Rabu, 01 Juli 2009

Sejarah Demokrasi

Seperti yang kita sering baca dalam pelajaran sejarah atau PPKN [dulu PMP], negara yang pertama kali melaksanakan sistem demokrasi adalah Athena. Ia tepatnya berupa negara-kota yang terletak di Yunani. Menurut pelajaran yang sering kita baca, di Athena, pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Proses pemerintahan di Athena itu dimulai oleh Kleistenes pada tahun 507 sebelum Masehi dengan perubahan konstitusi dan diselesaikan oleh Efialtes pada tahun 462-461 sebelum Masehi. Efialtes melucuti kekuasaan kaum aristokrat kecuali beberapa fungsi hukum dalam perkara pembunuhan, dan beberapa tugas keagamaan. Karena tindakan ini para bangsawan membunuh Efialtes, tetapi demokrasinya tetap hidup.
Setelah kematian Efialtes, tidak ada badan politik yang lebih berkuasa daripada Dewan Rakyat. Dewan Rakyat di Athena terbuka bagi semua warga negara lelaki yang merdeka dan sudah dewasa, tidak peduli pendapatan atau tingkatannya. Pertemuan diadakan 40 kali setahun, biasanya di suatu tempat yang disebut Pniks, suatu amfiteater alam pada salah satu bukit di sebelah barat Akropolis. Dalam teori, setiap anggota Dewan Rakyat dapat mengatakan apa saja, asalkan ia dapat menguasai pendengar. Tetapi demi alasan praktis, acara resmi juga ada. Acara ini disiapkan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari 500 orang, 50 orang dari setiap suku bangsa Attika yang semuanya meliputi 10 suku. Mereka itu dipilih dengan undian dari daftar sukarelawan, yang semuanya warga negara berumur 30 tahun lebih. Panitia ini tidak mengekang Dewan Rakyat, tetapi hanya mempermudah segala langkahnya. Anggota Panitia selalu dibayar dan bertugas selama satu tahun. Sesudah selang waktu, ia dapat dipilih lagi untuk tahun kedua, tetapi tidak pernah bertugas selama lebih dari dua tahun.
Dalam Panitia itu terdapat panitia yang lebih kecil dan terdiri dari 50 orang. Panitia ini disebut Pritanea dan berkumpul setiap hari; praktis merekalah yang menjalankan pemerintahan. Susunan Pritanea diubah 10 kali dalam setahun dan ketuanya, kedudukan eksekutif paling tinggi, berganti setiap hari. Dalam teori tidak ada orang yang cukup lama memegang tampuk kekuasaan sehingga merasa mengakar di dalamnya. Tetapi dalam kenyataan kemungkinan ini terbuka bagi suatu golongan orang 10 panglima angkatan bersenjata yang langsung dipilih dari Dewan Rakyat dan bertugas selama satu tahun. Seorang panglima dapat dipilih kembali berkali-kali.
Salah seorang tokoh penting pada masa jaya Athena ialah Perikles, seorang prajurit, aristokrat, ahli pidato, dan warga kota pertama. Pada musim dingin tahun 431-430 sebelum Masehi, ketika perang Peloponnesus mulai, Perikles menyampaikan suatu pidato pemakaman. Alih-alih menghormati yang gugur saja, ia memilih memuliakan Athena:
“Konstitusi kita disebut demokrasi, karena kekuasaan tidak ada di tangan segolongan kecil melainkan di tangan seluruh rakyat. Dalam menyelesaikan masalah pribadi, semua orang setara di hadapan hukum; bila soalnya ialah memilih seseorang di atas orang lain untuk jabatan dengan tanggung jawab umum, yang diperhitungkan bukan keanggotaannya dalam salah satu golongan tertentu, tetapi kecakapan orang itu. Di sini setiap orang tidak hanya menaruh perhatian akan urusannya sendiri, melainkan juga urusan negara. … Tetapi yang benar-benar dapat disebut berani ialah orang yang sudah mengerti apa yang enak di dalam hidup ini dan apa yang menggemparkan, lalu maju tanpa gentar untuk menghadapi apa yang datang.”
Perbudakan & Diskriminasi Wanita

Nyatanya, Athena bukanlah sebuah negara yang beradab. Slogan demokrasi yang sering menjulang dengan kata-kata liberte, fraternite, dan egalite, tidak pernah terwujud di Athena. Para ahli sejarah mencatat bahwa Athena adalah daerah pertama yang mempraktikkan perbudakan. Hal itu terjadi sekitar tahun 600 SM. Diperkirakan sekitar 100 ribu penduduk Athena adalah para budak. Itu berarti meliputi hampir sepertiga hingga setengah penduduk Athena adalah budak. Setiap penduduk Athena kecuali yang teramat miskin memiliki minimal satu budak. Pun, ketika proses pemerintahan demokrasi berlangsung, perbudakan itu masih terus berjalan. Bahkan filsuf terkenal Plato memiliki 50 budak. Ia juga memiliki ratusan budak yang disewakan pada orang lain. Ironis, padahal Plato adalah salah satu konseptor negara demokrasi.
Perbudakan juga terus berlanjut meski seorang budak telah dimerdekakan. Caranya, seorang budak yang telah dimerdekakan tidak dapat disebut sebagai “orang merdeka” (free person), melainkan “orang yang dimerdekakan” (freed person) atau dalam istilah Yunani ia disebut sebagai metic. Seorang freed person memiliki hak yang lebih sedikit daripada orang merdeka. Mereka tidak dapat menduduki posisi di pemerintahan dan mereka juga harus membayar pajak spesial.
Bagaimana dengan hak-hak politik di Yunani ???? Para sejarawan menuliskan bahwa demokrasi Yunani tetap bertumpu pada aristokrasi (kaum ningrat/bangsawan), hanya penduduk dari kalangan atas saja yang diperbolehkan mengikuti pemilu. Maka, demokrasi yang dipraktikkan di Yunani tidak lebih dari sekedar rezim aristokrat.
Nasib kaum wanita yang konon bakal lebih berharga dengan demokrasi, juga tak terbukti di Athena. Bila dibandingkan dengan kondisi sosial saat itu, kaum wanita Athena hanya satu tingkat lebih sedikit di atas para budak. Sejak mereka lahir mereka tidak diharapkan untuk belajar membaca dan menulis. Tentang belajar membaca dan menulis bagi wanita, filsuf Yunani Menander menulis, “Mengajarkan seorang wanita membaca dan menulis??? Mengerikan!!!! Itu sama saja seperti memberikan umpan seekor ular berbisa dengan racun yang lebih banyak.” Pengarang dan filsuf lain pun berpendapat sama tentang wanita.
Kaum wanita di Athena terbagi menjadi tiga kelas. Yang paling rendah adalah para budak wanita, mereka melakukan berbagai pekerjaan kasar di sektor domestik (rumah), dan membantu istri majikan mereka mengasuh anak. Kelas kedua adalah para wanita penduduk biasa. Sedangkan kelas ketiga yang paling teratas adalah yang dikenal dengan sebutan Hetaerae. Tidak seperti kelompok pertama dan kedua, kaum Hetaerae mendapatkan pelajaran membaca, menulis, dan musik. Hanya saja, kalangan wanita Hetaerae ini sebenarnya tidak lebih dari kaum pelacur kelas atas.
Itulah demokrasi Athena, melestarikan perbudakan dan menghinakan kaum wantia.

Demokrasi Modern

Bisa saja para aktivis pro-demokrasi beralibi kalau itu semua adalah fase awal demokrasi. Sehingga dapat dimaklumi bila masih terwarnai nuansa primitif. Lagipula demokrasi adalah suatu ide yang berkembang sesuai dengan dinamika jaman dan kehidupan manusia.
Alibi itu terlalu berlebihan. Karena demokrasi modern pun masih menyisakan berbagai praktik anti-kemanusiaan seperti di Athena. Perbudakan misalkan, terjadi di Amerika Serikat, negara kampiun demokrat. Bahkan ia. Hal ini tercantum dalam amandemen XIII butir pertama dari konstitusi AS:
“Neither slavery nor involuntary servitude, except as a punishment for crime whereof the party shall have been duly convicted, shall exist within the United States, or any place subject to their jurisdiction.”
(Baik perbudakan ataupun kerja paksa, kecuali sebagai hukuman atas kejahatan yang sudah pasti, diperbolehkan eksis di AS, atau tempat manapun yang merupakan wilayah hukumnya).
Para founding father (pendiri negeri) Paman Sam itu juga mempraktikkan perbudakan di tengah-tengah seruan kemerdekaan dan demokrasi. George Washington contohnya, pada usia 11 tahun ia sudah memiliki 10 budak. Di usia 22 ia mempekerjakan dengan paksa 36 budak. Saat ia mati di AS ada sekitar 316 budak, dan 123 di antaranya adalah miliknya.
Hebatnya, untuk menutupi aib memalukan tersebut, pemerintah AS membangun Monumen Liberty Bell Center monumen kemerdekaan AS — di Philadelphia bersebelahan dengan area bekas George Washington menempatkan para budaknya.
“Sejarah kita sering direkayasa dan dimanipulasi (tapi) kebenarannya telah dibunuh di Philadelphia,” komentar Nash, seorang profesor sejarah di UCLA dan seorang pakar Revolusi Amerika.
Thomas Jefferson, salah seorang founding father AS sekaligus presiden pertama, malah bertindak lebih parah. Ia berselingkuh dengan salah seorang budaknya, Sally Hemmings, hingga menghasilkan dua orang anak. Ironi, karena Jefferson dipuja rakyat AS sebagai seorang pahlawan anti tiran. Salah satu ucapannya yang terkenal masih diabadikan oleh para pelajar di AS.
“Aku telah bersumpah di depan altar Tuhan untuk melakukan perlawanan terus menerus terhadap setiap bentuk tirani yang berada dalam pikiran manusia.”
Soal diskriminasi terhadap kaum wanita juga masih dipraktikkan oleh demokrasi modern. Menjelang pemilu 5 April 2004 berbagai tuntutan terhadap hak-hak politik perempuan juga masih berkumandang. Sebagian feminis menuntut kuota 30% kursi di legislatif untuk kaum wanita. Bukankah ini tanda kaum wanita masih terdiskriminasi?????
Khatimah
Jelaslah bahwa DEMOKRASI adalah sebuah ide yang cacat sejak lahir. Ia mempraktikkan dan mengesahkan kegiatan anti-kemanusiaan. Terlebih lagi dasar pijakan dari demokrasi adalah sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Untuk membela asasnya itu, demokrasi kerap melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, namun disahkan olehnya.
Hal ini terbukti di Turki. Tahun 1960 PM Adnan Mandaris, pengganti Mustafa Kemal, dari Partai Demokrasi pernah berusaha mengadopsi kembali Islam dalam masyarakat Turki. Mandaris memperbolehkan azan kembali dikumandangkan dalam bahasa Arab (sebelumnya dalam bahasa Turki, lafadz Allahu Akbar menjadi Allahu Buyuk), merenovasi mesjid yang rusak, membuka kembali fakultas ushuluddin, dan menghidupkan lagi lembaga tahfidzul Qur’an.
Namun tidak lama kemudian, muncul tentangan dari kalangan militer. Mereka menganggap kebijakan Mandaris membahayakan sekulerisme dan demokrasi. Akhirnya pemerintahan Mandaris dikudeta pada tahun yang sama. Mandaris bersama Ketua Parlemen Bulatuqan dan Menteri Luar Negeri Fatin Zaurli dihukum mati.
Maka, berharap adanya perubahan menuju kehidupan yang Islami dengan jalan demokrasi, ibarat menggantang asap, melakukan sesuatu yang sia-sia. Karenanya kaum muslimin harus sadar bahwa demokrasi telah membunuh karakter Islam dan kaum muslimin. Hanya dengan dakwah Islam-lah kejayaan Islam akan kembali bangkit. [Iwan Januar, dari berbagai sumber]
Catatan Kritis Tentang JIL
Meskipun kelahiran JIL (Jaringan Islam Liberal) Maret 2001 nampaknya membawa hal baru bagi sebagian orang, namun sesungguhnya ia bukanlah sama sekali baru. Agenda-agenda JIL sesungguhnya adalah kepanjangan imperialisme Barat atas Dunia Islam yang sudah berlangsung sekitar 2-3 abad terakhir. Hanya saja, bentuknya memang tidak lagi telanjang, tetapi mengatasnamakan Islam. Jadi istilah “Islam Liberal bukanlah suatu kebetulan, namun sebuah istilah yang dipilih dengan sengaja untuk mengurangi kecurigaan umat Islam dan sekaligus untuk menobatkan diri (sendiri) bahwa “Islam Liberal adalah bagian dari Islam, seperti halnya jenis-jenis pemahaman Islam lainnya (www.islamlib.com). Sesungguhnya “Islam Liberal adalah peradaban Barat yang diartikulasikan dengan bahasa dan idiom-idiom keislaman. Islam hanyalah kulit atau kemasan. Namun saripati atau substansinya adalah peradaban atau ideologi Barat, bukan yang lain.
Untuk membuktikan deklarasi di atas, baiklah kita lihat dua dasar argumentasinya. Yaitu : (1) hakikat imperalisme itu sendiri, dan (2) kerangka ideologi Barat (kapitalisme). Pemahaman hakikat imperialisme akan menjadi landasan untuk memilah apakah suatu agenda termasuk aksi imperalisme atau bukan. Sedang kerangka ideologi kapitalisme, akan menjadi dasar untuk menilai apakah sebuah pemikiran termasuk dalam ideologi kapitalisme atau bukan, atau untuk mengevaluasi sebuah metode berpikir, apakah ia metode berpikir kapitalistik atau bukan.
Imperalisme
Imperialisme (al-isti’mar) itu sendiri, menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Mafahim Siyasiyah li Hizb At-Tahrir (1969:13) adalah pemaksaan dominasi politik, militer, budaya dan ekonomi atas negeri-negeri yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi. Dua kata kunci imperialisme yang patut dicatat : pemaksaan dominasi, dan eksploitasi. Maka jika sebuah negara melakukan aksi imperalisme atas negara lain, artinya, negara penjajah itu akan memaksakan kehendaknya kepada negara lain, sehingga negara yang dijajah itu mau tak mau harus mengikuti negara penjajah dalam hal haluan politik, program ekonomi rancangannya, budaya dan cara berpikirnya, serta pembatasan dan penggunaan sarana militernya. Semua ini adalah demi keuntungan negara penjajah sendiri. Jika negara yang dijajah menolak atau melawan, ia akan mendapat sanksi dan hukuman dari sang penjajah. Inilah hakikat “imperialisme.”
Imperialisme ini, menurut An-Nabhani (1969:13), adalah metode (thariqah) baku –tak berubah-ubah– untuk menyebarluaskan ideologi kapitalisme, yang berpangkal pada sekularisme, atau pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din an al-hayah). Tak mungkin ada penyebarluasan kapitalisme, kecuali melalui jalan imperialisme. Atau dengan kata lain, manakala negara penganut kapitalisme ingin menancapkan cengkeramannya pada negara lain, ia akan melakukan aksi-aksi imperialisme dalam segala bentuknya, baik dalam aspek politik, militer, budaya, dan ekonomi. Berhasil tidaknya aksi imperalisme ini, diukur dari sejauh mana ideologi kapitalisme tertanam dalam jiwa penduduk negeri jajahan dan sejauh mana negara penjajah mendapat manfaat dari aksi penjajahannya itu. Jika penduduk negeri jajahan sudah mengimani kapitalisme yang berpangkal pada paham sekularisme– atau dari negeri itu dapat diambil berbagai keuntungan bagi kepentingan imperialis, berarti aksi imperialisme telah sukses.
KerangkaIdeologiKapitalisme
Kapitalisme pada dasarnya adalah nama sistem ekonomi yang diterapkan di Barat. Milton H. Spencer (1977) dalam Contemporary Macro Economics mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem organisasi ekonomi yang bercirikan kepemilikan individu atas sarana produksi dan distribusi, serta pemanfaatan sarana produksi dan distribusi itu untuk memperoleh laba dalam mekanisme pasar yang kompetitif (lihat juga A. Rand, Capitalism: The Unknown Ideal, New York : A Signet Book, 1970). Karena fenomena ekonomi ini sangat menonjol dalam peradaban Barat, maka, menurut Taqiyyudin An Nabhani, kapitalisme kemudian digunakan juga untuk menamai ideologi yang ada di negara-negara Barat, sebagai sistem sosial yang menyeluruh (An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001:26; W. Ebenstein, Isme-Isme Dewasa Ini (terjemahan), Jakarta : Erlangga, 1990).
Sebagai sebuah ideologi (Arab : mabda), kapitalisme mempunyai aqidah (ide dasar) dan ide-ide cabang yang dibangun di atas aqidah tersebut. Aqidah di sini dipahami sebagai pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Aqidah kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sebuah ide yang muncul di Eropa sebagai jalan tengah antara dua ide ekstrem, yaitu keharusan dominasi agama (Katolik) dalam segala aspek kehidupan, dan penolakan total eksistensi agama (Katolik). Akhirnya, agama tetap diakui eksistensinya, hanya saja perannya dibatasi pada aspek ritual, tidak mengatur urusan kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya (An-Nabhani, 2001:28).
Di atas aqidah (ide dasar) sekularisme ini, dibangunlah berbagai ide cabang dalam ideologi kapitalisme, seperti DEMOKRASI DAN KEBEBASAN. Ketika cabang agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang berpangkal pada ide menjadikan rakyat sebagai sumber kekuasaan-kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) sekaligus pemilik kedaulatan (pembuat hukum) (An-Nabhani, 2001:27).
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), dan kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah) (Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1993).
MengkritisiJIL
Paparan dua pemikiran di atas, yaitu tentang imperialisme dan kerangka ideologi kapitalisme, dimaksudkan sebagai pisau analisis untuk membedah JIL, untuk menjawab pertanyaan : Benarkah agenda-agenda JIL adalah kepanjangan imperialisme Barat ? Benarkah ide-ide JIL adalah ideologi? kapitalisme berkedok Islam ?
Jawabnya : IYA. Mengapa ? Sebab agenda-agenda dan ide-ide JIL dapat dipahami dalam kerangka kepanjangan imperalisme Barat atas Dunia Islam. Selain itu, ide-ide JIL itu sendiri, dapat dipahami sebagai ide-ide pokok dalam ideologi kapitalisme, yang kemudian dicari-cari pembenarannya dari khazanah Islam.
Mereka yang mencermati dan mengkritisi agenda dan pemikiran JIL, kiranya akan menemukan benang merah antara imperialisme Barat dan agenda JIL. Adian Husaini dan Nuim Hidayat dalam bukunya Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabanya (2002:3) mengutip Luthfi Asy-Syaukanie, bahwa setidaknya ada empat agenda utama Islam Liberal, yaitu agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekpresi. Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin diarahkan oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Perdebatan sistem pemerintahan Islam, kata Luthfi Asy-Syaukanie, dianggap sudah selesai, karena sudah ada para intelektual seperti Ali Abdur Raziq (Mesir), Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Madjid (Indonesia) yang mengatakan bahwa persoalan tersebut adalah masalah itjihadi dan diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin (Ibid.).
