Selasa, 20 Mei 2008

sekitar kita

GAGASAN

PEMERINTAH YANG ‘BERHAK’ MENGOLAH DAN MENSUMBERDAYAKAN AIR

Akhir pekan lalu, saya menemukan air mineral merek baru dalam salah satu acara di kampus saya. Hari ini(20/05/08) Buletin Siang juga menyorot masalah kemiskinan, terutama di daerah-daerah sekitar pertambangan dan ‘perairan’. Dua hal tersebut membuat saya kembali teringat renungan-renungan saya dulu perihal kondisi air di Indonesia yang kian banyak dikomersilkan.

Air adalah salah satu sumber hajat manusia. Jumlahnya yang dulu begitu melimpah membuat manusia tidak perlu resah tidak terpenuhi hajatnya. Namun dewasa ini, air menjadi sesuatu yang langka dan mahal dikarenakan kuantitasnya yang menurun maupun kehegenisannya yang tidak lagi terjamin. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya perusahaan air mineral yang bermunculan kemudian beberapanya menghisap cadangan-cadangan air tanah di sekitarnya secara berlebihan. Tak ayal, sumur dan mata air kering. Demikian pula halnya dengan sawah yang terpaksa harus menjadi ladang lantaran kandungan airnya telah habis. Mungkin, motivasi perusahaan air tersebut berdiri adalah untuk membantu masyarakat mendapatkan air yang bersih dan hegenis. Namun, faktual motivasi kapitalislah yang lebih dominan.

Negara telah mengatur masalah barang tambang dan segala yang ada di dalam perut bumi dalam pasal 33 ayat 1 sebagai milik Negara yang nantinya dipergunakan sepenuhnya untuk rakyat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah rakyat yang mana? Rakyat miskin yang mayoritas atau para pemilik modal yang minoritas? Mengapa kini milik pemerintah banyak yang jatuh pada swata? Tidak etis rasanya, bila pemerintah tergiur pajak, janji pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan, atau mimpi akan terbantunya masyarakat dengan air yang bersih dan aman, namun manisnya sulit dirasa hingga kini.

Islam juga telah mengatur masalah air, tanah, dan barang tambang sebagai milik Negara yang akan digunakan sepenuhnya untuk rakyat, sehingga haram hukumnya bila ketiga hal tersebut diperjual belikan. Negaralah yang berkewajiban memperbaiki kualitas air tanah bila kualitasnya menurun, dengan cara meminimalisir atau menstop limbah pada air, membentuk riset referalitinasi yang baik, mendirikan BUMN yang bertugas mengolah air tanah sehingga tidak perlu lagi ada perusahaan-perusahaan air mineral swasta, dan lain sebagainya.

Omongan tanpa bukti adalah kosong. Pun demikian, menjadi seorang idealis sebelum menyentuh realitas adalah lebih baik dibandingkan menjadi apatis karena realitas tanpa idealisme. Maka, solusi konkrit yang kami harapkan dari pemerintah. Jangan sampai program seribu pohon menguntungkan feodal dan semakin menyengsarakan rakyat. Kami tahu pemerintah selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakatnya.

Dunia Perempuan

SAATNYA KARTINI MODERN CERDAS MEMPOSISIKAN DIRI



Sosok Kartini Dulu dan Kini

Seabad lebih, Kartini meninggalkan dunia fana ini, namun namanya tetap harum dan dikenang, bahkan dipuja bagi sebagian orang. Tak lain, ini dikarenakan jasanya untuk mengemansipasi kaumnya, perempuan.

Dulu, Kartini sebagai putri bupati Rembang yang hidup dalam kemuliaan ternyata telah memiliki kekritisan yang kuat. Dia melihat bahwa sistem patriarki yang teramat kental di masanya telah membuat perempuan ternomor sekiankan dalam masalah pendidikan, ekonomi, social, apalagi perpolitikan. Semua ini membuat sosoknya yang humanis berontak. Ia berpendapat bahwa tak seharusnya perempuan dan lelaki dibedakan sedemikian jauh. Maka, iapun memperjuangkan agar perempuan di masanya juga mendapatkan pendidikan. Mungkin, di benak Kartini saat itu sudah tergambar bahwa pendidikanlah yang merubah mafhum (persepsi) seseorang, sehingga diharapkan dengan mafhum yang baru itu muncullah jiwa-jiwa yang produktif kontributif dalam frame kearifan. Sebuah langkah inovatif dan sangat berani di masa itu.

Kini, sosok-sosok yang menyebut dirinya kartini diharapkan memiliki semangat yang sama dengan Kartini yang asli, semangat untuk memberdayakan perempuan. Dalam artian, kartini masa kini jangan hanya menyerukan emansipasi, menuntut persamaan gender, tapi di sisi lain ia masih mengamini zaman yang makin capital ini. Diharapkan kartini masa kini mampu menyadarkan dirinya dan perempuan-permpuan lainnya bahwa pemberdayaan, emansipasi, atau apapun itu tidak akan berwujud manakala ia sendiri tak sadar dan tak mau maju. Statemen bahwa perempuan hanya sebagai konco wingking perlu dihapus, karena perempuan juga berhak bereksistensi dan berprestasi selama ia tidak melewati batas (fitrah) nya. Ini adalah sebuah keniscayaan dari sebuah pilihan yang sadar.

Peran Aktif Perempuan dan Media

Perempuan adalah obyek pembicaraan yang takkan habis digali inspirasinya. Permasalahannya yang kompleks dan terus berkembang mengikuti arus zaman adalah suatu misteri yang menantang dan menarik untuk dipecahkan. Tak ayal, banyak pihak yang beri’tikad untuk urun rembuk menyelesaikannya atau malah memanfaatkannya. Katakanlah, dalam hal kemediaan. Di sana, kita bisa melihat sebuah pertarungan antara idealisme untuk memberdayakan perempuan dan kapitalisme untuk mengakomoditi perempuan secara gamblang. Dikatakan memberdayakan manakala media berbesar hati mengekspos perempuan-perempuan yang berprestasi, seperti Ibu Hajjah Fadhilah, Ibu Khofifah, Ibu Hatta Meutia, dan sederet nama perempuan yang berprestasi di bidangnya masing-masing. Demikian pula saat media itu berusaha membantu tegaknya keadilan bagi perempuan-perempuan tertindas, seperti Marsinah sebagai korban keegaliteran suatu kekuasaan hingga Lisa selaku korban KDRT. Pun demikian, bukan rahasia lagi bahwa media juga telah menyumbang kepragmatisan dan kedekadensian moral sekelompok perempuan.

Tidak etis, bila selanjutnya kita menyalahkan salah satu pihak, baik itu dari fihak pemerintah, media, ataukah perempuan itu sendiri yang nyatanya kurang arif memaknai permberdayaan. Karena hal ini akan menjadi lingkaran setan saja. Namun, alangkah bijak bila kita bisa memulai dari diri kita sendiri dan dari lingkungan sekitar kita, misalnya memakai kebersahajaan sebagai cirri khas, memperdalam ilmu agama, arif dalam memilih acara maupun bacaan dari media, menambah ketrampilan diri melalui kursus, diklat, workshop, atau seminar, dan lain sebaginya. Karena kecil kemungkinan media menyuguhi produk-produk kapital bila rating atau demandnya rendah. Begitu pula sebaliknya. Karena, menjadi ideal memang sulit, namun menjadi seorang idealis adalah langkah awal yang sangat bagus sebelum kita menyentuh realitas.

By : Zahra al Habsy

Wasekum Urusan Peranan Perempuan HMI kom. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel