Jumat, 15 Januari 2010

SEKULARISME ; BIANG KEMAKSIATAN

Setelah kasus Lia Eden, Yusman "Gus" Roy, dan Ahmadiyah, Oktober lalu, kita disuguhi berita terkait Suwarno (45 thn) yang sedang berdiri melipat kedua tangan di dada seperti layaknya seorang Muslim yang berdiri dalam shalat. Kedua matanya terpejam rapat-rapat. Bibirnya komat-kamit. Anehnya, bukan surah al-Fatihah yang dibaca. Tidak ada gerakan tangan atau tubuh lazimnya umat Islam bertakbir dalam shalatnya. Ternyata kiblatnya pun bukan Ka’bah di Makkah al-Mukaramah, tetapi dalam ibadahnya itu, Suwarno mengaku menghadap ke Gunung Carmel, Israel (Uka, Palestina). Warga Dusun Ringin Putih, Desa Ringin Pitu, Kecamatan Kedung Waru, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur itu ternyata menggumamkan doa berbahasa Indonesia. Pasalnya, ia kini bukan Muslim lagi, tetapi sudah beralih menjadi penganut Baha’i.
Menurut Sekretaris Desa Ringinpitu Karnu, penganut Baha’i di desanya setidaknya ada 40 orang, malah sekabupaten Tulungagung ada 157 orang. Karnu pun menyatakan, mereka semua tadinya beragama Islam. Namun, sejak tahun 1980-an, datanglah seseorang yang bernama H. Yusuf. Lalu satu-persatu warga Tulungagung murtad dan memeluk Baha’i. mereka tidak lagi mempercayai adanya akhirat, tidak mau membayar zakat dan puasanya pun hanya 19 hari.
Itulah salah satu modus pemurtadan di tengah-tengah kaum Muslim. Selain itu masih banyak lagi bermunculan aliran aneh yang menyesatkan di negeri yang mayoritas Muslim ini, menyusul aliran sesat Ahmadiyah yang tidak kunjung dilarang Pemerintah.
Islam memang tidak memaksa siapa saja untuk memeluk agama Islam. Namun, setelah seseorang memilih Islam sebagai agamanya, maka sejak saat itu ia terikat hukum Islam. Salah satu hukum tersebut adalah mengharamkan setiap Muslim keluar dari agama Islam dengan alasan apapun. Jadi, setiap orang yang murtad wajib didakwahi dalam waktu tertentu, misal 3 hari, agar segera bertobat. Jika dalam batas waktu tersebut tetap saja ia tidak mau bertobat maka negara wajib menghukum-nya dengan hukuman mati. Ketentuan ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Ibnu Abbas ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang mengganti agamanya (keluar dari Islam), bunuhlah.” (HR al-Bukhari).
Belum lagi praktik kemusyrikan lain yang sudah dianggap biasa, seperti memberikan sesajen kepada arwah leluhur dan praktik perdukunan. Itu semua merupakan kemaksiatan di bidang akidah yang tidak bisa ditoleransi lagi.
Namun, alih-alih Pemerintah memberantas-nya, malah menyanjung upacara sesajen itu sebagai warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Jadi, tidak aneh jika sering dijumpai pembangunan gedung atau jembatan masih didahului dengan upacara adat dengan sesaji kepala kerbau untuk ditanam di lokasi, bersamaan dengan peletakan batu pertama, yang biasanya dilakukan oleh pejabat tinggi atau seorang publik figur.
Bahkan, Praktik perdukunan kini dikemas dalam format sms dan diiklankan dalam televise, misalnya dengan menjanjikan akan mengubah nasib pemirsa televisi yang mengirim sms kepadanya. Benar saja, baru saja dua minggu diiklankan, seperti yang diungkap Detik.com, sang Dukun sudah menerima 70 ribu sms. Jika dari satu sms saja keuntungan yang didapatnya 1000 rupiah maka dalam dua minggu itu Ki Joko meraup untung 70 juta rupiah. Lantas siapa yang nasibnya berubah? Si Dukun atau masyarakat? Janganlah kita mau dibodohi dengan bualan serendah ini.
Maraknya aliran sesat dan praktik kemusrikan di negeri yang mayoritas Muslim ini terjadi lantaran diterapkannya sekularisme. Sekularisme adalah ideologi yang sangat berbahaya karena memisahkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dari syariah Islam. Akibatnya, masyarakat menjadi bodoh karena tidak bisa membedakan dengan baik mana yang benar dan mana yang salah. Manusia digiring menjauh dari kebahagian sejati hanya untuk kesenangan sesaat.
Bukan hanya masyarakat bisa yang tergiur kesenangan sesaat tersebut. Aparat pemerintah dan wakil rakyat pun tidak luput dari wabah sekularisme. Keberkahan negeri ini pun dicabut diganti dengan berbagai macam bencana.
Padahal menurut Fahmi Amhar, Dosen Pasca Sarjana Universitas Paramadina, dalam orasinya pada Kongres Mahasiswa Islam Indonesia 18 Oktober lalu di Jakarta, SDA Indonesia sangat melimpah. Dari pendapatan hutan saja, dengan metode yang paling lestari sesuai syariah, dengan penebangan 5% setiap hektar dari 104 juta hektar hutan pertahun, akan didapat laba bersih setidaknya Rp 2080 triliun. Angka yang cukup fantastik, karena APBN 2009 saja hanya sekitar 1000 triliun.
Itu baru dari hutan; belum dari potensi laut, yang luasnya 75 persen dari seluruh luas laut dan daratan Indonesia; ditambah lagi potensi mineral dan energi. Namun potensi yang besar tersebut tidak bisa mengentaskan seluruh rakyat Indonesia ini dari kemiskinan. Karena diterapkannya ekonomi kapitalisme, kekayaan tersebut hanya dinikmati oleh pengusaha asing terutama Amerika, aparat dan wakil rakyat saja. Rakyat yang mayoritas negeri ini hanya bisa gigit jari.
Padahal Allah SWT telah mewajibkan pengelolaan SDA oleh negara untuk kesejahteraan publik dan tidak boleh memberikan konsesi kepada pihak swasta dalam negeri maupun asing. Namun, Pemerintah malah menerapkan hal yang sebaliknya.

Mental Terjajah
Satu contoh sederhana saja, dengan iming-iming akan membuka lapangan kerja di perkebunan bagi warga setempat, aparat dengan senang hati memberikan konsensi kepada asing. Di Riau, misalnya, dengan izin investasi perkebunan, sebuah perusahaan asing langsung untung minimal Rp 7,4 triliun setelah mendapat konsensi 20.000 hektar. Menebang habis hutan mendapat untung Rp 400 juta perhektar, sedangkan membangun kebun hanya Rp 30 juta perhektar. Jadi, menurut Fahmi Amhar, keuntungan per 20.000 hektar tersebut 7,4 triliun, praktis tanpa modal!
Kondisi ini dimanfaatkan oleh para korporasi dunia untuk melobi para politisi negeri ini untuk membuat lebih banyak lagi UU yang semakin memudahkan dan legal lagi bagi mereka untuk mengeruk SDA.
Walhasil, menurut Fahmi, makin hari makin banyak korporasi asing di negeri ini dari sektor hulu, seperti emas dan migas, hingga sektor hilir seperti pasar eceran. Sebaliknya, anak negeri cukup puas sebagai pekerja korporasi itu.
Aparat senang mendapatkan komisinya, apalagi korporasi itu rajin membayar pajak. Padahal pada saat yang sama lingkungan menjadi rusak, teknologi semakin tidak dikuasai, utang luar negeri Indonesia semakin menggunung.
Pada APBN 2009 saja anggaran untuk membayar bunga utang Rp 109,5 triliun; lima kali lipat dari anggaran kesehatan. Pada saat yang bersamaan pula melalui berbagai media massa dipertontonkan kekusutan birokrasi dan manajemen pemerintahan Indonesia versus efisiensi birokrasi dan manajemen negara Amerika.
Hasilnya, bangsa ini semakin rendah diri pada kemampuan dan produk sendiri serta semakin terkagum-kagum pada produk luar. “Oleh karena itu, kita secara sadar atau tidak sedang membiarkan diri terus dijajah, langsung atau tidak langsung, melalui UU dan budaya,” ujar Fahmi.
Bahkan orang nomor satu di negeri ini, ketika masih menjabat sebagai Menko Polkam pun, meski memiliki badan yang tinggi besar dan tegap, karena tidak mengemban ideologi Islam, bermental terjajah pula. Seperti dikutip http://english.aljazeera.net/English… Archiveld=4965 pada 2003 lalu saat mengunjungi Amerika, SBY menyatakan, “I love the United State, with all its faults. I consider it my second country (Saya cinta Amerika, dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya negeri kedua saya).”
SBY pun membuktikan ucapannya dengan menelan mentah-mentah ekonomi kapitalisme mazhab neoliberal yang disodorkan Amerika. DPR periode lalu pun mengesahkan berbagai macam UU yang kental dengan semangat neolib itu, di antaranya UU Otonomi Daerah, UU Sumber Daya Air, UU Mineral dan Batubara, UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Badan Hukum Pendidikan, dll.
Jadi, legal hukumnya sudah dibuat, papar Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, nah tinggal pelaksanaannya saja. Untuk itu, harus ada orang yang menjaga pelaksanaannya agar sesuai dengan agenda neolib tersebut. Makanya Pemerintah bertugas untuk memastikan orang-orang yang akan menjalankan ekonomi neoloberal itu tetap berjalan dengan lancar. Karena itu, dipilih orang-orang yang sangat istiqamah menjalankan neoliberal untuk menduduki posisi kunci di dalam kabinet SBY tersebut. Di antaranya adalah Sri Mulyani, Mari Elka Pangestu, Purnomo Yusgiantoro dan Endang Rahayu Sedyaningsih.

Bidang Sosial
Ada sebuah istilah “Jika kamu ingim nerubah suatu bangsa, rubahlah pemudanya. Dan jika kamu ingin nerusak suatu bangsa, maka rusaklah pemudanya. Kemaksiatan di dalam sistem sosial, terutama di bidang pergaulan pria dan wanita, semakin meningkat pesat. Pengusung liberalisme pun secara massif mengkampanyekan pergaulan bebas. Di antaranya melalui film remaja dan berbagai sinetron, seperti kisah pelacuran terselubung dalam film Virgin atau Buruan Cium Gue yang mengajak remaja dan kalangan mahasiswa untuk melakukan seks bebas.
Namun, Pemerintah tutup mata pada aktivitas perusakan moral bangsa itu. Bukti lainnya, ujar Pengamat Sosial Tatty Elmir, setelah diberlakukannya UU Informasi dan Transaksi Elektronik, setidaknya ada 2000 video porno di internet yang ‘dibintangi’ pelajar Indonesia tetap saja eksis. Pelaku sekaligus korban ini bukan saja hanya pelajar dari kota-kota besar tetapi juga dari Nganjuk, Jombang, Pacitan, Gowa, Minahasa dan Lampung. Beberapa situs porno berbayar masih eksis bahkan tetap menggunakan fasilitas perbankan dalam negeri.Berdasarkan data Depkominfo pada 2007, ada 25 juta pengakses internet di Indonesia. Konsumen terbesar atau 90 persennya adalah anak usia 8-16 tahun, 30 persen pelaku sekaligus korban industri pornografi adalah anak.
Dua dari lima korban kekerasan seks usia 15-17 tahun disebabkan internet; 76 persen korban eksploitasi seksual karena internet berusia 13-15 tahun. Itu baru penelitian terkait dengan pornografi melalui internet, belum lagi melalui media yang lain. Akibatnya, suburlah praktek aborsi. Pada 2008, Voice of Human Rigths melansir aborsi di Indonesia menembus angka 2,5 juta kasus; 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja di bawah usia 20 tahun.

Biang Maksiat
Segala kemaksiatan itu terjadi lantaran masyarakat negeri ini baik yang menjadi rakyat, wakil rakyat maupun aparat mengaku beragama Islam, alih-alih menerapkan ideologi Islam, malah menuhankan ideologi sekularisme buatan penjajah. Kalaupun ada aturan Islam yang diterapkan penguasa, bukan berangkat dari keyakinan bahwa itu merupakan kewajiban dari Allah SWT, tetapi karena menganggap bahwa aturan tersebut menguntungkan secara finansial bagi para aparat terkait yang melegislasikan dan menerapkan aturan tersebut dan tidak bertentangan dengan misi Amerika di Indonesia. Jelas, penerapan hukum tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai hukum Islam, tetapi tetap saja terkategori hukum sekular; karena diterapkannya hukum tersebut berdasarkan asas manfaat, bukan halal-haram. Apalagi secara faktual sebagian besar hukum Islam lainnya ditinggalkan dengan alasan ketinggalan zaman dan melanggar HAM atau karena sebagian besar anggota Legislatif tidak setuju.
Di sinilah, ujar Rokhmat Labib, letak perbedaan yang mendasar antara pandangan Islam dan ideologi sekularisme dalam memandang maksiat (kejahatan). Setiap manusia di dunia ini pasti membenci tindak kejahatan dan tidak ingin kejahatan itu menyebar luas dan merajalela. Namun, yang menjadi masalah saat ini adalah mana saja yang terkategori kejahatan dan mana saja yang sebaliknya; setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, bergantung pada ideologi yang dianutnya. Jika orang tersebut berideologi Islam, ia pasti akan memandang murtad dari Islam adalah kejahatan. Sebaliknya, jika orang tersebut mengemban sekularisme, yang dikenal dengan istilah demokrasi itu, memandang keluarnya seseorang dari agama Islam bukan tindak kejahatan.
Begitu juga dengan bunga bank, lokalisasi perjudian dan pelacuran, privatisasi BUMN dan SDA, membuat UU yang bukan bersumber dari al-Quran dan al-Hadis. Itu semua dalam Islam adalah bentuk kejahatan, tapi demokrasi malah memandang sebaliknya.
Nah, menurut Rokhmat, kejahatan yang paling besar atau biangnya segala kejahatan ialah diterapkannya sistem demokrasi, karena telah memposisikan Allah SWT di bawah anggota DPR. Pasalnya, ketika penguasa hendak menerapkan hukum Allah SWT, meskipun hanya satu kewajiban, menutup aurat misalnya, harus mendapat persetujuan DPR. Kasus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi merupakan salah satu buktinya.
Jelas itu merupakan kemaksiatan yang tiada bandingannya, karena mensejajarkan Allah dengan makhluk saja sudah terkategori musyrik. Ini malah menjadikan otoritas makhluk di atas Allah SWT.


source : hizbut-tahrir.or.id dg beberapa perubahan

Minggu, 03 Januari 2010

HOS Cokroaminoto: Aktif Memperjuangkan Syariah

Haji Oemar Sait (HOS) Cokroaminoto lahir di Desa Bakur, Madiun Jawa Timur 16 Agustus 1883. Ia anak kedua dari dua belas bersaudara, putra dari Raden Mas Cokro Amiseno, seorang Wedana Kleco dan cucu RT Adipati Negoro Bupati Ponorogo. Lahir dari keluarga bangsawan tak membuatnya bersikap angkuh, justru karena itulah ia akhirnya menjadi sebuah motor penggerak kemerdekaan bagi Indonesia saat semua manusia tertidur dalam belaian kompeni Belanda. Dialah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda dengan ideologi Islam hingga mengenyahkan penjajah dari Bumi Nusantara.
Setelah menamatkan studi di Oplayding School Foor Inladishe Ambegtenaren (OSVIA), sekolah pegawai pemerintahan pribumi Magelang, ia mengikuti jejak kepriayian ayahnya sebagai pegawai pangreh praja walaupun akhirnya ia tinggalkan karena muak dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan.1
Tahun 1905 Cokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan dagang, di samping ia juga belajar di sekolah malam Hogore Burger School. Bersama istrinya, Suharsikin, ia mendirikan rumah kos di rumahnya, yang nantinya melalui rumah inilah Cokro menyalurkan ilmunya dalam agama, politik dan berorasi yang akhirnya menjadi cikal bakal pembentukan tokoh-tokoh penting di Indonesia; seperti Soekarno yang nasionalis, SM Kartosuwirjo yang Islamis dan Muso-Alimin yang komunis.
Rakyat yang tertindas oleh penjajah kolonial Belanda secara ekonomi dan politik telah mengusik pemikiran dan hatinya. Cokroaminoto pun ‘mengejawantahkan’ kegundahan hatinya melalui statemen, “Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tenteram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka.”2
Beliau juga mengatakan bahwa saat itu telah terjadi Jahiliah modern. “Kalau alat-alat pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak pejabat sampai bawahan, sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, yakinlah negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya. Sebab, segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suap dan sebagainya yang secara terang-terangan merugikan negara, dilakukan dengan aman oleh mereka; rakyat yang menjadi korban.”3
Apa yang disampaikan oleh Cokroaminoto tampak jelas bahwa syariah Islam dijadikan sebagai landasan pikiran, perasaan dan hatinya. Oemar Said juga menyatakan, “Tidak bisa manusia menjadi utama yang sesungguhnya, tidak bisa manusia menjadi besar dan mulia dalam arti kata yang sebenarnya, tidak bisa ia menjadi berani dengan keberanian yang suci dan utama, kalau ada banyak barang yang ditakuti dan disembahnya. Keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian yang sedemikian itu hanyalah bisa tercipta karena ‘tauhid’ saja. Tegasnya menetapkan lahir batin: tidak ada sesembahan melainkan Allah saja.”4
Inilah komitmen diri seorang HOS Cokroaminoto.
Untuk merealisasikan cita-cita perjuangannya, yakni menuntut Indonesia bersyariah, ia masuk ke dalam Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh H. Samanhudi di Solo, sebuah pergerakan pertama Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Tujuan SDI adalah kemerdekaan dan pemberlakuan syariah Islam. Sejak masuknya ia ke dalam SDI, SDI berubah menjadi sebuah organisasi yang besar dan menakutkan bagi kolonial. Kemahirannya serta kepiawaiannya berpolitik dalam menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan memihak kepentingan rakyat membuat SDI begitu digandrungi rakyat pribumi. Apalagi setelah SDI berubah menjadi SI dan ia menjadi pemimpin SI. Lewat Cokro tujuan SI mulai diperjelas, yakni kemerdekaan Indonesia dan pemberlakuan syariah Islam bagi segenap lapisan rakyat.
Karena aktivitas politiknya, Belanda akhirnya menangkap Cokro pada tahun 1921 karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat pribumi walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah cobaan yang lazim diterima para penegak syariah Islam di seluruh dunia.
Pada tanggal 14-24 Juni 1916 diadakanlah Kongres Nasional pertama di Bandung. Di dalam kongres tersebut Cokro mengupas tentang pembentukan bangsa dan pemerintahan sendiri, sebuah langkah yang sangat berani saat itu karena bagi rakyat pribumi kemerdekaan adalah hal yang tabu untuk disampaikan; suatu langkah politik yang benar-benar berani. Cokro membangun opini rakyat yang belum mengerti politik untuk berpihak terhadap perjuangannya, yaitu menuntut Indonesia merdeka dan bersyariah Islam.
Saat itu pemerintah kolonial masih kuat apalagi saat itu Belanda masih menerapkan peraturan Reegerings Reglement (RR) sebuah peraturan yang berisi larangan berpolitik, berkumpul untuk membahas perjuangan kemerdekaan. Otomatis Cokro saat itu harus berhadapan dengan dua lawan, yaitu Belanda dan Pangreh Praja yang menjadi kaki tangan Belanda.
Pada tahun 1924, Cokro mulai aktif dalam komite-komite pembahasan Kekhilafahan yang dicetuskan pemimpin politik di Timur Tengah, sebuah langkah untuk memperkuat barisan menuju kemerdekaan dan kekhalifahan dunia.5
Bagi Cokro, Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan dipersatukan sebagai dasar kebangsaan yang hendak di proses menuju Indonesia. Sebuah spirit besar muncul dari diri Cokro, yakni “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”. Sungguh bahwa apa yang diharapkan Cokroaminoto adalah menjadikan syariah Islam sebagai solusi atas permasalahan negeri. Tokoh mercusuar syariah Islam ini wafat pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Amelz , H.O.S TJOKROAMINOTO, Hidup dan Perdjuangannja, Bulan Bintang. Sumber: al-Ikhwah Edisi 3 Tahun I, Maret 2009 M
2 Amelz , ibid.
3 Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950
4 Amelz, 1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
5 Amelz , ibid.

KH Hasyim Asy’ari dan NU: Pejuang Syariah

Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”
Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924).
Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam.
Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah (cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.
Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah.
Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua); dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam. Dalam kerangka ini NU pernah mengukuhkan pemerintah Soekarno sebagai waliyy al-amri adh-dharûri bi asy-syawkah. Adanya pengukuhan ini merupakan kebutuhan syar’i yang terkait dengan masalah perwalian pernikahan, khususnya wali hakim, di mana hanya sah apabila diangkat oleh pemerintah yang sah pula secara syariah. Dalam kasus ini pemerintah Soekarno untuk sementara masih dapat ditoleraransi sebagai pemerintah yang sah secara syariah. Namun, karena sifatnya yang belum kâffah maka dikatakan adh-dharûri. Penggunaan kata adh-dharûri (sementara) yang disifatkan pada kata waliyy al-amri menunjukkan adanya pengakuan, bahwa proses perjuangan menuju formalisasi syariah belum selesai. Karena itu, upaya menuju ke arah yang lebih sempurna masih terus dilakukan. Hal ini dapat dicermati dari sepak terjang NU pada masa-masa berikutnya seperti perjuangan NU yang dipimpin KH Bisri Samsuri melalui fraksi PPP yang mengegolkan UU Perkawinan serta menolak penetapan aliran kepercayaan sebagai agama. [Ainul Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan)/Sidogiri.com]