Pertanyaannya adalah, sejak kapan kaum muslimin menganggap persoalan ini sudah selesai ??? Apakah sejak Ali Abdur Raziq menulis kitabnya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm (1925) yang sesungguhnya adalah karya orientalis Inggris Thomas W. Arnold ? Apakah sejak Khilafah di Turki dihancurkan pada tahun 1942 oleh gembong imperalis, Inggris, dengan menggunakan Mustahafa kamal ? Apakah sejak negara-negara imperalis melalui penguasa-penguasa Dunia Islam yang kejam menumpas upaya mewujudkan kembali sistem pemerintahan Islam ? Dan juga, apakah nama-nama intelektual yang disebut Luthfi cukup respresentatif mewakili umat Islam seluruh dunia di sepanjang masa, ataukah mereka justru menyuarakan aspirasi penjajah ?
Yang ingin disampaikan adalah, persoalan hubungan agama dan negara, memang boleh dikatakan sudah selesai, di negara-negara Barat. Namun persoalan ini jelas belum selesai di Dunia Islam (Th. Sumartana, “Kata Pengantar dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:xvii-xviii). Dari sini dapat dipahami, bahwa tugas JIL adalah membuat selesai persoalan yang belum selesai ini. Maka ada kesejajaran antara agenda politik JIL ini dengan aksi imperliasme Barat, yang selalu memaksakan sekularisme atas Dunia Islam dengan kekerasan dan darah.
Agenda-agenda lainnya di bidang toleransi (pluralisme agama), misalnya anggapan semua agama benar dan tak boleh ada truth claim, agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali (dan tanpa ampun), dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama (astaghfirullah), tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis. Sulit sekali –untuk tak mengatakan Mustahil ‌mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan As- Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II (1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Kattolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar Katolik. (Husaini & Hidayat, op.cit., hal.110-111). Infiltrasi ide tersebut ke tubuh umat Islam dengan justifikasi QS Al-Baqarah : 62 dan QS Al-Maidah : 69 jelas sia-sia, karena kontradiktif dengan ayat-ayat yang menegaskan kebatilan agama selain Islam (QS Ali Imran : 19, QS At-Taubah : 29).
Agenda-agenda JIL tersebut jika dibaca dari perspektif kritis, menurut Adian Husaini dan Nuim Hidayat, bertujuan untuk menghancurkan Aqidah Islamiyah dan Syariah Islamiyah (Ibid., hal.81 & 131). Tentunya mudah dipahami, bahwa setelah Aqidah dan Syariah Islam hancur, maka sebagai penggantinya adalah aqidah penjajah (sekularisme) dan syariah penjajah (hukum positif warisan penjajah yang sekularistik). Di sinilah titik temu agenda JIL dengan proyek imperalisme Barat. Maka, sungguh tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa agenda JIL adalah kepanjangan imperalisme global atas Dunia Islam yang dijalankan negara-negara Barat kapitalis, khususnya Amerika Serikat.
Ini dari segi kaitan agenda JIL dengan imperialisme. Adapun ide-ide JIL itu sendiri, maka berdasarkan kerangka ideologi kapitalisme yang telah disinggung secara singkat diatas, dapatlah kiranya dinyatakan bahwa ide-ide JIL sesungguhnya adalah ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie (ed.) dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak imitasi (baca:taqlid) sempurna terhadap ideologi kapitalisme. Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat atau hadits atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar cocok dengan kapitalisme.
Ide-ide kapitalisme itu misalnya : (1) sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada sekularisme pengalaman partikular Barat‌ nampak misalnya dari penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam (Ibid., hal. xxv), dan penolakan syariat Islam (Ibid., hal.30). Demokrasi pun begitu saja diterima tanpa nalar kritis dan dianggap kompetibel dengan nilai-nilai Islam seperti adl (keadilan), persamaan (musawah), dan syura (Ibid., hal. 36). Kebebasan yang absolut tanpa mengenal batas yang nampaknya? sangat disakralkan JIL didukung dalam banyak statemen dengan beraneka ungkapan : “tidak boleh ada pemaksaan jilbab (Ibid., hal. 129), “harus ada kebebasan tidak beragam (Ibid., hal. 135), “orang beragama tidak boleh dipaksa. (Ibid., hal. 139 & 142), dan sebagainya.
Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Ide-ide? kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted. Kapitalisme dianggap benar lebih dulu secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!) untuk menilai dan mengadili Islam. Konsep-konsep Islam yang dianggap sesuai dengan kapitalisme akan diterima. Tapi sebaliknya kalau bertentangan dengan kapitalisme, akan ditolak dengan berbagai dalih. Misalnya penolakan JIL terhadap konsep dawlah islamiyah (negara Islam) (Ibid., hal. 291), yang berarti konsep ini dihakimi dan diadili dengan persepktif sekuler yang merupakan pengalaman sempit dan partikular dari Barat. Padahal sekularisme adalah konsep lokal (Barat), dan tidak bisa dipaksakan secara universal atas Dunia selain-Barat Th, Sumartana mengatakan :
“Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan antara agama dan negara, sesungguhnya dari awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara negara dan agama di bagian dunia yang lain.(Th. Sumartana, “Kata Pengantar dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal,? 2002:xiv).
Dan patut dicatat, sekularisme tak pernah menjadi konsep yang berlaku di Dunia Islam seperti saat ini, kecuali melalui jalan imperalisme Barat yang kejam, penuh darah, dan tak mengenal perikemanusian.
Penutup
Kesimpulan paling sederhana dari uraian di atas adalah bahwa agenda-agenda JIL tak bisa dilepaskan dari imperalisme Barat atas Dunia Islam. Ide-ide yang diusung JIL pun sebenarnya palsu, karena yang ditawarkan adalah kapitalisme, bukan Islam. Agar laku, lalu diberi label Islam. Islam hanya sekedar simbol, bukan substansi ide JIL. Jadi JIL telah menghunus dua pisau yang akan segera ditusukkan ke tubuh umat Islam, yaitu pisau politis dan pisau ideologis. Semua itu untuk menikam umat, agar umat Islam kehabisan darah (baca: karakter Islamnya) lalu bertaqlid buta kepada JIL dengan menganut peradaban Barat.
Jika memang dapat dikatakan bahwa JIL adalah bagian dari proyek imperalisme Barat, maka JIL sebenarnya mengarah ke jalan buntu. Tidak ada perubahan apa pun. Tidak ada transformasi apa pun. Sebab yang ada adalah legitimasi terhadap dominasi dan hegemoni kapitalisme (yang, toh, sudah berlangsung). Dan pada saat yang sama, yang ada adalah pementahan dan penjegalan perjuangan umat untuk kembali kepada Islam yang hakiki, yang terlepas dari hegemoni kapitalisme.
Jadi, Anda masih percaya JIL ? Kalau begitu, saya ucapkan selamat jalan menuju jalan buntu. Semoga tidak nabrak. [Muhammad Shiddiq Al Jawi**]
- - -
Disampaikan dalam Seminar Nasional dan Bedah Buku أ“Wajah Liberal Islam di Indonesia diselenggarakan oleh HMJ Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, di Auditorium UNDIP Pleburan, Semarang, pada hari Selasa 8 Oktober 2002.
Kepemimpinan
Memimpin kelompok, organisasi, perusahaan, apalagi negara memang tidaklah gampang. Tapi, tidak pula susah. Disebut memimpin berarti ada yang dipimpin. Ada mitra kerja (atau bisa disebut bawahan) yang akan menggalang kebersamaan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.
Jabatan pemimpin adalah sebuah amanah. Apalagi jika yang dipimpinnya adalah organisasi dakwah yang punya cita-cita adiluhung, yakni berupaya melanjutkan kehidupan Islam. Insya Allah hal itu merupakan amal shaleh, tentu saja jika ikhlas melakukannya. Karena memimpin adalah amanah, maka seorang pemimpin tidak berhak menjadikan organisasi yang dipimpinnya sebagai hak milik pribadi, sehingga merasa perlu dan wajib (menurut ukuran diri sendiri) untuk memperlakukan organisasi tersebut sesuai kehendaknya, atau merasa berhak mengorbankan bawahan dengan berlindung atas nama penyelamatan organisasi.
Menjadi pemimpin bukan berarti antikritik. Bukan pula harus merasa benar sendiri. Sehingga anekdot dalam kepemimpinan akhirnya berlaku: 1). Pemimpin tak pernah salah. 2). Jika pemimpin bersalah, kembali kepada pernyataan pertama. Tentu ini sangat menggelikan dan sungguh merupakan kepemimpinan yang kritis (baca: mengkhawatirkan).
Kepemimpinan yang baik memang bukan berarti tanpa cela. Sebagaimana halnya manusia yang bertakwa bukanlah yang selalu benar dalam menjalani kehidupannya, tapi manusia yang bertakwa adalah ketika ia berbuat salah, segera bertaubat. Itu artinya, pemimpin yang baik bukan berarti selalu benar, apalagi merasa benar sendiri. Maka, mendengarkan masukan dari bawahan, adalah hal yang sangat dianjurkan. Karena apa? Karena pemimpin tidak ma’sum. Masih ada celah untuk lupa, termasuk berbuat maksiat. Jadi, ada baiknya mendengarkan masukan, saran, bahkan mungkin juga keluhan dan harapan dari bawahan. Tak ada salahnya bukan?
Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah hikmah yang kamu dengar dari siapa saja, sebab hikmah terkadang diucapkan bukan oleh orang yang bijak. Bukankah ada lemparan yang mengenai sasaran tanpa disengaja.(HR al-Askari)
Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah pernah berkata, “Man ahsanal istima taajjalal intifa –Siapa yang paling baik mendengarkan, dia akan cepat mendapatkan manfaat. Beliau juga pernah mengingatkan kita untuk menyimak “isi pembicaraan dan bukan “siapa yang berbicara. “Perhatikanlah apa yang dikatakan, dan bukan siapa yang berkata”
Jika sebagai pemimpin menginginkan ketaatan yang kritis (cerdas) dari bawahannya, bukan ketaatan yang kritis (mengkhawatirkan), maka tentunya harus memberikan teladan yang baik kepada bawahan. Bagaimana pun juga, pemimpinlah yang seharusnya dan punya kewajiban memberikan teladan, karena seorang pemimpin lebih mungkin untuk didengar dan dipercayai. Lagi pula, bagaimana mungkin diangkat dan dipilih jadi pemimpin jika tidak bisa dijadikan teladan. Seseorang yang memimpin pasti umumnya lebih baik dari orang kebanyakan. Lebih baik semangatnya, lebih baik ilmunya, lebih baik kesabarannya, lebih baik segalanya.
Seorang pemimpin dikatakan telah gagal dan kepemimpinannya dikategorikan kritis alias mengkhawatirkan adalah ketika seorang pemimpin tak mampu memimpin bawahannya. Bahkan lebih memilih bermusuhan dengan bawahannya yang berbeda sikap dan pendapat dengannya, ketimbang berusaha duduk bersama dan melakukan dengar-pendapat dengan bawahannya yang berseberangan itu. Siapa tahu bisa dicari jalan keluar yang terbaik. Sebab, kita bukan hanya ingin bersama, tapi juga bersatu. Kita juga tidak hanya ingin diangap bilangan, tapi juga diperhitungkan[O. Solihin]

Tidak ada komentar: