Rabu, 11 Mei 2011

KELASKU OH KELASKU

(Sebuah coretan sederhana tentang kelas impianku dan anak2 kelas 1 ku)

Kelasku Surgaku...
Laksana setitik cahaya dalam kegelapan
Sekuncup kecubung di antara kaktus sahara
Segenang oase bagi musafir tanpa asa di balik wadi
Pun hanya setetes embun bagi dahaganya yang sempurna.

Kelasku oh kelasku...
Berpenghuni anak-anak cerdas dab sholih sholihah
Laksana buku dengan kertas putih yang siap dicoret dan diwarna
Tapi tetap menyimpan berlembar-lembar kertas putih di baliknya
Bersih, suci, tanpa noda
Namun sarat gambaran masa depan

Kelasku oh kelasku...
Berpenghuni guru-guru profesional
Memahami murid-murid
Sepenuh hati menjadi uswah
Sehingga darinya lahir generasi-generasi unggulan
Seperti yang diangan semua insan

Kelasku oh kelasku...
Ada tawa dan senyuman di tiap warna dinding
Ada ilmu sebegai penerang
Ada keikhlasan mengatmosfir
Juga ada rasa hormat, patuh, dan sayang,
tanpa secuilun rasa takut apalagi tertekan
Sehingga target-target tercapai lunas

Kelasku oh kelasku...
Mari bermetamorfosis bersama.

Kamis, 14 April 2011

TAHAJJUD CALL

Pada bulan lalu, saya sering sekali mendapat materi tentang BLP (Building Learning Power). Materi tersebut saya dapati dari perkuliahan, seminar, atau sekedar buku yang kebetulan saya pinjam. Salah satu titik tekan BLP adalah pembangunan karakter anak bangsa.

Saya sadar bahwa saya belum menjadi guru yang sempurna untuk anak didik saya. Namun, lantaran sangat terinspirasi dan termotivasi, dengan perasaan yang tiba-tiba membuncah, saya berinisiatif untuk menjalankan salah satu program dari indikator devoult (akhlaq).

Kebetulan pada pertengahan Maret lalu, sekolah sedang melangsungkan UTS (Ulangan Tengah Semester) selama 2 pekan. Pada pekan kedua, saya menawarkan pada anak-anak kelas 1 apakah mereka ingin belajar sholat Tahjjud di rumah (selama ini program sholat tahjjud dari sekolah adalah saat mereka mabit). Dijawab serentak iyyyyaaaa. Merasa gayung saya disambut, sayapun menerangkan sekilas kepada mereka pengertian dan tata cara sholat Tahajjud serta mekanisme pembelajaran yang akan kami lakukan.

Keesokan harinya, saat alarm HP saya berbunyi pada jam 03.30 saya mulai bergerilya menelfoni anak-anak. Tak semua dapat tersambung, namun alhamdulillah banyak pula yang tersambung dan memberi respon positif.

Salah satu pembicaraan yang sangat berkesan bagi saya adalah pembicaraan bersama bunda dari Mas Juned.

” Maaf Bu pagi-pagi saya sudah mengganggu”, ujar saya setelah mengucap salam dan memperkenalkan diri.
” Inggeh, tidak apa-apa ustadzah”, jawab beliau di seberang.
”Ini Bu, saya kemarin menawari anak-anak untuk belajar sholat tahajjud selama sisa UTS (3 hari) ini dengan cara saya telefon. Dan mereka mengiyakan”, lamat-lamat saya mengulangi isi SMS pemberitahuan pada malam sebelumnya.
”Inggeh, Juned sudah cerita, ustadzah. Bahkan sebelum tidur pada pukul 21.30 dia sudah bertanya apakah sekarang sudah adzan sholat tahajjud? Saya jawab tahjjud tidak ada adzannya Mas, dan waktunya besok pagi jam 03.00”, jelas beliau dengan nada bahagia.

Saya tertawa geli, haru, dan bahagia mendapati semangat jundi-jundi kecil ini. Meskipun pada pagi harinya, saya mendapat SMS dari Bundanya Mas Juned yang bertulis bahwa Mas Juned mbangkong alias tidak bisa dibangunkan. Apakah saya berlebihan lantaran berbahagia? Atau apakah saya terlalu berharap banyak? Saya rasa tidak. Pasalnya, ada juga anak-anak yang saat saya telefon, ternyata mereka sudah bangun dan sudah menunggu telefon saya beberapa menit yang lalu, diantaranya adalah Mas Dhafin dan Mbak Egty. Dan alhamdulillah di hari kedua dan ketiga, laporan yang saya terima sudah semakin baik. Alhamdulillahnya lagi setelah 2 minggu program ini berlalu, dua orang anak menyapa saya, ”Ustadzah, kapan telefon pagi lagi?”

Hmm, anak-anak memang ibaratnya kertas putih. Ia penuh dengan potensi yang siap kita tulis dan warnai. Ia juga ibarat sebuah dahan muda yang bisa kita bentuk sesuka hati. Butuh kesabaran dan keistiqomahan untuk merawatnya, meskipun kita sendiri belum tentu mampu menikmati hasilnya. Pun demikian, sungguh proses itu sendiripun sudah cukup indah.

Dari pengalaman selama 3 hari tersebut, saya belajar bahwa untuk menanam kebaikan ternyata tidak perlu menunggu usia tertentu. Asalkan dibiasakan dan diniatkan dengan penuh, serta komunikasi yang baik insyaAllah anak-anakpun bisa melaksanakannya. Bukankah telah terbukti banyak anak balita yang sudah hafal al Qur’an atau ahli ceramah, anak-anak di usia SD yang sudah menjadi direktur perkereta apian atau sudah bisa menerbangkan pesawat mini. Dan lain-lain? Subhanllah, jika begini terus semangat mereka, insyaAllah keberkahan ilmu akan turun kepada mereka.

“…smoga kalian menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah, senantiasa dilimpahi kebaikan, membahagiakan dan membanggakan kedua orang tua, asatidzah, umat Islam, rosulullah, dan tentu saja Allah di dunia dan akhirat nanti ...” Amin

Jumat, 18 Maret 2011

SEMANGAT UNTUK SENANTIASA BERBUAT BAIK

Bismillahirrohmanirrohim,

Beberapa bulan yang lalu saya sempat patah hati. Sakit, benci, marah, trauma, dan stereotipe-stereotipe lainnya mungkin label yang identik dengan situasi saya. Tapi, anehnya,, tidak untuk saya, insyaAllah (setidaknya sampai saat ini)

Berarti kamu tidak terlalu mencintai atau mengharapkannya?

^^

Bagaimana tidak mencintainya? Lha wong lelaki tersebut adalah ikhwan yang visioner, sangat teguh memegang agama (termasuk sangat menjaga intensitas dan arah tiap komunikasi kami), seorang aktivis sejati ( on air di radio, menulis, organisasi keIslaman di kampus maupun kota kami, dll), pengusaha, berbasic medis, sama-sama suka Palestina, dunia anak, dll. Hmm, pokoknya pribadi matang lahir batin, insyaAllah. Bersamanya, seakan-akan saya siap mengarungi hidup, suka maupun duka.

Bagaimana tidak mempunyai harapan yang besar terhadapnya? Lha wong segala ikhtiar telah saya (kalaupun bukan kami berdua)lakukan. Mulai dari penjajakan, 'memperkenalkan pada keluarga', menolak 'proposal-proposal' yang juga sangat-sangat bermutu lainnya, bahkan sampai mengkhususkan proposal kepada murobbi agar ditindaki langsung. Bagaimana tidak sangat berharap, jika seakan-akan semua sudah beres, sudah mantap,, tinggal menunggu kabar saja,, dan tiba-tiba 1 bulan kemudian saya menangkap signal bahwa dia telah menerima sebuah proposal lainnya.

Bagaimana perasaan saya saat itu? Tentu Anda dapat merasakannya...

Namun, alhamdulillah tidak terbersit sedikitpun rasa marah ataupun benci kepada saudara saya itu. Yang tersisa hanya keikhlasan di pekan2 pertama pernikahannya, dilanjutkan dengan godaan2 syaithan yang bertanya "Mengapa dia tidak bisa seperti saya? Melepas berbagai proposal sempurna demi komitmen awal?", dll. Namun, alhamdulillah kiranya Allah masih menyayangi saya dengan mengingatkan saya bahwa Dia ingin saya belajar tentang arti keikhalasan, kelurusan niat, kesabaran, ketsiqohan, dan keistiqomahan. Alhamdulillah saya ucapkan pula karena Allah menmeberi hidayah dan taufiq, insyaAllah, sehingga reaksi pertama saat membaca kabar ia akan menikah adalah mendokan untuk kebaikannya.

Alhamdulillah tak terkira pula saya ucapkan tiada henti karena seringkali Allah menghibur saya dengan cara-caranya yang sangat manis dan mengejutkan. Setelah beberapa hari sempat 'blank', saya berusaha untuk tetap tsiqoh dan aktif dalam dakwah. Alhamdulillah, beberapa pekan kemudian, saya mulai mendapat beberapa amanah dalam beberapa instansi yang berbeda. Hmm, kiranya inilah salah satu hikmah pelajaran kali ini.

" Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Segala puji bagiNya di dunia dan di akhira. Dan bagiNya segala penentuan dan kepadaNya kamu dikembalikan" ( QS. 28:70 ).

Maka, ikhwah fillah,,, tujuan saya menulis ini tak lain adalah untuk watawa shobil haqqi watawa shoubish shobri,,, bahwa hendaknya kita senantiasa menata niat. Sehingga awal dari setiap perbuatan baik kita adalah niat yang baik. Caranya bagaimana? Beberapa diantaranya adalah seyogyanya kita senantiasa ingat bahwa kita dan semua alam raya ini adalah kepunyaanNya yang kapan saja bisa diambilNya, bahwa semua yang ada di dunia ini sifatnya hanya semu dan sementara. Sehingga akan ada keinsafan dalam diri, betapa lemahnya kita di hadapanNya, tiada daya, kekuatan, dan ketentuan tanpa seizinNya. Seyogyanya pulalah, kita bertanya " Kebaikan apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan-kebaikan Allah yang tiada pernah habisnya?".

Memang ada saatnya kita lemah, jatuh, dan terluka. Namun harus kita sadari bahwa semua ada masanya. Jangan terlalu lama menangisi apalagi meratapi yang kita sendiri tidak tahu seberapa baik atau buruk sesuatu jika terjadi pada kita. Karena memang Dia sajalah Sang Maha Sutradara Terbaik, Teradil, dan Terbijaksana. jangankan kita manusia biasa yang penuh dosa, khilaf, dan kedhoifan,,, Nabi Yunus saja sempat 'tersilaukan' ujian-ujian Allah saat berdakwah. Namun karena kepekaan beliau, akhirnya beliau segera sadar, bertaubatan nasukha, dan lebih totalitas dalam berdakwah. Memang begitulah, kita senantiasa dituntut untuk menjaga bahkan meng-up grade niat baik kita, baik di awal, di tengah, hingga di akhir sebuah proses,,, hingga kesyahidan yang kita impi-impikan menjemput kita.

Karena sesungguhnya,,, hidayah itu tidak selalu datang secara serta merta,,, tetapi ia juga perlu diusahakan untuk mendapatkannya, untuk merawatnya...

Wallahu a'lam bish showab.
Alhamdulillah