Rabu, 03 Juni 2009

Bengkel Kata

Sepenggal cerita yang kutulis pada tahun 2006 sbg bukti keprihatinan pada teman-teman IAINQ


MELIHAT DIRIMU LEBIH DEKAT

Aku membanting pintu kos-kosan. Berjalan dengan gusar dan segera menjatuhkan tubuh penatku ke kasur yang tidak bisa dikatakan empuk lagi itu.
“Kenapa sih datang marah-marah begitu?”, Dina yang sedang membaca buku Filsafat Aliran ikut-ikutan gusar. Marah kali, ya. Kutatap Dina sekilas lalu kembali berpaling. Masa bodo! Aku lagi sebel… gak mau bicara…
“Oi, aku kan tanya, kok dicuekin?”, Dina protes.
“Please dech Din, aku lagi gak mau ngomong. Oke?”
“Terserah kamu dech. Dan ingat jangan sampai kemarahan kamu itu bikin konsentrasiku rusak!”.
Huh… sebel… sebel….

********-------------------------------------------********
“Hi, aku Nadia. Kamu?”, Aku mengulurkan tangan kepada gadis berjilbab yang pakaiannya sama denganku, baju kebesaran MABA gitu lho.
“Saya Annisa”, Tangan Annisa menyambut uluran tanganku. “Kamu anak baru juga ya?”, Dia menambahkan. Aku menngangguk mantap.
“Ambil jurusan apa?”, Aku memulai percakapan yang sebenarnya bagiku hanya basa-basi.
“Aqidah Filsafat”
“Oh ya? Sama dong. Aku juga”, Aku mulai tertarik untuk ngobrol lebih lanjut. “Memang apa motivasi kamu masuk jurusan ini? Kan orang-orang bilang kalau jurusan ini rawan dengan pemikiran-pemikirannya yang aneh itu?”, Heran juga aku melihat anak sekalem dan sealim dia masuk Filsafat.
“Banyak sih. Pertama, karena aku memang suka dengan filsafat itu Sendiri. Kedua, aku suka dengan para pemikir. Ketiga, aku ingin membuktikan bahwa dengan aqidah aku yang kuat, kita tidak akan mudah terjebak dengan pemikiran-pemikiran yang kamu bilang barusan”, Annisa tersenyum saat menyebutkan alasan terakhirnya tadi.
Begitulah kami memulai persahabatan kami di kampus biru. Ada banyak kecocokan diantara kami berdua. Dan akhirnya teman-teman menjuluki kami berdua Si Cat Dog, tokoh kartun yang diputar di salah satu Tv swasta itu lho, masa kalian gak tahu sih?. Alasan mereka memanggil aku dan Annisa begitu ya karena bisa dibilang dimana ada Nadia di situ ada Annisa, dan begitu pula sebaliknya.

*******------------------------------------------*******
Sebulan sudah aku di kampus biru. Banyak sekali hal-hal baru yang kudapat di sini, baik dari sisi ipteknya maupun dari sisi sosialnya. Dan selama itu, sudah seabrek aktivitas yang aku dan Annisa ikuti, antara lain HMJ (Himpunan Mahasiswa jurusan), LPM (lembaga Pers Mahasiswa), IQMA ( Ikatan Qori’ Qori’ah Mahasiswa) yang meskipun hanya pelatihan MC dan kegiatan-kegiatan sosialnya saja yang kami berdua ambil, organisasi ekstra kampus, dan lain sebagainya. Hingga suatu hari……..
“Nis, aku kemarin diajak Mas Fandi ikutan teater. Dan kayaknya aku tertarik nyobain dech”, Aku bercerita dengan semangat 45.
“Oh ya? Bagus donk. Kan kamu dari dulu ingin bisa main drama dan baca puisi di Balai Seni, ini merupakan langkah awal yang bagus menuju cita-citamu itu”, Annisa memberiku semangat. Namun binar matanya itu meredupkan binar mataku.
“Maksud kamu.. kamu gak bakal ikut teater?”, Aku mengucapkannya dengan memasang wajah memelas. Sejenak Annisa berfikir, lalu…
“Emm, begini Nadia. Bukannya aku menolak ikut. Tapi teater itu kan latihannya bisa sampai malam-malam. Selain itu aku belum terbiasa dengan cara pandang dan cara bergaul anak-anak teater”.
“Jadi menurutmu anak-anak Teater itu bukan anak-anak baik?”, Aku mulai tersulut.
“Lho aku kan gak bilang begitu. Kamu jangan tersungging donk”, Annisa mencoba mencairkan suasana. Tapi toh gak berhasil.
“Begini saja. Aku akan temani kamu di saat pementasan-pementasan. Jangan sampai karena aku cita-citamu itu terhalangi. Oke? Aku akan selalu mendukungmu kok”. Melihat kesungguhan dan usahanya untuk mencairkan emosiku yang telah membatu, akupun luluh juga.
“Begitukah? Oke, tapi janji ya? Kita kan Cat Dog!”
“Dasar”, Annisa meninju bahuku dan kami lantas tertawa Bersama.

********---------------------------------------********
Setahun sudah persahabatan kami terjalin. Bagaikan bunga-bunga yang tumbuh di musim semi dan akan gugur di nusim gugur, persahabatanku dan Annisa mulai merenggang, meskipun tidak bisa dikatakan putus..tus..tus sih. Kerenggangan itu tercipta tanpa kami sadari seiring dengan semakin banyaknya aktivitas-aktivitas kami berdua yang kian berbeda. Aku yang tomboy cenderung bergabung dengan kelompok PA (Pecinta Alam), teater, dan pencak silat, disamping kegiatan-kegiatan yang pernah kuikuti bersama Annisa di bulan-bulan pertama kami di kampus biru. Sedangkan Annisa lebih cenderung pada kajian-kajian kerohanian, kajian keintelekualan, dan lain-lain.
“Assalamu’alaikum, Nadia. Maaf ya aku telat. Kamu sudah lama nunggunya?”, Annisa berkata di sela nafasnya yang ngos-ngosan.
“Kum salam, Ustadzah. Gak bentar kok nunggunya”, Aku membuat senyum simpul sambil segera menambahkan. “Kan cuman setengah jam!”.
“Iya, iya, afwan. Tadi kan aku harus ngisi acara di musholla al Muayyad sebelah kampus kita itu lho. Mauku sich kucancel tapi kan gak enak, habis aku sudah terlanjur janji sih. Yuk berangkat. Nanti kamu bisa telat pentas lho”, Annisa menyeretku yang menggerutu dalam diam. Huh, bisa-bisanya nih anak berargumen sepanjang itu di saat seperti ini. Lagian aku kan sudah pasti telat!!!

*******----------------------------------------------*******

INTRIK MALAM
Pagi memaksaku diam
Dengan keangkuhan mataharinya yang merayap
Dengan kicau burungnya yangmengusir
Dengan kesegarannya yang menyelusup
Dan dicinta
Meski begitu, aku tak bisa membenci pagi
Karena dengan pagi, maka aku dirindu.



Plok…plok…plok….
Tepuk tangan penonton bergemuruh. Aku turun dari panggung dengan menggigil. Antara gembira, kaget, malu, dan kepuasan bercampur menjadi satu menciptakan sensasi yang menyelusup dalam tiap-tiap aliran darahku. Samar kulihat Annisa berlari mendekat dan merangkulku.
“Wah, kamu hebat Nadia! Sungguh! Aku sampai menangis gembira”, Annisa berkali-kali memujiku. Namun tak lama kemudian, aku melihat sosok sangar Mas Fandi mendekat. Sebagian wajahnya yang tertutup rambut gondrong itu nampak gusar.
“Selamat ya. Puisimu tadi cocok sekali untuk menutup drama kita”
“Makasih, Cak”, Aku menjawab hati-hati. Karena aku tahu, pasti Mas Fandi belum selesai bicara.
“Tapi ingat, jangan terlambat lagi. Tindakanmu tadi sangat tidak professional, mengerti?”, Akhirnya muncul juga kalimat itu.
“Baik, Cak”, Kutatap nanar sosok Mas Fandi yang menjauh .
“Maaf ya Nad. Gara-gara aku kamu harus terlambat”,Annisa merasa tidak enak.
“Ah, biasa aja kok. Eh iya ada yang mo kenalan nih”, Aku menarik tangan Annisa ke sudut ruang dimana di situ berdiri seorang pemuda yang cakeplah menurutku.
“Nis, Ini Mas Aldy. Dia anak FISIP yang aktif di teater juga”, Aku mengenalkan Annisa. “Cak, katanya mo kenalan? Kok bengong gitu?”
“Eh iya. Aku Aldy. Kamu Annisa kan?”, Aldy mengulurkan tangan.
“Saya Annisa”, Annisa tersenyum sopan, tapi anehnya dia tidak menanggapi uluran tangan Aldy dan hanya melipat tangannya ke dada. Aku yang menangkap kerikuhan sikap Aldy berusaha berinisiatif.
“Iya nih, Aldy. Keenakan dong kamu pegang-pegang tangan Annisa yang lembut ini. Iya gak Nis?”
“Oh maaf kalau gitu. Iya ya, betul juga kamu, Nad!”, Aku benar-benar jadi sangat tidak enak dengan jawaban Aldy.
“Nadia, udah jam 22.00 nih. Yuk pulang, nanti ibuku cemas”, Annisa memecah keheningan yang tiba-tiba datang.
“Gitu ya? Kalo gitu biar aku anterin deh!”, Aldy menawarkan bantuannya.
“Wah beneran nih? Kebetulan kalo gitu”, Aku sigap menjawab tawaran itu.
“Tapi…”, Annisa hendak menolak tapi aku dan Aldy segera ngeloyor menuju mobilnya yang terpakir manis.

*******--------------------------------------------*******

“Annisa, kenapa sih kamu semalem? Aldy itu kan baik. Dia itu udah lama lho minta dikenalin sama kamu. Mana pakai acara nolak salaman dan diam-diaman selama di mobil lagi”, Aku mencerocos menumpahkan kekesalanku.
“Maafkan aku, Nad. Tapi aku memang tidak bisa bersalaman dengan anak-anak cowok seperti dulu. Mereka itu bukan muhrim kita!”, Annisa menjelaskan dari seberang sana.
“Akunya sih fine-fine aja. Tapi Aldy?”
“Nad, harusnya kukatakan ini sedari dulu. Aku merasa tidak nyaman setiap kali aku melihat kamu bergandengan tangan, tertawa-tawa, dan berboncengan bersama anak laki-laki. Rasanya aku miris sekali, Nad”
“Nis, itu urusanku. Mau bergaul sama siapa, mau berpakaian seperti apa, itu semua hakku. Kamu gak usah ikut-ikutan. Aku capek kamu atur begituan! Kamu pikir kamu siapa? Kamu sudah berubah Nis!”, Aku berteriak-teriak. Enak betul dia melarang ini itu. Memangnya dia siapa?
“Astaghfirullah Nad, maaf kalau kamu tersinggung, tapi aku tak bermaksud begitu. Nad, aku sayang kamu. Aku tak mau kamu berubah lebih jauh dari saat ini”, Ada nada sedikit putus asa dalam kata-kata Annisa. Tapi aku yang telah lelah dengan segala nasehat-nasehatnya tetap bersikeras kalau akulah yang benar. Aku mau bebas. Terserah kalau dia tetap berpegang pada prinsipnya yang aneh itu. Terserah! Kututup HP dan kulemparkan ke kasur.

*********---------------------------------------------*********

“Sejak saat itu, aku berusaha menghindari Annisa”, Aku membuka suara kepada Dina pada malam itu.
“Oh begitu. Pantesan kamu tadi datang dengan muka kusut begitu. Pakai acara marahan lagi”, Dina berusaha mengambil hatiku.
“Dan sekarang sudah dua tahun dong kamu gak ketemuan lagi sama dia?”
“Iya awalnya. Tapi ternyata dunia ini memang sempit. Seminggu yang lalu aku berkenalan dengan seorang dokter ganteng”
“Dan kamu fall in love kan?”Dina menyela menggodaku. Digoda begitu, aku malu juga sih.
“Iya. Di pandangan pertama bahkan”, Aku mengambil nafas panjang. Lantas melanjutkan “Dan siang tadi aku baru tahu ternyata dia adalah kakak sepupu Annisa”.
“Hah? Wah kayak sinetron, nih. Terus gimana?”
“Uh, dasar. Emang gue ini apaan?”, Kutimpuk Dina dengan bantal dan dia segera ngacir ke sudut kamar.
“Eits, gak boleh ngamuk ya! Nanti kalau kehilangan teman curhat terbaik, mati tak bernafas kamu!”
“Emang ada mati yang bernafas?”, Aku merengut.
“Duh, sensitifnya. Iya-iya lagi gak bisa dicandain nih?”, Dina meringis tapi segera mendekatiku dengan mimik serius. “Terus gimana? Kamu tahunya dari mana?”
“Meski baru seminggu kenal tapi kami cepat akrab. Dan ia ingin serius denganku. Makanya dia ingin mengenalkanku pada sepupu terbaiknya”, Aku menahan nafas lagi.
“Dan akhirnya kamu dan Annisa ketemuan, gitu?”
“Nggak juga sih. Annisa waktu itu sedang sibuk mengisi acara di salah satu sekolah SMA. Jadi gak bisa ketemu”.
“Lha, kalo begitu gimana tahunya?”
“Ih, kamu itu mau diceriatin apa ndak sih? Nyela terus”
“Iya-iya maaf. Terus-terus ….?”
“Aku bertanya padanya, siapa nama sepupunya itu. Kali aja aku kenal. Dan dia pun menjawabnya. Duh, kayak kesambar halilintas aja”.
Kami berdua saling diam. Di luar gerimis mulai turun. Dina merangkak menutup jendela lalu kembali lagi duduk di hadapanku. Tangannya dilingkarkan di depan lututnya yang ditekuk. Sementara itu malam semakin larut.
“Din, apa yang harus aku lakukan?”, Meskipun Dina setahun lebih muda dariku, tapi dalam hal beginian dia lebih dewasa dariku, makanya aku percaya dia bisa memberiku jalan terbaik.
“Boleh aku tanya? Bagaimana perasaanmu terhadap si laki-laki itu setelah kamu tahu dia adalah sepupu Annisa?”, Dina sang aktivis kampus sejati sedang menginterogasiku.
“Perasaanku untuk Syahid sudah tak terbendung lagi. Apalagi kami telah sepakat akan menikah tahun depan, setelah aku diwisuda”, Aku menghela nafas. “Sedangkan perasaanku pada Nisa sekarang ……. sebetulnya sudah lama aku menyesali sikapku terhadapnya dulu. Aku ingin minta maaf. Tapi aku terlalu tengsin untuk melakukannya. Lagipula kami tidak pernah bertemu lagi”.
“Kenapa begitu? Jangan tunda-tunda lagi niat baikmu itu, seperti niatmu untuk berjilbab sebulan yang lalu. Aku percaya Annisapun menginginkan hal yang sama. Tapi mungkin ia merasa takut dan segan”.
Mendengar penuturan Dina aku mulai terhisak. Iya, mengapa aku begitu egois? Aku begitu tega terhadap Annisa yang begitu baik. Bukankah dia hanya berusaha menjaga izzahnya sebagai muslimah. Uh, memang aku yang terlalu bodoh saat itu.
“Kamu gak usah ragu. Kamu tidak usah memulai dari awal, cukup meneruskan dan memperbaiki hubungan kalian sebelumnya. Toh kamu sudah tahu kan mengapa Annisa bersikap begitu? Kamu sendiri sekarang ini begitu juga kan?Allah saja Maha Pengampun, masa kita tidak mau meneladani-Nya?”
Mendengar itu aku semakin terisak. Aku berjanji besok aku akan mencari Annisa dan meminta maaf. Aku akan berusaha lebih bijak untuk melihat seseorang.

Tidak ada komentar: