Rabu, 03 Juni 2009

Bengkel Kata

Sebuah kisah yang kutulis pada awal tahun 2006 untuk menghormati seorang kakak yang mengajariku bagaimana kita harus memandang kehidupan fana ini.




Matahari bersinar cukup garang nyaris tak memberi kesempatan sama sekali pada pohon-pohon untuk membantu manusia dengan bayang-bayangnya yang meneduhkan. Aku beringsut sedikit. Mencoba menyembunyikan tubuh mungilku dari sengatan raja siang di bawah sebuah pohon akasia. Kulemparkan pandangan pada anak-anak ‘tetangga’ yang asyik bermain bola. Ah, damainya mereka. Tak perlu memikirkan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, besok harus makan apa, apalagi masalah-masalah kenegaraan. Melihat keceriaan mereka, akupun menjadi damai. Bosan dengan pemandangan itu, aku melirik jam dinding besar di depan gedung Pasca Sarjana kampusku. Jam 13.15. Pasti telat lagi, pikirku.
Sosok itupun muncul. Seorang pemuda berkaca mata dengan garis-garis wajah yang keras tapi bisa dibilang lembut memberinya kesan cukup berkarakter, lumayan tinggi tapi juga tidak bisa dibilang gagah, tengah menghampiriku.
“Afwan ya, telat lagi”, Dia memasang wajah semelankolis mungkin. “Lama ya nunggunya?”, imbuhnya.
“Gak kok”, Aku diam sejenak, mencoba menenangkannya. Tapi ya memang watakku, suka menggoda orang. “Gak bentar, maksudnya”.
“Kamu tuh ya…, eh yuk cari tempat yang dingin. Kasihan kan kulit kamu yang hitam itu nanti tambah hitam”
“Huh, enak aja. Mentang-mentang situ putih. Lagian hitam-hitan begini banyak yang mau lho”.
Sesaat, tampak rona kaget di wajah putih itu. Tapi hanya sesaat karena gelegar tawa segera terdengar membahana. Membuatku tersipu-sipu. Abis, sebenarnya aku itu kan orangnya bisa dibilang sangat anti dengan makhluk yang bernama cowok. Tapi gak ada yang tahu dan memang tak perlu tahu. Termasuk dia.
“Iya..iya…percaya kok aku.Ya sudah sekarang kita ke urusan utama. Nih kubawakan semua pesanan kamu”. Namanya Rusdiawan, tapi ia lebih suka memperkenalkan diri sebagi Rusy Adwan. “Biar lebih keren”, katanya tempo dulu. Kami berdua telah menjalin hubungan bisnis membuat dan mendistributorkan aneka accesoris sejak delapan bulan yang lalu. Dia mengkoordinir teman-temannya untuk membuat accessories lalu mencari sales marketingnya, aku salah satu orang yang menjadi ‘korbannya’. Dan inilah kami sekarang dengan rutinitas dua mingguan kami.
Deretan bros karet warna-warni berjajar rapi dalam gulugan perkamen. Demikian halnya dengan bros-bros flannel yang dijajar model horizontal rentengan. Seperti biasa akupun segera disibukkan memilih dan memilah yang terbaik diantara itu semua untuk kubawa pulang dan kudistributorkan ulang.
Diantara kesibukanku itu, aku tak menyadari, beberapa pasang mata dan pasang kaki mungil telah mengerubungi kami berdua.
“Mas, minta uangnya dong!”, Salah satu dari anak SD itu merajuk setengah memaksa.
“Buat apa?”
“Buat beli es. Haus banget nih, Mas”
“Kalo mau gak haus ya jangan main sepakbola. Nanti abis minum, main lagi, terus haus lagi deh!”
“Wes ala Mas! Haus banget nih!”
“Pelit banget sih”, Salah satu yang lain berkomentar.
Pinter, pinter, pujiku dengan gemas dalam hati. Main politik nih mereka. Karena pastinya dalam situasi seperti ini Rusy bakalan sungkan sama aku.
“Lho kok tahu kalo aku pelit?”, Rusy tak mau kalah. Wah, lebih pinter kamu, Mas.
“Cepetan kok, Mas”
“Okelah, Mas akan kasih kalian uang asal kalian bisa jawab pertanyaan Mas, gimana?”, Rusy akhirnya mencoba berdiplomasi.
“Iya deh”. Diplomasi disetujui, dan terjadilah debat kusir yang lucu. Gimana enggak, karena Rusy memberikan soalnya selain mengenai pelajaran mereka juga memberikan soal mengenai pengetahuan umum kontemporer.
“Negara mana yang sedang mencoba merebut Palestina?”
“Israel”, jawab Iqbal, si Tambun, dengan semangat empat lima.
“Hebat! Sering lihat berita ya?”
“Tidak!”
“Lho, terus tahunya dari mana?”
“Lihat mahasiwa demo!”. Mendengar ini aku memegangi perutku yang sudah kaku karena terlalu banyak tertawa. Kulihat wajah Rusy sedikit syok mendengar jawaban barusan, antara percaya dan tidak tentang efek lingkungan terhadap pola fikir anak-anak yang masih polos tersebut.
“Memangnya mahasiswa itu berdemo ke siapa sih Mas?”,Feri, si ikal, bertanya.
“Ya ke pemerintah dan pihak-pihak terkait. Contohnya kalau demo tentang Palestina dan Israel itu, kebanyakan mahasiswa mendemo Israel”
“Kenapa?”
“Karena ia mengambil negara yang bukan haknya”
“Mencuri?”, Ryan yaitu anak yang paling kecil nyeletuk.
“Mungkin”
“Kenapa belum ditangkap?”, tanyanya lagi dengan penuh kepolosan.
“ha… ha… ha…. Kalian ternyata sangat pintar. Untuk yang satu itu kakak juga belum tahu jawabannya. Kita tunggu saja siapa yang akan menagkapnya besok, OK”
Kami semuapun cekikikan berjamaah.
“Mas, uangnya mana? Kami sudah jawab semua soal, sampeyan juga bilang kami pintar kan?”
“Iyaaaa. Mana uangnya?”, yang lain megamini.
“Oke, tapi jawab satu pertanyaan lagi ya?”
“Aduh, capek deh!”, koor kembali terdengar.
“Mau tidak?”. Merekapun berdiskusi dengan cepat.
“Iya wes. Tapi janji lho ya, ini yang terakhir?”
“Deal. Setuju”, si Mas menarik nafas, mengerutkan dahi, dan mata menerawang ke atas, berlagak sedang berfikir keras. ”Siapa nama Presiden pertama Timor Leste?”
Manakala anak-anak polos itu kebingungan, Rusy mensolusikan agar mereka bertanya pada satpam kampus, orang-orang yang sedang duduk-duduk di lapangan itu, atau orang-orang yang sedang ada di dalam mobil parkiran. Wajah yang menggambarkan kebingungan kini berubah kegirangan. Tanpa babibu, mereka melesat saling mendahului.
Tak lama kemudian langkah-langkah mungil itu mendekat dengan antusias.
“Nana Gusmo, Mas!”, seru mereka.
“Heh, Nana Gusmo? Masa’ sih? Coba tanya lagi!”. Diinstruksi demikian, anak-anak itupun menurut. Tak berapa lama merekapun kembali.
“Xanana Gusmao, Ya Mas?”, seru mereka ramai sambil cekikian.
“Wah betul tuh!”.
“Mas, cepetan, mana uangnya?”
“Iya, iya, bentar dong. Kalian tadi kan berdelapan, sekarang kok cuma berenam. Mana yang dua?”, Rusy mencoba mengulur-ulur waktu. Biar anak-anak itu bosan, begitu barangkali ya.
“Tau’. Mungkin masih tanya sama Bapak yang duduk di pojok itu kali Mas.. Iya..iya… betul!”
“Ya sudah. Kita tunggu mereka dulu”. Rusy melirikku. Minta bantuan barangkali. Aku hanya ngakak melihat ekspresinya itu. Mas, mas, sampeyan itu kok serba bisa sih. Study dipercaya jadi asisten dosen, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa, aktif mengirim tulisan ke media-media pers, berbisnis, mengajar di LBB, sekarang bertambah pula predikatmu di mataku, yaitu pintar berkomunikasi dan merayu anak kecil. Hebat! Aku yang cewek saja belum tentu bisa.
“Sebentar. Kalian tadi bermain bola Sendiri atau Bersama?”, Jawab Rusy manakala mereka mulai merajuk kembali. Dijawab, “Bersama”.
“Terus, kalian jawab soalnya tadi Sendiri atau Bersama?”. Lagi-lagi dijawab kompak, “Bersama”.
“Kalau begitu, kalian nanti minum esnya sendiri atau bersama?”
“Ya gak tahu lah, Mas”, sambut mereka dengan bibir yang rata-rata manyun.
“Ya harus Bersama dong!”
Tiba-tiba dua orang anak datang berlari disertai nafas yang ngos-ngosan.
“Xanana Gusmao, Mas!”, Mereka menjawab itu dengan wajah sumringah. Tapi segera saja jawaban disambut dengan koor ‘yeee udah kejawab lagi’. Aku kembali tertawa melihat adegan komedi gratis itu.
“Mas, ini siapa?”, Giant yang berbadan terbesar diantara mereka nyeletuk menanyakan aku yang sedang tertawa geli. Ya Ampyun, jadi dari tadi mereka tak menyadari keberadaan sosok yang cantik jelita ini.
“Ini ta? Adikku. Kenapa?”
“Ndak. Tadi kita kirain mbak ini pacar sampean Mas”, Ryan kembali nyerobot menjawab.
“Pacar? Pacar itu apaan sih?”, kejar si Mas.
“Ya itu seperti yang di TV”, Giant angkat suara lagi, nampaknya ia pemimpin kelompok ini.
“Yang gimana?”. Wah, pasti naluri kewartawanannya lagi bermain, batinku.
“Gak tahu deh”, Giant putus asa menjawab.
“Kenapa? Memangnya cocok ya?”, Rusy tersenyum aneh saat menanyakan ini. Dan aku tahu, itu senyuman untuk menggodaku saja, ia tidak serius dengan pernyataannya.
“Yah, cocok sih. Tapi memang adiknya sih”, Ryan mencuri kesempatan lagi.
“Oh, adiknya kok, Rek!”, Giant menoleh ke teman-temannya untuk menegaskan.
Setelah mendapatkan ‘gaji kerja’ dan mengucapkan terimakasih, merekapun bubar dengan tertib sesuai dengan instruksi si Giant tentunya. Sedangkan aku yang semula memilah dan memilih bros seraya menahan tawa refleks memandang pada si Mas gara-gara pernyataan dan pertanyaan barusan. Pada waktu bersamaan Rusy juga sedang menoleh. Mata kami bertemu. Cukup lama. Sampai aku sadar dan menyibukkan diri memilih dan memilah lagi. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Yang ada hanya bunyi motor lewat dan kicauan burung gereja serta semilir angin yang menyejukkan. Aku yang dasar sifatnya ramai tidak tahan dengan suasana mencekam begitu.
“Mas, bagaiman kabar mbak Ika?”, Aku mencoba memecah keheningan sambil terus memilah.
“Oh, dia mau nikah tanggal dua Juli besok”, Dia menjawab dengan santai.
“Hah, Bukannya mbak Ika itu calon Mas?”, Aku menghentikan rutinitas sejenak. Mencoba mencari kebenaran di kelam dua bola matanya sebentar kemudian kembali menekuni pekerjaanku yang tertunda. Dia lantas tertawa geli.
“Nggak, lagi Dik. Dia tuh memang adik kelasku yang lumayan akrab sama aku. Tapi ya itu... kami sebatas senior dengan junior, juga sebatas partner kerja dalam bisnis ini”, Ia menjelaskan. Aku mencoba memilah kata-katanya dalam hati. Masa sih?
“Terus, mbak Ika dapat orang mana?”, Aku masih mencoba mengorek.
“Orang Semarang”. Lho kok? Tapi pertanyaanku yang menggantung itu segera terjawab sebelum terlontarkan. “Iya, mbak Ika kan orang Solo. Gimana?”
“Ya, ndak gimana-gimana. Tapi…. bener lho kukirain kalian berdua ada apa-apa. Wajah kalian kan cukup mirip. Aku mencoba membela diri.
“Dasar”, Dia berujar. Kamipun tersenyum.
“Mas,…..”
“Hem?”, Dia agak kaget serta terkesan takut mendengar kata-kataku yang terputus. Dan untuk mengalihkan gambaran hatinya itu, ia mengutak-atik HP serta flash disk-nya. Matanya seakan-akan menekuri dengan teliti setiap detail kedua barang mungil tersebut.
“Apa? Kenapa tidak diteruskan?”, Dia tetap asyik dengan HPnya kali ini. Ah, ngomong tidak ya? Tapi aku tidak mau ada misunderstanding nantinya.
“Emm…., sungguh ya ……omongan sampeyan tadi…, kita tidak hanya partner bisnis”, Aku berhenti sejenak karena kutangkap gerak-geriknya yang semakin kikuk. Tapi, ini harus di-clear-kan. “Tapi juga hubungan kakak adik?!”
Dia menoleh kaget, lalu tertawa renyah. Seakan ada beban berat yang baru saja dipindahkan dari benaknya. Kalau saja dia tahu bahwa aku juga merasa demikian. Karena aku tak ingin ada kisah cinta diantara kami. Karena aku belum ingin ada kisah cinta lagi di lembaran hidupku.

Tidak ada komentar: