Selasa, 09 Juni 2009

Ilmu dan Agama dalam Bingkai Fil. Ilmu

HUBUNGAN ILMU DAN AGAMA


A. Pendahuluan
Kiranya sudah sejak dua Abad silam perkembangan dunia sains berikut turunannya tekhnologi cenderung berwatak ateistik-materialistik, hasilnya pun kerap kali mengancam eksistensi agama. Dengan berlandaskan pada metafisika yang bertentangan dengan agama, teori-teori ilmiah sains cenderung menyudutkan agama, seperti teori penciptaan alam semesta, asal-usul manusia, hubungan alam dengan Tuhan dan sebagainya.
Fenomena ini mencapai titik puncaknya tatkala Charles Darwin mempopulerkan teori evolusi, lewat karyanya “The Origin of Species”. Sebuah penemuan baru yang banyak mendapatkan cekaman dan penuh kontroversial, namun mampu meruntuhkan doktrin dan keyakinan kuat kaum beragama mengenai misteri kemunculan manusia. Gagasan ini kemudian diikuti oleh pandangan para Darwinisme mengenai fenomena alam, yang keberadaannya dianggap hanya faktor kebetulan belaka, dan tidak ada agen atau kreator yang menciptakannya (termasuk Tuhan).
Keradikalan sains modern dengan coraknya yang ateistik-materialistik itu dianggap oleh kaum agamawan sebagai sesuatu yang membahayakan. Dari kaum agamawan, paling tidak ada tiga corak dalam merespon atau menanggapi keradikalan paradigma sains modern yang ateistik-materialistik ini. Pertama, kelompok agamawan yang berusaha mempertahankan doktrin dan kepercayaannya dengan tidak memperdulikan penemuan sains modern (mereka mengisolasi diri dari dunia sains modern), kedua, meninggalkan tradisi dan mencoba mencari titik temunya dengan sains modern, dan ketiga berusaha merumuskan kembali konsep keagamaan secara ilmiah dan kontemporer (upaya untuk menyatukan ilmu dan agama yang dilakukan oleh integralisme ).
Selanjutnya isu tentang perdebatan atau perjumpaan antara sains dan agama adalah turunan dari permasalahan ini, dan menjadi genre tersendiri di dunia keilmuan. Di tangan para teolog/agamawan dari Barat, perdebatan antara sains dan agama menghasilkan gagasan “sains teistik”, yaitu: sains yang sensitive terhadap keyakinan dan ajaran agama. Sementara dalam konteks Kristen kontemporer, Ian Barbour mendasarkan pendekatan “integrasi” (integrasi teologis) dalam upayanya mempertemukan sains dan agama dengan empat tipologinya yaitu; konflik, independensi, dialog dan integrasi. Juga John F. Haught yang menggunakan pendekatan konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi.
Sementara dalam Islam hubungan antara sains dan agama telah menjadi topik menarik selama lima puluh tahun terakhir ini. Gagasan mengenai “sains Islami” atau “Islamisasi sains” merupakan reaksi atas sains modern yang ateistik-materialistik tersebut. “Sains Islami” ini pada mulanya dipopulerkan oleh para pemikir muslim seperti Sayyed Hossein Nasr, Ziauddun Sardar, Ismail al-Faruqi, al-Attas dan akhir-akhir ini Mehdi Golshani. Di mana pemikiran mereka kerap kali dilabeli dengan “islamisasi ilmu”. Meskipun gagasan mereka berebeda, semuanya bergerak pada lapangan dan tingkat yang sama yaitu tingkat epistemologi dan sedikit menyentuh aspek metafisika.

B. Hubungan Ilmu dan Agama

Sesungguhnya ide dan kontroversi tentang integrasi ilmu dan agama di berbagai kalangan umat Islam tidak bisa dipungkiri. Kalau kita telaah ulang ternyata gagasan integrasi ilmu dan agama sudah lahir bersamaan dengan munculnya Islam, hal tersebut dibuktikan dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban Islam. Namun lambat laun hal tersebut pudar dan bahkan hilang dari umat Islam, kita lihat bagaimana kemudian Barat merangkak menuju kebangkitannya melalui penerjemahan karya ulama-ulama klasik Islam, namun sayang di saat yang sama justru umat Islam diam bahkan mundur dari kemajuan.

Melihat kondisi tersebut gagasan integrasi tersebut sungguh amat terasa urgensinya sekarang ini, ia tidak hanya sekedar mempertegas bahwa pandangan dikotomis antara ilmu dan agama (Islam) tidak lagi produktif. Namun juga untuk menegaskan bahwasanya Islam sesungguhnya bisa difahami melalui berbagai perspektrif, karena Islam bukan ajaran yang tertutup dan menutup diri. Ia bisa didatangi dan difahami oleh siapapun melalui berbagai jalan variatif sekalipun. Karena itu perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern ini sangatlah bermanfaat sebagai salah satu alat untuk memahami keluasan dan kemahabesaran Tuhan dan ajaranNya; Islam .

Hubungan ilmu dan agama bisa seperti yang disebutkan oleh Einstein, yakni "ilmu tanpa agama lumpuh dan agama tanpa ilmu buta". Karena agama adalah jiwa ilmu adalah empirisnya, agama adalah cahaya ilmu adalah lampunya, agama yang memberi kebahagiaan ilmu yang memberi kemudahan, dan lain sebaginya. Ini menunjukkan relasi yang sangat bertautan, mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa landasan agama, manusia bisa melakukan apa saja, kesadaran eistein setelah teorinya tentang atom telah menciptakan malapetaka di dunia ini dengan di jatuhkannya bom atom di Hiroshima dan nagasaki. Penemuan tekhnologi atom di satu sisi mendatangkan dampak yang baik (Peradaban yang maju), di sisi yang lain dapat menimbulkan bencana (menghancurkan peradaban)

Nalar atau logika dan hasilnya yang berupa ilmu pengetahuan memang bisa berkembang dan liar tapi untuk menerapkannya perlu moralitas atau tanggung jawab terhadap kehidupan alam semesta serta isi alam itu sendiri. Karena fungsi kemajuan ilmu pengetahuan bukan untuk tujuan destructive tapi constructive di sinilah peran agama harus benar-benar sejalan dengan ilmu pengetahuan.

Contoh yang sederhana adalah penggunaan kondom itu, tujuan utama adalah untuk menurunkan angka kelahiran agar pertumbuhan umat manusia dapat terkendali sehingga dapat menyeimbangkan antara kebutuhan dan priduksi pangan dunia. tapi bagi orang-orang yang tidak bermoral (tidak bertanggung jawab) di salah gunakan untuk couple yang belum sah dalam perkawinan ...

Jadi ilmu pengetahuan dalam perkembangannya harus di tuntun oleh agama agar tidak terjadi kehancuran, karena ilmu pengetahuan bagaikan pisau beda yang dapat dipergunakan untuk membunuh atau memperpanjang kehidupan seseorang, tergantung pemakai pisau tersebut, bermoralkah atau tidak? Sehingga dokter yang tidak bermoral (bertanggung jawab) akan menggunakan pisau bedah untuk menggugurkan kandungan dan membunuh janin di dalamnya tanpa belas kasihan.

Tentu saja yang dimaksud dgn "ilmu dan agama" di sini adalah bagian2 dari agama yang berhubungan dengan ilmu itu sendiri. Agama itu cakupannya memang sangat luas. Seorang ahli Biologi, ahli fisika, ahli kelautan, ahli perbintangan (dgn masing2 kapasitasnya) akan menyatukan ilmunya dengan agama yg haq. Agama yang menyinggung biologi, fisika, laut, bintang, bumi..etc . Perbedaan antara agama dan sains tentu ada dan dalam beberapa hal perbedaan itu memang diperlukan agar tidak terjadi kekacauan epistimologis dalam menguraikan suatu permasalahan .Ukuran sains harus dibuktikan secara empiris, namun kebenaran agama tidak harus. Namun realita bahwa banyak orang yang taat beragama, banyak melakukan dzikir dan ibadah sehingga hidupnya menjadi tenang dan berarti adalah bukti ilmiah juga. Oleh karena itu, pada titik tertentu keduanya akan beseberangan jauh dan pada titik tertentu keduanya saling bertemu.
Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah pertama, ilmu dan agama memiliki empat hubungan, meliputi: konflik, independen, dialog dan integrasi . Integrasi juga memiliki beberapa tipe, yaitu integrasi teologis (Ian Barbour), agama sebagai konfirmasi ilmu (John Haught), integration of knowledge (Oliver L. Reiser), Islamisasi ilmu (Naquib Al Attas dan Ismail Raji Al Faruqi), dan pengilmuan Islam (Kuntowijoyo).
Kedua, konsep integrasi ilmu dan agama dalam perspektif Filsafat Mullâ Sadrâ merupakan integrasi filosofis yang dibangun di atas landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Secara ontologis hubungan ilmu dan agama adalah integratif-interdependentif, yaitu ilmu dan agama saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan tidak ada agama tanpa ilmu. Secara epistemologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-komplementer, yaitu seluruh metode yang diterapkan dalam ilmu dan agama (panca indera, rasio, intuisi dan wahyu) secara sinergis diterapkan dalam menemukan kebenaran. Secara aksiologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-kualifikatif, artinya seluruh nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang lain. Ilmu tidak bebas nilai, ilmu tidak hanya berhubungan dengan nilai kebenaran, tetapi juga dengan nilai kebaikan, keindahan dan keilahian .

C. Scientiesme Vs Agama

Meskipun agama dan ilmu pengetahuan bisa disimpulkan saling berintegritas, namun jika agama dipandang sebagai tujuan hidup satu-satunya (mutlak untuk semua), maka para pemeluknya bisa saling membakar sarana ibadah agama lain atau hal-hal lain demi tercapainya kebenaran agama yang dianutnya. Demikian juga science, jika dianggap sebagai tujuan hidup maka ada kemungkinan saling membunuh jika melihat teori orang lain hampir berhasil. Tetapi jika dianggap sebagai alat maka bisa saling membantu .
Dengan kata lain, scient oke, scient bisa diterima agama, tapi scientisme tidak bisa kita dan agama terima. Bagaimanapun juga sains dan tekhnologi tidak dapat bebas milai, sebab keinginan manusia bersifat subyektif.

Tidak ada komentar: