Di berbagai belahan dunia, orang beramai-ramai mengamini bahwa tanggal 14 Februari adalah hari Velentine. Di Indonesia yang berpenduduk ± 220 juta jiwa, yang mayoritasnya menganut agama islam pun, para warganya turut menyambut gembira datangnya hari kasih sayang ini, meskipun sebenarnya mereka tak tahu pasti mengapa harus ikut merayakan hari tersebut.
1. DEFINISI VALENTINE
Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine's Day), pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Hari raya ini sekarang terutama diasosiasikan dengan para pencinta yang saling bertukaran notisi-notisi dalam bentuk "valentines, antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai abad ke-19, tradisi penulisan notisi pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu milyar kartu valentine dikirimkan per tahun. Asosiasi yang sama ini juga memperkirakan bahwa para wanitalah yang MEMBELI kurang lebih 85% dari semua kartu valentine.
Di Amerika Serikat mulai pada paruh kedua abad ke-20, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula PEMBERIAN SEGALA MACAM HADIAH, biasanya oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan cokelat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.
Di Amerika Serikat hari raya ini lalu diasosiasikan dengan ucapan umum cinta platonik "Happy Valentine's", yang bisa diucapkan oleh pria kepada teman wanita mereka, ataupun, teman pria kepada teman prianya dan teman wanita kepada teman wanitanya. Sementara sebagian orang menganggap hari Valentine sebagai momen yang paling sulit, penuh tekanan sekaligus dangkal karena semakin panjang periode sebuah hubungan cinta, semakin besar tekanan yang pasangan itu alami karena menipisnya ide-ide orisinal.
2. SEJARAH VALENTINE
a. Perayaan Kesuburan bulan Februari
Asosiasi pertengahan bulan Februari dengan cinta dan kesuburan sudah ada sejak dahulu kala. Menurut tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari adalah bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.
Beberapa referensi lain menjelaskan bahwa hari valentine adalah hari kasih sayang bangsa romawi yang menganut Animisme yang dirayakan semenjak 17 abad yang silam, sebagai ungkapan kasih sayang dewa. Maka setiap tanggal 15 Februari, orang-orang Romawi Kuno mengadakan sebuah upacara yang bernama Lupercalia, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing.
Peringatan ini berasal dari sebuah legenda bahwa Romelius pendiri kota Roma disusui oleh seekor serigala sehingga ia tumbuh menjadi orang yang berbadan kuat dan berakal cerdas. Maka bangsa Romawi mengabadikan peristiwa tersebut pada pertengahan bulan Februari dengan prosesi perayaan sebagai berikut:
"Seekor anjing dan domba disembelih, lalu dipilih dua orang perjaka yang berbadan tegap untuk dilumuri tubuhnya dengan darah anjing dan domba. Setelah dilumuri darah anjing dan domba mereka dimandikan dengan air susu. Lalu diarak keseluruh penjuru kota sambil memegang cambuk yang terbuat dari kulit. Di sepanjang jalan para wanita romawi menyambut hangat lesatan cambuk ke tubuhnya, karena diyakini berkhasiat menyembuhkan penyakit dan mudah mendapat keturunan".
b. Hari Raya Gereja
Menurut Ensiklopedi Katolik (Catholic Encyclopaedia 1908), nama Valentinus paling tidak bisa merujuk tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda:
• seorang pastur di Roma
• seorang uskup Interamna (modern Terni)
• seorang martir di provinsi Romawi Africa.
Koneksi antara ketiga martir ini dengan hari raya cinta romantis TIDAK JELAS. Bahkan Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.
Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus dia Via Tibertinus dekat Roma, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada 1836. Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine, di mana peti emas diarak-arak dalam sebuah prosesi khusyuk dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.
Hari raya ini DIHAPUS DARI KALENDER GEREJAWI pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santa yang asal-muasalnya bisa dipertanyakan dan hanya berbasis legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.
c. Valentinius
Valentinus adalah seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ketiga. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut, dan ia bukan satu-satunya. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.
Namun sayangnya keinginan ini bertepuk sebelah tangan. Para pria enggan terlibat dalam perang. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Hal ini membuat Claudius sangat marah, ia pun segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.
Ia berfikir bahwa jika pria tak menikah, mereka akan dengan senang hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Para pasangan muda menganggap keputusan ini sangat tidak manusiawi. Karena menganggap ini adalah ide aneh, St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.
Ia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini diketahui kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tak bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin, tanpa bunga, tanpa kidung pernikahan.
Hingga suatu malam, ia tertangkap basah memberkati sebuah pasangan. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang ia tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis mati. Bukannya dihina, ia malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara.
Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta itu adalah putri penjaga penjara. Sang ayah mengijinkannya untuk mengunjungi St. Valentine di penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta itu. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar.
Di hari saat ia dipenggal,14 Februari, ia menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis itu atas semua perhatian, dukungan dan bantuannya selama ia dipenjara. Diakhir pesan itu, ia menuliskan : “Dengan Cinta dari Valentinemu.”
Pesan itulah yang kemudian merubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.
Valentinus juga juru ilmu Agnostisisme yang berpengaruh, selain juga adalah seorang calon uskup Roma pada tahun 143. Dalam ajarannya, tempat tidur pelaminan memiliki tempat yang utama dalam versi Cinta Kasih Kristianinya. Penekanannya ini jauh berbeda dengan konsep dalam agama Kristen yang umum. Stephan A. Hoeller, seorang pakar, menyatakan pendapatnya tentang Valentinius mengenai hal ini: "Selain sakramen permandian, penguatan, ekaristi, imamat dan perminyakan, aliran gnosis Valentinius juga secara prominen menekankan dua sakramen agung dan misterius yang dipanggil "penebusan dosa" (apolytrosis) dan "tempat pelaminan".
d. Era abad pertengahan
Catatan pertama dihubungkannya hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 Februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sang sastrawan Inggris pertengahan ternama Geoffrey Chaucer pada abad ke-14. Ia menulis di cerita Parlement of Foules (Percakapan Burung-Burung) bahwa
For this was sent on Seynt Valentyne's day ("Untuk inilah dikirim pada hari Santo Valentinus"). When every foul cometh there to choose his mate ("Saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya").
Pada zaman itu bagi para pencinta sudah lazim untuk bertukaran catatan pada hari ini dan memanggil pasangan mereka "Valentine" mereka. Sebuah kartu Valentine yang berasal dari abad ke-14 konon merupakan bagian dari koleksi pernaskahan British Library di London. Kemungkinan besar banyak legenda-legenda mengenai santo Valentinus diciptakan pada zaman ini.
e. Valentine Era Modern
Hari Valentine kemungkinan diimpor oleh Amerika Utara dari Britania Raya, negara yang mengkolonisasi daerah tersebut. Di Amerika Serikat kartu Valentine pertama yang diproduksi secara massal dicetak setelah tahun 1847 oleh Esther A. Howland (1828 - 1904) dari Worcester, Massachusetts. Ayahnya memiliki sebuah toko buku dan toko peralatan kantor yang besar dan ia mendapat ilham untuk memproduksi kartu dari sebuah kartu Valentine Inggris yang ia terima. (Semenjak tahun 2001, The Greeting Card Association setiap tahun mengeluarkan penghargaan "Esther Howland Award for a Greeting Card Visionary".)
3. VALENTINE MENURUT ISLAM
1. Dari asal-usulnya kita ketahui bahwa perayaan hari valentine adalah suatu upacara suci orang-orang Romawi yang Animis sebagai ungkapan cinta kepada dewa mereka.
Tradisi ini adalah tradisi syirik tak ubahnya bagaikan ritual orang-orang Arab penyembah berhala mengungkapkan cinta berhala yang berada di sekeliling Ka'bah dengan cara mengelilinginya dalam keadaan telanjang tanpa memakai sehelai benangpun sambil bertepuk tangan dan bersiul, sebagaimana yang Allah jelaskan:
} وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ إِلاَّ مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوْقُوْا العَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ (
"Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu".(Q.S. Al Anfaal: 35).
Lalu tradisi ini dihapus Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam setelah menaklukkan kota Mekkah dan membersihkannya dari kesyirikan, dan Allah mengancam orang-orang yang melakukannya dengan siksaan yang pedih.
2. Kemudian umat kristen Romawi mengadopsi tradisi ini dengan merayakan kematian Valentine sebagai lambang penebar cinta dan damai, akan tetapi itu cuma slogan karena prosesi perayaannya tak lebih dari kesempatan mencari pasangan haram untuk setahun kedepan bagaikan kucing yang mencari pasangannya untuk musim kawin di bulan Februari. Dan ini bertentangan dengan ajaran Kristen sehingga para pendeta melarangnya. Wahai umat islam sadarlah! perayaan valentine adalah bid'ah dalam agama Kristen dan dilarang untuk dirayakan pada awal masanya oleh para pendeta. Kenapa anda mau menghidupkannya kembali? Sungguh para pendeta tersebut lebih berakal daripada orang yang mengaku islam akan tetapi ikut merayakannya.
3. Sebagain besar umat islam yang ikut merayakan valentine dengan saling berkirim kartu ucapan valentine atau menghadiahkan bunga mawar atau saling berkirim surat cinta atau ikut mengadakan atau hanya sekedar menghadiri acaranya. Umumnya mereka mengajukan alasan sebagai berikut:
- Para pemuda-pemudi beralasan bahwa mereka hanya memanfaatkan kesempatan valentine untuk mencari pasangan hidup yang setia.
- Para pria dan wanita yang sudah berumah tangga beralasan bahwa hari valentine adalah kesempatan untuk melanggengkan rumah tangga dengan saling mengungkapkan rasa cinta.
- Orang-orang yang memiliki teman sejawat, sekantor, seprofesi yang beragama Kristen beralasan bahwa hari valentine adalah kesempatan untuk mempererat hubungan.
Alasan yang mereka ajukan laksana menegakkan benang basah, sadar ataupun tidak mereka termasuk dalam ancaman sabda Nabi:
(( مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ))
Barang siapa yang meniru tradisi suatu kaum maka dia dia adalah bagian dari kaum tersebut. H.R. Ahmad.
Maka orang islam yang ikut memeriahkan hari valentine sesungguhnya dia adalah bagian dari umat Nasrani atau bagian dari kaum Animis romawi kuno –na'uzubillah-.
Untuk para pemuda dan pemudi islam yang kehilangan jati diri! perayaan valentine bukanlah hari baik untuk mencari jodoh, karena ia merupakan perayaan syirik, walaupun anda mendapatkan pasangan setia saat itu di dunia sungguh dia bukan pasangan anda sejati, apalagi nanti di akhirat (mungkin juga di dunia) anda dan dia akan saling bermusuhan, karena pasangan yang sejati adalah pasangan yang bertakwa dan orang –orang bertakwa tidak akan mau menghadiri perayaan syirik semacam itu.
Allah taala berfirman:
} الأَخِلاَّءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ المُتَّقِيْنَ (
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa". (Q.S. Az Zukhruf :67)
Untuk Pasutri muslim yang lentera cintanya mulai redup! Memanfaatkan kesempatan syirik hanya akan memadamkan lentera cinta anda yang mulai redup dan akan menyulut api yang akan membakar rumahtangga anda.
Untuk muslim dan muslimat yang tidak kenal lawan dan kawan! Allah tidak melarang anda untuk berteman dengan orang diluar islam, akan tetapi Allah melarang anda menaruh rasa cinta terhadap mereka dan lebih parah lagi jika anda mengungkapkannya dalam bentuk berkirim kartu atau hadiah di kesempatan syirik itu. Allah taala berfirman:
} لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَآدُّوْنَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَوْ كَانُوْا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ (
"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Q.S. Al Mujadilah : 22 ).
4. Realita banyaknya umat islam yang ikut merayakan hari kasih- sayang ini sangat mengherankan padahal dalam agama islam telah menjelaskan secara lengkap tentang cara memelihara dan menuai cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, cinta kepada sesama muslim dan muslimat. Mereka bagaikan 'Bani Israel' yang menukar makanan dari langit dengan ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah, sungguh barter yang sia-sia. Cinta dalam islam merupakan salah satu pilar penting dalam beribadah, ibadah yang tidak didasari rasa cinta akan terasa hampa.
Sedangkan ungkapan cinta kepada Allah dapat dipupuk dengan hal-hal berikut:
a. Mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam :
} قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ (
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku. (Q.S. Ali Imran: 31 )
b. Melakukan amalan fardhu dan sunat, Nabi saw. bersabda:
(( وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ. وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ : فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِيْ أَعْطَيْتُهُ ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُ ))
" Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada perbuatan yang telah Kuwajibkan dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya, maka apabila Aku telah mencintainya Aku menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengan pendengaran tersebut, Aku menjadi penglihatannya yang ia melihat dengan penglihatan tersebut, Aku menjadi tangannya yang ia bekerja dengan tangan tersebut, dan Aku menjadi kakinya yang ia berjalan dengan kaki tersebut. Andai ia minta kepada-Ku niscaya Aku beri, dan andai ia minta perlindungan-Ku, akan Kuberi”. HR. Bukhari.
c. Sering membaca Al quran, dalam sebuah hadist Nabi:
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam mengutus seorang lelaki memimpin sebuah ekspedisi, dia selalu membaca sebuah (surat) ketika shalat mengimami para pasukannya dan menutup bacaannya dengan [قُل هو اللَّه أحد ] , tatkala mereka kembali, mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, Ia bersabda, "Tanyakan padanya, kenapa ia melakukan hal tersebut? lalu mereka bertanya kepadanya, Ia berkata: “Karena surat tersebut (Al Ikhlash) menjelaskan sifat Ar Rahman, maka saya sangat cinta untuk membacanya,” lalu Rasulullah bersabda: “Beritahu dia bahwa Allah ta`ala mencintainya.” Muttafaq ’alaih.
d. Mengucapkan assalamu'alaikum saat bertemu atau masuk rumah, sabda Nabi saw. :
“Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai, maukah aku tunjukkan kalian tentang suatu hal jika kalian melakukannya, kalian akan saling mencintai, tebarkan salam di antara kalian”. HR. Muslim.
e. Saling mengunjungi, sabda Nabi:
“Seorang lelaki menziarahi saudaranya di kampung lain, lalu Allah mengutus seorang malaikat mengawasi perjalanannya, tatkala ia sampai di kampung tersebut, malaikat berkata : “Mau kemanakah engkau?”, ia berkata : “Aku ingin mendatangi saudaraku di kampung ini”, malaikat berkata : “Apakah engkau mengunjunginya karena ingin mendapatkan manfaat duniawi?”, ia berkata : “Tidak, hanya karena aku mencintainya karena Allah”, malaikat berkata : “Sungguh aku adalah utusan Allah kepadamu bahwasanya Allah telah mencintaimu seperti engkau mencintai si fulan karena-Nya”. HR. Muslim.
f. Ungkapkan rasa cinta anda kepadanya dengan ucapan: " Aku mencintaimu karena Allah" dan yang diberi ucapan harus menjawab," semoga Allah mencintaimu". Sabda Nabi:
“Ada seorang lelaki di sisi Nabi shallallahu `alaihi wasallam, lalu seorang lelaki lewat maka yang di sisi Nabi berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku mencintai orang ini”, Nabi shallallahu `alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukannya?”, ia berkata : “Tidak”, ia bersabda : “Beritahu dia”, lalu ia menyusul orang tersebut dan berkata : “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah”, lalu ia menjawab : “Semoga Zat yang engkau mencintaiku karena-Nya mencintaimu”. HR Abu Daud
Bilamana tips di atas anda ikuti dan laksanakan dengan seksama niscaya anda akan terlepas dari belenggu cinta terhadap yang fana (binasa) berganti dengan cinta kepada Dzat yang Baqa' (kekal) yang menentramkan jiwa dan raga.
Semoga Allah menjadikan kita orang- orang yang saling bercinta karena-Nya yang nanti dijanjikan Allah mendapat naungan 'Arsy di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Nya.
Akhirnya marilah kita menadahkan tangan berdoa kepada Allah dengan doa sya'ir cinta yang pernah dilantunkan oleh Nabi Daud dan Nabi Muhammad shallallahu `alaihim wasallam :
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَالْعَمَلَ الَّذِيْ يُبَلِّغُنِيْ إِلىَ حُبِّكَ اَللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِيْ وَأَهْلِيْ وَمِنَ الْمَاءِ الْبَارِدِ
(Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk mencintai-Mu dan mencintai orang yang mencintai-Mu, dan amalan yang menyampaikan kepada cinta-Mu, ya Allah, jadikanlah mencintai-Mu lebih kucintai daripada diriku, keluargaku, dan air yang sejuk)”. HR. Tarmizi.
4. Bahwa dalam perayaan Valentine Day, sistem kapitalisme sangat kental terasa.
4. SOLUSI TUNTAS
Valentine sebagai media barat telah diakui daya rusaknya terhadap tatanan masyarakat timur apalagi Islam, mengiktui Valentine bukan saja sekedar pesta untuk menyatakan kasih sayang, tetapi juga pesta yang mau-tidak-mau harus mengikutkan budaya yang lainnya, pergaulan bebas, fashion, pakaian minim, ciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya, hidup glamour, materialistis, dansa-dansa, mengumbar nafsu dan lain-lain.
Banyak lagi penyakit yang diderita umat muslim. Pertanyaannya sekarang, apakah pokok permasalahan munculnya penyakit-penyakit tersebut? Maka, apabila direnungkan dalam-dalam, maka realitas terpuruknya umat muslim sekarang, betapapun banyaknya itu, tetapi semua itu bukanlah pernasalahan pokok. Sebab, masalah utamanya adalah karena hukum Islam yang mempunyai penjagaan atas agama, jiwa, akal, keturunan, harta, kehormatan, keamanan, dan negara tidak lagi diterapkan oleh umat ini. Sebaliknya mereka mengambil hokum-hukum yang lain, seperti sosialisme yang jelas-jelas telah tumbang setelah berhasil berjaya hanya 70 tahun (bandingkan dengan masa kejayaan Islam yang 14 abad) dan kapitalisme yang kian hari kian kentara kerusakan-kerusakannya, bahkan disinyalir akan hancur pada 2020 kelak. Maka tidak ada alasan untuk tidak kembali pada system Islam yang kaffah, ala manhajin nubuwah.
Namun, sayang sekali hal ini sulit dilakukan bila kita melakukannya sendiri-sendiri. Perlu adanya kesatuan umat berdasar ikatan aqidah dan juga suatu lembaga, yaitu negara. Sebuah negara yang dapat melegalkan hokum-hukum Allah secara de facto dan de jure. Jadi, Negara merupakan suatu tuntutan realitas empiric dan keperluan umat muslim yang mutlak. Apalagi tinjauan syar’i yang menunjukkan bahwa menerapkan hokum-hukum Islammellui suatu pemerintahan hukumnya wajib.
Wallahu a’lam.
-dari berbagai sumber-
Minggu, 14 Februari 2010
LIBERALISASI BUDAYA MENGANCAM BANGSA INI Bagikan
[Al-Islam 493] Kehebohan dalam rangka "Hari Kasih Sayang" (Valentine’s Day) begitu terasa selama sepekan ini. Kehebohan itu sekarang bukan hanya melanda ABG, tetapi juga melanda orang-orang dewasa. Kehebohan itu menghiasai halaman-halaman media massa dari media cetak hingga televisi. Mall dan pusat perbelanjaan sampai toko-toko kecil pun turut larut dalam kehebohan itu.
Kehebohan ini dibungkus dengan sebutan yang indah, "Hari Kasih Sayang", yang mendorong semua orang untuk mengungkapkan cinta dan sayangnya kepada orang-orang dekat mereka khususnya pasangan. Namun sejatinya, kehebohan ini sarat dengan kampanye seks bebas dan desakralisasi keperawanan (keperawanan tak lagi dianggap ’suci’). Kehebohan "Hari Kasih Sayang" ini seiring-sejalan dengan pornoaksi. Hal ini bisa dilihat dari laris manisnya penginapan dan tempat-tempat pelesiran selama Valentinan yang dipesan dan didatangi oleh pasangan muda-mudi dan pria-wanita dewasa. Omset penjualan kondom yang melonjak juga menandakan bahwa kehebohan "Hari Kasih Sayang" ini tidak jauh dari aktifitas seks bebas. Selama Valentinan, suasana memang didesain erotis dan dipadu dengan budaya konsumsi coklat yang mengandung Phenylethylamine dan Seratonin. Coklat ini memacu gairah ekstase dan erotis serta berefek meningkatkan kegembiraan dan stamina.
Kampanye Seks Bebas dan Budaya Liberal
"Hari Kasih Sayang" yang diperingati setiap bulan Februari hanyalah salah satu sarana sekaligus momentum kampenye seks bebas, khususnya di kalangan generasi muda. Bulan Desember lalu, Hari AIDS se-Dunia juga dijadikan momentum yang sama.
Kampanye sekaligus praktik seks bebas sebetulnya sudah lama berlangsung dan dilakukan secara luas. Hal itu bisa dilihat dari beberapa data hasil penelitian. Misalnya, berdasarkan hasil survei Komnas Anak dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 propinsi pada tahun 2007 terungkap sebanyak 62,7 % anak SMP yang diteliti mengaku sudah tidak perawan. Sebanyak 21,2 % anak SMA yang disurvei mengaku pernah melakukan aborsi. (Media Indonesia, 19/7/08).
Maraknya seks bebas juga bisa dilihat dari data tentang HIV/AIDS. Hal itu karena HIV/AIDS, 75-85%-nya ditularkan melalui hubungan seks, 5-10 persen melalui homoseksual, 5-10 persen akibat alat suntik yang tercemar terutama pengguna narkoba jarum suntik dan 3-5 persen tertular lewat transfusi darah. Padahal Departemen Kesehatan RI memperkirakan, 19 juta orang saat ini berada pada risiko terinfeksi HIV. Menurut data Yayasan AIDS Indonesia (YAI), jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Indonesia per Maret 2009, mencapai 23.632 orang. Dari jumlah itu, sekitar 53 persen terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun, disusul dengan kelompok usia 30-39 tahun sekitar 27 persen.
Perilaku seks bebas yang marak itu dipengaruhi oleh budaya liberal. Muncul dan menyebarnya budaya liberal di Tanah Air bukanlah proses yang berlangsung alami, tetapi merupakan hasil dari proses liberalisasi budaya yang dijalankan secara sistematis dan terorganisir. Liberalisasi budaya juga tidak jauh-jauh dari rekayasa Barat. Budaya liberal atau budaya bebas itu bukanlah berasal dari ajaran Islam yang dianut mayoritas penduduk negeri ini. Budaya itu lebih merupakan budaya Barat yang mengusung nilai-nilai liberal yang dimasukkan (baca: dipaksakan) ke tengah-tengah masyarakat negeri ini. Jadi berkembangnya budaya liberal di Tanah Air itu tidak lepas dari konspirasi Barat.
Liberalisasi Budaya dan Motif Penjajahan
Konspirasi liberalisasi budaya oleh Barat terhadap negeri Muslim tidak lepas dari motif penjajahan. Dengan liberalisasi budaya itu masyarakat di negeri-negeri Muslim, termasuk masyarakat negeri ini, akan kehilangan identitas lalu memakai baju Barat atau bahkan mengekor identitas Barat tanpa lagi mempertimbangkan halal atau haram. Barat hanya menginginkan masyarakat, khususnya generasi muda, berpenampilan Barat, tetapi kosong dari produktivitas, daya inivasi dan kemajuan sains dan teknologi seperti halnya Barat. Dengan begitu masyarakat negeri ini hanya akan menjadi pengekor Barat. Akhirnya, penjajahan dan penghisapan oleh Barat pun tidak akan dipermasalahkan karena Barat dijadikan panutan. Dengan mengadopsi gaya hidup Barat, masyarakat negeri ini pun akan menjadi pasar besar bagi produk-produk Barat.
Konspirasi itu bukan hanya isapan jempol belaka. Namun benar-benar nyata adanya. Secara i’tiqadi, al-Quran telah menginformasikan bahwa orang-orang kafir secara keseluruhan akan terus memerangi umat islam, baik secara fisik maupun pemikiran, agar umat Islam keluar dari Islam (QS 2: 217). Al-Quran juga mengformasikan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepada umat ini hingga umat ini mengikuti millah (sistem dan cara hidup) mereka (QS 2: 120).
Secara faktual konspirasi liberalisasi budaya itu bisa dirasakan. Konspirasi itu setidaknya dijalankan melalui: Pertama, pada tingkat falsafah dan pemikiran dilakukan dengan menanamkan paham sekularisme, liberalisme dan hedonisme. Sejatinya budaya bebas itu berpangkal dari ketiga paham tersebut. Sekularisme adalah ide dasar yang mengesampingkan peran agama dari pengaturan kehidupan. Sekularisme menuntun manusia untuk menempatkan agama hanya pada ranah individu dan wilayah spiritual saja. Sekularisme itu ‘mengharamkan’ agama ikut andil dalam mengatur kehidupan. Sekularisme mengajaran bahwa manusia bebas mengatur hidupnya tanpa campur tangan Tuhan.
Inilah inti dari paham liberalisme, yakni paham yang menanamkan keyakinan bahwa manusia bebas mengelola hidupnya. Paham liberalisme ini mengagungkan kebebasan individu, baik dalam berpendapat, berperilaku, beragama maupun dalam kepemilikan.
Adapun paham hedonisme mengajarkan manusia untuk mengejar kenikmatan materi dan jasadi serta melakukan apa saja yang bisa mendatangkan kenikmatan itu, termasuk kesenangan yang lahir dari hubungan seks. Paham ini tercermin dalam slogan fun (kesenangan), food (makanan/pesta) dan fashion (busana). Dengan paham ini manusia didorong untuk mengejar kenikmatan dengan jalan bersenang-senang, termasuk di dalamnya bersenang-senang dengan melakukan seks bebas, berpesta demi mendapatkan kenikmatan dari lezatnya makanan dan bisa merasa senang dengan jalan selalu tampil gaya dan modis. Paham hedonisme itu mengajarkan, agar manusia bisa mendapatkan kenikmatan itu, manusia harus dibebaskan untuk meraih dan mengeskpresikannya serta tidak boleh dikekang.
Semua paham itu tidak akan bisa berkembang kecuali dalam sistem demokrasi dan di tengah-tengah masyarakat yang demokratis. Paham-paham itu berjalan seiring dengan proses demokratisasi yang begitu gencar dilancarkan di negeri-negri Muslim, termasuk negeri ini.
Kedua, liberalisasi budaya itu dikemas dalam berbagai program secara internasional yang dikawal oleh PBB dan lembaga-lembaga internasional. PBB mengeluarkan berbagai konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain, semisal Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), MDGs, BPFA dll yang spiritnya sama-sama menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negeri-negeri Muslim) diharuskan (dipaksa) meratifikasi semua itu. Lahirlah berbagai UU yang melegalkan kebebasan.
Selanjutnya semua itu dijalankan melalui serangkaian aksi dan program secara nasional baik oleh LSM-LSM maupun oleh pemerintah sendiri. Misal, program kesetaraan gender yang bahkan menjangkau tingkat kelurahan. Ada pula program kampanye dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang sejatinya mengkampanyekan seks bebas asal aman; program kondomiasasi; dan program harm reduction dalam bentuk substitusi dan pembagian jarum suntik steril; dan yang lainnya. Program-program itu dikemas dalam berbagai bentuk baik seminar, talkshow, pelatihan, pembentukan buzz group, konsultasi, pendampingan, dsb; menggunakan berbagai sarana; serta melibatkan mulai kalangan birokrat hingga remaja dan kampanye melalui berbagai media massa.
Adapun paham hedonisme ditanamkan melalui media massa cetak, radio dan televisi melalui program-program yang lebih bernuansa pesta, musik, fesyen dan hiburan. Dalam semua itu terlihat secara kasatmata bahwa banyak sekali program yang merupakan kopian dari program-program yang sama di Barat.
Menyelamatkan Umat dari Liberalilasi Budaya
Liberalisasai budaya yang sudah berjalan secara luas itu telah banyak menelan korban; di antaranya puluhan ribu orang terkena HIV/AIDS, jutaan kehamilan diaborsi, jutaan pecandu narkoba, rusaknya keharmonisan jutaan keluarga, ribuan anak-anak terlantar, ekspolitasi perempuan, kejahatan seksual, dan sebagainya.
Budaya liberal itu hanyalah buah dari diterapkannya sistem sekular dengan sistem Kapitalismenya yang mengagungkan ide kebebasan (liberalisme). Karena itu, sudah selayaknya umat Islam mencabut ideologi dan sistem sekular seperti saat ini yang telah menumbuhkan budaya liberal dan nyata-nyata menimbulkan banyak persoalan kemanusiaan dan kerusakan atas umat manusia.
Sebagai gantinya, sekaligus untuk memperbaiki dan menyelamatkan umat serta mengembalikan menjadi umat luhur, sudah saatnya kita kembali pada tatanan kehidupan yang didasarkan pada syariah Islam. Sebab, hanya Islamlah dengan serangkaian sistemnya yang merupakan satu-satunya solusi bagi seluruh problem dan persoalan hidup manusia. Allah SWT berfirman:
]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Hanya sistem Islamlah yang akan mampu memberikan kebaikan dan kehidupan yang membawa kebaikan bagi umat manusia. Allah SWT menegaskan:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian (QS al-Anfal [8]: 24)
Karena itu, marilah kita segera mematuhi seruan Allah SWT itu sebagaimana firman-Nya:
]اسْتَجِيبُوا لِرَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَ مَرَدَّ لَهُ مِنَ اللهِ مَا لَكُمْ مِنْ مَلْجَأٍ يَوْمَئِذٍ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَكِيرٍ[
Patuhilah seruan Tuhan kalian sebelum datang suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak pula dapat mengingkari (dosa-dosa kalian) (QS asy-Syura [42]: 47).
WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [source:al Islam]
Kehebohan ini dibungkus dengan sebutan yang indah, "Hari Kasih Sayang", yang mendorong semua orang untuk mengungkapkan cinta dan sayangnya kepada orang-orang dekat mereka khususnya pasangan. Namun sejatinya, kehebohan ini sarat dengan kampanye seks bebas dan desakralisasi keperawanan (keperawanan tak lagi dianggap ’suci’). Kehebohan "Hari Kasih Sayang" ini seiring-sejalan dengan pornoaksi. Hal ini bisa dilihat dari laris manisnya penginapan dan tempat-tempat pelesiran selama Valentinan yang dipesan dan didatangi oleh pasangan muda-mudi dan pria-wanita dewasa. Omset penjualan kondom yang melonjak juga menandakan bahwa kehebohan "Hari Kasih Sayang" ini tidak jauh dari aktifitas seks bebas. Selama Valentinan, suasana memang didesain erotis dan dipadu dengan budaya konsumsi coklat yang mengandung Phenylethylamine dan Seratonin. Coklat ini memacu gairah ekstase dan erotis serta berefek meningkatkan kegembiraan dan stamina.
Kampanye Seks Bebas dan Budaya Liberal
"Hari Kasih Sayang" yang diperingati setiap bulan Februari hanyalah salah satu sarana sekaligus momentum kampenye seks bebas, khususnya di kalangan generasi muda. Bulan Desember lalu, Hari AIDS se-Dunia juga dijadikan momentum yang sama.
Kampanye sekaligus praktik seks bebas sebetulnya sudah lama berlangsung dan dilakukan secara luas. Hal itu bisa dilihat dari beberapa data hasil penelitian. Misalnya, berdasarkan hasil survei Komnas Anak dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 propinsi pada tahun 2007 terungkap sebanyak 62,7 % anak SMP yang diteliti mengaku sudah tidak perawan. Sebanyak 21,2 % anak SMA yang disurvei mengaku pernah melakukan aborsi. (Media Indonesia, 19/7/08).
Maraknya seks bebas juga bisa dilihat dari data tentang HIV/AIDS. Hal itu karena HIV/AIDS, 75-85%-nya ditularkan melalui hubungan seks, 5-10 persen melalui homoseksual, 5-10 persen akibat alat suntik yang tercemar terutama pengguna narkoba jarum suntik dan 3-5 persen tertular lewat transfusi darah. Padahal Departemen Kesehatan RI memperkirakan, 19 juta orang saat ini berada pada risiko terinfeksi HIV. Menurut data Yayasan AIDS Indonesia (YAI), jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Indonesia per Maret 2009, mencapai 23.632 orang. Dari jumlah itu, sekitar 53 persen terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun, disusul dengan kelompok usia 30-39 tahun sekitar 27 persen.
Perilaku seks bebas yang marak itu dipengaruhi oleh budaya liberal. Muncul dan menyebarnya budaya liberal di Tanah Air bukanlah proses yang berlangsung alami, tetapi merupakan hasil dari proses liberalisasi budaya yang dijalankan secara sistematis dan terorganisir. Liberalisasi budaya juga tidak jauh-jauh dari rekayasa Barat. Budaya liberal atau budaya bebas itu bukanlah berasal dari ajaran Islam yang dianut mayoritas penduduk negeri ini. Budaya itu lebih merupakan budaya Barat yang mengusung nilai-nilai liberal yang dimasukkan (baca: dipaksakan) ke tengah-tengah masyarakat negeri ini. Jadi berkembangnya budaya liberal di Tanah Air itu tidak lepas dari konspirasi Barat.
Liberalisasi Budaya dan Motif Penjajahan
Konspirasi liberalisasi budaya oleh Barat terhadap negeri Muslim tidak lepas dari motif penjajahan. Dengan liberalisasi budaya itu masyarakat di negeri-negeri Muslim, termasuk masyarakat negeri ini, akan kehilangan identitas lalu memakai baju Barat atau bahkan mengekor identitas Barat tanpa lagi mempertimbangkan halal atau haram. Barat hanya menginginkan masyarakat, khususnya generasi muda, berpenampilan Barat, tetapi kosong dari produktivitas, daya inivasi dan kemajuan sains dan teknologi seperti halnya Barat. Dengan begitu masyarakat negeri ini hanya akan menjadi pengekor Barat. Akhirnya, penjajahan dan penghisapan oleh Barat pun tidak akan dipermasalahkan karena Barat dijadikan panutan. Dengan mengadopsi gaya hidup Barat, masyarakat negeri ini pun akan menjadi pasar besar bagi produk-produk Barat.
Konspirasi itu bukan hanya isapan jempol belaka. Namun benar-benar nyata adanya. Secara i’tiqadi, al-Quran telah menginformasikan bahwa orang-orang kafir secara keseluruhan akan terus memerangi umat islam, baik secara fisik maupun pemikiran, agar umat Islam keluar dari Islam (QS 2: 217). Al-Quran juga mengformasikan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepada umat ini hingga umat ini mengikuti millah (sistem dan cara hidup) mereka (QS 2: 120).
Secara faktual konspirasi liberalisasi budaya itu bisa dirasakan. Konspirasi itu setidaknya dijalankan melalui: Pertama, pada tingkat falsafah dan pemikiran dilakukan dengan menanamkan paham sekularisme, liberalisme dan hedonisme. Sejatinya budaya bebas itu berpangkal dari ketiga paham tersebut. Sekularisme adalah ide dasar yang mengesampingkan peran agama dari pengaturan kehidupan. Sekularisme menuntun manusia untuk menempatkan agama hanya pada ranah individu dan wilayah spiritual saja. Sekularisme itu ‘mengharamkan’ agama ikut andil dalam mengatur kehidupan. Sekularisme mengajaran bahwa manusia bebas mengatur hidupnya tanpa campur tangan Tuhan.
Inilah inti dari paham liberalisme, yakni paham yang menanamkan keyakinan bahwa manusia bebas mengelola hidupnya. Paham liberalisme ini mengagungkan kebebasan individu, baik dalam berpendapat, berperilaku, beragama maupun dalam kepemilikan.
Adapun paham hedonisme mengajarkan manusia untuk mengejar kenikmatan materi dan jasadi serta melakukan apa saja yang bisa mendatangkan kenikmatan itu, termasuk kesenangan yang lahir dari hubungan seks. Paham ini tercermin dalam slogan fun (kesenangan), food (makanan/pesta) dan fashion (busana). Dengan paham ini manusia didorong untuk mengejar kenikmatan dengan jalan bersenang-senang, termasuk di dalamnya bersenang-senang dengan melakukan seks bebas, berpesta demi mendapatkan kenikmatan dari lezatnya makanan dan bisa merasa senang dengan jalan selalu tampil gaya dan modis. Paham hedonisme itu mengajarkan, agar manusia bisa mendapatkan kenikmatan itu, manusia harus dibebaskan untuk meraih dan mengeskpresikannya serta tidak boleh dikekang.
Semua paham itu tidak akan bisa berkembang kecuali dalam sistem demokrasi dan di tengah-tengah masyarakat yang demokratis. Paham-paham itu berjalan seiring dengan proses demokratisasi yang begitu gencar dilancarkan di negeri-negri Muslim, termasuk negeri ini.
Kedua, liberalisasi budaya itu dikemas dalam berbagai program secara internasional yang dikawal oleh PBB dan lembaga-lembaga internasional. PBB mengeluarkan berbagai konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain, semisal Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), MDGs, BPFA dll yang spiritnya sama-sama menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Kemudian negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negeri-negeri Muslim) diharuskan (dipaksa) meratifikasi semua itu. Lahirlah berbagai UU yang melegalkan kebebasan.
Selanjutnya semua itu dijalankan melalui serangkaian aksi dan program secara nasional baik oleh LSM-LSM maupun oleh pemerintah sendiri. Misal, program kesetaraan gender yang bahkan menjangkau tingkat kelurahan. Ada pula program kampanye dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang sejatinya mengkampanyekan seks bebas asal aman; program kondomiasasi; dan program harm reduction dalam bentuk substitusi dan pembagian jarum suntik steril; dan yang lainnya. Program-program itu dikemas dalam berbagai bentuk baik seminar, talkshow, pelatihan, pembentukan buzz group, konsultasi, pendampingan, dsb; menggunakan berbagai sarana; serta melibatkan mulai kalangan birokrat hingga remaja dan kampanye melalui berbagai media massa.
Adapun paham hedonisme ditanamkan melalui media massa cetak, radio dan televisi melalui program-program yang lebih bernuansa pesta, musik, fesyen dan hiburan. Dalam semua itu terlihat secara kasatmata bahwa banyak sekali program yang merupakan kopian dari program-program yang sama di Barat.
Menyelamatkan Umat dari Liberalilasi Budaya
Liberalisasai budaya yang sudah berjalan secara luas itu telah banyak menelan korban; di antaranya puluhan ribu orang terkena HIV/AIDS, jutaan kehamilan diaborsi, jutaan pecandu narkoba, rusaknya keharmonisan jutaan keluarga, ribuan anak-anak terlantar, ekspolitasi perempuan, kejahatan seksual, dan sebagainya.
Budaya liberal itu hanyalah buah dari diterapkannya sistem sekular dengan sistem Kapitalismenya yang mengagungkan ide kebebasan (liberalisme). Karena itu, sudah selayaknya umat Islam mencabut ideologi dan sistem sekular seperti saat ini yang telah menumbuhkan budaya liberal dan nyata-nyata menimbulkan banyak persoalan kemanusiaan dan kerusakan atas umat manusia.
Sebagai gantinya, sekaligus untuk memperbaiki dan menyelamatkan umat serta mengembalikan menjadi umat luhur, sudah saatnya kita kembali pada tatanan kehidupan yang didasarkan pada syariah Islam. Sebab, hanya Islamlah dengan serangkaian sistemnya yang merupakan satu-satunya solusi bagi seluruh problem dan persoalan hidup manusia. Allah SWT berfirman:
]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Hanya sistem Islamlah yang akan mampu memberikan kebaikan dan kehidupan yang membawa kebaikan bagi umat manusia. Allah SWT menegaskan:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian (QS al-Anfal [8]: 24)
Karena itu, marilah kita segera mematuhi seruan Allah SWT itu sebagaimana firman-Nya:
]اسْتَجِيبُوا لِرَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَ مَرَدَّ لَهُ مِنَ اللهِ مَا لَكُمْ مِنْ مَلْجَأٍ يَوْمَئِذٍ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَكِيرٍ[
Patuhilah seruan Tuhan kalian sebelum datang suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak pula dapat mengingkari (dosa-dosa kalian) (QS asy-Syura [42]: 47).
WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [source:al Islam]
Bidadari Surga, Ainul Mardiyah
Dalam suatu kisah yang dipaparkan Al Yafi’i dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami sedang bersiap-siap hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman untuk membaca sebuah ayat. Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah ayat 111, yang artinya sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta
mereka dengan memberikan sorga untuk mereka”
Selesai ayat itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari tempat
duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal. Ia berkata:”Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan sorga untuk mereka?” “Ya, benar, anak muda” kata Abdul Wahid. Anak muda itu melanjutkan:”Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan sorga.”
Anak muda itu kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang tidur.
Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak:”Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . .” Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu.
Ia menjawab: “Tadi sewaktu aku sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya berkata: “Pergilah kepada Ainul Mardiyah.” Ia juga mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku, mereka bergembira seraya berkata: “Inilah suami Ainul Mardhiyah . . . . .”
“Assalamu’alaikum” kataku bersalam kepada mereka. “Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?” Mereka menjawab salamku dan berkata: “Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu” Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku meneruskan langkah.
Akhirnya aku sampai pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam: “Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu datang . …”
Ketika aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata: “Bersabarlah, kamu belum diijinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu.” Anak muda melanjutkan kisah mimpinya: “Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu lama”.
Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu kami. Pemuda itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia. ( Irsyadul Ibad ).
sumber : milis - myqur’an
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta
mereka dengan memberikan sorga untuk mereka”
Selesai ayat itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari tempat
duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal. Ia berkata:”Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan sorga untuk mereka?” “Ya, benar, anak muda” kata Abdul Wahid. Anak muda itu melanjutkan:”Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan sorga.”
Anak muda itu kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang tidur.
Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak:”Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . .” Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu.
Ia menjawab: “Tadi sewaktu aku sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya berkata: “Pergilah kepada Ainul Mardiyah.” Ia juga mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku, mereka bergembira seraya berkata: “Inilah suami Ainul Mardhiyah . . . . .”
“Assalamu’alaikum” kataku bersalam kepada mereka. “Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?” Mereka menjawab salamku dan berkata: “Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu” Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku meneruskan langkah.
Akhirnya aku sampai pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam: “Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu datang . …”
Ketika aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata: “Bersabarlah, kamu belum diijinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu.” Anak muda melanjutkan kisah mimpinya: “Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu lama”.
Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu kami. Pemuda itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia. ( Irsyadul Ibad ).
sumber : milis - myqur’an
Jumat, 15 Januari 2010
SEKULARISME ; BIANG KEMAKSIATAN
Setelah kasus Lia Eden, Yusman "Gus" Roy, dan Ahmadiyah, Oktober lalu, kita disuguhi berita terkait Suwarno (45 thn) yang sedang berdiri melipat kedua tangan di dada seperti layaknya seorang Muslim yang berdiri dalam shalat. Kedua matanya terpejam rapat-rapat. Bibirnya komat-kamit. Anehnya, bukan surah al-Fatihah yang dibaca. Tidak ada gerakan tangan atau tubuh lazimnya umat Islam bertakbir dalam shalatnya. Ternyata kiblatnya pun bukan Ka’bah di Makkah al-Mukaramah, tetapi dalam ibadahnya itu, Suwarno mengaku menghadap ke Gunung Carmel, Israel (Uka, Palestina). Warga Dusun Ringin Putih, Desa Ringin Pitu, Kecamatan Kedung Waru, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur itu ternyata menggumamkan doa berbahasa Indonesia. Pasalnya, ia kini bukan Muslim lagi, tetapi sudah beralih menjadi penganut Baha’i.
Menurut Sekretaris Desa Ringinpitu Karnu, penganut Baha’i di desanya setidaknya ada 40 orang, malah sekabupaten Tulungagung ada 157 orang. Karnu pun menyatakan, mereka semua tadinya beragama Islam. Namun, sejak tahun 1980-an, datanglah seseorang yang bernama H. Yusuf. Lalu satu-persatu warga Tulungagung murtad dan memeluk Baha’i. mereka tidak lagi mempercayai adanya akhirat, tidak mau membayar zakat dan puasanya pun hanya 19 hari.
Itulah salah satu modus pemurtadan di tengah-tengah kaum Muslim. Selain itu masih banyak lagi bermunculan aliran aneh yang menyesatkan di negeri yang mayoritas Muslim ini, menyusul aliran sesat Ahmadiyah yang tidak kunjung dilarang Pemerintah.
Islam memang tidak memaksa siapa saja untuk memeluk agama Islam. Namun, setelah seseorang memilih Islam sebagai agamanya, maka sejak saat itu ia terikat hukum Islam. Salah satu hukum tersebut adalah mengharamkan setiap Muslim keluar dari agama Islam dengan alasan apapun. Jadi, setiap orang yang murtad wajib didakwahi dalam waktu tertentu, misal 3 hari, agar segera bertobat. Jika dalam batas waktu tersebut tetap saja ia tidak mau bertobat maka negara wajib menghukum-nya dengan hukuman mati. Ketentuan ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Ibnu Abbas ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang mengganti agamanya (keluar dari Islam), bunuhlah.” (HR al-Bukhari).
Belum lagi praktik kemusyrikan lain yang sudah dianggap biasa, seperti memberikan sesajen kepada arwah leluhur dan praktik perdukunan. Itu semua merupakan kemaksiatan di bidang akidah yang tidak bisa ditoleransi lagi.
Namun, alih-alih Pemerintah memberantas-nya, malah menyanjung upacara sesajen itu sebagai warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Jadi, tidak aneh jika sering dijumpai pembangunan gedung atau jembatan masih didahului dengan upacara adat dengan sesaji kepala kerbau untuk ditanam di lokasi, bersamaan dengan peletakan batu pertama, yang biasanya dilakukan oleh pejabat tinggi atau seorang publik figur.
Bahkan, Praktik perdukunan kini dikemas dalam format sms dan diiklankan dalam televise, misalnya dengan menjanjikan akan mengubah nasib pemirsa televisi yang mengirim sms kepadanya. Benar saja, baru saja dua minggu diiklankan, seperti yang diungkap Detik.com, sang Dukun sudah menerima 70 ribu sms. Jika dari satu sms saja keuntungan yang didapatnya 1000 rupiah maka dalam dua minggu itu Ki Joko meraup untung 70 juta rupiah. Lantas siapa yang nasibnya berubah? Si Dukun atau masyarakat? Janganlah kita mau dibodohi dengan bualan serendah ini.
Maraknya aliran sesat dan praktik kemusrikan di negeri yang mayoritas Muslim ini terjadi lantaran diterapkannya sekularisme. Sekularisme adalah ideologi yang sangat berbahaya karena memisahkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dari syariah Islam. Akibatnya, masyarakat menjadi bodoh karena tidak bisa membedakan dengan baik mana yang benar dan mana yang salah. Manusia digiring menjauh dari kebahagian sejati hanya untuk kesenangan sesaat.
Bukan hanya masyarakat bisa yang tergiur kesenangan sesaat tersebut. Aparat pemerintah dan wakil rakyat pun tidak luput dari wabah sekularisme. Keberkahan negeri ini pun dicabut diganti dengan berbagai macam bencana.
Padahal menurut Fahmi Amhar, Dosen Pasca Sarjana Universitas Paramadina, dalam orasinya pada Kongres Mahasiswa Islam Indonesia 18 Oktober lalu di Jakarta, SDA Indonesia sangat melimpah. Dari pendapatan hutan saja, dengan metode yang paling lestari sesuai syariah, dengan penebangan 5% setiap hektar dari 104 juta hektar hutan pertahun, akan didapat laba bersih setidaknya Rp 2080 triliun. Angka yang cukup fantastik, karena APBN 2009 saja hanya sekitar 1000 triliun.
Itu baru dari hutan; belum dari potensi laut, yang luasnya 75 persen dari seluruh luas laut dan daratan Indonesia; ditambah lagi potensi mineral dan energi. Namun potensi yang besar tersebut tidak bisa mengentaskan seluruh rakyat Indonesia ini dari kemiskinan. Karena diterapkannya ekonomi kapitalisme, kekayaan tersebut hanya dinikmati oleh pengusaha asing terutama Amerika, aparat dan wakil rakyat saja. Rakyat yang mayoritas negeri ini hanya bisa gigit jari.
Padahal Allah SWT telah mewajibkan pengelolaan SDA oleh negara untuk kesejahteraan publik dan tidak boleh memberikan konsesi kepada pihak swasta dalam negeri maupun asing. Namun, Pemerintah malah menerapkan hal yang sebaliknya.
Mental Terjajah
Satu contoh sederhana saja, dengan iming-iming akan membuka lapangan kerja di perkebunan bagi warga setempat, aparat dengan senang hati memberikan konsensi kepada asing. Di Riau, misalnya, dengan izin investasi perkebunan, sebuah perusahaan asing langsung untung minimal Rp 7,4 triliun setelah mendapat konsensi 20.000 hektar. Menebang habis hutan mendapat untung Rp 400 juta perhektar, sedangkan membangun kebun hanya Rp 30 juta perhektar. Jadi, menurut Fahmi Amhar, keuntungan per 20.000 hektar tersebut 7,4 triliun, praktis tanpa modal!
Kondisi ini dimanfaatkan oleh para korporasi dunia untuk melobi para politisi negeri ini untuk membuat lebih banyak lagi UU yang semakin memudahkan dan legal lagi bagi mereka untuk mengeruk SDA.
Walhasil, menurut Fahmi, makin hari makin banyak korporasi asing di negeri ini dari sektor hulu, seperti emas dan migas, hingga sektor hilir seperti pasar eceran. Sebaliknya, anak negeri cukup puas sebagai pekerja korporasi itu.
Aparat senang mendapatkan komisinya, apalagi korporasi itu rajin membayar pajak. Padahal pada saat yang sama lingkungan menjadi rusak, teknologi semakin tidak dikuasai, utang luar negeri Indonesia semakin menggunung.
Pada APBN 2009 saja anggaran untuk membayar bunga utang Rp 109,5 triliun; lima kali lipat dari anggaran kesehatan. Pada saat yang bersamaan pula melalui berbagai media massa dipertontonkan kekusutan birokrasi dan manajemen pemerintahan Indonesia versus efisiensi birokrasi dan manajemen negara Amerika.
Hasilnya, bangsa ini semakin rendah diri pada kemampuan dan produk sendiri serta semakin terkagum-kagum pada produk luar. “Oleh karena itu, kita secara sadar atau tidak sedang membiarkan diri terus dijajah, langsung atau tidak langsung, melalui UU dan budaya,” ujar Fahmi.
Bahkan orang nomor satu di negeri ini, ketika masih menjabat sebagai Menko Polkam pun, meski memiliki badan yang tinggi besar dan tegap, karena tidak mengemban ideologi Islam, bermental terjajah pula. Seperti dikutip http://english.aljazeera.net/English… Archiveld=4965 pada 2003 lalu saat mengunjungi Amerika, SBY menyatakan, “I love the United State, with all its faults. I consider it my second country (Saya cinta Amerika, dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya negeri kedua saya).”
SBY pun membuktikan ucapannya dengan menelan mentah-mentah ekonomi kapitalisme mazhab neoliberal yang disodorkan Amerika. DPR periode lalu pun mengesahkan berbagai macam UU yang kental dengan semangat neolib itu, di antaranya UU Otonomi Daerah, UU Sumber Daya Air, UU Mineral dan Batubara, UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Badan Hukum Pendidikan, dll.
Jadi, legal hukumnya sudah dibuat, papar Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, nah tinggal pelaksanaannya saja. Untuk itu, harus ada orang yang menjaga pelaksanaannya agar sesuai dengan agenda neolib tersebut. Makanya Pemerintah bertugas untuk memastikan orang-orang yang akan menjalankan ekonomi neoloberal itu tetap berjalan dengan lancar. Karena itu, dipilih orang-orang yang sangat istiqamah menjalankan neoliberal untuk menduduki posisi kunci di dalam kabinet SBY tersebut. Di antaranya adalah Sri Mulyani, Mari Elka Pangestu, Purnomo Yusgiantoro dan Endang Rahayu Sedyaningsih.
Bidang Sosial
Ada sebuah istilah “Jika kamu ingim nerubah suatu bangsa, rubahlah pemudanya. Dan jika kamu ingin nerusak suatu bangsa, maka rusaklah pemudanya. Kemaksiatan di dalam sistem sosial, terutama di bidang pergaulan pria dan wanita, semakin meningkat pesat. Pengusung liberalisme pun secara massif mengkampanyekan pergaulan bebas. Di antaranya melalui film remaja dan berbagai sinetron, seperti kisah pelacuran terselubung dalam film Virgin atau Buruan Cium Gue yang mengajak remaja dan kalangan mahasiswa untuk melakukan seks bebas.
Namun, Pemerintah tutup mata pada aktivitas perusakan moral bangsa itu. Bukti lainnya, ujar Pengamat Sosial Tatty Elmir, setelah diberlakukannya UU Informasi dan Transaksi Elektronik, setidaknya ada 2000 video porno di internet yang ‘dibintangi’ pelajar Indonesia tetap saja eksis. Pelaku sekaligus korban ini bukan saja hanya pelajar dari kota-kota besar tetapi juga dari Nganjuk, Jombang, Pacitan, Gowa, Minahasa dan Lampung. Beberapa situs porno berbayar masih eksis bahkan tetap menggunakan fasilitas perbankan dalam negeri.Berdasarkan data Depkominfo pada 2007, ada 25 juta pengakses internet di Indonesia. Konsumen terbesar atau 90 persennya adalah anak usia 8-16 tahun, 30 persen pelaku sekaligus korban industri pornografi adalah anak.
Dua dari lima korban kekerasan seks usia 15-17 tahun disebabkan internet; 76 persen korban eksploitasi seksual karena internet berusia 13-15 tahun. Itu baru penelitian terkait dengan pornografi melalui internet, belum lagi melalui media yang lain. Akibatnya, suburlah praktek aborsi. Pada 2008, Voice of Human Rigths melansir aborsi di Indonesia menembus angka 2,5 juta kasus; 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja di bawah usia 20 tahun.
Biang Maksiat
Segala kemaksiatan itu terjadi lantaran masyarakat negeri ini baik yang menjadi rakyat, wakil rakyat maupun aparat mengaku beragama Islam, alih-alih menerapkan ideologi Islam, malah menuhankan ideologi sekularisme buatan penjajah. Kalaupun ada aturan Islam yang diterapkan penguasa, bukan berangkat dari keyakinan bahwa itu merupakan kewajiban dari Allah SWT, tetapi karena menganggap bahwa aturan tersebut menguntungkan secara finansial bagi para aparat terkait yang melegislasikan dan menerapkan aturan tersebut dan tidak bertentangan dengan misi Amerika di Indonesia. Jelas, penerapan hukum tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai hukum Islam, tetapi tetap saja terkategori hukum sekular; karena diterapkannya hukum tersebut berdasarkan asas manfaat, bukan halal-haram. Apalagi secara faktual sebagian besar hukum Islam lainnya ditinggalkan dengan alasan ketinggalan zaman dan melanggar HAM atau karena sebagian besar anggota Legislatif tidak setuju.
Di sinilah, ujar Rokhmat Labib, letak perbedaan yang mendasar antara pandangan Islam dan ideologi sekularisme dalam memandang maksiat (kejahatan). Setiap manusia di dunia ini pasti membenci tindak kejahatan dan tidak ingin kejahatan itu menyebar luas dan merajalela. Namun, yang menjadi masalah saat ini adalah mana saja yang terkategori kejahatan dan mana saja yang sebaliknya; setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, bergantung pada ideologi yang dianutnya. Jika orang tersebut berideologi Islam, ia pasti akan memandang murtad dari Islam adalah kejahatan. Sebaliknya, jika orang tersebut mengemban sekularisme, yang dikenal dengan istilah demokrasi itu, memandang keluarnya seseorang dari agama Islam bukan tindak kejahatan.
Begitu juga dengan bunga bank, lokalisasi perjudian dan pelacuran, privatisasi BUMN dan SDA, membuat UU yang bukan bersumber dari al-Quran dan al-Hadis. Itu semua dalam Islam adalah bentuk kejahatan, tapi demokrasi malah memandang sebaliknya.
Nah, menurut Rokhmat, kejahatan yang paling besar atau biangnya segala kejahatan ialah diterapkannya sistem demokrasi, karena telah memposisikan Allah SWT di bawah anggota DPR. Pasalnya, ketika penguasa hendak menerapkan hukum Allah SWT, meskipun hanya satu kewajiban, menutup aurat misalnya, harus mendapat persetujuan DPR. Kasus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi merupakan salah satu buktinya.
Jelas itu merupakan kemaksiatan yang tiada bandingannya, karena mensejajarkan Allah dengan makhluk saja sudah terkategori musyrik. Ini malah menjadikan otoritas makhluk di atas Allah SWT.
source : hizbut-tahrir.or.id dg beberapa perubahan
Menurut Sekretaris Desa Ringinpitu Karnu, penganut Baha’i di desanya setidaknya ada 40 orang, malah sekabupaten Tulungagung ada 157 orang. Karnu pun menyatakan, mereka semua tadinya beragama Islam. Namun, sejak tahun 1980-an, datanglah seseorang yang bernama H. Yusuf. Lalu satu-persatu warga Tulungagung murtad dan memeluk Baha’i. mereka tidak lagi mempercayai adanya akhirat, tidak mau membayar zakat dan puasanya pun hanya 19 hari.
Itulah salah satu modus pemurtadan di tengah-tengah kaum Muslim. Selain itu masih banyak lagi bermunculan aliran aneh yang menyesatkan di negeri yang mayoritas Muslim ini, menyusul aliran sesat Ahmadiyah yang tidak kunjung dilarang Pemerintah.
Islam memang tidak memaksa siapa saja untuk memeluk agama Islam. Namun, setelah seseorang memilih Islam sebagai agamanya, maka sejak saat itu ia terikat hukum Islam. Salah satu hukum tersebut adalah mengharamkan setiap Muslim keluar dari agama Islam dengan alasan apapun. Jadi, setiap orang yang murtad wajib didakwahi dalam waktu tertentu, misal 3 hari, agar segera bertobat. Jika dalam batas waktu tersebut tetap saja ia tidak mau bertobat maka negara wajib menghukum-nya dengan hukuman mati. Ketentuan ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Ibnu Abbas ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang mengganti agamanya (keluar dari Islam), bunuhlah.” (HR al-Bukhari).
Belum lagi praktik kemusyrikan lain yang sudah dianggap biasa, seperti memberikan sesajen kepada arwah leluhur dan praktik perdukunan. Itu semua merupakan kemaksiatan di bidang akidah yang tidak bisa ditoleransi lagi.
Namun, alih-alih Pemerintah memberantas-nya, malah menyanjung upacara sesajen itu sebagai warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Jadi, tidak aneh jika sering dijumpai pembangunan gedung atau jembatan masih didahului dengan upacara adat dengan sesaji kepala kerbau untuk ditanam di lokasi, bersamaan dengan peletakan batu pertama, yang biasanya dilakukan oleh pejabat tinggi atau seorang publik figur.
Bahkan, Praktik perdukunan kini dikemas dalam format sms dan diiklankan dalam televise, misalnya dengan menjanjikan akan mengubah nasib pemirsa televisi yang mengirim sms kepadanya. Benar saja, baru saja dua minggu diiklankan, seperti yang diungkap Detik.com, sang Dukun sudah menerima 70 ribu sms. Jika dari satu sms saja keuntungan yang didapatnya 1000 rupiah maka dalam dua minggu itu Ki Joko meraup untung 70 juta rupiah. Lantas siapa yang nasibnya berubah? Si Dukun atau masyarakat? Janganlah kita mau dibodohi dengan bualan serendah ini.
Maraknya aliran sesat dan praktik kemusrikan di negeri yang mayoritas Muslim ini terjadi lantaran diterapkannya sekularisme. Sekularisme adalah ideologi yang sangat berbahaya karena memisahkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dari syariah Islam. Akibatnya, masyarakat menjadi bodoh karena tidak bisa membedakan dengan baik mana yang benar dan mana yang salah. Manusia digiring menjauh dari kebahagian sejati hanya untuk kesenangan sesaat.
Bukan hanya masyarakat bisa yang tergiur kesenangan sesaat tersebut. Aparat pemerintah dan wakil rakyat pun tidak luput dari wabah sekularisme. Keberkahan negeri ini pun dicabut diganti dengan berbagai macam bencana.
Padahal menurut Fahmi Amhar, Dosen Pasca Sarjana Universitas Paramadina, dalam orasinya pada Kongres Mahasiswa Islam Indonesia 18 Oktober lalu di Jakarta, SDA Indonesia sangat melimpah. Dari pendapatan hutan saja, dengan metode yang paling lestari sesuai syariah, dengan penebangan 5% setiap hektar dari 104 juta hektar hutan pertahun, akan didapat laba bersih setidaknya Rp 2080 triliun. Angka yang cukup fantastik, karena APBN 2009 saja hanya sekitar 1000 triliun.
Itu baru dari hutan; belum dari potensi laut, yang luasnya 75 persen dari seluruh luas laut dan daratan Indonesia; ditambah lagi potensi mineral dan energi. Namun potensi yang besar tersebut tidak bisa mengentaskan seluruh rakyat Indonesia ini dari kemiskinan. Karena diterapkannya ekonomi kapitalisme, kekayaan tersebut hanya dinikmati oleh pengusaha asing terutama Amerika, aparat dan wakil rakyat saja. Rakyat yang mayoritas negeri ini hanya bisa gigit jari.
Padahal Allah SWT telah mewajibkan pengelolaan SDA oleh negara untuk kesejahteraan publik dan tidak boleh memberikan konsesi kepada pihak swasta dalam negeri maupun asing. Namun, Pemerintah malah menerapkan hal yang sebaliknya.
Mental Terjajah
Satu contoh sederhana saja, dengan iming-iming akan membuka lapangan kerja di perkebunan bagi warga setempat, aparat dengan senang hati memberikan konsensi kepada asing. Di Riau, misalnya, dengan izin investasi perkebunan, sebuah perusahaan asing langsung untung minimal Rp 7,4 triliun setelah mendapat konsensi 20.000 hektar. Menebang habis hutan mendapat untung Rp 400 juta perhektar, sedangkan membangun kebun hanya Rp 30 juta perhektar. Jadi, menurut Fahmi Amhar, keuntungan per 20.000 hektar tersebut 7,4 triliun, praktis tanpa modal!
Kondisi ini dimanfaatkan oleh para korporasi dunia untuk melobi para politisi negeri ini untuk membuat lebih banyak lagi UU yang semakin memudahkan dan legal lagi bagi mereka untuk mengeruk SDA.
Walhasil, menurut Fahmi, makin hari makin banyak korporasi asing di negeri ini dari sektor hulu, seperti emas dan migas, hingga sektor hilir seperti pasar eceran. Sebaliknya, anak negeri cukup puas sebagai pekerja korporasi itu.
Aparat senang mendapatkan komisinya, apalagi korporasi itu rajin membayar pajak. Padahal pada saat yang sama lingkungan menjadi rusak, teknologi semakin tidak dikuasai, utang luar negeri Indonesia semakin menggunung.
Pada APBN 2009 saja anggaran untuk membayar bunga utang Rp 109,5 triliun; lima kali lipat dari anggaran kesehatan. Pada saat yang bersamaan pula melalui berbagai media massa dipertontonkan kekusutan birokrasi dan manajemen pemerintahan Indonesia versus efisiensi birokrasi dan manajemen negara Amerika.
Hasilnya, bangsa ini semakin rendah diri pada kemampuan dan produk sendiri serta semakin terkagum-kagum pada produk luar. “Oleh karena itu, kita secara sadar atau tidak sedang membiarkan diri terus dijajah, langsung atau tidak langsung, melalui UU dan budaya,” ujar Fahmi.
Bahkan orang nomor satu di negeri ini, ketika masih menjabat sebagai Menko Polkam pun, meski memiliki badan yang tinggi besar dan tegap, karena tidak mengemban ideologi Islam, bermental terjajah pula. Seperti dikutip http://english.aljazeera.net/English… Archiveld=4965 pada 2003 lalu saat mengunjungi Amerika, SBY menyatakan, “I love the United State, with all its faults. I consider it my second country (Saya cinta Amerika, dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya negeri kedua saya).”
SBY pun membuktikan ucapannya dengan menelan mentah-mentah ekonomi kapitalisme mazhab neoliberal yang disodorkan Amerika. DPR periode lalu pun mengesahkan berbagai macam UU yang kental dengan semangat neolib itu, di antaranya UU Otonomi Daerah, UU Sumber Daya Air, UU Mineral dan Batubara, UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Badan Hukum Pendidikan, dll.
Jadi, legal hukumnya sudah dibuat, papar Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, nah tinggal pelaksanaannya saja. Untuk itu, harus ada orang yang menjaga pelaksanaannya agar sesuai dengan agenda neolib tersebut. Makanya Pemerintah bertugas untuk memastikan orang-orang yang akan menjalankan ekonomi neoloberal itu tetap berjalan dengan lancar. Karena itu, dipilih orang-orang yang sangat istiqamah menjalankan neoliberal untuk menduduki posisi kunci di dalam kabinet SBY tersebut. Di antaranya adalah Sri Mulyani, Mari Elka Pangestu, Purnomo Yusgiantoro dan Endang Rahayu Sedyaningsih.
Bidang Sosial
Ada sebuah istilah “Jika kamu ingim nerubah suatu bangsa, rubahlah pemudanya. Dan jika kamu ingin nerusak suatu bangsa, maka rusaklah pemudanya. Kemaksiatan di dalam sistem sosial, terutama di bidang pergaulan pria dan wanita, semakin meningkat pesat. Pengusung liberalisme pun secara massif mengkampanyekan pergaulan bebas. Di antaranya melalui film remaja dan berbagai sinetron, seperti kisah pelacuran terselubung dalam film Virgin atau Buruan Cium Gue yang mengajak remaja dan kalangan mahasiswa untuk melakukan seks bebas.
Namun, Pemerintah tutup mata pada aktivitas perusakan moral bangsa itu. Bukti lainnya, ujar Pengamat Sosial Tatty Elmir, setelah diberlakukannya UU Informasi dan Transaksi Elektronik, setidaknya ada 2000 video porno di internet yang ‘dibintangi’ pelajar Indonesia tetap saja eksis. Pelaku sekaligus korban ini bukan saja hanya pelajar dari kota-kota besar tetapi juga dari Nganjuk, Jombang, Pacitan, Gowa, Minahasa dan Lampung. Beberapa situs porno berbayar masih eksis bahkan tetap menggunakan fasilitas perbankan dalam negeri.Berdasarkan data Depkominfo pada 2007, ada 25 juta pengakses internet di Indonesia. Konsumen terbesar atau 90 persennya adalah anak usia 8-16 tahun, 30 persen pelaku sekaligus korban industri pornografi adalah anak.
Dua dari lima korban kekerasan seks usia 15-17 tahun disebabkan internet; 76 persen korban eksploitasi seksual karena internet berusia 13-15 tahun. Itu baru penelitian terkait dengan pornografi melalui internet, belum lagi melalui media yang lain. Akibatnya, suburlah praktek aborsi. Pada 2008, Voice of Human Rigths melansir aborsi di Indonesia menembus angka 2,5 juta kasus; 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja di bawah usia 20 tahun.
Biang Maksiat
Segala kemaksiatan itu terjadi lantaran masyarakat negeri ini baik yang menjadi rakyat, wakil rakyat maupun aparat mengaku beragama Islam, alih-alih menerapkan ideologi Islam, malah menuhankan ideologi sekularisme buatan penjajah. Kalaupun ada aturan Islam yang diterapkan penguasa, bukan berangkat dari keyakinan bahwa itu merupakan kewajiban dari Allah SWT, tetapi karena menganggap bahwa aturan tersebut menguntungkan secara finansial bagi para aparat terkait yang melegislasikan dan menerapkan aturan tersebut dan tidak bertentangan dengan misi Amerika di Indonesia. Jelas, penerapan hukum tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai hukum Islam, tetapi tetap saja terkategori hukum sekular; karena diterapkannya hukum tersebut berdasarkan asas manfaat, bukan halal-haram. Apalagi secara faktual sebagian besar hukum Islam lainnya ditinggalkan dengan alasan ketinggalan zaman dan melanggar HAM atau karena sebagian besar anggota Legislatif tidak setuju.
Di sinilah, ujar Rokhmat Labib, letak perbedaan yang mendasar antara pandangan Islam dan ideologi sekularisme dalam memandang maksiat (kejahatan). Setiap manusia di dunia ini pasti membenci tindak kejahatan dan tidak ingin kejahatan itu menyebar luas dan merajalela. Namun, yang menjadi masalah saat ini adalah mana saja yang terkategori kejahatan dan mana saja yang sebaliknya; setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, bergantung pada ideologi yang dianutnya. Jika orang tersebut berideologi Islam, ia pasti akan memandang murtad dari Islam adalah kejahatan. Sebaliknya, jika orang tersebut mengemban sekularisme, yang dikenal dengan istilah demokrasi itu, memandang keluarnya seseorang dari agama Islam bukan tindak kejahatan.
Begitu juga dengan bunga bank, lokalisasi perjudian dan pelacuran, privatisasi BUMN dan SDA, membuat UU yang bukan bersumber dari al-Quran dan al-Hadis. Itu semua dalam Islam adalah bentuk kejahatan, tapi demokrasi malah memandang sebaliknya.
Nah, menurut Rokhmat, kejahatan yang paling besar atau biangnya segala kejahatan ialah diterapkannya sistem demokrasi, karena telah memposisikan Allah SWT di bawah anggota DPR. Pasalnya, ketika penguasa hendak menerapkan hukum Allah SWT, meskipun hanya satu kewajiban, menutup aurat misalnya, harus mendapat persetujuan DPR. Kasus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi merupakan salah satu buktinya.
Jelas itu merupakan kemaksiatan yang tiada bandingannya, karena mensejajarkan Allah dengan makhluk saja sudah terkategori musyrik. Ini malah menjadikan otoritas makhluk di atas Allah SWT.
source : hizbut-tahrir.or.id dg beberapa perubahan
Minggu, 03 Januari 2010
HOS Cokroaminoto: Aktif Memperjuangkan Syariah
Haji Oemar Sait (HOS) Cokroaminoto lahir di Desa Bakur, Madiun Jawa Timur 16 Agustus 1883. Ia anak kedua dari dua belas bersaudara, putra dari Raden Mas Cokro Amiseno, seorang Wedana Kleco dan cucu RT Adipati Negoro Bupati Ponorogo. Lahir dari keluarga bangsawan tak membuatnya bersikap angkuh, justru karena itulah ia akhirnya menjadi sebuah motor penggerak kemerdekaan bagi Indonesia saat semua manusia tertidur dalam belaian kompeni Belanda. Dialah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda dengan ideologi Islam hingga mengenyahkan penjajah dari Bumi Nusantara.
Setelah menamatkan studi di Oplayding School Foor Inladishe Ambegtenaren (OSVIA), sekolah pegawai pemerintahan pribumi Magelang, ia mengikuti jejak kepriayian ayahnya sebagai pegawai pangreh praja walaupun akhirnya ia tinggalkan karena muak dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan.1
Tahun 1905 Cokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan dagang, di samping ia juga belajar di sekolah malam Hogore Burger School. Bersama istrinya, Suharsikin, ia mendirikan rumah kos di rumahnya, yang nantinya melalui rumah inilah Cokro menyalurkan ilmunya dalam agama, politik dan berorasi yang akhirnya menjadi cikal bakal pembentukan tokoh-tokoh penting di Indonesia; seperti Soekarno yang nasionalis, SM Kartosuwirjo yang Islamis dan Muso-Alimin yang komunis.
Rakyat yang tertindas oleh penjajah kolonial Belanda secara ekonomi dan politik telah mengusik pemikiran dan hatinya. Cokroaminoto pun ‘mengejawantahkan’ kegundahan hatinya melalui statemen, “Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tenteram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka.”2
Beliau juga mengatakan bahwa saat itu telah terjadi Jahiliah modern. “Kalau alat-alat pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak pejabat sampai bawahan, sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, yakinlah negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya. Sebab, segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suap dan sebagainya yang secara terang-terangan merugikan negara, dilakukan dengan aman oleh mereka; rakyat yang menjadi korban.”3
Apa yang disampaikan oleh Cokroaminoto tampak jelas bahwa syariah Islam dijadikan sebagai landasan pikiran, perasaan dan hatinya. Oemar Said juga menyatakan, “Tidak bisa manusia menjadi utama yang sesungguhnya, tidak bisa manusia menjadi besar dan mulia dalam arti kata yang sebenarnya, tidak bisa ia menjadi berani dengan keberanian yang suci dan utama, kalau ada banyak barang yang ditakuti dan disembahnya. Keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian yang sedemikian itu hanyalah bisa tercipta karena ‘tauhid’ saja. Tegasnya menetapkan lahir batin: tidak ada sesembahan melainkan Allah saja.”4
Inilah komitmen diri seorang HOS Cokroaminoto.
Untuk merealisasikan cita-cita perjuangannya, yakni menuntut Indonesia bersyariah, ia masuk ke dalam Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh H. Samanhudi di Solo, sebuah pergerakan pertama Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Tujuan SDI adalah kemerdekaan dan pemberlakuan syariah Islam. Sejak masuknya ia ke dalam SDI, SDI berubah menjadi sebuah organisasi yang besar dan menakutkan bagi kolonial. Kemahirannya serta kepiawaiannya berpolitik dalam menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan memihak kepentingan rakyat membuat SDI begitu digandrungi rakyat pribumi. Apalagi setelah SDI berubah menjadi SI dan ia menjadi pemimpin SI. Lewat Cokro tujuan SI mulai diperjelas, yakni kemerdekaan Indonesia dan pemberlakuan syariah Islam bagi segenap lapisan rakyat.
Karena aktivitas politiknya, Belanda akhirnya menangkap Cokro pada tahun 1921 karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat pribumi walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah cobaan yang lazim diterima para penegak syariah Islam di seluruh dunia.
Pada tanggal 14-24 Juni 1916 diadakanlah Kongres Nasional pertama di Bandung. Di dalam kongres tersebut Cokro mengupas tentang pembentukan bangsa dan pemerintahan sendiri, sebuah langkah yang sangat berani saat itu karena bagi rakyat pribumi kemerdekaan adalah hal yang tabu untuk disampaikan; suatu langkah politik yang benar-benar berani. Cokro membangun opini rakyat yang belum mengerti politik untuk berpihak terhadap perjuangannya, yaitu menuntut Indonesia merdeka dan bersyariah Islam.
Saat itu pemerintah kolonial masih kuat apalagi saat itu Belanda masih menerapkan peraturan Reegerings Reglement (RR) sebuah peraturan yang berisi larangan berpolitik, berkumpul untuk membahas perjuangan kemerdekaan. Otomatis Cokro saat itu harus berhadapan dengan dua lawan, yaitu Belanda dan Pangreh Praja yang menjadi kaki tangan Belanda.
Pada tahun 1924, Cokro mulai aktif dalam komite-komite pembahasan Kekhilafahan yang dicetuskan pemimpin politik di Timur Tengah, sebuah langkah untuk memperkuat barisan menuju kemerdekaan dan kekhalifahan dunia.5
Bagi Cokro, Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan dipersatukan sebagai dasar kebangsaan yang hendak di proses menuju Indonesia. Sebuah spirit besar muncul dari diri Cokro, yakni “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”. Sungguh bahwa apa yang diharapkan Cokroaminoto adalah menjadikan syariah Islam sebagai solusi atas permasalahan negeri. Tokoh mercusuar syariah Islam ini wafat pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Amelz , H.O.S TJOKROAMINOTO, Hidup dan Perdjuangannja, Bulan Bintang. Sumber: al-Ikhwah Edisi 3 Tahun I, Maret 2009 M
2 Amelz , ibid.
3 Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950
4 Amelz, 1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
5 Amelz , ibid.
Setelah menamatkan studi di Oplayding School Foor Inladishe Ambegtenaren (OSVIA), sekolah pegawai pemerintahan pribumi Magelang, ia mengikuti jejak kepriayian ayahnya sebagai pegawai pangreh praja walaupun akhirnya ia tinggalkan karena muak dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan.1
Tahun 1905 Cokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan dagang, di samping ia juga belajar di sekolah malam Hogore Burger School. Bersama istrinya, Suharsikin, ia mendirikan rumah kos di rumahnya, yang nantinya melalui rumah inilah Cokro menyalurkan ilmunya dalam agama, politik dan berorasi yang akhirnya menjadi cikal bakal pembentukan tokoh-tokoh penting di Indonesia; seperti Soekarno yang nasionalis, SM Kartosuwirjo yang Islamis dan Muso-Alimin yang komunis.
Rakyat yang tertindas oleh penjajah kolonial Belanda secara ekonomi dan politik telah mengusik pemikiran dan hatinya. Cokroaminoto pun ‘mengejawantahkan’ kegundahan hatinya melalui statemen, “Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tenteram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka.”2
Beliau juga mengatakan bahwa saat itu telah terjadi Jahiliah modern. “Kalau alat-alat pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak pejabat sampai bawahan, sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, yakinlah negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya. Sebab, segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suap dan sebagainya yang secara terang-terangan merugikan negara, dilakukan dengan aman oleh mereka; rakyat yang menjadi korban.”3
Apa yang disampaikan oleh Cokroaminoto tampak jelas bahwa syariah Islam dijadikan sebagai landasan pikiran, perasaan dan hatinya. Oemar Said juga menyatakan, “Tidak bisa manusia menjadi utama yang sesungguhnya, tidak bisa manusia menjadi besar dan mulia dalam arti kata yang sebenarnya, tidak bisa ia menjadi berani dengan keberanian yang suci dan utama, kalau ada banyak barang yang ditakuti dan disembahnya. Keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian yang sedemikian itu hanyalah bisa tercipta karena ‘tauhid’ saja. Tegasnya menetapkan lahir batin: tidak ada sesembahan melainkan Allah saja.”4
Inilah komitmen diri seorang HOS Cokroaminoto.
Untuk merealisasikan cita-cita perjuangannya, yakni menuntut Indonesia bersyariah, ia masuk ke dalam Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh H. Samanhudi di Solo, sebuah pergerakan pertama Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Tujuan SDI adalah kemerdekaan dan pemberlakuan syariah Islam. Sejak masuknya ia ke dalam SDI, SDI berubah menjadi sebuah organisasi yang besar dan menakutkan bagi kolonial. Kemahirannya serta kepiawaiannya berpolitik dalam menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan memihak kepentingan rakyat membuat SDI begitu digandrungi rakyat pribumi. Apalagi setelah SDI berubah menjadi SI dan ia menjadi pemimpin SI. Lewat Cokro tujuan SI mulai diperjelas, yakni kemerdekaan Indonesia dan pemberlakuan syariah Islam bagi segenap lapisan rakyat.
Karena aktivitas politiknya, Belanda akhirnya menangkap Cokro pada tahun 1921 karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat pribumi walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah cobaan yang lazim diterima para penegak syariah Islam di seluruh dunia.
Pada tanggal 14-24 Juni 1916 diadakanlah Kongres Nasional pertama di Bandung. Di dalam kongres tersebut Cokro mengupas tentang pembentukan bangsa dan pemerintahan sendiri, sebuah langkah yang sangat berani saat itu karena bagi rakyat pribumi kemerdekaan adalah hal yang tabu untuk disampaikan; suatu langkah politik yang benar-benar berani. Cokro membangun opini rakyat yang belum mengerti politik untuk berpihak terhadap perjuangannya, yaitu menuntut Indonesia merdeka dan bersyariah Islam.
Saat itu pemerintah kolonial masih kuat apalagi saat itu Belanda masih menerapkan peraturan Reegerings Reglement (RR) sebuah peraturan yang berisi larangan berpolitik, berkumpul untuk membahas perjuangan kemerdekaan. Otomatis Cokro saat itu harus berhadapan dengan dua lawan, yaitu Belanda dan Pangreh Praja yang menjadi kaki tangan Belanda.
Pada tahun 1924, Cokro mulai aktif dalam komite-komite pembahasan Kekhilafahan yang dicetuskan pemimpin politik di Timur Tengah, sebuah langkah untuk memperkuat barisan menuju kemerdekaan dan kekhalifahan dunia.5
Bagi Cokro, Islam adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan dipersatukan sebagai dasar kebangsaan yang hendak di proses menuju Indonesia. Sebuah spirit besar muncul dari diri Cokro, yakni “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”. Sungguh bahwa apa yang diharapkan Cokroaminoto adalah menjadikan syariah Islam sebagai solusi atas permasalahan negeri. Tokoh mercusuar syariah Islam ini wafat pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Amelz , H.O.S TJOKROAMINOTO, Hidup dan Perdjuangannja, Bulan Bintang. Sumber: al-Ikhwah Edisi 3 Tahun I, Maret 2009 M
2 Amelz , ibid.
3 Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950
4 Amelz, 1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
5 Amelz , ibid.
KH Hasyim Asy’ari dan NU: Pejuang Syariah
Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”
Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924).
Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam.
Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah (cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.
Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah.
Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua); dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam. Dalam kerangka ini NU pernah mengukuhkan pemerintah Soekarno sebagai waliyy al-amri adh-dharûri bi asy-syawkah. Adanya pengukuhan ini merupakan kebutuhan syar’i yang terkait dengan masalah perwalian pernikahan, khususnya wali hakim, di mana hanya sah apabila diangkat oleh pemerintah yang sah pula secara syariah. Dalam kasus ini pemerintah Soekarno untuk sementara masih dapat ditoleraransi sebagai pemerintah yang sah secara syariah. Namun, karena sifatnya yang belum kâffah maka dikatakan adh-dharûri. Penggunaan kata adh-dharûri (sementara) yang disifatkan pada kata waliyy al-amri menunjukkan adanya pengakuan, bahwa proses perjuangan menuju formalisasi syariah belum selesai. Karena itu, upaya menuju ke arah yang lebih sempurna masih terus dilakukan. Hal ini dapat dicermati dari sepak terjang NU pada masa-masa berikutnya seperti perjuangan NU yang dipimpin KH Bisri Samsuri melalui fraksi PPP yang mengegolkan UU Perkawinan serta menolak penetapan aliran kepercayaan sebagai agama. [Ainul Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan)/Sidogiri.com]
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”
Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924).
Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam.
Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah (cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.
Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah.
Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua); dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam. Dalam kerangka ini NU pernah mengukuhkan pemerintah Soekarno sebagai waliyy al-amri adh-dharûri bi asy-syawkah. Adanya pengukuhan ini merupakan kebutuhan syar’i yang terkait dengan masalah perwalian pernikahan, khususnya wali hakim, di mana hanya sah apabila diangkat oleh pemerintah yang sah pula secara syariah. Dalam kasus ini pemerintah Soekarno untuk sementara masih dapat ditoleraransi sebagai pemerintah yang sah secara syariah. Namun, karena sifatnya yang belum kâffah maka dikatakan adh-dharûri. Penggunaan kata adh-dharûri (sementara) yang disifatkan pada kata waliyy al-amri menunjukkan adanya pengakuan, bahwa proses perjuangan menuju formalisasi syariah belum selesai. Karena itu, upaya menuju ke arah yang lebih sempurna masih terus dilakukan. Hal ini dapat dicermati dari sepak terjang NU pada masa-masa berikutnya seperti perjuangan NU yang dipimpin KH Bisri Samsuri melalui fraksi PPP yang mengegolkan UU Perkawinan serta menolak penetapan aliran kepercayaan sebagai agama. [Ainul Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan)/Sidogiri.com]
Langganan:
Postingan (Atom)