Kamis, 14 April 2011

TAHAJJUD CALL

Pada bulan lalu, saya sering sekali mendapat materi tentang BLP (Building Learning Power). Materi tersebut saya dapati dari perkuliahan, seminar, atau sekedar buku yang kebetulan saya pinjam. Salah satu titik tekan BLP adalah pembangunan karakter anak bangsa.

Saya sadar bahwa saya belum menjadi guru yang sempurna untuk anak didik saya. Namun, lantaran sangat terinspirasi dan termotivasi, dengan perasaan yang tiba-tiba membuncah, saya berinisiatif untuk menjalankan salah satu program dari indikator devoult (akhlaq).

Kebetulan pada pertengahan Maret lalu, sekolah sedang melangsungkan UTS (Ulangan Tengah Semester) selama 2 pekan. Pada pekan kedua, saya menawarkan pada anak-anak kelas 1 apakah mereka ingin belajar sholat Tahjjud di rumah (selama ini program sholat tahjjud dari sekolah adalah saat mereka mabit). Dijawab serentak iyyyyaaaa. Merasa gayung saya disambut, sayapun menerangkan sekilas kepada mereka pengertian dan tata cara sholat Tahajjud serta mekanisme pembelajaran yang akan kami lakukan.

Keesokan harinya, saat alarm HP saya berbunyi pada jam 03.30 saya mulai bergerilya menelfoni anak-anak. Tak semua dapat tersambung, namun alhamdulillah banyak pula yang tersambung dan memberi respon positif.

Salah satu pembicaraan yang sangat berkesan bagi saya adalah pembicaraan bersama bunda dari Mas Juned.

” Maaf Bu pagi-pagi saya sudah mengganggu”, ujar saya setelah mengucap salam dan memperkenalkan diri.
” Inggeh, tidak apa-apa ustadzah”, jawab beliau di seberang.
”Ini Bu, saya kemarin menawari anak-anak untuk belajar sholat tahajjud selama sisa UTS (3 hari) ini dengan cara saya telefon. Dan mereka mengiyakan”, lamat-lamat saya mengulangi isi SMS pemberitahuan pada malam sebelumnya.
”Inggeh, Juned sudah cerita, ustadzah. Bahkan sebelum tidur pada pukul 21.30 dia sudah bertanya apakah sekarang sudah adzan sholat tahajjud? Saya jawab tahjjud tidak ada adzannya Mas, dan waktunya besok pagi jam 03.00”, jelas beliau dengan nada bahagia.

Saya tertawa geli, haru, dan bahagia mendapati semangat jundi-jundi kecil ini. Meskipun pada pagi harinya, saya mendapat SMS dari Bundanya Mas Juned yang bertulis bahwa Mas Juned mbangkong alias tidak bisa dibangunkan. Apakah saya berlebihan lantaran berbahagia? Atau apakah saya terlalu berharap banyak? Saya rasa tidak. Pasalnya, ada juga anak-anak yang saat saya telefon, ternyata mereka sudah bangun dan sudah menunggu telefon saya beberapa menit yang lalu, diantaranya adalah Mas Dhafin dan Mbak Egty. Dan alhamdulillah di hari kedua dan ketiga, laporan yang saya terima sudah semakin baik. Alhamdulillahnya lagi setelah 2 minggu program ini berlalu, dua orang anak menyapa saya, ”Ustadzah, kapan telefon pagi lagi?”

Hmm, anak-anak memang ibaratnya kertas putih. Ia penuh dengan potensi yang siap kita tulis dan warnai. Ia juga ibarat sebuah dahan muda yang bisa kita bentuk sesuka hati. Butuh kesabaran dan keistiqomahan untuk merawatnya, meskipun kita sendiri belum tentu mampu menikmati hasilnya. Pun demikian, sungguh proses itu sendiripun sudah cukup indah.

Dari pengalaman selama 3 hari tersebut, saya belajar bahwa untuk menanam kebaikan ternyata tidak perlu menunggu usia tertentu. Asalkan dibiasakan dan diniatkan dengan penuh, serta komunikasi yang baik insyaAllah anak-anakpun bisa melaksanakannya. Bukankah telah terbukti banyak anak balita yang sudah hafal al Qur’an atau ahli ceramah, anak-anak di usia SD yang sudah menjadi direktur perkereta apian atau sudah bisa menerbangkan pesawat mini. Dan lain-lain? Subhanllah, jika begini terus semangat mereka, insyaAllah keberkahan ilmu akan turun kepada mereka.

“…smoga kalian menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah, senantiasa dilimpahi kebaikan, membahagiakan dan membanggakan kedua orang tua, asatidzah, umat Islam, rosulullah, dan tentu saja Allah di dunia dan akhirat nanti ...” Amin