Selasa, 20 Mei 2008

Dunia Perempuan

SAATNYA KARTINI MODERN CERDAS MEMPOSISIKAN DIRI



Sosok Kartini Dulu dan Kini

Seabad lebih, Kartini meninggalkan dunia fana ini, namun namanya tetap harum dan dikenang, bahkan dipuja bagi sebagian orang. Tak lain, ini dikarenakan jasanya untuk mengemansipasi kaumnya, perempuan.

Dulu, Kartini sebagai putri bupati Rembang yang hidup dalam kemuliaan ternyata telah memiliki kekritisan yang kuat. Dia melihat bahwa sistem patriarki yang teramat kental di masanya telah membuat perempuan ternomor sekiankan dalam masalah pendidikan, ekonomi, social, apalagi perpolitikan. Semua ini membuat sosoknya yang humanis berontak. Ia berpendapat bahwa tak seharusnya perempuan dan lelaki dibedakan sedemikian jauh. Maka, iapun memperjuangkan agar perempuan di masanya juga mendapatkan pendidikan. Mungkin, di benak Kartini saat itu sudah tergambar bahwa pendidikanlah yang merubah mafhum (persepsi) seseorang, sehingga diharapkan dengan mafhum yang baru itu muncullah jiwa-jiwa yang produktif kontributif dalam frame kearifan. Sebuah langkah inovatif dan sangat berani di masa itu.

Kini, sosok-sosok yang menyebut dirinya kartini diharapkan memiliki semangat yang sama dengan Kartini yang asli, semangat untuk memberdayakan perempuan. Dalam artian, kartini masa kini jangan hanya menyerukan emansipasi, menuntut persamaan gender, tapi di sisi lain ia masih mengamini zaman yang makin capital ini. Diharapkan kartini masa kini mampu menyadarkan dirinya dan perempuan-permpuan lainnya bahwa pemberdayaan, emansipasi, atau apapun itu tidak akan berwujud manakala ia sendiri tak sadar dan tak mau maju. Statemen bahwa perempuan hanya sebagai konco wingking perlu dihapus, karena perempuan juga berhak bereksistensi dan berprestasi selama ia tidak melewati batas (fitrah) nya. Ini adalah sebuah keniscayaan dari sebuah pilihan yang sadar.

Peran Aktif Perempuan dan Media

Perempuan adalah obyek pembicaraan yang takkan habis digali inspirasinya. Permasalahannya yang kompleks dan terus berkembang mengikuti arus zaman adalah suatu misteri yang menantang dan menarik untuk dipecahkan. Tak ayal, banyak pihak yang beri’tikad untuk urun rembuk menyelesaikannya atau malah memanfaatkannya. Katakanlah, dalam hal kemediaan. Di sana, kita bisa melihat sebuah pertarungan antara idealisme untuk memberdayakan perempuan dan kapitalisme untuk mengakomoditi perempuan secara gamblang. Dikatakan memberdayakan manakala media berbesar hati mengekspos perempuan-perempuan yang berprestasi, seperti Ibu Hajjah Fadhilah, Ibu Khofifah, Ibu Hatta Meutia, dan sederet nama perempuan yang berprestasi di bidangnya masing-masing. Demikian pula saat media itu berusaha membantu tegaknya keadilan bagi perempuan-perempuan tertindas, seperti Marsinah sebagai korban keegaliteran suatu kekuasaan hingga Lisa selaku korban KDRT. Pun demikian, bukan rahasia lagi bahwa media juga telah menyumbang kepragmatisan dan kedekadensian moral sekelompok perempuan.

Tidak etis, bila selanjutnya kita menyalahkan salah satu pihak, baik itu dari fihak pemerintah, media, ataukah perempuan itu sendiri yang nyatanya kurang arif memaknai permberdayaan. Karena hal ini akan menjadi lingkaran setan saja. Namun, alangkah bijak bila kita bisa memulai dari diri kita sendiri dan dari lingkungan sekitar kita, misalnya memakai kebersahajaan sebagai cirri khas, memperdalam ilmu agama, arif dalam memilih acara maupun bacaan dari media, menambah ketrampilan diri melalui kursus, diklat, workshop, atau seminar, dan lain sebaginya. Karena kecil kemungkinan media menyuguhi produk-produk kapital bila rating atau demandnya rendah. Begitu pula sebaliknya. Karena, menjadi ideal memang sulit, namun menjadi seorang idealis adalah langkah awal yang sangat bagus sebelum kita menyentuh realitas.

By : Zahra al Habsy

Wasekum Urusan Peranan Perempuan HMI kom. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel

Tidak ada komentar: