Sabtu, 11 Juli 2009

MASA DEPAN BANGSA YANG KUIMPIKAN

Sebuah Esai dalam Rangka Lomba Penulisan Esai Nasional II Tahun 2007 dengan Tema
Optimisme Anak Bangsa


Pertengahan bulan Mei 2005 yang lalu, saya didaulat menjadi wisudawati di sebuah madrasah aliyah sekaligus pesantren. Sebagai seorang yang sudah cukup lama tinggal di lingkungan pesantren, melihat kondisi remaja luar saat ini membuat hati saya begitu miris.
Keadaan ini terus berlanjut hingga saya memasuki bangku perkuliahan. Meskipun kampus saya itu adalah kampus berbasis agama, namun cara berpakaian, berbicara, dan bergaul mahasiswanya bisa dibilang kurang islami. Tak jarang saya menemukan teman-teman sekosma pergi berkeliling kota Surabaya dengan berboncengan. Dalam banyak kesempatan, saya juga sering melihat teman laki-laki dan perempuan berjabat tangan, duduk berdekatan, bahkan saling menyentuh tubuh pasangannya. Astaghfirullah.
Keprihatinan saya semakin bertambah, ketika saya mengetahui bahwa kantin lebih diminati untuk dikunjungi mahasiswa daripada perpustakaan danUKM. (Unit Kegiatan Mahasiswa). Tak ayal lagi UKM-UKM sepi kegiatan. Perpustakaan menjadi ramai hanya pada waktu musim tugas tiba. Nasib yang sama juga dialami organisasi-organisasi ekstra kampus, semacam HMI, PMII, HTI, IMM, KAMMI, PKS, GEMA, dan lain sebagainya. Kajian-kajian mereka hanya diminati segelintir orang. Itupun kemungkinan besar adalah anggota dari organisasi ekstra tersebut.
Memang tak semua mahasiswa bertindak demikian. Ada beberapa mahasiswa yang aktif berorganisasi. Umumnya mereka membentuk klub-klub diskusi kecil di masjid, di kantin, maupun di bawah pohon rindang. Beberapa mahasiswa lain juga ada yang mencoba memanfaatkan waktu dengan bekerja, seperti mangajar TPQ, membuka kursus, berbinis, hingga bekerja sebagai pegawai pabrik. Namun, bila kita mencoba mengkalkulasinya kita hanya menemukan nominal komunitas mahasiswa nomor dua ini tidak lebih banyak daripada komunitas mahasiswa nomor pertama. Ironis memang.
Fenomena seperti di atas membuat saya bertanya-tanya, apakah pendidikan saat ini hanya digunakan sebagai syarat legitimasi atas suatu sistem? Hanya sebagai formalitas dan bentuk pencarian justifikasi status seseorangkah? Apakah pihak akademik juga memikirkan hal itu? Apakah kademika juga memikirkan hal itu? apakah sebagai iron stock, agent of change, dan agent of control mahasiswa tidak lagi memikirkan nasib bangsa yang selama beberapa dekade terakhir tengah diliputi problematika yang sangat berat?
Padahal seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dilema ini sangtlah kompleks, merata di setiap bidang yang sangat urgen dan vital, mulai dari masalah politik, ekonomi, moral, pendidikan, hingga pada sistem hukum. Tidak bisa dipilah-pilah lagi. Atau bila diibaratkan, maka kondisi bangsa Indonesia kita saat ini sedang berada di mulut jurang atau seseorang yang sedang menderita penyakit komplikasi akut. Pun demikian, tak ada kata terlambat untuk mencoba menjadi yang lebih baik. Tak ada kata terlambat untuk berfikir dan melangkah maju meninggalkan bibir jurang. Tak ada kata terlambat untuk berobat bagi yang sedang terserang penyakit komplikasi akut. Bukankah tak ada yang tak mungkin di dunia yang kebenarannya tak satupun absolut ini?
Hingga pada akhirnya saya menemukan sosok itu pada bulan November 2006 yang bertepatan dengan bulan Syawal 1427 H. Saya masih ingat dengan jelas, saya mendengar namanya, mendapati kisah-kisah kesolehan dan kepandaiannya dari ibu saya semenjak dua bulan sebelum pertemuan pertama kami itu. Dia begitu memukau di mata saya. Karena menurut cerita ibu, sebelum menjadi sosok ikhwan seperti sekarang ini, dia harus melewati fase-fase yang lumayan buram. Mulai dari keluarga yang kurang harmonis, pendidikan yang biasa-biasa saja, teman-teman sekampus yang meskipun takmir masjid, tapi juga bermain-main ke Dolly Surabaya, dan lain sebagainya.
Semenjak mengenal pribadi yang satu ini, saya jadi kembali bersemangat untuk mendalami ilmu-ilmu agama yang ternyata begitu banyak yang belum saya ketahui. Saya juga akhirnya tersadar bahwa masih banyak orang-orang muda yang baik di sekitar saya. Orang-orang muda yang memiliki semangat untuk menjadikan dirinya dan orang lain menjadi yang lebih baik setiap detiknya. Orang-orang muda yang begitu perhatian dengan nasib bangsa yang semakin rawan ini.
Mereka mengapresiasikan rasa prihatin bukan pada hal-hal yang besar, melainkan memulainya dengan hal-hal kecil, namun insyaallah berefek besar. Sebagai contoh, ikhwan yang saya ceritakan ini menyisihkan sebagian gajinya mengajar sebagai beasiswa untuk beberapa muridnya, membangun perpustakaan mini di rumahnya untuk umum, senantiasa memanfaatkan waktu dengan belajar dan bekerja, serta melaksanakan kewajiban berdakwah di sela-sela aktivitasnya yang hampir tidak ada waktu yang tak dimanfaatkannya.
Dari cerita di atas tersirat bahwa di samping generasi yang notabene adalah tonggak sejarah bangsa ke depannya, yang masih suka acuh dengan peran besarnya tersebut, ada banyak pula generasi yang siap lahir batin untuk memperbaiki kondisi bangsa.
Persoalan tak berhenti di sini. Kasus-kasus di atas hanya segelintir dari kasus-kasus yang menimpa generasi muda kita, yang dalam hal ini terwakili oleh mahasiswa. Itu berarti masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan.
Kita tak mungkin berdiam diri melihat banyak anak kecil yang sudah pandai mengucapkan I love you ketimbang melafalkan surat-surat pendek bukan? Kita juga tak mungkin menyalahkan acara-acara TV yang kerap didominasi oleh sinetron-sinetron remaja yang kurang rasional, terkesan materialis dan kapitalis itu seratus persen hanya karena kekurang intensifan kita dalam mengontrol anak maupun adik kita kan?
Revolusi Teknologi dengan meningkatkan control kita pada materi, ruang, dan waktu menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir, dan sistem rujukan. Menurut Prof. Dr. Abuddin Nata, dalam menyikapi revolusi teknologi ini ada tiga kelompok yang berbeda, yaitu kelompok yang pesimis, optimis, dan pertengahan.
Bagi kelompok yang pesimis, memandang kemajuan di bidang teknologi akan memberikan dampak negatif, karena hanya akan memberikan kesempatan dan peluang kepada orang-orang yang dapat bersaing saja, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan, ekonomi, kesempatan, kecerdasan, dan lain-lain. Menurut mereka, orang-orang yang dapat bersaing itu akan semakin mudah berbuat curang kepada yang di bawahnya dalam bentuk yang lebih canggih.
Sementara itu, bagi kelompok yang optimis kehadiran revolusi teknologi justru menguntungkan, seperti yang diperlihatkan Zianuddin Sardar. Menurutnya, revolusi informasi yang kini sedang dijajahkan adalah suatu rahmat besar bagi umat manusia. Dia menemukan dalam jurnal-jurnal akademis menyebutkan bahwa revolusi informasi akan menimbulkan desentralisasi yang nantinya melahirkan suatu masyarakat yang lebih demokratis.
Dalam kaitan ini, menarik sekali apa yang dikatakan sosiolog Prancis, Jacgues Ellet, yang mengatakan bahwa semua kemajuan teknologi menuntut pengorbanan, yakni dari satu sisi memberi nilai tambah, tapi pada sisi yang lain dapat mengurangi., yang keduanya tidak dapat dipisahkan sekaligus tidak terduga.
Uraian di atas mengajarkan kita, umat Islam, yang selalu diajarkan bersikap adil terhadap berbagai masalah, tampaknya sikap pertengahan yang perlu diambil, yaitu dari satu sisi tidak menafikan sains dan di sisi lain berusaha menjaga agar iptek tidak disalahgunakan (yaitu dengan etika). Karena dengan iptek itu, kegiatan dakwah dan jihad kita terealisasi lebih efektif dan efisien.
Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa sekarang di seluruh dunia timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Pernyataan ini seakan-akan menjadi sindiran bagi kaum birokrat maupun kaum intelektual kita. Dimana dengan kepandaian dan kekuasaan yang mereka miliki, terkadang karunia Allah itu malah menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Tak ayal, gelar koruptor dan penghianat intelektual pun disandarkan pada mereka. Apabila orang-orang yang harusnya menjadi teladan, malah berbuat yang memalukan, maka jangan disalahkan jika generasi mendatangnya bercermin dari sejarah kelam mereka.
Benar kata orang bijak bahwa bila kita ingin merusak suatu bangsa maka rusaklah moralnya, terutama moral kaum mudanya. Karena generasi muda itulah yang akan membawa arah bangsa selanjutnya.
Atas dasar inilah, dengan kesadaran penuh untuk menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan dengan segenap potensi yang kita miliki, seyogyanyalah kita bersatu membangun Indonesia yang lebih cerah. Maksimalisasi potensi yang tersedia tersebut diharapkan bisa menjadi tolak ukur upaya intensif untuk memperoleh predikat standart ideal, sekaligus menghapus kesan Indonesia yang buram dan suram akibat bencana yang kian kerap melanda negeri kita, kemisknan yang merata di setiap penjuru negeri, busung lapar yang menggerogoti anak negeri, buta huruf yang ternyata masih tersisa, tindakan-tindakan sparatis anarkis yang menghantui, biaya pelayanan kesehatan masyarakat yang masih sulit dijangkau, dekadensi moral dan lain sebagainya. Permasalahan hidup yang sejak beberapa dekade terakhir sudah bertambah gawat tersebut, jangan membuat kita semakin posesif apalagi apatis, tapi hendaknya dijadikan sebagai perangsang tumbuh kembangnya rasa optimis di kalangan anak bangsa.
Meminjam istilah yang biasa dipakai oleh teman-teman aktifis kita, Indonesia saat ini seperti raksasa yang sedang tertidur pulas. Artinya, kita punya potensi yang besar, tetapi masih belum sadar dengan potensi tersebut maupun bahaya yang mengancamnya. Dan keniscayaan-keniscayaan di atas akan menjadi sesuatu yang riil manakala para pemain bangsa ini menjalankan peranannya dengan sebaik-baiknya. Politikus menjalankan sistem politik yang sehat dan ramah, ekonom bersikap sportif dan bersih dalam menghidupkan ekonomi bangsa, budayawan dan kaum intelek malu menjadi penghianat intelektual, agamawan tak segan dan enggan untuk mengontrol masyarakat, para generasi muda tak mudah mengambil idiologi-idiologi dan budaya asing yang kurang sesuai dengan ideologi dan budaya sendiri, melainkan lebih gemar berkompetensi, berkreasi dan berprestasi. Sesungguhnya tak lain dan tak bukan, pemegang tongkat estafet nasib negeri ini selanjutnya ialah…….kita, generasi muda.
Demikianlah masa depan bangsa yang kuimpikan. Terlalu singkat dan sederhana mungkin untuk menggambarkan nasib bangsa Indonesia saat ini dan masa mendatang. Namun sebagai gadis cilik yang bertempat tinggal, hidup di tengah-tengah beberapa elemen, keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan, saya merasa terpanggil dalam keikutsertaan pertanggungjawaban untuk memberi pencerahan bagi bangsa ini sesuai dengan cita-cita agama, bangsa, dan negara. Ya…meskipun hanya dari sedikit goresan ini. Karena, menyadari posisi ke-diri-an untuk mengemban amanat yang dipikulkan menjadi suatu keniscayaan yang tentu menuntut pengorbanan. No Honor Without Poin. Barangkali pepatah itu cocok bagi mereka yang berjuang mengorbankan segala energi dan waktu untuk menciptakan perubahan yang gemilang.

MASA DEPAN BANGSA YANG KUIMPIKAN

Esai dalam Rangka Lomba Penulisan Esai Nasional II Tahun 2007 dengan Tema
Optimisme Anak Bangsa









Oleh :
Zahra al Habsy

Tidak ada komentar: