran yang diusung oleh Aminah Wadud adalah pemikiran mengenai gender dan feminisme. Sebagaimana sebagian orang, Aminah “mencurigai” peran ulama Fikih dengan menganggap bahwa Fiqh yang disusun di dalam masyarakat yang dominan laki-laki, seperti di kawasan Timur Tengah ketika itu, sudah barang tentu akan melahirkan fikih bercorak patriarki dan berbau missoginis yang bias gender.
Dalam situs Muslim Wake Up!, panitia shalat Jum’at dengan imam perempuan tersebut menjelaskan mengenai acara yang terkenal dengan sebuatan ''Historic Jum'a'' bahwa agenda tunggal mereka adalah membantu umat Islam merefleksikan sifat dasar Islam yang egaliter.
Sebagai agama yang membenarkan dan melengkapi ajaran-ajaran sebelumnya, Islam datang sebagai rahmatan lil alamin, rahmat untuk sekalian alam. Salah satu ajarannya yang sangat bernilai adalah keadilan antara sesama umat manusia.
Ajaran Islam mengenai keadilan antara laki-laki dan wanita, menimbulkan kegelisahan di diri Amina Wadud ketika melihat keterpurukan wanita Islam di segala bidang. As a fully human agency, ia mulai mencari penyebab dari keterpurukan tersebut dengan melihat kepada sumber ajaran Islam terkait dengan wanita. Ia dapati, bahwa mayoritas penafsiran dan hasil hukum Islam ditulis oleh ulama pria dan seringkali membawa bias pada pandangan mereka.[1] Menurutnya, budaya patriarki telah memarginalkan kaum wanita, menafikan wanita sebagai khalifah fil ardh, serta menyangkal ajaran keadilan yang diusung oleh al-Qur`an. [2]Ia tertantang dan berjuang (jihad) untuk melakukan reinterpretasi terhadap masalah tersebut dengan menggunakan metode Hermeneutik.[3] Kegelisahan ini akhirnya menginspirasikan ditulisnya buku Qur`an and Woman, kemudian Inside The Jihad Gender, Women’s Reform in Islam, karya yang membuat sebuah reformasi terhadap wanita islam dan merupakan grand proyek intelektualnya sehinggga pemikiran dan perannya mulai diperhitungkan .
Sekaitan dengan dirintisnya fikih yang berkeadilan jender oleh feminis Islam, maka di samping mengutip pemikirannya dalam buku Inside The Gender Jihad, Women’s Reform In Islam, penulis juga banyak mengutip -bahkan mayoritas- pemikiran yang dirangkumnya dalam karyanya Qur`an and Woman di atas. Hal ini dikarenakan fikih yang ia rintis nantinya adalah produk dari reinterpretasinya terhadap interpretasi ulama terdahulu terhadap ayat dan hadis tentang wanita.
Berikut ini akan diuraikan beberapa hal terkait dengan ayat-ayat tentang keadilan jender dalam al-Qur`an serta sejumlah kontroversi hak dan peran wanita yang kerapkali ditafsirkan sebagai bentuk superioritas pria atas wanita .
1. Penciptaan manusia
Meskipun terdapat perbedaan antara perlakuan terhadap pria dan perlakuan terhadap wanita ketika al-Qur`an membahas penciptaan manusia, Amina berpendapat tidak ada perbedaan nilai esensial yang disandang oleh pria dan wanita. Oleh sebab itu tidak ada indikasi bahwa wanita memiliki lebih sedikit atau lebih banyak keterbatasan dibanding pria.
Semua catatan al-Qur`an mengenai penciptaan manusia dimulai dengan asal-usul ibu-bapak pertama : “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga..”(QS, 7:27). Amina menjelaskan bahwa kita menganggap ibu-bapak kita yang pertama serupa dengan kita. Meskipun anggapan ini benar, tetapi tujuan utama bab ini lebih menekankan pada satu hal: proses penciptaan mereka. Semua manusia setelah penciptaan kedua makhluk ini, diciptakan di dalam rahim ibunya.
Demikian pula pandangannya mengenai penafsiran QS. An Nisa’ (4:1)bahwa istilah nafs dalam ayat tersebut tidak terbatas pada satu gender saja, misalnya laki-laki. Begitu pula tidak disebutkan secara eksplisit bahwa perempuan diciptakan dari nafs Adam saja. Karena itu, kedudukan laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan adalah samadan sederajat. Bahkan, sesuai QS. Al Ahzab (33:35)-baik laki-laki maupun perempuan- sama-sama berhak menerima pahala dari Tuhan . Bisa juga kita kroscek lalu kita renungi hakikat pesan Ilahi dalam QS. An Nisa’(4:32), QS. Al A’raf(7:46), QS. Al Ahzab (33:32), dan beberapa ayat lain.
Qowwamnun



C. Tokoh yang Mempengaruhi dan Terpengaruh Pemikiran Aminah Wadud
D. Analisis

Menurut Habermas segala sesuatu harus dipahami berdasarkan motif kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest). Pemahaman seperti ini sudah sangat jamak dikalangan aktifis liberal dan postmodernis. Mereka sendiri memahami Islam dengan cara yang sama. Islam bagi mereka adalah produk dari sebuah kepentingan dan kekuasaan. Dan karena itu mereka tidak merasa bersalah jika memahami Islam juga untuk kepentingan tertentu. Itulah yang, kalau boleh saya katakan, politik pemikiran.
Dalam hal ibadah, filosofis, yang berlaku adalah: al-ashlu fi al-ibadah al-hurmah illa ma dalla al-dalil 'ala ibahatihi (bahwa hukum asal dalam ruang ibadah adalah ikut pada apa yang diperintahkan Tuhan- tidak boleh menambahi, ataupun mengurangi). Atau dalam bahasa lain: al-ittiba' fi al-dini, wal ibtid'a fi al-dunya (dalam urusan ubudiah-agama-, kita hanya patuh pada apa yang diperintah Tuhan, sedang untuk masalah duniawi, menyangkut hubungan sosial/mu'amalah, kita berlomba-lomba untuk terus berkarya, berkreasi seinovatif dan semodern mungkin).
Filosofis ini amat bijak dan berwatak antroposentris. Tuhan tidak menghendaki hambanya menambah beban berat dalam hal ibadah, cukup melaksanakan apa-apa yang secara eksplisit diperintahkan Tuhan. "Pikirkan saja nasib dirimu, hidupmu!" kira-kira begitu kata Tuhan.
Membaca praktek ritual jum'at yang dilaksanakan Amina Dawud, cs, tempo hari, minimal, ada tiga problem hukum (fiqh) yang perlu disoal. Pertama, apakah boleh seorang perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki? Kedua, bolehkah seorang perempuan menjadi khatib(ah) jum'at? Ketiga, adakah dalil, atau pendapat fuqaha yang memperbolehkan shalat jum'at ala Dr. Amina Wadud, di mana perempuan bercampur satu bari (shaf) dengan laki-laki, apalagi beberapa diantaranya tak berkerudung, termasuk muadzinnya.
Di bawah ini, saya akan coba mengurai secara ringkas jawaban ketiga pertanyaan tersebut:
Untuk soal pertama: Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama, termasuk mazhab 4- Mâlikiyah, Ahnâf, Syâfi'iyyah, hanâbilah- mengatakan tidak boleh seorang perempuan menjadi imam untuk makmum laki-laki. Bahkan mazhab Maliki lebih keras lagi mengatakan, seorang perempuan mutlak tidak boleh menjadi imam shalat, baik makmumnya laki-laki, maupun perempuan.
Sementara minoritas kalangan ulama yang diwakili Imam al-Thabari, Abu Tsaur, al-Muzani, dan Muhyi al-Din al-'Arabi, menyatakan bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam shalat (mutlak), baik makmumnya laki-laki, maupun perempuan. Mereka bersandar pada hadits Ummi Waraqah -riwayat Abi Dawud&al-Daraqutni-, di mana Nabi mengizinkan Ummi Waraqah menjadi imam shalat bagi keluarganya. Padahal, diantara keluarganya (ahlu baitiha) ada yang berjenis kelamin laki-laki yaitu laki-laki kecil dan laki-laki tua. Dalil ini dulu dianggap sebagi dalil para minoritas, tetapi seiring waktu banyak peneliti hadits menyatakan bahw hadits ini sohih dan tidak cacat yang menyebabkan kelemahanya sehingga dapat diamalkan , sedangkan hadits yang melarang –HR. Ibnu Majjah dan HR. Ahmad disinyalir lemah karena ada rowi yang lemah dan cacat- Apalagi ditemukan fakta bahwa Ummu Waroqoh termasuk salah satu tenaga al Qur’an. Dalam kasus ini disimpulkan bahwa perempuan yang menguasai al Qur’an dan lebih menguasai al Qur’an daripada laki-laki keluarganya boleh menjadi imam salat pria ahli rumahnya.
Dan bila kita analogikakan kasus Ummi Waroqoh dengan kasus Aminah Wadud, kita akan mempertanyakan ulang, apakah Aminah Wadud benar-benar lebih menguasai al Qur’an disbanding laki-laki jama’ahnya, padahal sebagimana ditulis majalah Gatra bahwa Aminah Wadud sempat berhenti setelah membaca Al Fatihah sehingga makmum laki-laki di belakangnya yang mengingatkan bacaan surat? Juga apakah semua jama’ah itu ahlu dzarriha (keluarganya)?. Pada titik ini, apa yang dilakukan Amina Wadud, pada tataran wacana, bukanlah hal baru. Yang baru di sini ranah aplikasinya. (Ibn Rusyd dengan sangat baik mendokumentasikan perdebatan ini di: Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al al-Maqashid, cet. Dâr al-Manâr, jilid 1, hal. 125) - (lihat juga pendapat Imam Syafi'i dalam al-Umm, cet. Dâr al-Fikr, Beirut,1990, jilid 1, hal 191)
Soal kedua, tentang bolehkah seorang perempuan menjadi khatib jum'at? Sejauh bacaan saya, tidak satu ulama pun yang memperbolehkan. Hal ini ditegaskan juga oleh Mufti Mesir: Syeikh 'Ali Jum'ah (Sawt al-Azhar, terbitan 25/3). Dan karena problem inilah saya kemudian berkesimpulan shalat Jum'atnya Dr. Amina Wadud, cs, bermasalah. Sejauh bacaan saya pula, tak ada dalil yang melarang, sehingga amalan yang terkategori muamalah ini boleh-boleh saja dilakukan apabila benar-benar darurat –seperti tak adanya lelaki yang mampu berkhutbah atau alim, tapi ini terkesan khawadts (mustahil dan dibuat-buat ) saja- serta tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Soal yang terakhir, dari berbagai penelusuran beberapa sumber, tampaknya praktek shalat yang dilakukan oleh Amina Wadud, di mana shof (barisan) shalat antara laki-laki dan perempuan dicampur, selain menyisakan kesan provokatif, juga sangat problematis. Pertanyaan yang timbul kemudian: haruskah ideologi
kesetaraam gender diseret ke ruang ibadah? Apa manfa'atnya?

Menurut penyusun sebenarnya akan menjadi lebih bermanfaaat jika tenaga kita lebih difokuskan pada masalah-masalah social, seperti masalah kemiskinan, kelaparan, kebodohan, bahkan penjajahan yang sudah lama berkecamuk di Negara palestina, Iran, Irak, atau Negara –negara Islam lainnya dibandingkan dengan memikirkan masalah ibadah yang harusnya kita patuhi dalil-dalil yang kita yakini qoth’i. Bahkan penyusun curiga ini hanyalah scenario agar konsentrasi umat Islam terpecah dari suatu permasalahan pokok (grand problem) yang tengah berkecamuk saat itu. Dalam bahasa lain yaitu manajemen konflik atau ……..
Ada yang beranggapan bahwa feminisme lahir guna mendobrak tradisi yang islami yang cenderung oleh penuduh dianggap sebagai belenggu kebebasan kaum wanita. Hal itu rasanya tidak cukup adil dipersalahkan demikian. Kalau mau jujur melihat ke masa lampau, justru Islamlah yang telah mengangkat harkat derajat wanita sejajar dengan pria. Tapi, kenapa sekarang setiap ‘pendobrakan’ yang berkaitan dengan wanita hampir selalau tertuju kepada masyarakat Islam?
Sebagai bukti, tak ada paus, cardinal, pendeta, maupun rabi orang Yahudi yang berasal dari perempuan. Memang pernah pemeluk Katolik Roma mengusulkan ada pendeta yang berasal dari kaum hawa, tapi itu masih sebatas tulisan dan belum ada tindak lanjutnya hingga sekarang. Lalu mengapa para feminist jarang yang menengok ke sana? Mengapa para feminist lebih suka melirik Islam sebagai lading percobaan mereka.




E. Kesimpulan

- Kemajuan teknologi di dunia Barat telah membuat banyak bangsa di dunia ketiga menjadi silau dan cenderung untuk meniru segala hal yang berasal dari Barat.
- Kecenderungan tersebut membuat sebagian pemikir Islam berusaha untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan tradisi Barat.
- Ulama sebagai penyangga moral umat harus berperan kuat menjaga umat untuk tidak terputus dari khazanah keilmuan Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah



Sinopsis
Perempuan dan laki-laki hanyalah kategori spesies manusia. Keduanya dikaruniai potensi yang sama atau sederajat, dari ihwal penciptaan, keberpasangan, hingga balasan yang kelak mereka terima di akhirat. Satu-satunya nilai pembeda di antara keduanya adalah takwa, yang paling tepat dipahami dalam kerangka sikap dan perbuatan. Itulah yang ditegaskan Alquran, rujukan dari segala rujukan keislaman.
Namun, seiring dengan tergantikannya peran sentral Alquran oleh tafsir-tafsir yang nyaris semuanya ditulis laki-laki, perempuan terus terkekang dalam pandangan dan kehendak masyarakat yang berpusat pada laki-laki. Akibatnya, tingkat partisipasi dalam masyarakat dan tingkat pengakuan akan pentingnya sumberdaya perempuan tak kunjung meningkat.
Buku ini berupaya menghidupkan Alquran dalam laju perkembangan peradaban dan mengembalikannya sebagai kekuatan pengubah dunia. Lewat analisis rincinya atas teks dan kata-kata kunci Alquran, Amina Wadud menentang penggunaan teks dan kata-kata itu untuk membatasi peran publik dan privat perempuan, terlebih untuk membenarkan kekerasan terhadap mereka. Pembacaan Wadud memberikan landasan sah untuk menentang perlakuan tak adil yang secara historis telah dialami perempuan dan secara hukum terus menggejala dalam komunitas-komunitas muslim.

Tidak ada komentar: