Rabu, 01 Juli 2009

Biografi Syeikh Taqiyyudin An Nabhani

1. Nasab
Beliau adalah Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani, keturunan Kabilah Bani Nabhan dari Arab pedalaman Palestina, mendiami kampung Ijzim, masuk wilayah Haifa, Palestina Utara. Secara turun temurun Bani Nabhan dikenal sebagai keluarga yang spiritualistic dan sufistik.
2. Kelahiran dan pertumbuhan
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1908. Ia mendapat didikan ilmu dan agama di rumah ayahnya sendiri, seorang syaikh yang faqih fiddin. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementrian Pendidikan Palestina. Ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani. Syaikh Yusuf ini adalah seorang qadi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah. Mengenai Syaikh Yusuf al-Nabhani, beberapa penulis biografi menyebutkan sebagaimana yang dikutip oleh Ihsan Samarah sebagai berikut:
“(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad al-Nabhani asy-Syafi’i. Julukannya Abul Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadho’) di Qushbah Janih, termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Konstantinopel (Istambul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di al-Ladziqiyah, kemudian di al-Quds. Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis banyak kitab yang jumlahnya mencapai 80 buah.”
Suasana keagamaan yang kental seperti itu mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidup Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani selanjutnya. Beliau telah hafal al-Qur'an seluruhnya dalam usia yang amat muda, yaitu di bawah usia 13 tahun.
Beliau banyak mendapat pengaruh dari kakeknya, Syaikh Yusuf al-Nabhani, dan menimba ilmu yang luas. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, mengingat kakeknya mengalami langsung peristiwa-peristiwa penting tersebut karena mempunyai hubungan erat dengan para penguasa Daulah Usmaniyah saat itu.
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani banyak mendapat pelajaran dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh sang kakek, Syeikh Yusuf al-Nabhani. Kecerdasan dan kecerdikan Taqiyuddin yang nampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya.
Oleh karenanya, Syeikh Yusuf begitu memperhatikan Taqiyuddin dan berusaha meyakinkan ayahnya, Syaikh Ibrahim bin Musthafa, mengenai perlunya mengirim Taqiyuddin ke al-Azhar untuk melanjutkan pendidikannya dalam ilmu Syari’ah.
3. Ilmu dan pendidikan
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syariat dari ayah dan kakeknya, yang telah mengajarkan hafalan al-Qur'an sehingga beliau hafal al-Qur'an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim.
Kemudian Syeikh Taqiyuddin berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum menamatkan sekolahnya di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di al-Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syeikh Yusuf al-Nabhani.
Taqiyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah al-Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama. Beliau meraih Ijazah dengan predikat sangat memuaskan (mumtaz atau cum laude). Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang al-Azhar. Di samping itu, belaiu juga banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di al-Azhar yang diikuti oleh syaikh-syaikh al-Azhar, semisal Syaikh Muhammad al-Hidhir Husain—rahmatulah—seperti yang pernah disarankan oleh kakeknya. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama di al-Azhar membolehkannya.
Meskipun Syeikh Taqiyuddin menghimpun sistem al-Azhar lama dengan Darul Ulum, akan tetapi beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan belajar. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani telah menarik perhatian kawan-kawan dan dosen-dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat serta hujjah yang beliau lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi pemikiran yang diselenggarakan oleh lembaga ilmu yang ada saat itu di Kairo dan di negeri-negeri Islam lainnya. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau juga menamatkan pula kuliahnya di al-Azhar ash-Sharif menurut sistem lama, di mana mahasiswanya dapat memilih beberapa Syaikh al-Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat seperti fiqih, ushul fiqih, hadith, tafsir, tawhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.
Dalam forum-forum halaqah ilmiah tersebut, Taqiyuddin an-Nabhani dikenal oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan al-Azhar sebagai sosok yang mempunyai pemikiran yang cermat, dengan pendapat yang kokoh. Pemahaman dan pemikiran yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk meyakinkan orang dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi pemikiran. Demikian juga beliau sangatlah bersungguh-sungguh (tekun, dan bersemangat dalam memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar).
Ijazah yang beliau raih, di antaranya adalah ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah, Ijazah al-Ghuraba’ dari al-Azhar, Diploma Bahasa dan Sastra Arab dari Dar al-Ulum, Ijazah dalam Peradilan dari Ma’had al-‘Ali li al-Qada’ (sekolah tinggi peradilan), salah satu cabang al-Azhar. Pada tahun 1932 ia meraih Shahadah al-‘Alamiyyah (Ijazah internasional) Syariah dari Universitas al-Azhar as-Syarif dengan predikat excellent.
4. Bidang-Bidang Aktivitas
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementrian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haika. Di samping juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haika. Beliau sering berpindah-pindah lebih dari satu kota dan sekolah semenjak tahun 1932 sampai tahun 1938, ketika beliau mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani lebih mengutamakan bekerja di bidang peradilan (qadha’) karena belaiu menyaksikan pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan yang lebih besar daripada bidang peradilan, terutama peradilan shar’iy. Dalam kaitan ini ia menyatakan:
“Adapun golongan terpelajar, maka para pengajar di sekolah-sekolah misionaris sebelum adanya pendudukan, dan di seluruh sekolah setelah pendudukan, telah menetapkan sendiri kurikulum-kurikulum pendidikan dan tsaqafah (kebudayaan) berdasar filsafat, hadharah (peradaban) dan pemahaman kehidupan mereka yang khas. Kemudian tokoh-tokoh Barat dijadikan sumber asal bagi apa yang mengisi pemikiran kita.
Oleh karenanya, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menjauhi bidang pengajaran dalam Kementrian Pendidikan, dan mulai mencari pekerjaan lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih sedikit. Ia tidak mendapatkan pekerjaan yang lebih utama selain pekerjaan di Mahkamah Syari’ah. Dalam hal ini ia berkata:
أَمَا النِظَامُ الإِجْتِمَاعِى الذَى يُعيّن علاقة المرأة بالرجال وما يترتب على هذه العلاقة أي الأحوال الشخصية، فإنها لا تزال تطبق حتّى الآن رغم وجود الاستعمار ووجود حكم الكفر، ولم يطبّق غيرها مطلقا حتّى الآن.
“Adapun al-Nizamul Ijtima’iy (hukum-hukum syariat yang mengatur hubungan pria dan wanita) dan segala hal yang merupakan konsekuensinya (yakni al-Ahwal al-Shakhshiyyah), tetap menerapkan syariat Islam sampai sekarang, meskipun telah berlangsung penjajahan dan penerapan hukum-hukum kufur. Tidak diterapkan sama sekali selain syariat Islam di bidang itu sampai saat ini.”

Maka dari itu, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani sangat berkeinginan untuk bekerja di Mahkamah Syari’ah. Ternyata banyak kawannya yang pernah sama-sama belajar di al-Azhar bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Taqiyuddin an-Nabhani akhirnya dapat diangkat sebagai sekretaris di Mahkamah Shar’iyah Beisan, lalu dipindah ke Thabriya.
Namun demikian, karena mempunyai cita-cita dan pengetahuan di bidang peradilan, beliau terdorong untuk mengajukan permohonan kepada al-Majelis al-Islamy al-A’la, untuk mendapatkan hak menangani peradilan. Beliau menganggap bahwa dirinya mempunyai kecakapan untuk menangani masalah peradilan.
Setelah para pejabat peradilan menerima permohonannya, mereka lalu memindahkan Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani ke Haifa dengan tugas sebagai kepala Sekretaris di Mahkamah Syar’iyah Haifa. Kemudian pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai Mushawir (Asisten Qadi) dan terus memegang kedudukan ini hingga tahun 1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadhi di Mahkamah Ramallah sampai tahun 1948. Setelah itu, beliau keluar dari Ramallah menuju Syalu sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.
Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya al-Ustadh Anwar al-Khatib mengirim surat kepadanya, yang berisi tentang permohonan agar Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syar’iyah al-Quds. Taqiyuddin an-Nabhani mengabulkan permintaan itu dan kemudian ia diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syar’iyah al-Quds pada tahun 1948.
Kemudian, oleh kepala Mahkamah Syar’iyah dan kepala Mahkamah Isti’naf saat itu—yakni al-Ustadh Abdul Hamid as-Sa’ih—kemudian beliau diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf (banding), dan beliau tetap memegang kedudukan itu sampai tahun 1950. Pada tahun 1950 inilah, ia mengajukan permohonan mengundurkan diri, karena mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majelis Niyabi (Majelis Perwakilan).
Pada tahun 1951 Taqiyuddin an-Nabhani pindah ke Amman dan mengajar di Fakultas Ilmu-ilmu Islam (al-Kulliyah al-‘Ilmiyyah al-Islamiyyah) sampai tahun 1953. Beliau mengajar mata ajaran Thaqafah al-Islamiyyah sesuai dengan izin Dekan waktu itu, Ustadz Basyir Shiba’. Bukunya As-Shakhshiyyah al-Islamiyyah, Cetakan tahun 1952, menjadi buku ajar.
5. Aktivitas Politik
Sejak remaja, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syeikh Yusuf Taqiyuddin an-Nabhani, yang pernah terlibat dalam diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat, seperti Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan (modernisme), tokoh-tokoh free masonry, dan pihak-pihak lain yang membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah.
Perdebatan-perdebatan politik dan aktivitas geraknya di antara para mahasiswa di al-Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula kepeduliannya akan masalah-masalah politik.
Setelah kembali dari studi di al-Azhar, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani sangat memperhatikan upaya pembaharuan umat Islam yang dilakukan oleh para penjajah semisal Inggris dan Prancis. Beliau juga banyak menjalin kontak dan diskusi dengan para ulama tokoh pergerakan dan tokoh masyarakat seperti upaya membangkitkan kembali umat Islam. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani pernah beberapa saat menghabiskan waktu bersama mujahid syaikh Izzuddin al-Qasam. Beliau membantu merancang rencana untuk sebuah pergolakan revolusioner menentang Inggris dan Yahudi.
Jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi tahun 1948 memberikan keyakinan kepada Syeikh Taqiyuddin an Nabhani, bahwa hanya aktivitas yang terorganisasi dan memiliki akar pemikiran Islam yang kuat sajalah yang akan dapat mengembalikan kekuatan dan keagungan umat Islam.
Karena itu, Syeikh Taqiyuddin an Nabhani mulai melakukan persiapan yang sesuai untuk struktur partai, rujukan pemikiran dan sebagainya, setidaknya sejak 1949 ketika beliau masih menjabat qadi di al-Quds. Pada tahun 1950, beliau merilis buku pertamanya, yaitu Inqadh Filistin (Membebaskan Palestina). Beliau menunjukkan akar yang sangat dalam, bahwa Islam telah hadir di Palestina sejak abad VII, dan bahwa sebab utama kemunduran yang mendera Arab adalah karena umat ini telah menarik diri dan menyerahkan diri pada kekuasaan penjajah, dan ini adalah fakta.
Beberapa sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya yang menggaungkan seruan-seruan yang bersifat menantang, yang mampu memimpin situasi al-Azhar saat ini. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama al-Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam.
Sebenarnya ketika Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementrian Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemaninya mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau juga membangkitkan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka. Di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani menyampaikan semua ini melalui khutbah-khutbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan. Pada setiap topik yang beliau sodorkan, hujjahnya senantiasa kuat. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani memang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.
Ketika Syeikh Taqiyuddin an Nabhani pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau senantiasa mengadakan kontak dengan para ulama yang pernah beliau kenal dan temui di Mesir. Kepada mereka Syeikh Taqiyuddin an Nabhani mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum Muslimin dan mengembalikan kemuliaandan kejayaan mereka.
Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah daging dalam jiwa itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama maupun para pemikir. Kedudukan Taqiyuddin di Mahkamah Isti’naf di al-Quds sangat membantu aktivitasnya tersebut.
Dengan demikian, Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam kesempatan ini, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam dan partai-partai yang bercorak nasionalis dan patriotis. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rusaknya kegiatan mereka selain itu, beliau juga sering menyampaikan berbagai masalah politik dalam khutbah-khutbahnya pada acara-acara keagamaan di masjid-masjid, seperti di al-Masjidil Aqsha, Masjid al-Ibrahim al-Khalil (Hebron), dan lain-lain.
Dalam kesempatan seperti itu, beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan bahwa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat dan membeberkan niat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahwa kaum Muslimin berkewajiban untuk mendirikan partai politik yang berasaskan Islam. Semua ini ternyata membuat murka Raja Abdullah bin Al-Hussain, lalu dipanggillah Syeikh Taqiyuddin an Nabhani untuk menghadapnya, terutama karena khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus.
Taqiyuddin disuruh hadir di suatu majelis lalu oleh Raja Abdullah ditanyai mengenai apa yang menyebabkan ia menyerang sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Yordania. Namun Taqiyuddin an-Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah pura-pura tidak mendengar. Ini mengharuskan Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya tiga kali berturut-turut. Akan tetapi Taqiyuddin tetap tidak menjawab.
Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepadanya: “Apakah kamu akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?” Lalu Syeikh Taqiyuddin an Nabhani berkata kepada dirinya sendiri, “Kalau aku lemah untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan kepada orang-orang sesudahku nanti?” Kemudian Syeikh Taqiyuddin an Nabhani bangkit dari duduknya seraya berkata, “Aku berjanji kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik.”
Maka marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir beliau dari majelis tersebut dan menangkapnya. Kemudian Taqiyuddin benar-benar ditangkap. Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan maaf dari beberapa ulama atas sikap Syeikh Taqiyuddin an Nabhani tersebut lalu memerintahkan pembebasannya, sehingga Syeikh Taqiyuddin an Nabhani tidak sempat tertahan lama di penjara.
Setelah kejadian tersebut Taqiyuddin kembali ke al-Quds dan sebagai akibat dari kejadian tadi, beliau mengajukan pengunduran diri dan menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas apapun dari sebuah pemerintahan.” Syeikh Taqiyuddin an Nabhani kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki Majelis Perwakilan. Namun karena sikap-sikapnya yang dinilai menyulitkan, aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk membentuk sebuah partai politik dan keteguhannya berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil pemilu menunjukkan bahwa Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dianggap tidak layak untuk menduduki Majelis Perwakilan.
Namun demikian, aktivitas politik Syaikh Taqiyuddin tidaklah mandeg dan tekadnya pun tiada pernah luntur. Beliau terus mengadakan kontak-kontak dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya berhasil meyakinkan sejumlah ulama dan qadhi terkemuka serta para tokoh politikus dan pemikir untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam. Lalu beliau juga menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi partai tersebut. Maka aktivitasnya pun menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir. Publikasi pembentukan partai ini secara resmi tersiar pada tahun 1953, pada saat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai undang-undang organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya.
Berdasarkan permohonan yang diajukan tadi, di mana pihak pemerintah diharapkan dapat memaklumi pendirian sebuah partai politik, maka Hizbut Tahrir pun lalu menyewa sebuah rumah di kota al-Quds, dan memasang papan nama yang mencantumkan nama Hizbut Tahrir. Akan tetapi Departemen Dalam Negeri Yordania lantas mengirimkan sepucuk surat kepada Hizbut Tahrir yang melarangnya untuk melakukan aktivitas.
Atas dasar surat ini, pihak kepolisian segera menyerbu rumah yang disewa Hizbut Tahrir tersebut dan mencabut papan nama yang ada di sana. Hizbut Tahrir lalu dilarang untuk melakukan kegiatan apapun. Sejak saat itu—dan bahkan sampai saat ini—Hizbut Tahrir tidak dibolehkan melakukan aktivitas dan segala aktivitasnya dilarang.
Namun demikian, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sama sekali tidak peduli atas semua itu, bahkan beliau tetap bersiteguh untuk melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah beliau tetapkan sebagai asas-asas bagi Hizbut Tahrir. Beliau sangat menaruh harapannya untuk membangkitkan umat Islam pada Hizbut Tahrir, gerakan yang telah beliau dirikan dan tetapkan falsafahnya dengan karakter-karakter tertentu yang digali dari nash-nash syara’ dan sirah Nabi SAW..
Oleh karena itu, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani kemudian menjalankan aktivitasnya secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizbut Tahrir, di mana beliau sendiri menjadi pucuk pimpinannya. Dewan pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizbut Tahrir ini sampai wafatnya tahun 1977. Sepanjang masa kepemimpinannya, Syeikh Taqiyuddin an Nabhani telah melakukan berbagai kegiatan politik yang lain. Hasil yang paling gemilang ialah beliau telah mewariskan sebuah partai politik yang bermutu tinggi, kuat, dan tersebar luas di seluruh dunia. Semua upayanya ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizbut Tahrir sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, kendatipun Hizbut Tahrir tetap tergolong partai yang dilarang keberadaannya di seluruh negara di dunia (karena ketegasan sikap menyerukan penerapan syariat Islam secara total dan ini tentu bertentangan dengan ideologi penguasa-penguasa yang ada).
Hizbut Tahrir juga telah mengeluarkan banyak selebaran (nasyrah) politik yang penting, yang membeberkan berbagai persekongkolan jahat untuk melawan umat Islam. Hizbut Tahrir juga banyak mengirimkan memorandum politik yang penting kepada para politikus dan penguasa di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan maksud agar mereka mundur dari pemerintahan dan menyerahkannya kepada Hizbut Tahrir. Atau dengan maksud memberi nasehat dan peringatan atas tindakan-tindakan untuk yang dianggap sebagai tindakan pengkhianatan kepada umat. Atau dengan maksud mengancam mereka bahwa umat suatu saat akan mengoreksi dan memperhitungkan tindakan-tindakan mereka.
Walhasil, aktivitas politik merupakan aspek yang menonjol dalam kehidupan Syaikh Taqiyuddin, karena kemampuannya yang tinggi untuk melakukan analisis politik, sebagaimana yang nampak dalam kecermatan selebaran politik yang dikeluarkan. Beliau juga banyak menelaah peristiwa-peristiwa politik, lalu mendalaminya dengan amat cermat, disertai pemahaman sempurna terhadap situasi-situasi politik dan ide-ide politik yang ada.
Maka, bila mencermati selebaran-selebaran politik yang pernah dikeluarkan, juga kitab-kitab mengenai politik yang ditulis, serta garis-garis besar langkah politik yang beliau susun untuk membina pemikiran politik shabab (pemuda) Hizbut Tahrir, akan dapat disimpulkan bahwa Syaikh Taqiyuddin memang benar-benar mempunyai kemampuan luar biasa dalam masalah politik. Beliau termasuk salah seorang pemikir dan politikus terulung pada abad XX.
6. Karya-karyanya
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani wafat pada 1 Muharram 1398 H. atau 11 Desember 1977 M.. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Syuhada’ al-Auza’i, Beirut. Syeikh Taqiyuddin an Nabhani telah meninggalkan kitab-kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan yang tidak ternilai harganya. Karya-karya ini menunjukkan bahwa Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani mempunyai pemikiran yang brilian dan analisis yang cermat. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizbut Tahrir, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, maupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial. Inilah yang mendorong sebagian peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah Taqiyuddin an-Nabhani.
Oleh karena itu, kitab-kitab Syaikh Taqiyuddin terlihat istimewa karena mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan problematika manusia. Kitab-kitab yang membahas aspek-aspek kehidupan individu, politik, kenegaraan, sosial dan ekonomi tersebut, merupakan landasan ideologis dan politis bagi Hizbut Tahrir, di mana Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjadi motornya.
Karena beraneka ragamnya bidang kajian dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqyuddin, maka tak aneh bila karya-karyanya mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik yang beliau tulis untuk memecahkan berbagai masalah politik. Belum lagi selebaran-selebaran dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah pemikiran dan politik yang penting.
Karya-karya Syaikh Taqiyuddin, baik yang berkenaan dengan politik maupun pemikiran, dicirikan dengan adanya kesadaran, kecermatan, dan kejelasan, serta sangat sistematis, sehingga beliau dapat menempatkan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan komprehensif yang diistinbat dari dalil-dalil syar’i yang terkandung dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Karya-karyanya dapat dikatakan sebagai buah usaha keras pertama yang disajikan oleh sang pemikir muslim pada era modern ini.
Karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihadnya antara lain:
Nizamul Islam
At-Takatul Al-Hizbi
Mafahiim Hizbut Tahrir
An Nizamul Iqthisadi fil Islam
An Nizamul Ijtima’i fil Islam.
Nizamul Hukm fil Islam
Ad-Dustur
Muqaddimah Dustur
Ad-Daulah al-Islamiyah
Ash Shaikh Shiyah al-Islamiyah (3 jilid)
Mafahim Siyasiyah li Hizbut Tahrir
Nazharat Siyasiyah li Hizbut Tahrir
Nida’ Haar
Al-Khilafah
At-Tafkir
Ad-Dus’iyah
Sur’atul Badihah
Nuqtatul Intilaq
Dukhul al-Mujtama’
Inqadu Falisthin
Risalah Arab
Tasalluh Mishar.
Al-Ittifaqiyyah Ats Thuna’iyyah al Mishiyyah as Suriyyah wal Yamaniyyah.
Hallu Qadiyah Falistin ‘ala At Tariqah al-Amirikiyyah wal lukkiliziyyah
Nazhariyatul Faragh aas Siyasi Haula Mashru’a Izan Hawar.
Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran mengenai pemikiran, politik dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir—dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau sebarluaskan—setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya Syaikh Taqyuddin. Di antara kitab itu adalah:
As-Siyasah al-Iqtisadiyah al-Muthla
Naqd al Ishtirakiyah al Marksiyah
Kaifa Hudimat al-Khilafah
Ahkamul Bayyinat
Nizamul Uqubat
Ahkamus Salat
Al-Fikr al Islami.
Apabila karya-karya Syaikh Taqiyuddin tersebut ditelaah dengan seksama, terutama yang berkenaan dengan aspek hukum dan ilmu usul, akan nampak bahwa beliau sesungguhnya adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fuqaha dan mujtahidin terdahulu. Hanya saja, beliau tidak mengikuti salah satu aliran dalam ijtihad yang dikenal di kalangan Ahlus Sunnah. Artinya, Syeikh Taqiyuddin an Nabhani tidak mengikuti suatu madhhab tertentu di antara madhhab-madhhab fiqih yang telah dikenal, akan tetapi beliau memilih dan menetapkan (mentabanni) ushul fiqih tersendiri yang khusus baginya, lalu atas dasar itu beliau menggali hukum-hukum syara’.
Namun perlu diingat di sini bahwa usul fiqih Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqih sunni, yang membatasi dalil-dalil shar’i pada al-Kitab, al-Sunnah, ijtihad sahabat, dan qiyas shar’i, yakni Qiyas yang illatnya terdapat dalam nash-nash syara’ semata.

1 komentar:

Aminatuz Zuhroh mengatakan...

assalamualaikum. Mbak q izin copy file ini untuk tugas ya. Sekalian q undang mbak untuk intip blogQ y.makasih