Selasa, 09 Juni 2009

KRITIK TERHADAP HASAN HANAFI

Kritik terhadap Hassan Hanafi

Pendahulan
Hassan Hanafi mencoba membicarakan tenatang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, dengan dimensi pembebasan (taharrur) di dalamnya. Watak pembebasan dari wawasan progresif itu bertumpu pada beberapa unsur penompang. Di satu pihak , gagasan akan keadilan sosial yang harus ditegakkan, kalau manusia ingin benar-benar berfungsi menjadi pelaksana fungsi keTuhanan (khalifah Allah) di muka bumi. Seorang kholifa harus memilki otonomi penuh atas dirinya, dan otonomi itu hanya dapat dicapai melalui tegaknya keadilan sosial.
Tiang penopang berupa keadilan sosial ini menembus segala bentuk dan corak pemerintahan. Di pihak lain, keadilan sosial hanya dapat terwujud, bilamana ada para perjuangan pembebasan umat manusia yang tergabung dalam kegaiatan terorganisir yang megarah pada tujuan pembebaan tersebut. Untuk memungkinkan membuat kiprah mereka efektif, diperluhkan ideologi yang jelas-jelas membewa suara bebebasan. Karena Islam sendiri tidak dapat dijadikan ideologi yang semata-semata berfungdi pembebasan. Keseluruhan warisan kesejarahan Islam menunjukkan kepada keharusan pencegahan hubungan langsung antara Islam dan kekuasaan. Watak normatif Islam akan menghalangi tumbuhanya elen Revolusioner yang harus dimiki, jika Islam ingin menjadi ideologi independen .
Dalam perkembangan pemikiran selama bertahun-tahun itu Hassan Hanafi sampai pada kesimpilan, bahwa Islam sebagaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada, yang wktu itu hampir sepenuhnya diwikili oleh berbagai bentuk sosialisme. Demikian kuat keyakinana Hassan Hanafi akan pentingnya orientasi keislaman pada ideologi populistik, sehingga ia mencetuskan gagasan kiri Islam .
Jelas dapat disimpulkan dari penalaran Hassan Hanafi, bahwa ia mengacu pada analisis kelas yang mendominasi sosialisme sebagai faham, termasuk jenis-jenis sosialisme yang tidak Maarxis-Leninnis. Pilihan Hassn Hanafi jatuh pada sosialisme yang bertumpu pada Marxis-Leninisme yang dimodifikasikan, seperti sosialisme Arab. Dikatakan dimodifikasikan, karena hakekat materialistik dari Determinisme-Historik, yang niscayakan kebebasan manusia itu diberi roh non-materialistik, seperti pemunculan unsur-unsur progresif dalam agama dan pra-nata laian yang bersifat kerohanian atau kesejarahan. Dengan demikian Determinisme-Historistik versi ini, Hassan Hanafi lalau mengambil posisi ke-kiri-an (Al-Mauqif Al-Yasari). Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia membawakan gagasan pembahasan melalui pengahancuran konstruk lama yang serba reaksoner dari Feodalisme Kapitalistik yang menguasai masyarakat-masyarakat dunia yang sedang berkembang. Karena kaum reaksioner dinilai sebagai kaum ”kanan”, dengan sendirinya lawan mereka, termasuk yang tidak komunis, dianggap sebagai “kaum kiri”.
Pemikiran Universalistik Hassan Hanafi itu dapat dilihat atau ditopang dari dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upayah penegakan kedaulatan hukum; pengahargaan kepada hak-hak asasi manusia; dan penguatan (enpowerment) bagi kekuasaan rakat jelata. Langkahlangkah itu seharusnya didudukkan pada sendi-sendi kultural ekonomis dan politis yang teguh. Karenanya sejumlah prinsip lalu menjadi penting dalam penciptaan paradigma baru pembebasan itu, seperti penolakan terhadap kekerasan (violence).
Di sudut pandang lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hassan Hanafi itu harus melalui dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam tidak hanya butuh hanya sekedar menerima dan mengambil alih paradigma-paradigma ilmu pengetahuan modern yang dibawakan oleh orang Barat, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban pengetahuan orang Arab. Kareana ilmu pengetahuan dan peradaban Barat bertumpu pada Materialisme, maka haruslah dikembangkan pengertian yang tepat bagi kaum muslimin tentang khasanah peradaban Barat itu sendiri.
Kita dapat menengarai tiga wajah dalam rangka memantapakan posisi pemikirannya dalam dunia Islam terutama dalam kaitannya dengan kiri Islam. Wajah pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Segera setelah revolusi Islam iran menang, ia meluncurkan kiri Islam. Salah satu tugasnya adalah untuk mencapi Revolusioner Tauhid (keesaan, pengesaan; konsep inti dlam pandangan dunia Islam). Wajah kedua adalah sebagai seorang reformasi tradisi intelektual Islam klasik. Dalam hal ini, ia mirip posisi Muhammad Abdu. Wajah ketiga adalah penerus gerakan Al-afghani. Ia adalah pendiri gerakan Islam modern .
Saya telah memberi kesan bahwa pemikiran Hassan Hanfi dapat didefinisikan lebih kurang modern, tetapi sebagai layaknya sebuah definisi ia tidak seluruhnya benar, terutama karena Hanafi menggunakan pisau anlisis fenomenologi yang muncul di Barat untuk melawan modernisme. Kendatipun ia menyerap modernitas dan pra-postmodernitas, tapi ia belum merambah pada gerakan pemikiran paling beru di Barat, yaitu posmodernisme.
Sebagai seorang reformis (pembaru) pemikir Islam, Hanfi mengunggulkan satu bagian dari khazanah Islam yang berbasis rasionalisme, dan ini tidak kompatibel dengan postmodernisme. Ini menjadi problema yang cukup serius dalam pemikiran Hassan Hanafi.

Gari Besarnya;
Kiri Islam adalah sebuah manifesto berbasis Islam yang dianggap sebagai ajaran sempurna dari Tuhan kepada umat manusia. Semua muslim percaya bahwa ajaran Islam adalah suatu norma yang dapat diadaptasi oleh setiap bangsa apa saja dan kapan pun saja. Ajaran Islam itu bersifat universal, dan tidak bertentangan dengan rasio. Semua Muslim harus selalu membangun peradapan Islam degan keparcayaan itu, dan mereka harus mencoba membangun peradaban mereka bertumpu pada pesan-pesan abdi.
Sebuah pertanyaann mungkin muncul; mengapa peradaban Islam menjadi lemah dibandingkan Barat padahal mereka percaya akan ajaran universal? Apakah Islam benar-benar Universal? Bukankah Barat lebih Universal karena ia telah menjadi peradaban yang paling kuat dalam sejarah kekuasaan? Al-afghani mencoba menjawabnya; “kristen berkembang pesat karena gereja berkembang di dalam tembok Imperium Romawi dan bekerjasam dengan penyembah berhala. Uamat nislam lemah karena kebanaran Islam telah dibusukkan oleh kesalahan yang turun temurun. Kristen kuat karena mereka tidak sungguh-sungguh Kristen, dan Islam lemah karena mereka tidak sungguh-sungguh Islam” .
Persoalannya, bagaimana kita mesti mendekati dan mengakaji aspek-aspek peradaban, kesejarahan, politik, ekonomi dan sosial dunia Islam yang dibangun di atas “universalitas” itu? Bagaimana membangun kritik atas wacana Muslim? Orientalis tradisional selalu gagal meliahat masalah itu .
Pertama-tama basis pemikiran Hassan Hanafi harus dilacak melalui ajaran paling inti dari Islam, untuk menguji kiri Islam. Ajaran paling inti Islam adalah Tauhid. Tauhid adalah basis Islam. Menurut Hassan Hanafi, untuk membangun kembanli peradaban Islam tak bisa tidak dengan membangun kembali semnagat Tauhid itu. Tauhid adalah pandangan dunia, asal seluruh pengetahuan. Karena itu kita harus mengkaji konsep Tauhid dan kita akan melihat bagaiman pandangan dunia Tauhid itu berfungsi untuk membangun umat Islam. Kita berupaya menemukan bahwa Tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya mempunyai kaitan tali temali yang erat. Hassa Hanfi menegaskan bahwa membangkitkan semangat Tauhid merupakan suatu keniscayaan .

Tinjauan dari Modernita ke Postmodernitas.
DR. Hassan Hanafi adalah seorang filsuf hukum Islam, seorang pemikir Islam dan guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia banyak menyerap pengetahuan dari Barat. Ia mengkosentrasikan diri pad kajian pemikiran Barat pra modern dan modern. Meskipun ia menolak dan mengkritik Barat tetapi tak terelka lagi, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah mempengaruhi pemikirannya. Mka ia tergolong seorang modernis-liberal seperti Luthfi al-Sayyid, Taha Husain dan Al-Aqqad.
Kita kan memulai pembahasan ini dari istilah yang abstrak: modernitas. Saya mengunakan istilah ini sebagai epistemologi yang mengatur bentuk-bentuk pandangan dunia dan sistem pemikiran . Pada saat yang sama bisa di katakan, bahwa sisitem sosial dan kultural membentuk epistemologi. Betuk-bentuk yang mengatur pandangan dunia kita juga nampak dalam pandanagn ilmu pengetahuan; ilmu politik, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Ia juga bisa tampak dalam bentuk-bentuk intuisi sosial, kebijakan, teknolohi dan norma sosial modernitas, kata laian dari Barat modern, yang menjadi dalang fenomena itu:
1. Pemisahan antara bidang sakral dan bidang dunawi. Dalam kehidupan sehari-sehari, hal terermin dalam pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik. Lembaga-lembaga sosiala juga berwatak demikian. Pemisahan ini juga diberlakuakn pada materi dan ruh.
2. Kecenderungan ke arah reduksionaisme. Materi dan benda direduksime. Materi dan benda direduksi pada elemen-elemennya. Ini dnampak dalam fisika Newton, sama halnya dengan homo-ekonomikus dalam ekonomi modern.
3. Pemisahan antara subyektifitas dan obyektifitas. Hal ini tak pelak lagi mengahasilkan suatau kecenderunga dalam ilmu sosial untuk mengkalim bahwa suatu obyektifitas dalam mengambarkan sesauatu sebagai keniscayaan, dan secara alami mengarah kepada pengenalan bahwa “ deskripsi Obyektif” selalau terkait dengan relaitas yang pasti.
4. Antroposentrisme. Ini nampak dalam sejarah Barat semenjak masa pencerahan, dan tampak dalam konsep-konsep demokrasi dan individualisme.
5. Progresivisme. Progresivime sejarah diwakili sangat baik oleh Marx dan Marxisme. Dalam bidang ilmu pengetahuan, hal itu diyakini secara luas seperti pada kemajuan ilmu pengetehuan dan obat-obatan.

Kecenderungan-kecenderungan epistemologi modernitas di atas dapat saling berkait, bisa pula berkombinasi, atau muncul dan berekspresi dengan wajah lain. Hal itu tidak penting, tetapi yang jelas apa yang dapat kita amati adlah divisionisme, redusionisme, dan Erosentrisme.


Daftar Refrensi

Kazuo Shimogaki. Kiri Islam, LKis,Yogyakarta, 1993.
M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembahruan Dalam Dunia Islam, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996.
Jurnal Islamika, Pemikiran Kritis Hassan Hanfi. No 1, Juli-Sebtember 1993

Tidak ada komentar: