Sabtu, 11 Juli 2009

MASA DEPAN BANGSA YANG KUIMPIKAN

Sebuah Esai dalam Rangka Lomba Penulisan Esai Nasional II Tahun 2007 dengan Tema
Optimisme Anak Bangsa


Pertengahan bulan Mei 2005 yang lalu, saya didaulat menjadi wisudawati di sebuah madrasah aliyah sekaligus pesantren. Sebagai seorang yang sudah cukup lama tinggal di lingkungan pesantren, melihat kondisi remaja luar saat ini membuat hati saya begitu miris.
Keadaan ini terus berlanjut hingga saya memasuki bangku perkuliahan. Meskipun kampus saya itu adalah kampus berbasis agama, namun cara berpakaian, berbicara, dan bergaul mahasiswanya bisa dibilang kurang islami. Tak jarang saya menemukan teman-teman sekosma pergi berkeliling kota Surabaya dengan berboncengan. Dalam banyak kesempatan, saya juga sering melihat teman laki-laki dan perempuan berjabat tangan, duduk berdekatan, bahkan saling menyentuh tubuh pasangannya. Astaghfirullah.
Keprihatinan saya semakin bertambah, ketika saya mengetahui bahwa kantin lebih diminati untuk dikunjungi mahasiswa daripada perpustakaan danUKM. (Unit Kegiatan Mahasiswa). Tak ayal lagi UKM-UKM sepi kegiatan. Perpustakaan menjadi ramai hanya pada waktu musim tugas tiba. Nasib yang sama juga dialami organisasi-organisasi ekstra kampus, semacam HMI, PMII, HTI, IMM, KAMMI, PKS, GEMA, dan lain sebagainya. Kajian-kajian mereka hanya diminati segelintir orang. Itupun kemungkinan besar adalah anggota dari organisasi ekstra tersebut.
Memang tak semua mahasiswa bertindak demikian. Ada beberapa mahasiswa yang aktif berorganisasi. Umumnya mereka membentuk klub-klub diskusi kecil di masjid, di kantin, maupun di bawah pohon rindang. Beberapa mahasiswa lain juga ada yang mencoba memanfaatkan waktu dengan bekerja, seperti mangajar TPQ, membuka kursus, berbinis, hingga bekerja sebagai pegawai pabrik. Namun, bila kita mencoba mengkalkulasinya kita hanya menemukan nominal komunitas mahasiswa nomor dua ini tidak lebih banyak daripada komunitas mahasiswa nomor pertama. Ironis memang.
Fenomena seperti di atas membuat saya bertanya-tanya, apakah pendidikan saat ini hanya digunakan sebagai syarat legitimasi atas suatu sistem? Hanya sebagai formalitas dan bentuk pencarian justifikasi status seseorangkah? Apakah pihak akademik juga memikirkan hal itu? Apakah kademika juga memikirkan hal itu? apakah sebagai iron stock, agent of change, dan agent of control mahasiswa tidak lagi memikirkan nasib bangsa yang selama beberapa dekade terakhir tengah diliputi problematika yang sangat berat?
Padahal seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dilema ini sangtlah kompleks, merata di setiap bidang yang sangat urgen dan vital, mulai dari masalah politik, ekonomi, moral, pendidikan, hingga pada sistem hukum. Tidak bisa dipilah-pilah lagi. Atau bila diibaratkan, maka kondisi bangsa Indonesia kita saat ini sedang berada di mulut jurang atau seseorang yang sedang menderita penyakit komplikasi akut. Pun demikian, tak ada kata terlambat untuk mencoba menjadi yang lebih baik. Tak ada kata terlambat untuk berfikir dan melangkah maju meninggalkan bibir jurang. Tak ada kata terlambat untuk berobat bagi yang sedang terserang penyakit komplikasi akut. Bukankah tak ada yang tak mungkin di dunia yang kebenarannya tak satupun absolut ini?
Hingga pada akhirnya saya menemukan sosok itu pada bulan November 2006 yang bertepatan dengan bulan Syawal 1427 H. Saya masih ingat dengan jelas, saya mendengar namanya, mendapati kisah-kisah kesolehan dan kepandaiannya dari ibu saya semenjak dua bulan sebelum pertemuan pertama kami itu. Dia begitu memukau di mata saya. Karena menurut cerita ibu, sebelum menjadi sosok ikhwan seperti sekarang ini, dia harus melewati fase-fase yang lumayan buram. Mulai dari keluarga yang kurang harmonis, pendidikan yang biasa-biasa saja, teman-teman sekampus yang meskipun takmir masjid, tapi juga bermain-main ke Dolly Surabaya, dan lain sebagainya.
Semenjak mengenal pribadi yang satu ini, saya jadi kembali bersemangat untuk mendalami ilmu-ilmu agama yang ternyata begitu banyak yang belum saya ketahui. Saya juga akhirnya tersadar bahwa masih banyak orang-orang muda yang baik di sekitar saya. Orang-orang muda yang memiliki semangat untuk menjadikan dirinya dan orang lain menjadi yang lebih baik setiap detiknya. Orang-orang muda yang begitu perhatian dengan nasib bangsa yang semakin rawan ini.
Mereka mengapresiasikan rasa prihatin bukan pada hal-hal yang besar, melainkan memulainya dengan hal-hal kecil, namun insyaallah berefek besar. Sebagai contoh, ikhwan yang saya ceritakan ini menyisihkan sebagian gajinya mengajar sebagai beasiswa untuk beberapa muridnya, membangun perpustakaan mini di rumahnya untuk umum, senantiasa memanfaatkan waktu dengan belajar dan bekerja, serta melaksanakan kewajiban berdakwah di sela-sela aktivitasnya yang hampir tidak ada waktu yang tak dimanfaatkannya.
Dari cerita di atas tersirat bahwa di samping generasi yang notabene adalah tonggak sejarah bangsa ke depannya, yang masih suka acuh dengan peran besarnya tersebut, ada banyak pula generasi yang siap lahir batin untuk memperbaiki kondisi bangsa.
Persoalan tak berhenti di sini. Kasus-kasus di atas hanya segelintir dari kasus-kasus yang menimpa generasi muda kita, yang dalam hal ini terwakili oleh mahasiswa. Itu berarti masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan.
Kita tak mungkin berdiam diri melihat banyak anak kecil yang sudah pandai mengucapkan I love you ketimbang melafalkan surat-surat pendek bukan? Kita juga tak mungkin menyalahkan acara-acara TV yang kerap didominasi oleh sinetron-sinetron remaja yang kurang rasional, terkesan materialis dan kapitalis itu seratus persen hanya karena kekurang intensifan kita dalam mengontrol anak maupun adik kita kan?
Revolusi Teknologi dengan meningkatkan control kita pada materi, ruang, dan waktu menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir, dan sistem rujukan. Menurut Prof. Dr. Abuddin Nata, dalam menyikapi revolusi teknologi ini ada tiga kelompok yang berbeda, yaitu kelompok yang pesimis, optimis, dan pertengahan.
Bagi kelompok yang pesimis, memandang kemajuan di bidang teknologi akan memberikan dampak negatif, karena hanya akan memberikan kesempatan dan peluang kepada orang-orang yang dapat bersaing saja, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan, ekonomi, kesempatan, kecerdasan, dan lain-lain. Menurut mereka, orang-orang yang dapat bersaing itu akan semakin mudah berbuat curang kepada yang di bawahnya dalam bentuk yang lebih canggih.
Sementara itu, bagi kelompok yang optimis kehadiran revolusi teknologi justru menguntungkan, seperti yang diperlihatkan Zianuddin Sardar. Menurutnya, revolusi informasi yang kini sedang dijajahkan adalah suatu rahmat besar bagi umat manusia. Dia menemukan dalam jurnal-jurnal akademis menyebutkan bahwa revolusi informasi akan menimbulkan desentralisasi yang nantinya melahirkan suatu masyarakat yang lebih demokratis.
Dalam kaitan ini, menarik sekali apa yang dikatakan sosiolog Prancis, Jacgues Ellet, yang mengatakan bahwa semua kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari satu sisi memberi nilai tambah, tapi pada sisi yang lain dapat mengurangi., yang keduanya tidak dapat dipisahkan sekaligus tidak terduga.
Uraian di atas mengajarkan kita, umat Islam, yang selalu diajarkan bersikap adil terhadap berbagai masalah, tampaknya sikap pertengahan yang perlu diambil, yaitu dari satu sisi tidak menafikan sains dan di sisi lain berusaha menjaga agar iptek tidak disalahgunakan (yaitu dengan etika). Karena dengan iptek itu, kegiatan dakwah dan jihad kita terealisasi lebih efektif dan efisien.
Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa sekarang di seluruh dunia timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Pernyataan ini seakan-akan menjadi sindiran bagi kaum birokrat maupun kaum intelektual kita. Dimana dengan kepandaian dan kekuasaan yang mereka miliki, terkadang karunia Allah itu malah menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Tak ayal, gelar koruptor dan penghianat intelektual pun disandarkan pada mereka. Apabila orang-orang yang harusnya menjadi teladan, malah berbuat yang memalukan, maka jangan disalahkan jika generasi mendatangnya bercermin dari sejarah kelam mereka.
Benar kata orang bijak bahwa bila kita ingin merusak suatu bangsa maka rusaklah moralnya, terutama moral kaum mudanya. Karena generasi muda itulah yang akan membawa arah bangsa selanjutnya.
Atas dasar inilah, dengan kesadaran penuh untuk menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan dengan segenap potensi yang kita miliki, seyogyanyalah kita bersatu membangun Indonesia yang lebih cerah. Maksimalisasi potensi yang tersedia tersebut diharapkan bisa menjadi tolak ukur upaya intensif untuk memperoleh predikat standart ideal, sekaligus menghapus kesan Indonesia yang buram dan suram akibat bencana yang kian kerap melanda negeri kita, kemisknan yang merata di setiap penjuru negeri, busung lapar yang menggerogoti anak negeri, buta huruf yang ternyata masih tersisa, tindakan-tindakan sparatis anarkis yang menghantui, biaya pelayanan kesehatan masyarakat yang masih sulit dijangkau, dekadensi moral dan lain sebagainya. Permasalahan hidup yang sejak beberapa dekade terakhir sudah bertambah gawat tersebut, jangan membuat kita semakin posesif apalagi apatis, tapi hendaknya dijadikan sebagai perangsang tumbuh kembangnya rasa optimis di kalangan anak bangsa.
Meminjam istilah yang biasa dipakai oleh teman-teman aktifis kita, Indonesia saat ini seperti raksasa yang sedang tertidur pulas. Artinya, kita punya potensi yang besar, tetapi masih belum sadar dengan potensi tersebut maupun bahaya yang mengancamnya. Dan keniscayaan-keniscayaan di atas akan menjadi sesuatu yang riil manakala para pemain bangsa ini menjalankan peranannya dengan sebaik-baiknya. Politikus menjalankan sistem politik yang sehat dan ramah, ekonom bersikap sportif dan bersih dalam menghidupkan ekonomi bangsa, budayawan dan kaum intelek malu menjadi penghianat intelektual, agamawan tak segan dan enggan untuk mengontrol masyarakat, para generasi muda tak mudah mengambil idiologi-idiologi dan budaya asing yang kurang sesuai dengan ideologi dan budaya sendiri, melainkan lebih gemar berkompetensi, berkreasi dan berprestasi. Sesungguhnya tak lain dan tak bukan, pemegang tongkat estafet nasib negeri ini selanjutnya ialah…….kita, generasi muda.
Demikianlah masa depan bangsa yang kuimpikan. Terlalu singkat dan sederhana mungkin untuk menggambarkan nasib bangsa Indonesia saat ini dan masa mendatang. Namun sebagai gadis cilik yang bertempat tinggal, hidup di tengah-tengah beberapa elemen, keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan, saya merasa terpanggil dalam keikutsertaan pertanggungjawaban untuk memberi pencerahan bagi bangsa ini sesuai dengan cita-cita agama, bangsa, dan negara. Ya…meskipun hanya dari sedikit goresan ini. Karena, menyadari posisi ke-diri-an untuk mengemban amanat yang dipikulkan menjadi suatu keniscayaan yang tentu menuntut pengorbanan. No Honor Without Poin. Barangkali pepatah itu cocok bagi mereka yang berjuang mengorbankan segala energi dan waktu untuk menciptakan perubahan yang gemilang.

MASA DEPAN BANGSA YANG KUIMPIKAN

Esai dalam Rangka Lomba Penulisan Esai Nasional II Tahun 2007 dengan Tema
Optimisme Anak Bangsa









Oleh :
Zahra al Habsy

NAFSU DAN SYAITHAN DALAM PERSPEKTIF QURAISY SYIHAB

“ Sesungguhnya Syaithan adalah musuh yang nyata bagimu”
“Jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu”

Kita sering mengatakan bahwa nafsu adalah syaithan. Benarkah demikian?
Hari ini (16/09/08) dalam salah satu tayangan TV swasta, Qurays Shihab mengatakan bahwa nafsu nampak jelas pada anak kecil yang menginginkan mobil-mobilan. Dia akan meraung-raung terus sampai ibunya membelikan mainan itu. Ketika ibunya menawari uang sebagi gantinya, ia tidak mau. Saat ibunya memberikan mainan lain yang lebih bagus dan mahal, iapun tidak mau.
Nafsu bersifat tegas dan konsisten. Sedangkan syaithan tidak tegas dan konsisiten, ia bisa maju dan mundur. Yang terpenting bagi syaithan adalah bagaimana manusia tidak untung Meski tidak rugi. Karenanaya benar sekali saat al Quran mengatakan bahwa Syaithan membujuk kita dengan jalan yang sangat halus dan nampak indah. Contohnya adalah saat syaithan menyuruh A syirik maka A menolak dengan alasan dosa terbesar yang tidak ada ampunannya, lalu Iblis menawari membunuh yang dosamya masih terampuni, A tetap menolak karena itu termasuk dosa besar, Syaitahn kembali menawarkan zina sebagi alternative, tetapi A tetap menolak. Seakan tak pernah kehabisan akal, Syaithan terus membujuk A dengan mengatakan bahwa bersentuhan, memandang, adalah dosa ringan. Begitulah. Maka, berhati-hatilah terhadap tipu daya syaithan. Kenalilah karakter syaithan.

BUKU PANDUAN

Diklat Jurnalistik Dasar Dan Rekrutmen Kru Baru
“REKONSTRUKSI KEBEBASAN PERS DALAM BINGKAI KEKINIAN”
Lembaga Pers Mahasiswa Forma Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel Surabaya
2006


A. Pendahuluan
Sebagai salah satu pilar negara, pers punya peran yang lain dari pilar yang lain. Pers dengan fungsi utamanya sebagai pemberi informasi sangat di butuhkan di negara penganut sistem demokrasi ini. Ketika pemilihan presiden dan wakilny di lakukan secara langsung untuk pertama kalinya pada 5 April 2004 yang merupakan pemilu ke-9 dalam sejarah Republik Indonesia, fungsi pers sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya sangat penting dan di perlukan. Baik pers cetak seperti koran, atau elektronik seperti televisi dan radio.
Dengan informasi yang benar, khalayak akan mampu mengambil keputusan yang tepat untuk dirinya, masyaraakt dan bangsanya. Dan tujuan itu tidak akan tercapai jika pers tidak di beri kebebasan dalam menjalankan tugasnya sebagai pemberi informasi yang harus seobjektif mungkin.
Namun bagaimana sebenarnya kebebasan pers tampaknya belum jelas hingga hari ini, sehingga tidak banyak di pahami oleh khalayak bahkan tidak jarang oleh pekerja pers itu sendiri. Salah satu bukti yang masih hangat adalha di demonya majalah Denmark yang memuat karikatur Nabi Muhammad oleh umat Islam di seluruh belahan dunia. Padahal merek amengatakan bahwa itu adalah bagian dari kebebasan pers.
Sebagaimana di kemukakan oleh Mitchel V Charnley, kebebasan pers itu bukan berarti; “Government, keep your hands-off”-(hai pemerintah jangan ikut campur!)-. Tetapi artinya adalah; “keep your hands off so that media may help the people to preserve the democratic system”-(jangan ikut campur sehingga media dapat membantu rakyat memelihara sistem demokrasi)-. Menurutnya demokrasi adalah sarana bukan tujuan; pelindungnya adalah publik bukan penerbit. Publik atau rakyat dalam hal ini diwakili oleh undang-undang dan aparat penegak.
Berita yang di informasikan oleh pers, sering juga di anggap melebih-lebihkan dan sesuaikenyataan. Sebagimana di katakan oleh para pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa media melebih-lebihkan adanya bencana kelaparan di Yahukimo Desember tahun lalu.
Lalu, sampai batas mana sebenarnya pers punya kebebasan. Jika semua kejadian, peristiwa dan realita yang di informasikan di anggap melecehkan, mencemarkan nama baik dan melebih-lebihkan.
Karenaya kita sebagai kelompok masyarakat yang berpendidikan punya tugas berat. Untuk memperjuangkan kebebasan pers yang tegas dan terjamin. Supaya tidak ada lagi pekerja pers yang di tangkap, di sandra dan di aniaya saat menjalankan tugasnya.
Sebagai pers mahasiswa yang punya idealisme tinggi, kita wajib mewujudkan mimpi itu. Dan mimpi itu tidak akan terwujud tanpa kerja sama dan keterlibatan semua pihak termasuk Anda. Mulailah mewujudkan mimpi itu dengan bergabung bersama kami hari ini. Kita wujudkan mimpi itu bersama-sama.



B. Materi –materi diklat Jurnalistik Dasar

1. Pengetahuan tentang Pers dan Jurnalistik
Secara bahasa, Pers berarti media. Berasal dari bahasa Inggris press yaitu cetak. Apakah media itu berarti hanya media cetak? Tidak. Pada awal kemuculannya media memang terbatas hanya pada media cetak. Seiring percepatan teknologi informasi, ragam media ini kemudian meluas. Muncul media elektronik: audio, audio-visual (pandang-dengar) sampai internet. Jadi pers adalah sarana atau wadah untuk menyiarkan produk-produk jurnalistik.
Sedang jurnalistik merupakan suatu aktifitas dalam menghasilkan berita ataupun opini. Mulai dari perencanaan, peliputan, penulisan yang hasilnya disiarkan pada publik/khalayak pembaca melalui media/pers: cetak, audio, audio-visual. Dalam kata lain jurnalistik merupakan proses aktif untuk melahirkan berita.
Hasil dari proses jurnalistik yang kemudian menjadi teks yang dimuat dalam media, berupa berita ataupun opini.
Fungsi Pers
1. Menyiarkan informasi ( informatife)
Merupakan fungsi yang pertama dan utama karena khalayak pembaca memerlukan informasi mengenai berbagai hal di bumi ini.
2. Mendidik (to educated)
Sebagai sarana pendidikan massa (mass education). Isi dari media atau hal yang dimuat dalam media mengandung unsur pengetahuan sehingga khalayak pembaca bertambah pengetahuannya.
3. menghibur (to entertaint)
Khalayak pembaca selain membutuhkan informasi juga membutuhkan hiburan. Ini juga menyangkut minat insani.
4. Mempengaruhi (control social)
Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan sosial ada kejanggalan-kejanggalan, baik langsung ataupun tidak langsung, berdampak pada kehidupan sosial. Pada fungsi ini media dimungkinkan menjadi kontrol sosial, yang karena isi dari media sendiri bersifat mempengaruhi.
Teori Pers
Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schamm menyatakan bahwa pers di dunia saat ini dapat dikategorikan menjadi:
• Authoritarian Pers
• Libertarian Pers
• Sosial Responbility Pers
• Soviet Communist Pers
Adapun teori Soviet Communist Pers hanyalah perkembangan dari teori Autoritarian Pers. Pada teori itu fungsi pers sebagai media informasi kepada rakyat oleh pihak penguasa mengenai apa yang mereka inginkan dan apa yang harus didukung rakyat.
Sedang teori Sosial Responbility pers merupakan perkembangan dari teori Libertarian pers. Dan teori ini adalah kebalikan dari teori autoritaria pers, dimana pers bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fouth state. Pada teori ini pers menempatkan posisi sebagai tanggung jawab sosial.
2. Apa itu Berita
Secara sederhana berita merupakan laporan seorang wartawan/jurnalis mengenai fakta. Karena ada banyak fakta dalam kehidupan atau realitas sosial, apakah lantas semua fakta/relitas menjadi berita? tidak. Fakta itu menjadi berita setelah dilaporkan wartawan. Karena itu berita merupakan konstruksi dari sebuah fakta. Lantas fakta seperti apa yang semestinya dilaporkan wartawan dan lalu menjadi berita?. Secara teoritik ada banyak sekali ukuran, namun secara umum ukuran itu dibagi dua yakni penting dan menarik. Kemudian, seberapa penting dan menarikkah suatu peristiwa itu layak dijadikan berita?. Maka untuk mempertimbangkan hal tersebut dibutuhkan adanya nilai-nilai sebagai pertimbangan untuk menentukan suatu peristiwa itu layak dijadikan berita. Dalam jurnalistik nilai-nilai tersebut disebut news value (nilai berita).

Obyek Berita
Karena berita adalah laporan fakta yang ditulis seorang jurnalis, maka obyek berita adalah fakta. Dan fakta dalam jurnalistik dikenal dalam beberapa kriteria;
a. Peristiwa
Merupakan suatu kejadian yang baru terjadi, artinya kejadian tersebut hanya sekali terjadi.
b. Kasus
Ada suatu kejadian yang tidak selesai setelah peristiwa itu terjadi. Artinya kejadian tersebut meninggalkan kejadian selanjutnya, peristiwa melahirkan peristiwa berikutnya. Maka kejadian demikian dinamakan suatu kasus.
c. Fenomena
Jika suatu kasus itu ternyata tidak terjadi hanya pada batas teritorial tertentu, artinya kasus tersebut sudah mewabah, terjadi dimana-mana. Maka kejadian tersebut dinamakan suatu fenomena.
Nilai Berita (News Value)
Secara umum nilai berita ditentukan oleh 10 komponen. Semakin banyak komponen tersebut dalam berita maka semakin besar minat khalayak pembaca terhadap berita tersebut. Secara lebih rinci dapat diringkaskan sbb;
1. Kedekatan (proximity)
Peristiwa yang memiliki kedekatan dengan kehidupan khalayak, baik secara geografis maupun psikis.
2. Bencana (emergency)
Tiap manusia membutuhkan rasa aman. Dan setiap ancaman terhadap rasa aman akan menggugah perhatian setiap orang.
3. Konflik (conflict)
Ancaman terhadap rasa aman yang ditimbulkan manusia. Konflik antar individu, kelompok, maupun negara tetap akan menggugah perhatian setiap orang.
4. Kemashuran (prominence)
Biasanya rasa ingin tahu terhadap seseorang yang menjadi public figure cukup besar.
5. Dampak (impact)
Peristiwa yang memiliki dampak langsung dalam kehidupan khalayak/masyarakat.
6. Unik
Manusia cenderung ingin tahu tentang segala hal yang unik, aneh dan lucu. Hal-hal yang belum pernah atau tak biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari akan menarik perhatian.
7. Baru (aktual)
Suatu peristiwa yang baru akan memancing minat orang untuk mengetahui.
8. Kontroversial
Sesuatu yang bersifat kontroversial akan menarik untuk diketahui karena mengandung kejanggalan.
9. Human Interest
Derita cenderung dijauhi manusia. Dan derita sesama cenderung menarik minat untuk mengetahuinya.
10. Ketegangan (suspense)
Sesuatu yang membuat manusia ingin mengetahui apa yang akan terjadi cenderung menarik minat, karena orang ingin tahu akhir dari peristiwa.
Namun seringkali ditemui dalam beberapa media yang melaporkan peristiwa yang sama, tetapi pemberitaannya tidak sama. Ini karena perbedaan sudut pandang (angel) yang diambil wartawan dalam menulis berita.
Unsur Berita
Diketahui bahwa berita merupakan hasil rekonstruksi dari fakta (peristiwa) oleh wartawan, maka diperlukan perangkat untuk merekonstruksi peristiwa tersebut. Berangkat dari perkiraan bahwa pada umumnya manusia membutuhkan jawaban atas rasa ingin tahunya dalam enam hal. Maka dari itu materi berita digali melalui enam pokok yang disebut unsur berita yakni apa (what); siapa (who); dimana (where); kapan (when); mengapa (why); bagaimana (how). Kemudian dikenal dengan 5W + 1H.
Sifat Berita
1. Mengarahkan (directive)
Karena berita itu dapat mempengaruhi khalayak, baik disengaja ataupun tidak. Maka berita itu sifatnya mengarahkan.
2. Membangkitkan Perasaan (effective)
Melaui berita itu dibangkitkan perasaan publik/khalayak.
3. Memberi Informasi (informative)
Berita harus bersifat memberi informasi tentang keadaan yang terjadi, sehingga memberi gambaran jelas dan menjadi pengetahua publik/khalayak.
Kaidah-kaidah Penulisan Berita
Dalam penulisan berita, dalam hal ini mengonstruk peristiwa (fakta), tidaklah semena-mena. Penulisan berita didasarkan pada kaidah-kaidah jurnalistik. Kaidah-kaidah tersebut biasa dikenal dengan konsep ABC (Accuracy, Balance, Clarity).
1. Accuracy (akurasi)
Disebut sebagai pondasi segala macam penulisan bentuk jurnalistik. Apabila penulis ceroboh dalam hal ini, artinya sama dengan melakukan pembodohan dan membohongi khalayak pembaca. Untuk menjaga akurasi dalam penulisan berita, perlu diperhatikan beberapa hal berikut;
a. Dapatkan selalu data yang benar.
b. Lakukan re-chek terhadap data yang telah diperoleh.
c. Jangan mudah dan berspekulasi dengan isu ataupun desas-desus.
d. Pastikan semua informasi dan data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan kewenangan dan keabsahannya.
2. Balance (keseimbangan)
Ini juga menjadi kaidah dalam penulisan berita. Sering terjadi sebuah karya jurnalistik terkesan berat sebelah dengan menguntungkan satu pihak tertentu sekaligus merugikan pihak lain. Keseimbangan dimungkinkan dengan mengakomodir kedua golongan (misalnya dalam penulisan berita tentang konflik). Hal demikian dalam jurnalistik disebut dengan ‘both side covered’.
3. Clarity (kejelasan)
Faktor kejelasan bisa diukur apakah khalayak mengerti isi dan maksud berita yang disampaikan. Bukan jelas dalam konteks teknis, namun lebih condong pada faktor topik, alur pemikiran, kejelasan kalimat, kemudian pemahaman bahasa dan persyaratan penulisan lainnya.
Struktur/susunan Penulisan Berita
Dalam berita terdapat struktur/susunan berita juga memiliki bagian-bagian. Maka sebelum mengenal struktur penulisan berita terlebih dulu kita mengenal bagian-bagian berita. Dimana bagian-bagian tersebut terdiri dari kepala berita atau judul (head news); topi berita, menunjukkan lokasi peristiwa dan identitas media (misalnya, surabaya SP) biasanya digunakan dalam penulisan straight news; intro, diletakkan setelah judul berfungsi sebagai penjelas judul dan gambaran umum isi berita; tubuh berita (news body), bisa dikatakan sebagai isi berita.
Adapun struktur penulisan berita sbb;
1. Piramida terbalik
Artinya pokok atau inti berita diletakkan diawal-awal paragraf (1-2 paragraf) dan bukan berarti paragraf selanjutnya tidak penting, cuma bukan merupakan inti dari berita. Biasanya ini digunakan dalam penulisan straight news.
2. Balok tegak
Artinya pokok atau inti berita tidak hanya diletakkan di awal paragraf. Tetapi terdapat di awal, tengah, dan akhir paragraf. Biasanya ini digunakan dalam penulisan depht news (indepht reporting ataupun investigasi reporting).
3. Metode Penggalian data
Dalam membuat berita, data menempati posisi penting. Karena melalui data lah peristiwa (fakta) dapat dilaporkan. Data merupakan ‘record’ (rekaman) dari suatu peristiwa. Dan penulis (jurnalis) menyajikan konstruksi dari peristiwa/fakta tersebut yang disusun dari berbagai data. Ada beberapa cara untuk penggalian data tersebut. Pertama, melalui pengamatan langsung si penulis (observasi) untuk memdapatkan data tentang fakta kejadian. Kedua, melakukan wawancara terhadap seseorang yang terlibat langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder) dalam suatu kejadian. Dengan wawancara juga dimaksudkan untuk melakukan cross-check demi akurasi data yang diperoleh melalui pengamatan (observasi). Ketiga, selain kedua perangkat tersebut data juga bisa diperoleh melalui studi literary terhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan suatu fakta kejadian ataupun fenomena (jika dimungkinkan), data demikian biasanya dianggap penting.
Observasi
Ini dilakukan pada tahap awal pencarian data tentang sesuatu. Dalam pengamatan sangat mengandalkan kepekaan indra (lihat; dengar; cium; sentuh) dalam mengamati dan membaca realitas. Namun dalam pengamatan tersebut observator tidak boleh melakukan penilaian terhadap realitas yang diamati.
Kegiatan observasi terkait dengan pekerjaan memahami gambaran realitas serta detail-detail kejadian yang berlangsung. Untuk itu diperlukan upaya untuk memfokuskan amatan pada obyek-obyek yang tengah diamati.
Observasi memerlukan daya amatan yang kritis, luas, namun tetap tajam dalam mempelajari rincian obyek yang ada dihadapannya. Untuk mendapatkan amatan yang obyektif si pengamat mesti bisa untuk mengontrol emosional dan mampu menjaga jarak dengan segala rincian obyek yang diamati.
Dalam penggalian data melalui observasi ini sifatnya langsung dan orisinil. Langsung artinya, dalam amatannya tidak berdasarkan teori, pikiran, pendapat, ia menemukan langsung apa yang hendak dicarinya. Orisinil, artinya hasil amatannya merupakan hasil cerapan indranya, bukan yang dilaporkan orang lain.
Wawancara
Wawancara merupakan aktifitas yang sering dilakukan dalam jurnalistik untuk memperoleh data. Dalam menggali data, tidak mungkin bagi seorang jurnalis untuk menulis berita hanya mengandalkan hasil observasi, tanpa melakukan wawancara. Karena dengan wawancara wartawan bisa memperoleh kelengkapan data tentang peristiwa/fenomena. Juga dengan wawancara seorang jurnalis melakukan cross-check/recheck dari data yang diperoleh sebelumnya demi akurasi data.
Perlu diperhatikan bahwa wawancara bukanlah proses tanya jawab seperti ‘saya bertanya-anda menjawab’. Wawancara lebih luas dari sekedar proses tanya jawab. Pewawancara dan yang diwawancarai berbagi pekerjaan ‘membangun ingatan’. Tujuan umumnya merekonstruksi kejadian yang, entah itu baru terjadi atau telah lampau. Dalam aktifitas ini (wawancara) pewawancara dan yang diwawancarai akan membangun kembali ingatan-ingatan tersebut.
Tehnik Wawancara
- Menguasai permasalahan
Ini penting karena untuk menghindari miss-understanding antara pewawancara dengan yang diwawancarai.
- Ajukan pertanyaan yang lebih spesifik
Pertanyaan yang lebih spesifik akan lebih membantu dan mempermudah dalam mengarahkan topik pembicaraan.
- Jangan menggurui
Karena wawancara bukan proses tanya-jawab, tetapi aktifitas membangun ingatan terhadap peristiwa yang baru terjadi atau telah lampau.
Studi Literary
Suatu data tidak hanya dapat diperoleh melalui pengamatan dan wawancara, tapi bisa juga memanfaatkan (melacak) data-data yang sudah terdokumentasikan. Pencarian data-data yang terdokumentasikan itu juga sangat dipertimbangkan tingkat keabsahannya (valid) dan dapat dipertangungjawabkan. Misalnya keppres, tap MPR, undang-undang, tidak mungkin didapatkan melalui pengamatan ataupun wawancara. Kebutuhan data seperti itulah sangat memungkinkan dan merupakan keharusan untuk pencarian data yang terdokumentasikan. Dan biasanya data-data yang seperti itu, validitasnya dapat dipertanggungjawabkan.
Karena tingkat validitas data itu harus bisa dipertanggungjawabkan maka dalam pencarian data seorang jurnalis harus hati-hati memanfaatkan dokumentasi yang sudah ada.
Pemanfaatan data yang terdokumentasikan tidak terbatas pada undang-undang, keppres. Hasil dari sebuah penelitian, berita di media, arsip, buku, juga bisa dijadikan sebagai data dokumen, tapi juga harus mempertimbangkan validitas dari data-data tersebut.
Sumber-sumber yang bisa dijadikan bahan dalam riset dokumen/studi literer:
Koran/majalah
Koran/majalah menyediakan informasi cukup memadai untuk kebutuhan riset dokumen. Informasi surat kabar cukup layak dijadikan sumber data otentik (terlepas bila mengandung kesalahan informasi). Riset dokumen yang dilakukan mempelajari terhadap pelbagai pemberitaan dari reportase yang obyektif, teks berita foto (caption), dan tulisan yang mengandung opini.
Teknik penelusuran data melalui koran/majalah
• Melalui sistem kartu indeks perpustakaan
• Melalui sistem kartu indeks yang diterbitkan oleh sindikasi surat kabar
Buku
Pencarian data melalui buku terkait dengan kredibilitas penulisnya, penerbitnya, dan tahun-tahun revisi penerbitannya. Juga memeriksa keterangan seperti data-data statistik yang dikutip, apakah dari abstraksi data yang terbaru. Buku layak dijadikan sumber data karena buku biasanya memuat bahasan-bahasan yang mendalam dan cakupan pemahaman yang luas.
Beberapa referensi buku yang bisa dimanfaatkan
• Kamus
• Ensiklopedi
• Biografi
• Tesis/disertasi
• Jurnal
• Internet
4. Bentuk Penulisan Berita
Straight News
Straight news atau sering juga disebut berita langsung merupakan bentuk penulisan berita yang paling sederhana. Pasalnya, hanya dengan menyajikan unsur 4 W (what, who, when, where) maka tulisan tersebut bisa langsung menjadi berita. Namun bukan berarti straight news menafikan unsur why dan how. Karena itu bentuk penyajiannya pun juga diatur sedemikian rupa, sehingga khalayak pembaca bisa mengetahui pesan utama yang terkandung dalam berita itu tanpa perlu membaca seluruh isi berita. Pola penulisan straight news sering dipakai oleh media-media massa yang punya masa edar harian. Selanjutnya untuk media-media massa yang terbit berkala lebih banyak memakai pola penulisan features, depht news (indepht reporting maupun investigative reporting).
Permasalahannya sekarang fakta yang bagaimana yang biasanya ditulis dengan bentuk straight news. Tidak semua fakta bisa ditulis dalam bentuk straight news. Karena straght news sangat terikat dengan unsur kebaruan (aktualita). Maka suatu fakta itu ditulis dengan bentuk straight news bila;
1. informasi/berita tentang peristiwa dan bukan fenomena ataupun kasus. Artinya kejadian yang hanya sekali itu saja terjadi. Bukan kejadian yang terjadi secara berkelanjutan. Misalnya kecelakaan lalu lintas, kejahatan, pergantian pejabat negara, dsb.
2. Informasi/berita itu penting untuk segera diketahui khalayak.
3. Baru (aktual)
Karakteristik Straight News
1. Strukturnya piramida terbalik
Dalam artian teras berita (lead) berupa summary lead, artianya unsur berita what (apa), who (siapa), where (dimana), when (kapan) diletakkan dalam lead. Sedang unsur how dan why diletakkan dalam tubuh berita (news body), bila dimungkinkan juga menyajikan fakta-fakta tambahan yang dianggap perlu, sehingga kalau dipandang perlu untuk di ‘cut’ maka tidak akan mempengaruhi isi berita.
2. Deskripsinya lugas, hanya mengemukakan fakta-fakta yang perlu untuk kejelasan berita.
3. Irama atau lenggang cerita terkesan terburu-buru.
Depth News
Tulisan ini lazim disebut ‘laporan mendalam’, digunakan untuk menuliskan permasalahan (yang penting dan menarik) secara lebih lengkap, bersifat mendalam dan analitis, dimensinya lebih luas. Yang dijadikan berita biasanya suatu kasus ataupun fenomena. Laporan ini ditulis berdasar hasil liputan terencana, dan membutuhkan waktu panjang. Karena merupakan hasil liputan terencana, maka diperlukan persiapan yang matang, sehingga dalam penulisan in-depht reporting ini dibutuhkan out line sebagai kerangka acuan dalam penggalian data sampai analisa data.
Dalam depht news materi penulisan berita penekanannya pada unsur how (bagaimana) dan why (mengapa). Mencari dan memaparkan jawaban how dan why secara lebih rinci dan banyak dimensi.
Karakteristik Depth News
1. Strukturnya balok tegak.
2. Deskripsinya analitis, banyak mengungkapkan fakta-fakta penting dan pendukung untuk kejelasan berita.
3. lenggang cerita mengikat (berkesinambungan) antara paragraf sebelum dan sesudahnya.
4. Lebih mendalam dalam menguraikan fakta.



5. Pembuatan Perencanaan Liputan (Outline)
Karena pemberitaan model depht-news lebih menekankan pada unsur why dan how, maka dibutuhkan kedalaman dalam mengurai suatu realitas. Supaya dalam penguraian realitas tidak terjadi pembiasan/pelebaran, dalam artian tetap fokus dalam mengurai suatu realitas, maka amat dibutuhkan kerangka (outline) sebagai acuan dalam mengurai realitas, mulai dari pengumpulan/penggalian data sampai penganalisaan data, sebelum dijadikan tulisan.
Adapun dalam pembuatan out-line, kita tidak kosong terhadap realitas (kasus atau fenomena) yang akan diurai. Pengetahuan awal tentang fenomena yang akan diurai akan sangat membantu dalam pembacaan fenomena tersebut. Karena tidak mungkin seluruh uraian fenomena disajikan dalam tulisan, maka dalam out-line ditentukan sisi mana (angle) yang akan diurai dan disajikan secara mendalam.
Adapun angle dimaksudkan sebagai penentu batasan-batasan fenomena yang akan diurai sehingga dalam mengurai dan menganalisa sebuah fenomena tetap terfokus pada batasan yang direncanakan dan tidak melebar kemana-mana yang hanya akan menjadikan pembiasan dalam penguraian dan penganalisaan.
Sebagai kerangka acuan dalam liputan mendalam out-line juga memuat perencanaan (ketentuan) data-data yang akan dicari. Dan untuk data yang direncanakan melalui wawancara, ditetukan pula poin-poin pertanyaan (drafting) secara garis besarnya.

6. Feature
Ini lazim disebut ‘berita kisah’ atau cerita pendek non-fiksi. Dikatakan non-fiksi karena tetap berdasarka pada fakta. Feature juga sering disebut sebagai berita ringan (soft news) karena gaya penulisannya indah memikat, naratif, prosais, imajinatif, dan bahasanya lugas.
Biasanya feature ini mengungkapkan suatu peristiwa (realita sosial) yang biasanya tidak terlalu menjadi perhatian publik dan isinya lebih menekankan pada sisi human interest (menarik minat dan perasaan khalayak pembaca). Model features dalam penulisan berita tidak terikat aktualitas.
Namun dalam menulis dengan model features dibutuhkan kepekaan dan ketajaman menangkap fenomena dalam realitas sosial melalui pengamatan dan wawancara yang mendalam, serta riset dokumentasi yang cermat.
Ragam features
1. Historical features
Menceritakan kejadian-kejadian yang menonjol pada waktu yang telah lewat, namun masih tetap mempunyai nilai human interest.
2. Profile features
Mengemukakan pengalaman pribadi seorang atau kelompok. Khalayak pembaca bisa mengetahui sepak terjang tokoh tersebut, motivasinya, wawasannya, kerangka berpikirnya. Dan dikemas seolah-olah ‘kisah pengakuan diri’ dari orang yangbersangkutan.
3. Adventures features
Menyajikan kejadian unik dan menarik yang dialami seseorang atau kelompok dalam perjalanan ke suatu daerah tertentu, baik tentang alam maupun masyarakat.
4. Trend features
Mengungkapkan kisah tentang kehidupan sekelompok anak manusia ataupun perubahan gaya hidupnya dalam proses transformasi sosial.
5. Seasonal features
Mengisahkan aspek baru dari suatu peristiwa teragenda, seperti saat lebaran, natal, peringatan hari lahir tokoh nasional dan sebagainya.
6. How-to-do-it features
Mengungkapkan bagaimana suatu perbuatan atau kegiatan dilakukan, seperti tulisan tentang pemanfaatan daun sereh sebagai obat keluarga atau bagaimana cara menghapuskan virus komputer.
7. Explanatory/Backgrounder features
mengisahkan sesuatu yang terjadi dibalik peristiwa atau penjelasan mengapa hal itu terjadi, misalkan tentang pemogokan buruh, mengapa pemogokan itu terjadi, sebab apa yang melatarbelakangi pemogokan.
8. Human Interest features
menceritakan tentang kisah hidup anak manusia yang menyentuh perasaan, seperi seorang mahasiswa yang terus kuliah dengan mengandalkan hasil keringatnya sendiri. Penulisan ini ditekankan pada tingkah laku hidupnya bukan personnya.

Karakteristik features
1. Teras berita (lead) bebas asal tetap menarik.
2. Strukturnya bebas tapi tetap ringkas dan terus menarik.
3. Bagian akhir tulisan dapat meninggalkan kesan pada pembaca, artinya dapat membuat pembaca tersenyum, tertawa, berdecap. Bagian akhir yang demikian dinamakan punch.
4. lenggang cerita terkesan santai.
5. Deskripsi bervariasi, mengemukakan detil-detil yang menyentuh atau membangkitkan emosi.

7. Opini
Bila berita sebagai hasil konstruksi dari peristiwa (fakta) dan dituntut obyektif dalam penyajiannya, maka tidak demikian halnya dengan opini. Opini bukan merupakan kontruksi peristiwa, tetapi lebih pada penilaian terhadap peristiwa (fakta), jadi terdapat unsur-unsur subyektifitas penulis dalam penyajiannya. Pun penulisannya tidak didasarkan pada 5W + 1H sebagaimana berita.
Langkah awal yang harus dilakukan sebelum mengumpulkan bahan dan menulis opini adalah menentukan tema (problema yang akan diurai). Tema merupakan bentangan benang-merah dalam benak penulis yang menggambarkan tujuan tulisan. Merupakan gagasan pokok. Tanpa tema tulisan opini tidak akan utuh dan tidak menentu arahnya. Ada berbagai macam bentuk penulisan opini dalam jurnalistik yakni, artikel; kolom; essai; resensi. Beberapa bentuk tulisan tersebut lazimnya merupakan ruang bagi pembaca media.
Selain bentuk-bentuk tersebut masih ada penulisan lain yang disebut opini. Namun, opini ini lebih merupakan pendapat media bersangkutan terhadap realitas yang berkembang. Salah satunya adalah Editorial/Tajuk yang merupakan penilaian atau analisa dari redaksi tentang situasi dan berbagai masalah. Juga ada pojok, ia merupakan tulisan yang berupa sentilan, sindiran, terhadap suatu realitas yang ditulis dengan gaya satire, lucu, kocak. Dan karikatur juga merupakan penilain redaksi terhadap realitas, ia tidak jauh beda dengan pojok, namun diungkapkan melalui gambar/kartun.
Syarat Opini
• Orisinil
• Faktual, Aktual
• Bersifat ilmiah populer bukan ilmiah teknis
• Sistematis
• Mengandung gagasan/ide
• Menggunakan bahasanya yang baik dan benar (sesuai dengan kaidah bahasa, baik Indonesia maupun serapan)

8. Tajuk Rencana (Editorial)
Suatu karya tulis yang merupakan pandangan redaksi terhadap suatu fakta/realitas, karena merupakan pandangan redaksi maka tajuk bersangkutan dengan penilaian redaksi. Tajuk Rencana memuat fakta dan opini yang disusun secara ringkas dan logis.
Yang perlu diperhatikan dalam membuat tajuk
• Judul yang sifatnya mengimbau pembaca.
• Kalimat untuk lead (paragraf awal) tidak terlalu panjang.
• Kalimat pada paragraf akhir menggemakan judul dan lead serta mempertegas problem yang dikupas.
Tajuk rencana yang baik mengandung keseimbangan antara hasil karya seorang ilmuan dan seorang seniman.
Dengan jiwa ilmuan, dimaksudkan dalam menentukan dan menganalisa problema bersifat logis, sangat mempertimbangkan temuan-temuan dalam mengurai problem. Dengan semangat seniman, dimaksudkan lebih pada penyajikan hasil analisa dalam bentuk tulisan agar lebih enak dibaca.

9. Artikel
Merupakan karya jurnalistik yang menyerupai karya ilmiah. Ada juga yang mengatakan artikel merupakan karya ilmiah. Kenapa? Dalam artikel susunan penulisannya seperti halnya karya ilmiah: ada batasan-batasan permasalahan yang diungkapkan untuk selanjutnya diurai dalam tulisan, juga dimungkinkan ada problem solving. Bahasa yang digunakan adalah bahasa-bahasa ilmiah-baku, namun tidak kaku. Jadi dalam menulis artikel langkah utama adalah menentukan permasalahan yang akan diurai (tema). Mensistematiskan supaya lebih mudah untuk ditarik benang–merah. Ini perlu diperhatikan dalam menulis artikel.
Tema dalam artikel bisa berupa apa saja, dari teknologi sampai politik, dari masalah yang paling kecil sampai yang paling besar.

10. Kolom/ Essai
Sama halnya dengan artikel, menulis kolom diperlukan menentukan permasalahan yang akan diurai, juga sistematisasi permasalahan untuk ditarik benang-merah. Ini dimaksudkan untuk menjadikan tulisan lebih terarah. Dalam penulisannya, kolom tidak seketat seperti di artikel. Bahasa yang digunakan lebih lentur, mudah dipahami, terkesan santai dalam memaparkan idenya.
Dalam essai lebih longgar lagi, dan tulisannya lebih pendek dari kolom. Biasanya karakter penulis tercerminkan dalam tulisan essai, kekhasan personal lebih ditonjolkan. Sama halnya dengan kolom dalam memaparkan idenya terkesan santai, bahasanya lentur, alur bahasan lebih lugas. Juga seperti halnya dalam penulisan opini yang lain ada permasalahan yang diuraikan.

11. Resensi
Resensi merupakan bentuk tulisan dalam hal penggambaran/analisa terhadap sebuah teks. Teks disini bisa berupa buku, film, teater, maupun lagu. Sebagian menyebut resensi sama halnya dengan sinopsis, penggambaran secara global tentang teks. Tapi sebenarnya tidak sama, karena dalam resensi ada sedikit sentuhan analisa penulis. Dan seorang resensor harus berlaku seobyektif mungkin dalam menggambarkan/menganalisa teks.

12. Penulisan Berita
Membuat Judul
Judul berita memang bukan hal yang urgen dalam penulisan berita. Tapi bisa menjadi hal yang vital. Sebelum membaca isi berita pembaca cenderung membaca judulnya lebih awal. Ketika judul tidak menarik, pembaca akan enggan untuk membaca isi berita.
Maka usahakan dalam membuat judul mudah dimengerti dengan sekali baca, juga menarik, sehingga mendorong pembaca mengetahui lebih lanjut isi berita/tulisan. Tapi judul yang menarik belum tentu benar dalam kaidah penulisan judul. Pada dasarnya judul seharusnya mencerminkan isi berita. Jadi disamping mencerminkan isi dan menarik, judul perlu kejelasan asosiatif setiap unsur subyek, obyek dan keterangan.
Selain itu dalam menuliskan judul juga bisa menggunakan kalimat langsung, artinya mengutip langsung ungkapan dari nara sumber. Biasanya suatu pernyataan itu mengarah pada subyek yang melontarkan, untuk menjelaskan subyek (nama nara sumber, atau sebuah kegiatan) maka digunakan kickers (pra-judul). Atau jika tidak menggunakan kickers, penulisan judul di dalam dua tanda petik.
Lead
Lead merupakan paragraf awal dalam tulisan berita yang berfungsi sebagai kail sebelum masuk pada uraian dalam tulisan berita.
Ada beberapa macam lead yang biasa digunakan dalam menulis berita:
1. Lead Ringkasan : Biasanya dipakai dalam penulisan “berita keras”. Yang ditulis hanya inti beritanya saja. Sedangkan interesting reader diserahkan kepada pembaca. Lead ini digunakan karena adanya persoalan yang kuat dan menarik.
2. Lead Bercerita : Ini digemari oleh penulis cerita fiksi karena dapat menarik dan membenamkan pembaca dalam alur yang mengasyikkan. Tekniknya adalah membiarkan pembaca menjadi tokoh utama dalam cerita.
3. Lead Pertanyaan : Lead ini efektif apabila berhasil menantang pengetahuan pembaca mengenai permasalahan yang diangkat.
4. Lead Menuding Langsung : Biasanya melibatkan langsung pembaca secara pribadi, rasa ingin tahu mereka sebagai manusia diusik oleh penudingan lead oleh penulis.
5. Lead Penggoda : Mengelabui pembaca dengan cara bergurau. Tujuan utamanya menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca habis cerita yang ditawarkan.
6. Lead Nyentrik : Lead yang menggunakan puisi, pantun, lagu atau yang lain. Tujuannya menarik pembaca agar menuntaskan cerita yang kita tawarkan. Gaya lead ini sangat khas dan ekstrim dalam bertingkah.
7. Lead Deskriptif : Menciptakan gambaran dalam pikiran pembaca tentang seorang tokoh atau suatu kejadian. Lead ini banyak digemari wartawan ketika menulis feature profil pribadi.
8. Lead Kutipan : Lead yang mengutip perkataan, statement, teori dari orang terkenal.
9. Lead Gabungan : Lead yang menggabungkan dua atau lebih macam lead yang sudah ada. Semisal lead kutipan digabung dengan lead deskriptif.
Ending
Untuk penutup atau ending story, ada beberapa jenis :
1. Penyengat : Penutup yang biasanya diakhiri kata-kata yang mengagetkan pembaca dan membuatnya seolah-olah terlonjak.
2. Klimaks : Penutup ini ditemukan pada cerita yang ditulis secara kronologis.
3. Tidak Ada Penyelesaian : Penulis mengakhiri cerita dengan memberikan sebuah pertanyaan pokok yang tak terjawab. Jawaban diserahkan kepada pembaca untuk membuat solusi atau tanggapan tentang permasalahan yang ada.
Alur Penulisan
Kita sering membaca sebuah tulisan, tapi setelah selesai kita tidak tahu apa yang dikatakan dan dimaksud oleh tulisan tersebut. Dalam kasus ini sebagai penulis ia gagal menyampaikan ide/pikirannya pada pembaca. Ada dua kemungkinan kenapa pembaca tidak memahami tulisan tersebut. Pertama, bahasa yang digunakan penulis. Kedua, alur tulisan yang tidak terarah. Jika yang terjadi adalah faktor yang kedua maka penulis telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.
Seperti halnya bercerita, menulis juga membutuhkan alur agar tulisan tersusun secara sistematis dan jelas apa yang akan disampaikan.
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan acuan sebagai alur penulisan
1. sebab-akibat
2. akibat-sebab
3. deskriptif-kronologis

13. Bahasa Jurnalistik*
Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruang dan waktu yang relatif terbatas. Dengan demikian dibutuhkan suatu bahasa jurnalistik yang lebih efisien. Dengan efisien dimaksudkan lebih hemat dan lebih jelas.
Asas hemat dan jelas ini penting buat seorang jurnalis dalam usaha ke arah efisiensi dan kejelasan dalam tulisan.
Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan: (1) unsur kata, dan (2) unsur kalimat.
 Penghematan Unsur Kata
1. Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya arti. Misalnya:
agar supaya menjadi agar, supaya
akan tetapi menjadi tapi
apabila menjadi bila
sehingga menjadi hingga
meskipun menjadi meski
walaupun menjadi walau
tidak menjadi tak
(kecuali di ujung kalimat atau berdiri sendiri)
2. Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari.
Misalnya:
“Keadaan lebih baik dari pada zaman sebelum perang”, menjadi “Keadaan lebih baik dari sebelum perang”. Tapi mungkin masih janggal mengatakan: “Dari hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang”.
3. Beberapa kata mempunyai sinonim yang lebih pendek. Misalnya:
kemudian = lalu
Makin = kian
terkejut = kaget
sangat = amat
demikian = begitu
sekarang = kini
Catatan: Dua kata yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal perasaan. Jadi dalam soal memilih sinonim pendek perlu mempertimbangkan rasa bahasa.
 Penghematan Unsur Kalimat
Lebih efektif dari penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.
1. Pemakaian kata yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat;
Misalnya:
• “Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman”. (Bisa disingkat: “Merupakan kenyataan, bahwa ...”)
• “Apa yang dikatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas”. (Bisa disingkat: “Yang dikatakan Wijoyo Nitisastro”).
2. Pemakaian apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan:
Misalnya:
• “Apakah Indonesia akan terus tergantung pada bantuan luar negeri”? (Bisa disingkat: “Akan terus tergantungkah Indonesia“).
• “Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak”.
(Bisa disingkat: "Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak").
3. Pemakaian dari sepadan dengan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa ditiadakan; juga daripada
Misalnya:
• “Dalam hal ini pengertian dari Pemerintah diperlukan”. (Bisa disingkat: “Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan”.
• “Sintaksis adalah bagian daripada tatabahasa”. (Bisa disingkat: “Sintaksis adalah bagian tatabahasa”).
4. Pemakaian untuk sepadan dengan to (lnggris) yang sebenamya bisa ditiadakan: Misalnya:
• “Uni Soviet cenderung untuk mengakui hak-hak India”. (Bisa disingkat: “Uni Soviet cenderung mengakui...).
• “Pendirian semacarn itu mudah untuk dipahami”. (Bisa disingkat: “Pendirian semacam itu mudah dipaharni”).
• “GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal” (Bisa disingkat: “GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbarui”).
Catatan:
Dalam kalimat: “Mereka setuju untuk tidak setuju”, kata untuk demi kejelasan dipertahankan.
5. Pemakaian adalah sepadan dengan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
Misalnya:
• “Kera adalah binatang pemamah biak” (Bisa disingkat “Kera binatang pemamah biak”).
Catatan: Dalam struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam kalimat: “Pikir itu pelita hati”. Kita bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menerjemahkan “Man is a better driver than woman”, bisa mengacaukan bila disalin: “Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita”.
6. Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu. Misalnya:
• “Presiden besok akan meninjau pabrik ban Goodyear”. (Bisa disingkat: “Presiden besok meninjau pabrik”).
• “Tadi telah dikatakan.....” (Bisa disingkat: “Tadi dikatakan”)
• “Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri”. (Bisa disingkat: “Kini Clay mempersiapkan diri”).

7. Pembubuhan bahwa sering bisa ditiadakan:
Misalnya:
• “Gubemur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti”.
• “Tidak diragukan lagi bahwa ia lah orangnya yang tepat”. (Bisa disingkat: “Tak diragukan lagi, ia lah orangnya yang tepat”).
Catatan: Sebagai ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.
8. Yang, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu.
Misalnya:
• “Indonesia harus menjadi tetangga yang baik dari Australia”. (Bisa disingkat: “Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia”).
• “Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia”.
9. Pembentukan kata benda (ke + .... + an atau pe + .... + an) yang berasal dari kata kerja atau kata sifat, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat dengan kata yang sebenarya tak perlu.
Misalnya:
• “PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta”. (Bisa dirumuskan: “PN Sandang rugi Rp 3 juta”).
• “Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya” (Bisa disingkat: "Ia telah tiga kali menipu saya”).
Kejelasan
Setelah dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
1. Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
2. Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.
 Kejelasan Unsur Kata

1. Berhemat dengan kata-kata asing.
Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan apa lagi. Kata-kata itu sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak.
Sebelum terlambat, ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain. Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit,
technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom dengan “cutbrai”) tetap perlu.

2. Menghindari sejauh mungkin akronim.
Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat. Dalam bahasa Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. “Hankam”, “Bappenas”, “Daswati”, “Humas” memang lebih ringkas dari “Pertahanan & Keamanan”, “Badan Perencanaan Pembangunan Nasional”, “Daerah Swantara Tingkat” dan “Hubungan Masyarakat”.
Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat ada yang membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di kalangan remaja sehari-hari: “ortu” untuk “orangtua”; atau di pojok koran: “keruk nasi” untuk “kerukunan nasional”) tapi ada pula yang membuat akronim untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik: (misalnya “Manikebu” untuk “Manifes Kebudayaan”, “Nekolim” untuk “neo-kolonialisme”, “Cinkom” untuk “Cina Komunis”, “ASU” untuk “Ali Surachman”).
Bahasa jumalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya “Djagung” untuk “Djaksa Agung”, “Gepeng” untuk “Gerakan Penghematan”, “sas-sus” untuk “desas-desus”. Karena akronim bisa mengaburkan pengerian kata-kata yang diakronimkan.
Kejelasan Unsur Kalimat
Seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah dihindarkannya kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak kalimatnya; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu kalimat.

B. Penutup
Semoga panduan materi ini bermanfaat bagi semua pihak. Dan materi ini pastinya sudah banyak mengalami perubahan dan perbaharuan karenanya jika ada kekurangan data dan informasi kami menerima masukan dengan senang hati. Salam persma....!!


Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Form@ Fak. Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel Surabaya

SEPERTI TARIAN BURUNG CAMAR

Tulisan yang hidup adalah senjata penting untuk menaklukkan minat pembaca di tengah persaingan antar media komunikasi yang kian ketat. Mereka dikangeni karena berjiwa -- personal, memiliki sudut pandang yang unik dan cerdas, serta penuh vitalitas. Tulisan yang baik tak ubahnya seperti tarian burung camar di sebuah teluk: ekonomis dalam gerak, tangkas dengan kejutan, simple dan elok. Tulisan yang baik adalah hasil ramuan ketrampilan (reporter) menggali bahan penting di lapangan dan kemampuan (redaktur) menuliskannya secara hidup.



TUJUH ELEMEN

Apapun subyeknya, setiap karya jurnalistik yang bagus memiliki setidaknya tujuh unsur.

Informasi

Adalah informasi, bukan bahasa, yang merupakan batu bata penyusun sebuah tulisan yang efektif. ''Prosa adalah arsitektur, bukan dekorasi interior,'' kata Ernest Hemingway. Untuk bisa menulis prosa yang efektif, penulis pertama-tama harus mengumpulkan kepingan informasi serta detil konkret yang spesifik dan akurat -- bukan kecanggihan retorika atau pernik-pernik bahasa.

Signifikansi

Tulisan yang baik memiliki dampak pada pembaca. Dia mengingatkan pembaca pada sesuatu yang mengancam kehidupan mereka, kesehatan, kemakmuran maupun kesadaran mereka akan nilai-nilai. Dia memberikan informasi yang ingin dan penting diketahui pembaca. Serta meletakkan informasi itu dalam sebuah perspektif yang berdimensi: mengisahkan apa yang telah, sedang dan akan terjadi.

Fokus

Tulisan yang sukses biasanya justru pendek, terbatasi secara tegas dan sangat fokus. ''Less is more,'' lagi-lagi kata Hemingway. Umumnya tulisan yang baik hanya mengatakan satu hal. Mereka mengisahkan seorang serdadu atau seorang korban, bukan pertempuran. Memperbincangkan sebuah person, sebuah kehidupan, bukan sebuah kelompok sosio-ekonomi.

''Don't write about Man, write about a man,'' kata Elwyn Brooks White, seorang humoris Amerika.

Konteks

Tulisan yang efektif mampu meletakkan informasi pada perspektif yang tepat sehingga pembaca tahu dari mana kisah berawal dan kemana mengalir, seberapa jauh dampaknya dan seberapa tipikal. Penulis yang tak terlalu piawai menyajikan konteks dalam sebuah kapsul besar secara sekaligus, sehingga sulit dicerna. Penulis yang lebih lihai menggelombangkan konteks ke seluruh cerita.

Wajah

Manusia suka membaca tulisan tentang manusia lainnya. Jurnalisme menyajikan gagasan dan peristiwa -- trend sosial, penemuan ilmiah, opini hukum, perkembangan ekonomi, krisis internasional, tragedi kemanusiaan -- dengan memperkenalkan pembaca kepada orang-orang yang menciptakan gagasan dan menggerakkan peristiwa. Atau dengan menghadirkan orang-orang yang terpengaruh oleh gagasan dan peristiwa itu.

Tulisan akan efektif jika penulisnya mampu mengambil jarak dan membiarkan pembacanya bertemu, berkenalan serta mendengar sendiri gagasan/informasi/perasaan dari manusia-manusia di dalamnya.

''Don't say the old lady screamed -- bring her on and let her scream,'' kata Mark Twain, jurnalis dan novelis pengarang The Adventure of Tom Sawyer.

Bentuk

Tulisan yang efektif memiliki sebuah bentuk yang mengandung dan --sekaligus -- mengungkapkan cerita. Umumnya berbentuk narasi. Dan sebuah narasi bakal sukses jika memiliki semua informasi yang dibutuhkan pembacanya dan jika ceritanya bisa diungkapkan dalam pola kronologis aksi-reaksi. Penulis harus kreatif untuk menyusun sebuah bentuk yang memungkinkan pembacanya memiliki kesan komplet yang memuaskan, perasaan bahwa segala yang ada dalam tulisan mengalir ke arah konklusi yang tak terhindarkan.

Suara

Kita tak boleh lupa, bahkan dalam abad komunikasi massa seperti sekarang kegiatan membaca tetap saja bersifat pribadi: seorang penulis bertutur kepada seorang pembaca. Tulisan akan mudah diingat jika mampu menciptakan ilusi bahwa seorang penulis tengah bertutur kepada pembacanya. Majalah/koran yang baik tak ubahnya seperti pendongeng yang memukau. Dan penulis yang baik mampu menghadirkan warna suara yang konsisten ke seluruh cerita, tapi menganekaragamkan volume dan ritme untuk memberi tekanan pada makna.
Secara ringkas, tulisan yang baik mengandung informasi menarik dan berjiwa. Menarik karena penting, terfokus dan berdimensi. Serta berjiwa, karena berwajah, berbentuk dan bersuara.

TULISAN YANG MEMBLE: TUJUH KEGAGALAN

• Gagal menekankan segala yang penting -- seringkali karena gagal meyakinkan bahwa kita memahami informasi yang kita tulis.

• Gagal menghadirkan fakta-fakta yang mendukung.

• Gagal memerangi kejemuan pembaca. Terlalu banyak klise, hal-hal yang umum. Tak ada informasi spesifik yang dibutuhkan pembaca.

• Gagal mengorganisasikan tulisan secara baik -- organisasi kalimat maupun keseluruhan cerita.

• Gagal mempraktekkan tata bahasa secara baik; salah membubuhkan tanda baca dan salah menuliskan ejaan.

• Gagal menulis secara balans, sebuah dosa yang biasanya merupakan akibat ketidakpercayaan kepada pembaca, atau keengganan untuk membiarkan fakta-fakta yang ada mengalirkan cerita sendiri tanpa restu dari persepsi penulis tentang arah cerita yang benar. Dengan kata lain: menggurui pembaca, elitis.

• Semua kegagalan itu bermuara pada kegagalan untuk mengkaitkan diri dengan pembaca. Banyak tulisan akan lebih baik -- dan banyak tulisan yang dianggap sulit akan menjadi lebih mudah -- jika kita ingat bahwa kita tidak sedang menulis sebuah novel besar. Kita hanya mencoba menyalurkan sesuatu kepada mereka yang telah membeli koran kita.

Sebagaimana ditulis oleh Farid Gaban

Sunday, 23 October 2005

Pers dan Tantangan Profesionalisme

Sebuah goresan pada tahun 2005 untuk majalah fakultas

Belum lama ini tepatnya hari Rabu tanggal 9 Februari 2005, masyarakat pers Indonesia kembali memperingati Hari Pers Nasional yang ke-59. Dalam usianya yang sudah memasuki seperempat abad ini pers telah berperan penting. Sejarah kemerdekaan bangsa ini pun tak lepas dari peran media masa, ketika itu sebuah satelit radio siaran bernama RRI mengudarakan proklamasi kemerdekaan, dan hinggi kini pers tetap eksis dalam membantu mengisi kemerdekaan.

Sahabat, keberadaan pers di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan, misalnya pada pemerintahan Soeharto pers terkesan hanya dijadikan sebagai corong orang-orang berkuasa. Namun setelah 32 tahun diperlakukan seperti itu, pers akhirnya mulai berani setelah orde baru berganti reformasi. Dalam sejarah pers di Indonesia tepatnya tahun 1945, pers memang diberikan kebebasan bahkan siapapun diperbolehkan mendirikan media masa tanpa surat izin. Hal ini diperjelas dalam sebuah dokumen dari Departemen Penerangan yang mengisyaratkan bahwa pers harus merdeka, sehingga kebebasan manusia tidak akan terampas dari negara yang mengklaim sebagai negara demokratis.

Pers pun akhirnya hadir sebagai sarana ekspresi masyarakat dan bukan sekedar sarana kumpulan manusia tertentu. Lain halnya dengan jurnal yang diterbitkan oleh Asosiasi Perdagangan, lembaga-lembaga komersial atau pers pada rezim orde baru yang hanya menjadi sarana ekspresi bagi kelompok sosial tertentu dan tidak mewakilli sudut pandang opini publik.

Kebebasan pers adalah bagian dari tuntutan para insan pers. Tapi ironisnya itikad baik memberikan kebebasan itu dijadikan sebagai legitimasi tindakan amoral dan kriminalitas. Era ini banyak pers yang telah berkontribusi terhadap kebobrokan moral bangsa Indonesia. Sebut saja berbagai film mistik, tayangan yang menonjolkan aurat, serta tayangan maupun berita kriminalitas yang bebas sensor, sehingga bisa menimbulkan masalah baru yaitu suburnya kriminal dalam bentuklainnya.

Disamping itu, ada sisi positif dari kebebasan pers adalah suburnya jumlah media masa yang juga diikuti oleh rasa keterbukaan memberikan pendapat, termasuk dalam hal ini hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan. Kemajuan dunia pers ini memang perlu diacungi jempol. Dalam catatan PWI Pusat penerbitan pers di Indonesia yang mampu bertahan saat ini sekitar 800 penerbitan. Sementara stasiun radio secara nasional mengalami pertumbuhan luar biasa yakni terdiri dari 1.200 stasiun radio siaran. Dari jumlah itu bukan sesuatu hal yang muluk-muluk jika kebebasan pers diminta melangkah lebih profesional..! Tidak hanya memunculkan password kebebasan yang kebablasan, namun juga harus di lingkari dengan kebebasan yang bertanggung jawab. Setidaknya pers mampu hadir mendukung perbaikan moral, paradigma serta kesalehan sosial di masyarakat.

Kendati demikian kita memang harus berani bilang bahwa dalam dinamikanya pers di Indonesia masih dalam proses pendewasaan. Namun bukan berarti sejumlah kelemahan, distorsi dan penyelewengan dijadikan pemakluman. Sudah ada Undang-Undang Pers sebagai payung hukum yang harus di patuhi dan dilaksanakan agar informasi yang diberikan bukan hanya manfaat, tetapi juga akurat dan dapat dipercaya. Karena itu dibutuhkan sebuah titik temu atau keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung jawab dan profesionalisme kerja. Wallahua'lam bishawab.

Rabu, 01 Juli 2009

Biografi Syeikh Taqiyyudin An Nabhani

1. Nasab
Beliau adalah Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani, keturunan Kabilah Bani Nabhan dari Arab pedalaman Palestina, mendiami kampung Ijzim, masuk wilayah Haifa, Palestina Utara. Secara turun temurun Bani Nabhan dikenal sebagai keluarga yang spiritualistic dan sufistik.
2. Kelahiran dan pertumbuhan
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1908. Ia mendapat didikan ilmu dan agama di rumah ayahnya sendiri, seorang syaikh yang faqih fiddin. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementrian Pendidikan Palestina. Ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani. Syaikh Yusuf ini adalah seorang qadi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah. Mengenai Syaikh Yusuf al-Nabhani, beberapa penulis biografi menyebutkan sebagaimana yang dikutip oleh Ihsan Samarah sebagai berikut:
“(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad al-Nabhani asy-Syafi’i. Julukannya Abul Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadho’) di Qushbah Janih, termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Konstantinopel (Istambul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di al-Ladziqiyah, kemudian di al-Quds. Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis banyak kitab yang jumlahnya mencapai 80 buah.”
Suasana keagamaan yang kental seperti itu mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidup Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani selanjutnya. Beliau telah hafal al-Qur'an seluruhnya dalam usia yang amat muda, yaitu di bawah usia 13 tahun.
Beliau banyak mendapat pengaruh dari kakeknya, Syaikh Yusuf al-Nabhani, dan menimba ilmu yang luas. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, mengingat kakeknya mengalami langsung peristiwa-peristiwa penting tersebut karena mempunyai hubungan erat dengan para penguasa Daulah Usmaniyah saat itu.
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani banyak mendapat pelajaran dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh sang kakek, Syeikh Yusuf al-Nabhani. Kecerdasan dan kecerdikan Taqiyuddin yang nampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya.
Oleh karenanya, Syeikh Yusuf begitu memperhatikan Taqiyuddin dan berusaha meyakinkan ayahnya, Syaikh Ibrahim bin Musthafa, mengenai perlunya mengirim Taqiyuddin ke al-Azhar untuk melanjutkan pendidikannya dalam ilmu Syari’ah.
3. Ilmu dan pendidikan
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syariat dari ayah dan kakeknya, yang telah mengajarkan hafalan al-Qur'an sehingga beliau hafal al-Qur'an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim.
Kemudian Syeikh Taqiyuddin berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di al-Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syeikh Yusuf al-Nabhani.
Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah al-Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama. Beliau meraih Ijazah dengan predikat sangat memuaskan (mumtaz atau cum laude). Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang al-Azhar. Di samping itu, belaiu juga banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di al-Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh al-Azhar, semisal Syaikh Muhammad al-Hidhir Husain—rahmatulah—seperti yang pernah disarankan oleh kakeknya. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama di al-Azhar membolehkannya.
Meskipun Syeikh Taqiyuddin menghimpun sistem al-Azhar lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan belajar. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani telah menarik perhatian kawan-kawan dan dosen-dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat serta hujjah yang beliau lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi pemikiran yang diselenggarakan oleh lembaga ilmu yang ada saat itu di Kairo dan di negeri-negeri Islam lainnya. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau juga menamatkan pula kuliahnya di al-Azhar ash-Sharif menurut sistem lama, di mana mahasiswanya dapat memilih beberapa Syaikh al-Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat seperti fiqih, ushul fiqih, hadith, tafsir, tawhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.
Dalam forum-forum halaqah ilmiah tersebut, Taqiyuddin an-Nabhani dikenal oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan al-Azhar sebagai sosok yang mempunyai pemikiran yang cermat, dengan pendapat yang kokoh. Pemahaman dan pemikiran yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk meyakinkan orang dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi pemikiran. Demikian juga beliau sangatlah bersungguh-sungguh (tekun, dan bersemangat dalam memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar).
Ijazah yang beliau raih, di antaranya adalah ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah, Ijazah al-Ghuraba’ dari al-Azhar, Diploma Bahasa dan Sastra Arab dari Dar al-Ulum, Ijazah dalam Peradilan dari Ma’had al-‘Ali li al-Qada’ (sekolah tinggi peradilan), salah satu cabang al-Azhar. Pada tahun 1932 ia meraih Shahadah al-‘Alamiyyah (Ijazah internasional) Syariah dari Universitas al-Azhar as-Syarif dengan predikat excellent.
4. Bidang-Bidang Aktivitas
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementrian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haika. Di samping juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haika. Beliau sering berpindah-pindah lebih dari satu kota dan sekolah semenjak tahun 1932 sampai tahun 1938, ketika beliau mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani lebih mengutamakan bekerja di bidang peradilan (qadha’) karena belaiu menyaksikan pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan yang lebih besar daripada bidang peradilan, terutama peradilan shar’iy. Dalam kaitan ini ia menyatakan:
“Adapun golongan terpelajar, maka para pengajar di sekolah-sekolah misionaris sebelum adanya pendudukan, dan di seluruh sekolah setelah pendudukan, telah menetapkan sendiri kurikulum-kurikulum pendidikan dan tsaqafah (kebudayaan) berdasar filsafat, hadharah (peradaban) dan pemahaman kehidupan mereka yang khas. Kemudian tokoh-tokoh Barat dijadikan sumber asal bagi apa yang mengisi pemikiran kita.
Oleh karenanya, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menjauhi bidang pengajaran dalam Kementrian Pendidikan, dan mulai mencari pekerjaan lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih sedikit. Ia tidak mendapatkan pekerjaan yang lebih utama selain pekerjaan di Mahkamah Syari’ah. Dalam hal ini ia berkata:
أَمَا النِظَامُ الإِجْتِمَاعِى الذَى يُعيّن علاقة المرأة بالرجال وما يترتب على هذه العلاقة أي الأحوال الشخصية، فإنها لا تزال تطبق حتّى الآن رغم وجود الاستعمار ووجود حكم الكفر، ولم يطبّق غيرها مطلقا حتّى الآن.
“Adapun al-Nizamul Ijtima’iy (hukum-hukum syariat yang mengatur hubungan pria dan wanita) dan segala hal yang merupakan konsekuensinya (yakni al-Ahwal al-Shakhshiyyah), tetap menerapkan syariat Islam sampai sekarang, meskipun telah berlangsung penjajahan dan penerapan hukum-hukum kufur. Tidak diterapkan sama sekali selain syariat Islam di bidang itu sampai saat ini.”

Maka dari itu, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani sangat berkeinginan untuk bekerja di Mahkamah Syari’ah. Ternyata banyak kawannya yang pernah sama-sama belajar di al-Azhar bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Taqiyuddin an-Nabhani akhirnya dapat diangkat sebagai sekretaris di Mahkamah Shar’iyah Beisan, lalu dipindah ke Thabriya.
Namun demikian, karena mempunyai cita-cita dan pengetahuan di bidang peradilan, beliau terdorong untuk mengajukan permohonan kepada al-Majelis al-Islamy al-A’la, untuk mendapatkan hak menangani peradilan. Beliau menganggap bahwa dirinya mempunyai kecakapan untuk menangani masalah peradilan.
Setelah para pejabat peradilan menerima permohonannya, mereka lalu memindahkan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani ke Haifa dengan tugas sebagai kepala Sekretaris di Mahkamah Syar’iyah Haifa. Kemudian pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai Mushawir (Asisten Qadi) dan terus memegang kedudukan ini hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadhi di Mahkamah Ramallah sampai tahun 1948. Setelah itu, beliau keluar dari Ramallah menuju Syalu sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.
Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya al-Ustadh Anwar al-Khatib mengirim surat kepadanya, yang berisi tentang permohonan agar Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syar’iyah al-Quds. Taqiyuddin an-Nabhani mengabulkan permintaan itu dan kemudian ia diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syar’iyah al-Quds pada tahun 1948.
Kemudian, oleh kepala Mahkamah Syar’iyah dan kepala Mahkamah Isti’naf saat itu—yakni al-Ustadh Abdul Hamid as-Sa’ih—kemudian beliau diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf (banding), dan beliau tetap memegang kedudukan itu sampai tahun 1950. Pada tahun 1950 inilah, ia mengajukan permohonan mengundurkan diri, karena mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majelis Niyabi (Majelis Perwakilan).
Pada tahun 1951 Taqiyuddin an-Nabhani pindah ke Amman dan mengajar di Fakultas Ilmu-ilmu Islam (al-Kulliyah al-‘Ilmiyyah al-Islamiyyah) sampai tahun 1953. Beliau mengajar mata ajaran Thaqafah al-Islamiyyah sesuai dengan izin Dekan waktu itu, Ustadz Basyir Shiba’. Bukunya As-Shakhshiyyah al-Islamiyyah, Cetakan tahun 1952, menjadi buku ajar.
5. Aktivitas Politik
Sejak remaja, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syeikh Yusuf Taqiyuddin an-Nabhani, yang pernah terlibat dalam diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat, seperti Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan (modernisme), tokoh-tokoh free masonry, dan pihak-pihak lain yang membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah.
Perdebatan-perdebatan politik dan aktivitas geraknya di antara para mahasiswa di al-Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula kepeduliannya akan masalah-masalah politik.
Setelah kembali dari studi di al-Azhar, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani sangat memperhatikan upaya pembaharuan umat Islam yang dilakukan oleh para penjajah semisal Inggris dan Prancis. Beliau juga banyak menjalin kontak dan diskusi dengan para ulama tokoh pergerakan dan tokoh masyarakat seperti upaya membangkitkan kembali umat Islam. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani pernah beberapa saat menghabiskan waktu bersama mujahid syaikh Izzuddin al-Qasam. Beliau membantu merancang rencana untuk sebuah pergolakan revolusioner menentang Inggris dan Yahudi.
Jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi tahun 1948 memberikan keyakinan kepada Syeikh Taqiyuddin an Nabhani, bahwa hanya aktivitas yang terorganisasi dan memiliki akar pemikiran Islam yang kuat sajalah yang akan dapat mengembalikan kekuatan dan keagungan umat Islam.
Karena itu, Syeikh Taqiyuddin an Nabhani mulai melakukan persiapan yang sesuai untuk struktur partai, rujukan pemikiran dan sebagainya, setidaknya sejak 1949 ketika beliau masih menjabat qadi di al-Quds. Pada tahun 1950, beliau merilis buku pertamanya, yaitu Inqadh Filistin (Membebaskan Palestina). Beliau menunjukkan akar yang sangat dalam, bahwa Islam telah hadir di Palestina sejak abad VII, dan bahwa sebab utama kemunduran yang mendera Arab adalah karena umat ini telah menarik diri dan menyerahkan diri pada kekuasaan penjajah, dan ini adalah fakta.
Beberapa sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya yang menggaungkan seruan-seruan yang bersifat menantang, yang mampu memimpin situasi al-Azhar saat ini. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama al-Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam.
Sebenarnya ketika Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementrian Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemaninya mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau juga membangkitkan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka. Di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan. Pada setiap topik yang beliau sodorkan, hujjahnya senantiasa kuat. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani memang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.
Ketika Syeikh Taqiyuddin an Nabhani pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau senantiasa mengadakan kontak dengan para ulama yang pernah beliau kenal dan temui di Mesir. Kepada mereka Syeikh Taqiyuddin an Nabhani mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum Muslimin dan mengembalikan kemuliaandan kejayaan mereka.
Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah daging dalam jiwa itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama maupun para pemikir. Kedudukan Taqiyuddin di Mahkamah Isti’naf di al-Quds sangat membantu aktivitasnya tersebut.
Dengan demikian, Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam kesempatan ini, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam dan partai-partai yang bercorak nasionalis dan patriotis. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rusaknya kegiatan mereka selain itu, beliau juga sering menyampaikan berbagai masalah politik dalam khutbah-khutbahnya pada acara-acara keagamaan di masjid-masjid, seperti di al-Masjidil Aqsha, Masjid al-Ibrahim al-Khalil (Hebron), dan lain-lain.
Dalam kesempatan seperti itu, beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan bahwa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat dan membeberkan niat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahwa kaum Muslimin berkewajiban untuk mendirikan partai politik yang berasaskan Islam. Semua ini ternyata membuat murka Raja Abdullah bin Al-Hussain, lalu dipanggillah Syeikh Taqiyuddin an Nabhani untuk menghadapnya, terutama karena khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus.
Taqiyuddin disuruh hadir di suatu majelis lalu oleh Raja Abdullah ditanyai mengenai apa yang menyebabkan ia menyerang sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Yordania. Namun Taqiyuddin an-Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah pura-pura tidak mendengar. Ini mengharuskan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya tiga kali berturut-turut. Akan tetapi Taqiyuddin tetap tidak menjawab.
Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepadanya: “Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?” Lalu Syeikh Taqiyuddin an Nabhani berkata kepada dirinya sendiri, “Kalau aku lemah untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti?” Kemudian Syeikh Taqiyuddin an Nabhani bangkit dari duduknya seraya berkata, “Aku berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik.”
Maka marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir beliau dari majelis tersebut dan menangkapnya. Kemudian Taqiyuddin benar-benar ditangkap. Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan maaf dari beberapa ulama atas sikap Syeikh Taqiyuddin an Nabhani tersebut lalu memerintahkan pembebasannya, sehingga Syeikh Taqiyuddin an Nabhani tidak sempat tertahan lama di penjara.
Setelah kejadian tersebut Taqiyuddin kembali ke al-Quds dan sebagai akibat dari kejadian tadi, beliau mengajukan pengunduran diri dan menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas apapun dari sebuah pemerintahan.” Syeikh Taqiyuddin an Nabhani kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki Majelis Perwakilan. Namun karena sikap-sikapnya yang dinilai menyulitkan, aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk membentuk sebuah partai politik dan keteguhannya berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil pemilu menunjukkan bahwa Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dianggap tidak layak untuk menduduki Majelis Perwakilan.
Namun demikian, aktivitas politik Syaikh Taqiyuddin tidaklah mandeg dan tekadnya pun tiada pernah luntur. Beliau terus mengadakan kontak-kontak dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya berhasil meyakinkan sejumlah ulama dan qadhi terkemuka serta para tokoh politikus dan pemikir untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam. Lalu beliau juga menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi partai tersebut. Maka aktivitasnya pun menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir. Publikasi pembentukan partai ini secara resmi tersiar pada tahun 1953, pada saat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai undang-undang organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya.
Berdasarkan permohonan yang diajukan tadi, di mana pihak pemerintah diharapkan dapat memaklumi pendirian sebuah partai politik, maka Hizbut Tahrir pun lalu menyewa sebuah rumah di kota al-Quds, dan memasang papan nama yang mencantumkan nama Hizbut Tahrir. Akan tetapi Departemen Dalam Negeri Yordania lantas mengirimkan sepucuk surat kepada Hizbut Tahrir yang melarangnya untuk melakukan aktivitas.
Atas dasar surat ini, pihak kepolisian segera menyerbu rumah yang disewa Hizbut Tahrir tersebut dan mencabut papan nama yang ada di sana. Hizbut Tahrir lalu dilarang untuk melakukan kegiatan apapun. Sejak saat itu—dan bahkan sampai saat ini—Hizbut Tahrir tidak dibolehkan melakukan aktivitas dan segala aktivitasnya dilarang.
Namun demikian, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sama sekali tidak peduli atas semua itu, bahkan beliau tetap bersiteguh untuk melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah beliau tetapkan sebagai asas-asas bagi Hizbut Tahrir. Beliau sangat menaruh harapannya untuk membangkitkan umat Islam pada Hizbut Tahrir, gerakan yang telah beliau dirikan dan tetapkan falsafahnya dengan karakter-karakter tertentu yang digali dari nash-nash syara’ dan sirah Nabi SAW..
Oleh karena itu, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani kemudian menjalankan aktivitasnya secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizbut Tahrir, di mana beliau sendiri menjadi pucuk pimpinannya. Dewan pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizbut Tahrir ini sampai wafatnya tahun 1977. Sepanjang masa kepemimpinannya, Syeikh Taqiyuddin an Nabhani telah melakukan berbagai kegiatan politik yang lain. Hasil yang paling gemilang ialah beliau telah mewariskan sebuah partai politik yang bermutu tinggi, kuat, dan tersebar luas di seluruh dunia. Semua upayanya ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizbut Tahrir sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, kendatipun Hizbut Tahrir tetap tergolong partai yang dilarang keberadaannya di seluruh negara di dunia (karena ketegasan sikap menyerukan penerapan syariat Islam secara total dan ini tentu bertentangan dengan ideologi penguasa-penguasa yang ada).
Hizbut Tahrir juga telah mengeluarkan banyak selebaran (nasyrah) politik yang penting, yang membeberkan berbagai persekongkolan jahat untuk melawan umat Islam. Hizbut Tahrir juga banyak mengirimkan memorandum politik yang penting kepada para politikus dan penguasa di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan maksud agar mereka mundur dari pemerintahan dan menyerahkannya kepada Hizbut Tahrir. Atau dengan maksud memberi nasehat dan peringatan atas tindakan-tindakan untuk yang dianggap sebagai tindakan pengkhianatan kepada umat. Atau dengan maksud mengancam mereka bahwa umat suatu saat akan mengoreksi dan memperhitungkan tindakan-tindakan mereka.
Walhasil, aktivitas politik merupakan aspek yang menonjol dalam kehidupan Syaikh Taqiyuddin, karena kemampuannya yang tinggi untuk melakukan analisis politik, sebagaimana yang nampak dalam kecermatan selebaran politik yang dikeluarkan. Beliau juga banyak menelaah peristiwa-peristiwa politik, lalu mendalaminya dengan amat cermat, disertai pemahaman sempurna terhadap situasi-situasi politik dan ide-ide politik yang ada.
Maka, bila mencermati selebaran-selebaran politik yang pernah dikeluarkan, juga kitab-kitab mengenai politik yang ditulis, serta garis-garis besar langkah politik yang beliau susun untuk membina pemikiran politik shabab (pemuda) Hizbut Tahrir, akan dapat disimpulkan bahwa Syaikh Taqiyuddin memang benar-benar mempunyai kemampuan luar biasa dalam masalah politik. Beliau termasuk salah seorang pemikir dan politikus terulung pada abad XX.
6. Karya-karyanya
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani wafat pada 1 Muharram 1398 H. atau 11 Desember 1977 M.. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Syuhada’ al-Auza’i, Beirut. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani telah meninggalkan kitab-kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan yang tidak ternilai harganya. Karya-karya ini menunjukkan bahwa Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani mempunyai pemikiran yang brilian dan analisis yang cermat. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizbut Tahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, maupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial. Inilah yang mendorong sebagian peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin an-Nabhani.
Oleh karena itu, kitab-kitab Syaikh Taqiyuddin terlihat istimewa karena mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan problematika manusia. Kitab-kitab yang membahas aspek-aspek kehidupan individu, politik, kenegaraan, sosial dan ekonomi tersebut, merupakan landasan ideologis dan politis bagi Hizbut Tahrir, di mana Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjadi motornya.
Karena beraneka ragamnya bidang kajian dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqyuddin, maka tak aneh bila karya-karyanya mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik yang beliau tulis untuk memecahkan berbagai masalah politik. Belum lagi selebaran-selebaran dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah pemikiran dan politik yang penting.
Karya-karya Syaikh Taqiyuddin, baik yang berkenaan dengan politik maupun pemikiran, dicirikan dengan adanya kesadaran, kecermatan, dan kejelasan, serta sangat sistematis, sehingga beliau dapat menempatkan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan komprehensif yang diistinbat dari dalil-dalil syar’i yang terkandung dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Karya-karyanya dapat dikatakan sebagai buah usaha keras pertama yang disajikan oleh sang pemikir muslim pada era modern ini.
Karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihadnya antara lain:
Nizamul Islam
At-Takatul Al-Hizbi
Mafahiim Hizbut Tahrir
An Nizamul Iqthisadi fil Islam
An Nizamul Ijtima’i fil Islam.
Nizamul Hukm fil Islam
Ad-Dustur
Muqaddimah Dustur
Ad-Daulah al-Islamiyah
Ash Shaikh Shiyah al-Islamiyah (3 jilid)
Mafahim Siyasiyah li Hizbut Tahrir
Nazharat Siyasiyah li Hizbut Tahrir
Nida’ Haar
Al-Khilafah
At-Tafkir
Ad-Dus’iyah
Sur’atul Badihah
Nuqtatul Intilaq
Dukhul al-Mujtama’
Inqadu Falisthin
Risalah Arab
Tasalluh Mishar.
Al-Ittifaqiyyah Ats Thuna’iyyah al Mishiyyah as Suriyyah wal Yamaniyyah.
Hallu Qadiyah Falistin ‘ala At Tariqah al-Amirikiyyah wal lukkiliziyyah
Nazhariyatul Faragh aas Siyasi Haula Mashru’a Izan Hawar.
Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran mengenai pemikiran, politik dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir—dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau sebarluaskan—setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya Syaikh Taqyuddin. Di antara kitab itu adalah:
As-Siyasah al-Iqtisadiyah al-Muthla
Naqd al Ishtirakiyah al Marksiyah
Kaifa Hudimat al-Khilafah
Ahkamul Bayyinat
Nizamul Uqubat
Ahkamus Salat
Al-Fikr al Islami.
Apabila karya-karya Syaikh Taqiyuddin tersebut ditelaah dengan seksama, terutama yang berkenaan dengan aspek hukum dan ilmu usul, akan nampak bahwa beliau sesungguhnya adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fuqaha dan mujtahidin terdahulu. Hanya saja, beliau tidak mengikuti salah satu aliran dalam ijtihad yang dikenal di kalangan Ahlus Sunnah. Artinya, Syeikh Taqiyuddin an Nabhani tidak mengikuti suatu madhhab tertentu di antara madhhab-madhhab fiqih yang telah dikenal, akan tetapi beliau memilih dan menetapkan (mentabanni) ushul fiqih tersendiri yang khusus baginya, lalu atas dasar itu beliau menggali hukum-hukum syara’.
Namun perlu diingat di sini bahwa usul fiqih Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqih sunni, yang membatasi dalil-dalil shar’i pada al-Kitab, al-Sunnah, ijtihad sahabat, dan qiyas shar’i, yakni Qiyas yang illatnya terdapat dalam nash-nash syara’ semata.

Sejarah Demokrasi

Seperti yang kita sering baca dalam pelajaran sejarah atau PPKN [dulu PMP], negara yang pertama kali melaksanakan sistem demokrasi adalah Athena. Ia tepatnya berupa negara-kota yang terletak di Yunani. Menurut pelajaran yang sering kita baca, di Athena, pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Proses pemerintahan di Athena itu dimulai oleh Kleistenes pada tahun 507 sebelum Masehi dengan perubahan konstitusi dan diselesaikan oleh Efialtes pada tahun 462-461 sebelum Masehi. Efialtes melucuti kekuasaan kaum aristokrat kecuali beberapa fungsi hukum dalam perkara pembunuhan, dan beberapa tugas keagamaan. Karena tindakan ini para bangsawan membunuh Efialtes, tetapi demokrasinya tetap hidup.
Setelah kematian Efialtes, tidak ada badan politik yang lebih berkuasa daripada Dewan Rakyat. Dewan Rakyat di Athena terbuka bagi semua warga negara lelaki yang merdeka dan sudah dewasa, tidak peduli pendapatan atau tingkatannya. Pertemuan diadakan 40 kali setahun, biasanya di suatu tempat yang disebut Pniks, suatu amfiteater alam pada salah satu bukit di sebelah barat Akropolis. Dalam teori, setiap anggota Dewan Rakyat dapat mengatakan apa saja, asalkan ia dapat menguasai pendengar. Tetapi demi alasan praktis, acara resmi juga ada. Acara ini disiapkan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari 500 orang, 50 orang dari setiap suku bangsa Attika yang semuanya meliputi 10 suku. Mereka itu dipilih dengan undian dari daftar sukarelawan, yang semuanya warga negara berumur 30 tahun lebih. Panitia ini tidak mengekang Dewan Rakyat, tetapi hanya mempermudah segala langkahnya. Anggota Panitia selalu dibayar dan bertugas selama satu tahun. Sesudah selang waktu, ia dapat dipilih lagi untuk tahun kedua, tetapi tidak pernah bertugas selama lebih dari dua tahun.
Dalam Panitia itu terdapat panitia yang lebih kecil dan terdiri dari 50 orang. Panitia ini disebut Pritanea dan berkumpul setiap hari; praktis merekalah yang menjalankan pemerintahan. Susunan Pritanea diubah 10 kali dalam setahun dan ketuanya, kedudukan eksekutif paling tinggi, berganti setiap hari. Dalam teori tidak ada orang yang cukup lama memegang tampuk kekuasaan sehingga merasa mengakar di dalamnya. Tetapi dalam kenyataan kemungkinan ini terbuka bagi suatu golongan orang 10 panglima angkatan bersenjata yang langsung dipilih dari Dewan Rakyat dan bertugas selama satu tahun. Seorang panglima dapat dipilih kembali berkali-kali.
Salah seorang tokoh penting pada masa jaya Athena ialah Perikles, seorang prajurit, aristokrat, ahli pidato, dan warga kota pertama. Pada musim dingin tahun 431-430 sebelum Masehi, ketika perang Peloponnesus mulai, Perikles menyampaikan suatu pidato pemakaman. Alih-alih menghormati yang gugur saja, ia memilih memuliakan Athena:
“Konstitusi kita disebut demokrasi, karena kekuasaan tidak ada di tangan segolongan kecil melainkan di tangan seluruh rakyat. Dalam menyelesaikan masalah pribadi, semua orang setara di hadapan hukum; bila soalnya ialah memilih seseorang di atas orang lain untuk jabatan dengan tanggung jawab umum, yang diperhitungkan bukan keanggotaannya dalam salah satu golongan tertentu, tetapi kecakapan orang itu. Di sini setiap orang tidak hanya menaruh perhatian akan urusannya sendiri, melainkan juga urusan negara. … Tetapi yang benar-benar dapat disebut berani ialah orang yang sudah mengerti apa yang enak di dalam hidup ini dan apa yang menggemparkan, lalu maju tanpa gentar untuk menghadapi apa yang datang.”
Perbudakan & Diskriminasi Wanita

Nyatanya, Athena bukanlah sebuah negara yang beradab. Slogan demokrasi yang sering menjulang dengan kata-kata liberte, fraternite, dan egalite, tidak pernah terwujud di Athena. Para ahli sejarah mencatat bahwa Athena adalah daerah pertama yang mempraktikkan perbudakan. Hal itu terjadi sekitar tahun 600 SM. Diperkirakan sekitar 100 ribu penduduk Athena adalah para budak. Itu berarti meliputi hampir sepertiga hingga setengah penduduk Athena adalah budak. Setiap penduduk Athena kecuali yang teramat miskin memiliki minimal satu budak. Pun, ketika proses pemerintahan demokrasi berlangsung, perbudakan itu masih terus berjalan. Bahkan filsuf terkenal Plato memiliki 50 budak. Ia juga memiliki ratusan budak yang disewakan pada orang lain. Ironis, padahal Plato adalah salah satu konseptor negara demokrasi.
Perbudakan juga terus berlanjut meski seorang budak telah dimerdekakan. Caranya, seorang budak yang telah dimerdekakan tidak dapat disebut sebagai “orang merdeka” (free person), melainkan “orang yang dimerdekakan” (freed person) atau dalam istilah Yunani ia disebut sebagai metic. Seorang freed person memiliki hak yang lebih sedikit daripada orang merdeka. Mereka tidak dapat menduduki posisi di pemerintahan dan mereka juga harus membayar pajak spesial.
Bagaimana dengan hak-hak politik di Yunani ???? Para sejarawan menuliskan bahwa demokrasi Yunani tetap bertumpu pada aristokrasi (kaum ningrat/bangsawan), hanya penduduk dari kalangan atas saja yang diperbolehkan mengikuti pemilu. Maka, demokrasi yang dipraktikkan di Yunani tidak lebih dari sekedar rezim aristokrat.
Nasib kaum wanita yang konon bakal lebih berharga dengan demokrasi, juga tak terbukti di Athena. Bila dibandingkan dengan kondisi sosial saat itu, kaum wanita Athena hanya satu tingkat lebih sedikit di atas para budak. Sejak mereka lahir mereka tidak diharapkan untuk belajar membaca dan menulis. Tentang belajar membaca dan menulis bagi wanita, filsuf Yunani Menander menulis, “Mengajarkan seorang wanita membaca dan menulis??? Mengerikan!!!! Itu sama saja seperti memberikan umpan seekor ular berbisa dengan racun yang lebih banyak.” Pengarang dan filsuf lain pun berpendapat sama tentang wanita.
Kaum wanita di Athena terbagi menjadi tiga kelas. Yang paling rendah adalah para budak wanita, mereka melakukan berbagai pekerjaan kasar di sektor domestik (rumah), dan membantu istri majikan mereka mengasuh anak. Kelas kedua adalah para wanita penduduk biasa. Sedangkan kelas ketiga yang paling teratas adalah yang dikenal dengan sebutan Hetaerae. Tidak seperti kelompok pertama dan kedua, kaum Hetaerae mendapatkan pelajaran membaca, menulis, dan musik. Hanya saja, kalangan wanita Hetaerae ini sebenarnya tidak lebih dari kaum pelacur kelas atas.
Itulah demokrasi Athena, melestarikan perbudakan dan menghinakan kaum wantia.

Demokrasi Modern

Bisa saja para aktivis pro-demokrasi beralibi kalau itu semua adalah fase awal demokrasi. Sehingga dapat dimaklumi bila masih terwarnai nuansa primitif. Lagipula demokrasi adalah suatu ide yang berkembang sesuai dengan dinamika jaman dan kehidupan manusia.
Alibi itu terlalu berlebihan. Karena demokrasi modern pun masih menyisakan berbagai praktik anti-kemanusiaan seperti di Athena. Perbudakan misalkan, terjadi di Amerika Serikat, negara kampiun demokrat. Bahkan ia. Hal ini tercantum dalam amandemen XIII butir pertama dari konstitusi AS:
“Neither slavery nor involuntary servitude, except as a punishment for crime whereof the party shall have been duly convicted, shall exist within the United States, or any place subject to their jurisdiction.”
(Baik perbudakan ataupun kerja paksa, kecuali sebagai hukuman atas kejahatan yang sudah pasti, diperbolehkan eksis di AS, atau tempat manapun yang merupakan wilayah hukumnya).
Para founding father (pendiri negeri) Paman Sam itu juga mempraktikkan perbudakan di tengah-tengah seruan kemerdekaan dan demokrasi. George Washington contohnya, pada usia 11 tahun ia sudah memiliki 10 budak. Di usia 22 ia mempekerjakan dengan paksa 36 budak. Saat ia mati di AS ada sekitar 316 budak, dan 123 di antaranya adalah miliknya.
Hebatnya, untuk menutupi aib memalukan tersebut, pemerintah AS membangun Monumen Liberty Bell Center monumen kemerdekaan AS — di Philadelphia bersebelahan dengan area bekas George Washington menempatkan para budaknya.
“Sejarah kita sering direkayasa dan dimanipulasi (tapi) kebenarannya telah dibunuh di Philadelphia,” komentar Nash, seorang profesor sejarah di UCLA dan seorang pakar Revolusi Amerika.
Thomas Jefferson, salah seorang founding father AS sekaligus presiden pertama, malah bertindak lebih parah. Ia berselingkuh dengan salah seorang budaknya, Sally Hemmings, hingga menghasilkan dua orang anak. Ironi, karena Jefferson dipuja rakyat AS sebagai seorang pahlawan anti tiran. Salah satu ucapannya yang terkenal masih diabadikan oleh para pelajar di AS.
“Aku telah bersumpah di depan altar Tuhan untuk melakukan perlawanan terus menerus terhadap setiap bentuk tirani yang berada dalam pikiran manusia.”
Soal diskriminasi terhadap kaum wanita juga masih dipraktikkan oleh demokrasi modern. Menjelang pemilu 5 April 2004 berbagai tuntutan terhadap hak-hak politik perempuan juga masih berkumandang. Sebagian feminis menuntut kuota 30% kursi di legislatif untuk kaum wanita. Bukankah ini tanda kaum wanita masih terdiskriminasi?????
Khatimah
Jelaslah bahwa DEMOKRASI adalah sebuah ide yang cacat sejak lahir. Ia mempraktikkan dan mengesahkan kegiatan anti-kemanusiaan. Terlebih lagi dasar pijakan dari demokrasi adalah sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Untuk membela asasnya itu, demokrasi kerap melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, namun disahkan olehnya.
Hal ini terbukti di Turki. Tahun 1960 PM Adnan Mandaris, pengganti Mustafa Kemal, dari Partai Demokrasi pernah berusaha mengadopsi kembali Islam dalam masyarakat Turki. Mandaris memperbolehkan azan kembali dikumandangkan dalam bahasa Arab (sebelumnya dalam bahasa Turki, lafadz Allahu Akbar menjadi Allahu Buyuk), merenovasi mesjid yang rusak, membuka kembali fakultas ushuluddin, dan menghidupkan lagi lembaga tahfidzul Qur’an.
Namun tidak lama kemudian, muncul tentangan dari kalangan militer. Mereka menganggap kebijakan Mandaris membahayakan sekulerisme dan demokrasi. Akhirnya pemerintahan Mandaris dikudeta pada tahun yang sama. Mandaris bersama Ketua Parlemen Bulatuqan dan Menteri Luar Negeri Fatin Zaurli dihukum mati.
Maka, berharap adanya perubahan menuju kehidupan yang Islami dengan jalan demokrasi, ibarat menggantang asap, melakukan sesuatu yang sia-sia. Karenanya kaum muslimin harus sadar bahwa demokrasi telah membunuh karakter Islam dan kaum muslimin. Hanya dengan dakwah Islam-lah kejayaan Islam akan kembali bangkit. [Iwan Januar, dari berbagai sumber]
Catatan Kritis Tentang JIL
Meskipun kelahiran JIL (Jaringan Islam Liberal) Maret 2001 nampaknya membawa hal baru bagi sebagian orang, namun sesungguhnya ia bukanlah sama sekali baru. Agenda-agenda JIL sesungguhnya adalah kepanjangan imperialisme Barat atas Dunia Islam yang sudah berlangsung sekitar 2-3 abad terakhir. Hanya saja, bentuknya memang tidak lagi telanjang, tetapi mengatasnamakan Islam. Jadi istilah “Islam Liberal bukanlah suatu kebetulan, namun sebuah istilah yang dipilih dengan sengaja untuk mengurangi kecurigaan umat Islam dan sekaligus untuk menobatkan diri (sendiri) bahwa “Islam Liberal adalah bagian dari Islam, seperti halnya jenis-jenis pemahaman Islam lainnya (www.islamlib.com). Sesungguhnya “Islam Liberal adalah peradaban Barat yang diartikulasikan dengan bahasa dan idiom-idiom keislaman. Islam hanyalah kulit atau kemasan. Namun saripati atau substansinya adalah peradaban atau ideologi Barat, bukan yang lain.
Untuk membuktikan deklarasi di atas, baiklah kita lihat dua dasar argumentasinya. Yaitu : (1) hakikat imperalisme itu sendiri, dan (2) kerangka ideologi Barat (kapitalisme). Pemahaman hakikat imperialisme akan menjadi landasan untuk memilah apakah suatu agenda termasuk aksi imperalisme atau bukan. Sedang kerangka ideologi kapitalisme, akan menjadi dasar untuk menilai apakah sebuah pemikiran termasuk dalam ideologi kapitalisme atau bukan, atau untuk mengevaluasi sebuah metode berpikir, apakah ia metode berpikir kapitalistik atau bukan.
Imperalisme
Imperialisme (al-isti’mar) itu sendiri, menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Mafahim Siyasiyah li Hizb At-Tahrir (1969:13) adalah pemaksaan dominasi politik, militer, budaya dan ekonomi atas negeri-negeri yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi. Dua kata kunci imperialisme yang patut dicatat : pemaksaan dominasi, dan eksploitasi. Maka jika sebuah negara melakukan aksi imperalisme atas negara lain, artinya, negara penjajah itu akan memaksakan kehendaknya kepada negara lain, sehingga negara yang dijajah itu mau tak mau harus mengikuti negara penjajah dalam hal haluan politik, program ekonomi rancangannya, budaya dan cara berpikirnya, serta pembatasan dan penggunaan sarana militernya. Semua ini adalah demi keuntungan negara penjajah sendiri. Jika negara yang dijajah menolak atau melawan, ia akan mendapat sanksi dan hukuman dari sang penjajah. Inilah hakikat “imperialisme.”
Imperialisme ini, menurut An-Nabhani (1969:13), adalah metode (thariqah) baku –tak berubah-ubah– untuk menyebarluaskan ideologi kapitalisme, yang berpangkal pada sekularisme, atau pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din an al-hayah). Tak mungkin ada penyebarluasan kapitalisme, kecuali melalui jalan imperialisme. Atau dengan kata lain, manakala negara penganut kapitalisme ingin menancapkan cengkeramannya pada negara lain, ia akan melakukan aksi-aksi imperialisme dalam segala bentuknya, baik dalam aspek politik, militer, budaya, dan ekonomi. Berhasil tidaknya aksi imperalisme ini, diukur dari sejauh mana ideologi kapitalisme tertanam dalam jiwa penduduk negeri jajahan dan sejauh mana negara penjajah mendapat manfaat dari aksi penjajahannya itu. Jika penduduk negeri jajahan sudah mengimani kapitalisme yang berpangkal pada paham sekularisme– atau dari negeri itu dapat diambil berbagai keuntungan bagi kepentingan imperialis, berarti aksi imperialisme telah sukses.
KerangkaIdeologiKapitalisme
Kapitalisme pada dasarnya adalah nama sistem ekonomi yang diterapkan di Barat. Milton H. Spencer (1977) dalam Contemporary Macro Economics mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem organisasi ekonomi yang bercirikan kepemilikan individu atas sarana produksi dan distribusi, serta pemanfaatan sarana produksi dan distribusi itu untuk memperoleh laba dalam mekanisme pasar yang kompetitif (lihat juga A. Rand, Capitalism: The Unknown Ideal, New York : A Signet Book, 1970). Karena fenomena ekonomi ini sangat menonjol dalam peradaban Barat, maka, menurut Taqiyyudin An Nabhani, kapitalisme kemudian digunakan juga untuk menamai ideologi yang ada di negara-negara Barat, sebagai sistem sosial yang menyeluruh (An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001:26; W. Ebenstein, Isme-Isme Dewasa Ini (terjemahan), Jakarta : Erlangga, 1990).
Sebagai sebuah ideologi (Arab : mabda), kapitalisme mempunyai aqidah (ide dasar) dan ide-ide cabang yang dibangun di atas aqidah tersebut. Aqidah di sini dipahami sebagai pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Aqidah kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sebuah ide yang muncul di Eropa sebagai jalan tengah antara dua ide ekstrem, yaitu keharusan dominasi agama (Katolik) dalam segala aspek kehidupan, dan penolakan total eksistensi agama (Katolik). Akhirnya, agama tetap diakui eksistensinya, hanya saja perannya dibatasi pada aspek ritual, tidak mengatur urusan kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya (An-Nabhani, 2001:28).
Di atas aqidah (ide dasar) sekularisme ini, dibangunlah berbagai ide cabang dalam ideologi kapitalisme, seperti DEMOKRASI DAN KEBEBASAN. Ketika cabang agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang berpangkal pada ide menjadikan rakyat sebagai sumber kekuasaan-kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) sekaligus pemilik kedaulatan (pembuat hukum) (An-Nabhani, 2001:27).
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), dan kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah) (Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1993).
MengkritisiJIL
Paparan dua pemikiran di atas, yaitu tentang imperialisme dan kerangka ideologi kapitalisme, dimaksudkan sebagai pisau analisis untuk membedah JIL, untuk menjawab pertanyaan : Benarkah agenda-agenda JIL adalah kepanjangan imperialisme Barat ? Benarkah ide-ide JIL adalah ideologi? kapitalisme berkedok Islam ?
Jawabnya : IYA. Mengapa ? Sebab agenda-agenda dan ide-ide JIL dapat dipahami dalam kerangka kepanjangan imperalisme Barat atas Dunia Islam. Selain itu, ide-ide JIL itu sendiri, dapat dipahami sebagai ide-ide pokok dalam ideologi kapitalisme, yang kemudian dicari-cari pembenarannya dari khazanah Islam.
Mereka yang mencermati dan mengkritisi agenda dan pemikiran JIL, kiranya akan menemukan benang merah antara imperialisme Barat dan agenda JIL. Adian Husaini dan Nuim Hidayat dalam bukunya Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabanya (2002:3) mengutip Luthfi Asy-Syaukanie, bahwa setidaknya ada empat agenda utama Islam Liberal, yaitu agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekpresi. Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin diarahkan oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Perdebatan sistem pemerintahan Islam, kata Luthfi Asy-Syaukanie, dianggap sudah selesai, karena sudah ada para intelektual seperti Ali Abdur Raziq (Mesir), Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Madjid (Indonesia) yang mengatakan bahwa persoalan tersebut adalah masalah itjihadi dan diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin (Ibid.).
Pertanyaannya adalah, sejak kapan kaum muslimin menganggap persoalan ini sudah selesai ??? Apakah sejak Ali Abdur Raziq menulis kitabnya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm (1925) yang sesungguhnya adalah karya orientalis Inggris Thomas W. Arnold ? Apakah sejak Khilafah di Turki dihancurkan pada tahun 1942 oleh gembong imperalis, Inggris, dengan menggunakan Mustahafa kamal ? Apakah sejak negara-negara imperalis melalui penguasa-penguasa Dunia Islam yang kejam menumpas upaya mewujudkan kembali sistem pemerintahan Islam ? Dan juga, apakah nama-nama intelektual yang disebut Luthfi cukup respresentatif mewakili umat Islam seluruh dunia di sepanjang masa, ataukah mereka justru menyuarakan aspirasi penjajah ?
Yang ingin disampaikan adalah, persoalan hubungan agama dan negara, memang boleh dikatakan sudah selesai, di negara-negara Barat. Namun persoalan ini jelas belum selesai di Dunia Islam (Th. Sumartana, “Kata Pengantar dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:xvii-xviii). Dari sini dapat dipahami, bahwa tugas JIL adalah membuat selesai persoalan yang belum selesai ini. Maka ada kesejajaran antara agenda politik JIL ini dengan aksi imperliasme Barat, yang selalu memaksakan sekularisme atas Dunia Islam dengan kekerasan dan darah.
Agenda-agenda lainnya di bidang toleransi (pluralisme agama), misalnya anggapan semua agama benar dan tak boleh ada truth claim, agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali (dan tanpa ampun), dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama (astaghfirullah), tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis. Sulit sekali –untuk tak mengatakan Mustahil ‌mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan As- Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II (1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Kattolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar Katolik. (Husaini & Hidayat, op.cit., hal.110-111). Infiltrasi ide tersebut ke tubuh umat Islam dengan justifikasi QS Al-Baqarah : 62 dan QS Al-Maidah : 69 jelas sia-sia, karena kontradiktif dengan ayat-ayat yang menegaskan kebatilan agama selain Islam (QS Ali Imran : 19, QS At-Taubah : 29).
Agenda-agenda JIL tersebut jika dibaca dari perspektif kritis, menurut Adian Husaini dan Nuim Hidayat, bertujuan untuk menghancurkan Aqidah Islamiyah dan Syariah Islamiyah (Ibid., hal.81 & 131). Tentunya mudah dipahami, bahwa setelah Aqidah dan Syariah Islam hancur, maka sebagai penggantinya adalah aqidah penjajah (sekularisme) dan syariah penjajah (hukum positif warisan penjajah yang sekularistik). Di sinilah titik temu agenda JIL dengan proyek imperalisme Barat. Maka, sungguh tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa agenda JIL adalah kepanjangan imperalisme global atas Dunia Islam yang dijalankan negara-negara Barat kapitalis, khususnya Amerika Serikat.
Ini dari segi kaitan agenda JIL dengan imperialisme. Adapun ide-ide JIL itu sendiri, maka berdasarkan kerangka ideologi kapitalisme yang telah disinggung secara singkat diatas, dapatlah kiranya dinyatakan bahwa ide-ide JIL sesungguhnya adalah ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie (ed.) dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak imitasi (baca:taqlid) sempurna terhadap ideologi kapitalisme. Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat atau hadits atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar cocok dengan kapitalisme.
Ide-ide kapitalisme itu misalnya : (1) sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada sekularisme pengalaman partikular Barat‌ nampak misalnya dari penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam (Ibid., hal. xxv), dan penolakan syariat Islam (Ibid., hal.30). Demokrasi pun begitu saja diterima tanpa nalar kritis dan dianggap kompetibel dengan nilai-nilai Islam seperti adl (keadilan), persamaan (musawah), dan syura (Ibid., hal. 36). Kebebasan yang absolut tanpa mengenal batas yang nampaknya? sangat disakralkan JIL didukung dalam banyak statemen dengan beraneka ungkapan : “tidak boleh ada pemaksaan jilbab (Ibid., hal. 129), “harus ada kebebasan tidak beragam (Ibid., hal. 135), “orang beragama tidak boleh dipaksa. (Ibid., hal. 139 & 142), dan sebagainya.
Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Ide-ide? kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted. Kapitalisme dianggap benar lebih dulu secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!) untuk menilai dan mengadili Islam. Konsep-konsep Islam yang dianggap sesuai dengan kapitalisme akan diterima. Tapi sebaliknya kalau bertentangan dengan kapitalisme, akan ditolak dengan berbagai dalih. Misalnya penolakan JIL terhadap konsep dawlah islamiyah (negara Islam) (Ibid., hal. 291), yang berarti konsep ini dihakimi dan diadili dengan persepktif sekuler yang merupakan pengalaman sempit dan partikular dari Barat. Padahal sekularisme adalah konsep lokal (Barat), dan tidak bisa dipaksakan secara universal atas Dunia selain-Barat Th, Sumartana mengatakan :
“Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan antara agama dan negara, sesungguhnya dari awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara negara dan agama di bagian dunia yang lain.(Th. Sumartana, “Kata Pengantar dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal,? 2002:xiv).
Dan patut dicatat, sekularisme tak pernah menjadi konsep yang berlaku di Dunia Islam seperti saat ini, kecuali melalui jalan imperalisme Barat yang kejam, penuh darah, dan tak mengenal perikemanusian.
Penutup
Kesimpulan paling sederhana dari uraian di atas adalah bahwa agenda-agenda JIL tak bisa dilepaskan dari imperalisme Barat atas Dunia Islam. Ide-ide yang diusung JIL pun sebenarnya palsu, karena yang ditawarkan adalah kapitalisme, bukan Islam. Agar laku, lalu diberi label Islam. Islam hanya sekedar simbol, bukan substansi ide JIL. Jadi JIL telah menghunus dua pisau yang akan segera ditusukkan ke tubuh umat Islam, yaitu pisau politis dan pisau ideologis. Semua itu untuk menikam umat, agar umat Islam kehabisan darah (baca: karakter Islamnya) lalu bertaqlid buta kepada JIL dengan menganut peradaban Barat.
Jika memang dapat dikatakan bahwa JIL adalah bagian dari proyek imperalisme Barat, maka JIL sebenarnya mengarah ke jalan buntu. Tidak ada perubahan apa pun. Tidak ada transformasi apa pun. Sebab yang ada adalah legitimasi terhadap dominasi dan hegemoni kapitalisme (yang, toh, sudah berlangsung). Dan pada saat yang sama, yang ada adalah pementahan dan penjegalan perjuangan umat untuk kembali kepada Islam yang hakiki, yang terlepas dari hegemoni kapitalisme.
Jadi, Anda masih percaya JIL ? Kalau begitu, saya ucapkan selamat jalan menuju jalan buntu. Semoga tidak nabrak. [Muhammad Shiddiq Al Jawi**]
- - -
Disampaikan dalam Seminar Nasional dan Bedah Buku أ“Wajah Liberal Islam di Indonesia diselenggarakan oleh HMJ Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, di Auditorium UNDIP Pleburan, Semarang, pada hari Selasa 8 Oktober 2002.
Kepemimpinan
Memimpin kelompok, organisasi, perusahaan, apalagi negara memang tidaklah gampang. Tapi, tidak pula susah. Disebut memimpin berarti ada yang dipimpin. Ada mitra kerja (atau bisa disebut bawahan) yang akan menggalang kebersamaan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.
Jabatan pemimpin adalah sebuah amanah. Apalagi jika yang dipimpinnya adalah organisasi dakwah yang punya cita-cita adiluhung, yakni berupaya melanjutkan kehidupan Islam. Insya Allah hal itu merupakan amal shaleh, tentu saja jika ikhlas melakukannya. Karena memimpin adalah amanah, maka seorang pemimpin tidak berhak menjadikan organisasi yang dipimpinnya sebagai hak milik pribadi, sehingga merasa perlu dan wajib (menurut ukuran diri sendiri) untuk memperlakukan organisasi tersebut sesuai kehendaknya, atau merasa berhak mengorbankan bawahan dengan berlindung atas nama penyelamatan organisasi.
Menjadi pemimpin bukan berarti antikritik. Bukan pula harus merasa benar sendiri. Sehingga anekdot dalam kepemimpinan akhirnya berlaku: 1). Pemimpin tak pernah salah. 2). Jika pemimpin bersalah, kembali kepada pernyataan pertama. Tentu ini sangat menggelikan dan sungguh merupakan kepemimpinan yang kritis (baca: mengkhawatirkan).
Kepemimpinan yang baik memang bukan berarti tanpa cela. Sebagaimana halnya manusia yang bertakwa bukanlah yang selalu benar dalam menjalani kehidupannya, tapi manusia yang bertakwa adalah ketika ia berbuat salah, segera bertaubat. Itu artinya, pemimpin yang baik bukan berarti selalu benar, apalagi merasa benar sendiri. Maka, mendengarkan masukan dari bawahan, adalah hal yang sangat dianjurkan. Karena apa? Karena pemimpin tidak ma’sum. Masih ada celah untuk lupa, termasuk berbuat maksiat. Jadi, ada baiknya mendengarkan masukan, saran, bahkan mungkin juga keluhan dan harapan dari bawahan. Tak ada salahnya bukan?
Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah hikmah yang kamu dengar dari siapa saja, sebab hikmah terkadang diucapkan bukan oleh orang yang bijak. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja.(HR al-Askari)
Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pernah berkata, “Man ahsanal istima taajjalal intifa –Siapa yang paling baik mendengarkan, dia akan cepat mendapatkan manfaat. Beliau juga pernah mengingatkan kita untuk menyimak “isi pembicaraan dan bukan “siapa yang berbicara. “Perhatikanlah apa yang dikatakan, dan bukan siapa yang berkata”
Jika sebagai pemimpin menginginkan ketaatan yang kritis (cerdas) dari bawahannya, bukan ketaatan yang kritis (mengkhawatirkan), maka tentunya harus memberikan teladan yang baik kepada bawahan. Bagaimana pun juga, pemimpinlah yang seharusnya dan punya kewajiban memberikan teladan, karena seorang pemimpin lebih mungkin untuk didengar dan dipercayai. Lagi pula, bagaimana mungkin diangkat dan dipilih jadi pemimpin jika tidak bisa dijadikan teladan. Seseorang yang memimpin pasti umumnya lebih baik dari orang kebanyakan. Lebih baik semangatnya, lebih baik ilmunya, lebih baik kesabarannya, lebih baik segalanya.
Seorang pemimpin dikatakan telah gagal dan kepemimpinannya dikategorikan kritis alias mengkhawatirkan adalah ketika seorang pemimpin tak mampu memimpin bawahannya. Bahkan lebih memilih bermusuhan dengan bawahannya yang berbeda sikap dan pendapat dengannya, ketimbang berusaha duduk bersama dan melakukan dengar-pendapat dengan bawahannya yang berseberangan itu. Siapa tahu bisa dicari jalan keluar yang terbaik. Sebab, kita bukan hanya ingin bersama, tapi juga bersatu. Kita juga tidak hanya ingin diangap bilangan, tapi juga diperhitungkan[O. Solihin]