Sabtu, 11 Juli 2009

Pers dan Tantangan Profesionalisme

Sebuah goresan pada tahun 2005 untuk majalah fakultas

Belum lama ini tepatnya hari Rabu tanggal 9 Februari 2005, masyarakat pers Indonesia kembali memperingati Hari Pers Nasional yang ke-59. Dalam usianya yang sudah memasuki seperempat abad ini pers telah berperan penting. Sejarah kemerdekaan bangsa ini pun tak lepas dari peran media masa, ketika itu sebuah satelit radio siaran bernama RRI mengudarakan proklamasi kemerdekaan, dan hinggi kini pers tetap eksis dalam membantu mengisi kemerdekaan.

Sahabat, keberadaan pers di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan, misalnya pada pemerintahan Soeharto pers terkesan hanya dijadikan sebagai corong orang-orang berkuasa. Namun setelah 32 tahun diperlakukan seperti itu, pers akhirnya mulai berani setelah orde baru berganti reformasi. Dalam sejarah pers di Indonesia tepatnya tahun 1945, pers memang diberikan kebebasan bahkan siapapun diperbolehkan mendirikan media masa tanpa surat izin. Hal ini diperjelas dalam sebuah dokumen dari Departemen Penerangan yang mengisyaratkan bahwa pers harus merdeka, sehingga kebebasan manusia tidak akan terampas dari negara yang mengklaim sebagai negara demokratis.

Pers pun akhirnya hadir sebagai sarana ekspresi masyarakat dan bukan sekedar sarana kumpulan manusia tertentu. Lain halnya dengan jurnal yang diterbitkan oleh Asosiasi Perdagangan, lembaga-lembaga komersial atau pers pada rezim orde baru yang hanya menjadi sarana ekspresi bagi kelompok sosial tertentu dan tidak mewakilli sudut pandang opini publik.

Kebebasan pers adalah bagian dari tuntutan para insan pers. Tapi ironisnya itikad baik memberikan kebebasan itu dijadikan sebagai legitimasi tindakan amoral dan kriminalitas. Era ini banyak pers yang telah berkontribusi terhadap kebobrokan moral bangsa Indonesia. Sebut saja berbagai film mistik, tayangan yang menonjolkan aurat, serta tayangan maupun berita kriminalitas yang bebas sensor, sehingga bisa menimbulkan masalah baru yaitu suburnya kriminal dalam bentuklainnya.

Disamping itu, ada sisi positif dari kebebasan pers adalah suburnya jumlah media masa yang juga diikuti oleh rasa keterbukaan memberikan pendapat, termasuk dalam hal ini hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan. Kemajuan dunia pers ini memang perlu diacungi jempol. Dalam catatan PWI Pusat penerbitan pers di Indonesia yang mampu bertahan saat ini sekitar 800 penerbitan. Sementara stasiun radio secara nasional mengalami pertumbuhan luar biasa yakni terdiri dari 1.200 stasiun radio siaran. Dari jumlah itu bukan sesuatu hal yang muluk-muluk jika kebebasan pers diminta melangkah lebih profesional..! Tidak hanya memunculkan password kebebasan yang kebablasan, namun juga harus di lingkari dengan kebebasan yang bertanggung jawab. Setidaknya pers mampu hadir mendukung perbaikan moral, paradigma serta kesalehan sosial di masyarakat.

Kendati demikian kita memang harus berani bilang bahwa dalam dinamikanya pers di Indonesia masih dalam proses pendewasaan. Namun bukan berarti sejumlah kelemahan, distorsi dan penyelewengan dijadikan pemakluman. Sudah ada Undang-Undang Pers sebagai payung hukum yang harus di patuhi dan dilaksanakan agar informasi yang diberikan bukan hanya manfaat, tetapi juga akurat dan dapat dipercaya. Karena itu dibutuhkan sebuah titik temu atau keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung jawab dan profesionalisme kerja. Wallahua'lam bishawab.

1 komentar:

Admin mengatakan...

Mbak Zahra bisa ngasih materi untuk sekolah?
Makasih
http://pak-gunawan.blogspot.com
http://namiraschool.com
http://teachers-plans.com