Selasa, 09 Juni 2009

RESUME BUKU TEORI SOSIAL DAN PRAKTEK POLITIK

A. Pencerminan Teori Sosial dan Praktek Politik
Masalah hubungan antara teori social dan praktek social sebenarnya sudah menjadi obyek pembicaraan semenjak 2 abad yang lalu dan selama itu keduanya telah ditandai oleh kenyataan bahwa ia lebih mudah menimbulkan perselisihan daripada menghasilkan kejelasan pemikiran dan pemahaman. Meski demikian, masalah ini merupakan pokok persoalan yang cenderung menimbulkan perdebatan.
Dalam tulisan yang notabene kutipan dari ceramahnya ini, Ralf Dahrendorf menawarkan empat pemikiran sekaligus beberapa pertanyaan skeptis tentang teori social dan praktek social di dalamnya. Namun perlu kiranya diketahui terlebih dahulu bahwa apa yang ia maksud dengan praktek social sebagai hal-hal yang dilakukan oleh para menteri atau barangkali para anggota parlemen. Sedang teori social yang dimaksud adalah sebagai hal-hal yang dilakukan oleh para professor, paling tidak professor-profesor tertentu – profesor filsafat politik, kadang-kadang juga professor ekonomi, atau mungkin juga professor sejarah atau sosiologi.
Pemikiran pertama berkisar tentang persoalan sebagian orang yang nampaknya ingin menguasai bidang praktek politik dan teori social. Dengan kata lain, ada orang-orang yang ingin menjadi filsafat-politikus seklaigus. Dia mencontohkan, pada pertengahan tahun 1981 ada dua orang anggota parlemen yang pada mulanya sangat kritis dan keras pengecamannya terhadap Negara serta mengatakan bahwa Negara telah menjadi steril dari praktek politik ortodok, tapi setelah menjadi menteri mereka menjadi melempem dengan kebijakan-kebijakannya dan tuntutan-tunttan kritisnya dulu.
Perbedaan antara teori dan praktek semacam ini tidak terbatas pada spectrum poltik saja. Pada jajaran oposisi juga ada yang mengaku dirinya sebagai ahli teori social yang melihat dirinya dalam tradisi lama pemikir-pemikir social serta menyebut dirinya sebagai keturunan keluaraga Leverres. Ia juga sering menyebut agama Kristen sebagai sumber pemikiran politik dan sosialnya. Sayangnya, bila orang tersebut telah menduduki jabatan apalagi sebagai legislator penting, maka sama saja dengan para politisi lain, ada petunjuk bahwa mereka lebih dipengaruhi oleh sesuatu yang juga dikemukannya, yaitu langkah-langkah tekhnologi hebat yang melahirkan “kesaling tergantungan, kompleksitas, dan sentralisasi”. Bagi Dahrendorf, paling tidak dalam kenyataannya ada suatu jurang yang aneh antara teori social dengan praktek poltik. Individu-individu yang percaya pada apa yang mereka katakan dan tuliskan ketika bergelut dengan teori-teori social akan berubah sikapnya manakala sudah menduduki kursi social.
Pemikran yang kedua adalah masalah social dan politik menurut Hegel, yaitu bahwa para teoritisi social tidaklah boleh menulis mendahului waktu ketika ia memikirkan makna kemajuan sejarah. Kalimat Hegel yang terkenal adalah “ apa yang masuk akal adalah yang nyata dan apa yang nyata adalah yang masuk akal” dengan suatu moral (gagasan normatif). Ia mencoba mengatakan bahwa sesuatu yang difikirkan pada suatu waktu mempunyai hubungan yang pasti dengan sesuatu kejadian terjadi pada saat itu. Teori dan praktek mempunyai hubungan yang erat satu sama lain, sekalipun tidak bisa segera dibuktikan.
Sesungguhnya republic- nya Plato tidak lebih dari perkiraan mengenai struktur moral dasar masyarakat sekitar Plato berada. Alasan yang sebenarnya tidaklah boleh melebihi realita. Teori social harus mencerminkan praktek social. Inilah yang menjadikan ungkapan Hegel menjadi relevan. Menurutnya, filsafat tidaklah mengajarkan apapun pada dunia. Filsafat hanyalah merupakan alat untuk memahami isi pokok dunia seperti adanya ; dan filsafat akan lengkap, sempurna, dan matang. Tidak mungkin seorang filosof bisa mendahului dunia tempat semasa ia hidup. Dalam beberapa hal, teori social bagi Hegel tidak lain merupakan ideology dalam arti sempit. Teori social merupkan gagasan yang melulu mencerminkan apa yang disebut Marx hubungan produksi dan kepentingan kelas yang mereka pertahankan. Gagasan hanyalah cermin realita yang mempunyai struktur penguasaan yang khas dan kepentingan yang terus membengkak. Teori social tidak saja bisa mengubah sesuatu, lebih dari itu ia juga bisa mendahului realita atau lepas darinya. Tidak ada peranan kritik bagi teori social baik dalam pengertian aliran Frankfrut atau aliran Kant yang sebenarnya. Bagi Hegel, jika teori meninggalkan realita, maka ia akan sia-sia dan tidak relevan.
Pemikiran ketiga yaitu pembicaraan tentang Marx. Titik tolaknya adalah pada tesisnya, Theses on Feuerbach: “ Para filosof hanyalah mengartikan dunia secara berbeda-beda, sedang masalahnya adalah bagaiman mengubahnya”. Perkataan ini rumit tapi juga berguna bagi interpretasi terburuk dan tidak menguntungkan, demikian kata Dahrendorf. Sebenarnya Marx hanya ingin mengatakan bahwa kalau keadaan ekonomi, social, dan politik dalam beberapa hal salah urus, maka filsafat juga akan mengena. Hanya dalam kondisi politik dan sosial yang benarlah filsafat akan benar. Tampak bahwa jalan keluar khas Marx yang menjungkirbalikkan posisi ajaran Hegel merupakan awal dari suatu tradisi khusus Marxis hingga kini yang cenderung menekankan pentingnya teori dan penegasan terhadap suatu pengertian yang menunjukkan bahwa teori dan praktek bukanlah dua kegiatan yang terpisah melainkan saling menjalin dalam suatu hubungan yang dialektis. Teori sebagai pengakuan dari suatu proses sejarah adalah praktek dan praktek tersebut akan ada tanpa teori.
Pemikiran yang keempat adalah mengenai Max Weber. Dalam dua pidato pentingnya pada 1919 yang berbunyi (1) pengetahuan sebagai suatu profesi, yang mengupas bahwa politik tidaklah berada di ruang kuliah dan kita harus membedakannya dengan jelas antara apa yang dikerjakan sarjana dan apa yang dikerjakan politikus. Pertimbangan Weber ini mirip dengan pertimbangan Wilhelmina, yaitu bahwa dalam ruang sekolah murid-murid harus diam, esementara gurulah yang berbicara. Tentu saja seharusnya tidak demikian. Usaha Weber untuk membedakan ilmu pengetahuan (teori social) dengan politik tentu saja merupakan pernyataan tajam yang menegaskan bahwa tidak banyak penelitian ilmiiah yang bisa membuktikan pembenaran nilai. Alasan inilah yang membuatnya ingin memisahkan antara ilmu pengetahuan dan politik.
Dalam ceramah keduanya pada tahun yang sama dan judul yang sama, Weber membedakan antara etika keyakinan yang absolute dan tidak menerima realita apapun dengan etika tanggung jawab, yaitu pendekatan moral yang menilai situasi khusus secara pragmatis tanpa mengabaikan moralitas , tapi pada saat yang sama tidak membiarkan dikuasainya tindakan politik seseorang. Baginya politik harus diatur oleh suatu etika tanggung jawab yang dikendalikan etika keyakinan, yang berarti bersifat praktis. Politik dilakuakn satu orang meski tidak harus hasil pemikiran satu orang. Politik bukanlah hasil penerapan teori social, sebab keduanya adalah bidang yang terpisah.
B. Teori Sosial dan Politik dalam sejarah Teori Sosial
Inti dari tulisan Tom Bottomore ini adalah pembatasan diri yang kuat pada hubungan sejarah antara teori social dan politik dan mengabaikan perluasan pertanyaan filosofis yang muncul tentang hubungan antara teori dan praktek. Jadi sesungguhnya ia ingin menegaskan bahwa pengembangan teori social modern secara keseluruhan ini untuk menyebut tentang pengeahuan-pengetahuan social yang teoritis telah dikaitkan secara tertutup dan tidak dapat dilepaskan dari pengembangan sosio-ekonomis dan ekspresi-ekspresinya dalam perjuangan politik. Akhirnya mengakibatkan pertumbuhan yang cepat dari suatu ekonomi kapitalis dan munculnya berbagai kepentingan baru. Hal telah dipaparkan secara jelas dalam Encyclopedia Diderot dan d’ Alembert , yang ditujukan tidak untuk tidak hanya sekedar penyajian terakhir dari pengetahuan modern, namun pembelaan khusus dari pengetahuan modern, namun suatu pembelaan khusus dari pengetahuan social, dan suatu sumbangan bagi kemajuan gerakan demokratis.
Selama abad kesembilan belas, teori social menjadi lebih berhubungan secara baik sekali dengan doktrin-doktrin politik dan dengan gerakan-gerakan social yang bertujuan untuk menimbulkan perubahan-perubahan besar di dalam organisasi masyarakat. Pada satu sisi para teoritisi social menjadi sangat bersungguh-sungguh memusatkan perhatiannya terhadap apa yang mereka bayangkan sebagai masalah politik yang utama pada zaman mereka dan pada sisi yang lain, teori-teori social itu sendiri sampai dilihat di dalam cara yang terbaru sebagai suatu dasar yang penting dari doktrin-doktrin politik dan yang menyediakan elemen-elemen yang dapat dimasukkan secara langsung pada program-program dari gerakan-gerakan social dan partai-partai.
Penemuan itu adalah tentang ide bahwa kaum proletar merupakan factor social dan politik yang paling penting di dalam masyarakat modern. Penemuan ini selanjutnya membawa Marx pada suatu analisa akan situasi dari kaum proletar berkenaan dengan milik, produksi, dan pertukaran serta pada penonjolan perjuangna kelas sebagai elemen dinamis yang utama di dalam kehidupan social.
Dalam hal ini, Tom Bottomore mengungkapkan dengan gayanya yang menolak kemungkinan perluasan pengetahuan social yang obyektif dengan alas an ada perbedaan yang mencolok antara obyek-obyek penelitian ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan social.Masyarakat, katanya, bukanlah struktur luar yang pasti, yang tidak bisa mengubah, tindakan dan kesadaran manusia dalam beberapa cara yang biasa dapat diketahui dan dapat diduga.
Tom Bottomore juga berpendapat bahwa pembangunan social ekonomi dan pencuatannya dalam perjuangan politik telah menjadi demikian penting. Dengan kata lain, dengan munculnya masalah-masalah praktis dari kepentinan-kepentingan social yang baru telah melahirkan pemikiran yang sistematis tentang sifat masyarakat dan politik pada tempat pertama, dan para teoritisi masyhur dari masa sosiologi klasik akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, misalnya, semua orang mengembangkan ide-ide mereka di dalam kerangka komitmen poliik atau orietasi nilai. Pada dasawarsa terakhir kita telah mengalami, di dalam penilaian Bottomore, suatu pencarian ide-ide yang lebih tua ketimbang suatu semburan yang kreatif, dan merosotnya kehidupan politik saat itu tampaknya telah pula mendorong keterbatasan dan kegelisahan para teoritisi. Namun, ia juga melihat sinar di kaki langit dalam bentuk gerakan-gerakan protes orang Eropa.
Di penghujung uraiannya, Bottomore memita untuk diperhatikannya filsafat yang telah ikut ambil bagian dalam pengembangan ilmu social pada dasawarsa-dasawarsa yang lalu; dan pada salah seorang pengecam dasar-dasar positivistis yang paling masyhur yang banyak terdapat dalam pengetahuan social yang juga merupakan penjelas alternative hermeneutis yaitu Charles Taylor, yang uraian terakhirnya membicarakan adanya kemungkinan peranan teori di dalam meruntuhkan atau memperkuat dan biasanya menyusun sifat dan tindakan-tindakan kita. Berbagai teori mempunyai efek ini, ia tetap berharap untuk membuktikan bahwa teori-teori ini tak pernah bisa menjadi factor yyang tidak terlalu menmentukan berbagai tindakan. Peranan teori ini menurutnya adalah untuk membedakan ilmu pengetahuan social dengan ilmu pengetahuan alam, karena ilmu-ilmu itu bukanlah obyek-obyek yyang kurang lebih bebas, melainkan merupakan bagian yang menyusun atau mengubah obyk-obyek mereka. Persoalan selanjutnya adalah pengesahan teori sehubungan dengan tidak adanya test atau aplikasi empiris yang sederhana. Pengesahan katanya, hanya bisa datang dari efek-efek tindakan, kalau tindakan itu bersifat waskita bagi pelaku. Akan tetapi kemungkinan untuk berangan-angan, meski untuk diri sendiri, menjadi sangat besar. Tidak ada cara yang sederhana yang memungkinkan tercapainya pemahaman social yang waskita.

C. perkiraan, Tindakan, dan Nilai-nilai Obyektivitas Ilmu-Ilmu Sosial
Apabila Bottomore berpendapat bahwa pengesahan ,hanya bisa datang dari efek-efek tindakan, kalau tindakan itu bersifat waskita bagi pelaku. Akan tetapi kemungkinan untuk berangan-angan, meski untuk diri sendiri, menjadi sangat besar. Tidak ada cara yang sederhana yang memungkinkan tercapainya pemahaman social yang waskita, maka bagi Amartya Sen ada kebutuhan yang sangat besar dari ilmu pengetahuan social yang factual terhadap cara untuk mempertimbangkan pernyataan-pernyataan social dan politik yang penting yang ia sebut sebagai kebutuhan ilmu sosial. Ia berharap bisa mempertahankan gagasan akan “pengetahuan social yang obyektif” dengan mencoba mengupayakan melalui perbuatan perbedaan-perbedaan penting di antara perhitungan dan tindakan , atau antara kebenaran dan kebajikan. Dari sana ia berharap bisa menemui obyektivitas bahkan kejujuran, yang menghimpun peristiwa-peristiwa dan proses-proses politik.
Namun begitu, hal ini tidaklah cukup karena kita juga perlu tahu bahwa perhitungan tersebut adalah baik, dan tergantung pada pernyataan apa yang kita harapkan bisa diperhitungkan. Oleh karena itu, tegasnya, kita mempunyai suatu use-interest di dalam perhitungan. Tindakan, di lain fihak merupakan sesuatu yang sarat nilai-nilai yang mencakup upaya praktek ilmiah dan pembuatan pernyataan. Inilah masalah ilmu pengetahuan alam seperti halnya juga pengetahuan social. Pengetahuan social mungkin bisa menjelaskan kebenaran dan kebajikan dari berbagai pernyataan, tapi sudah tentu ia tidak dapat menceritakan kepada kita kenapa tindakan – tindakan itu dilakukan, selain juga tidak menyediakan pertimbangan-pertimbangan nilai tentang mereka.

D. Teori Sosial, Pengertian Sosial, dan Tindakan Politik
Masalahnya bukannya teori-teori di atas harus mendukung praktek sosialnya seperti yang disepakati oleh Charles Taylor dan Amartya Sen, tapi sebagaiman ditegaskan oleh Jhon Dunn, semua yang dimiliki harus bisa menjembatani jurang pemisah antara pemahaman social kita dengan pengetahauan kita tentang sejarah modern. Karena baginya manusia bukanlah sesuatu yang sederhana tetapi perlu dipelajari bahkan harus dipelajari secara mendalam. Kita semua mungkin harus menjadi para teoritisi amatir, sekalipun hasrat terhadap ilmu pengetahuan social yang sesungguhnya telah pernah menghasilkan dosis-dosis yang lebih berarti ketimbang pembentukan teori sebab-akibat yang professional (yang di dalam konteks kepercayaan yang diyakini bahwa dunia tidaklah mungkin bisa difahami secara fundamental), yang dalam pandangannya menuju ke suatu pernyataan yang mencerminkan kemabukan ideologis. Sebagai teoritisi amatir ini kita nantinya diharapkan menemukan dasar pemikiran bahwa setiap manusia mempunyai sedikit banyaknya teoritisi social resmi yang homogen, atau seperangkat teori social. Seperti Habermas, ia percaya bahwa para teoritisi social sedikit banyak harus mengerti tentang teori dan filsafat secara utuh dan memperhatikan konsepsi diri yang dipegang oleh dirinya asendiri. Jurang pemisah antara pemahaman terhadap diri sendiri dan orang lain harus ditutup.
Hanya dengan cara ini, tegasnya, teori dapat melayani praktek dengan lebih baik. Kesimpulan ini dikaitkan secara langsung oleh Dunn pada politik orang-orang Inggris modern yang sebelumnya pernah dicoba dengan teori-teori resmi yang tidak saja menimbulkan penderitaan besar ( karena tak adanya integritas social dan sintesa ideology yang bermoral , sehingga muncullah kekerasan bagi yang benar), tetapi juga penyurutan atas kemungkinan-kemungkinan kerjasama social. Apa yang dibutuhkan, menurut keyakinannya adalah kesederhanaan dan pandangan terhadap wewenang politik yang lebih demokratis serta penutupan jurang-jurang pemisah antara teori-teori resmi, amatir, dan professional.

E. Marxisme dan Komunisme
Akhirnya, pertautan antara teori Marxis dan praktek komunis merupakan masalah yang abadi bagi para ilmuwan social dan praktisi politik. Dalam uraian yang terakhir, Wlodzimiers Bruss mempersoalkan relevansi pandangan teoritis Marxis yang kritis untuk memahami dari mencari suatu use-value bagi para praktisi politik di Negara-negar tersebut. Ia menegaskan bahwa kondisi yang penting dari hal ini adalah pengakuan bahwa Negara-negara tersebut sarat dengan kecenderungan dan kekuatan yang saling bertentangan dan begitulah Marxisme, suatu teori yang baik asal muasalnyamaupun sifatnya sama mengandung berbagi kontradiksi social, sekalipun kemudian ia mampu menawarkan pengertian-pengertian tertentu pada para pembaharu.

KRITIK TERHADAP HASAN HANAFI

Kritik terhadap Hassan Hanafi

Pendahulan
Hassan Hanafi mencoba membicarakan tenatang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, dengan dimensi pembebasan (taharrur) di dalamnya. Watak pembebasan dari wawasan progresif itu bertumpu pada beberapa unsur penompang. Di satu pihak , gagasan akan keadilan sosial yang harus ditegakkan, kalau manusia ingin benar-benar berfungsi menjadi pelaksana fungsi keTuhanan (khalifah Allah) di muka bumi. Seorang kholifa harus memilki otonomi penuh atas dirinya, dan otonomi itu hanya dapat dicapai melalui tegaknya keadilan sosial.
Tiang penopang berupa keadilan sosial ini menembus segala bentuk dan corak pemerintahan. Di pihak lain, keadilan sosial hanya dapat terwujud, bilamana ada para perjuangan pembebasan umat manusia yang tergabung dalam kegaiatan terorganisir yang megarah pada tujuan pembebaan tersebut. Untuk memungkinkan membuat kiprah mereka efektif, diperluhkan ideologi yang jelas-jelas membewa suara bebebasan. Karena Islam sendiri tidak dapat dijadikan ideologi yang semata-semata berfungdi pembebasan. Keseluruhan warisan kesejarahan Islam menunjukkan kepada keharusan pencegahan hubungan langsung antara Islam dan kekuasaan. Watak normatif Islam akan menghalangi tumbuhanya elen Revolusioner yang harus dimiki, jika Islam ingin menjadi ideologi independen .
Dalam perkembangan pemikiran selama bertahun-tahun itu Hassan Hanafi sampai pada kesimpilan, bahwa Islam sebagaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada, yang wktu itu hampir sepenuhnya diwikili oleh berbagai bentuk sosialisme. Demikian kuat keyakinana Hassan Hanafi akan pentingnya orientasi keislaman pada ideologi populistik, sehingga ia mencetuskan gagasan kiri Islam .
Jelas dapat disimpulkan dari penalaran Hassan Hanafi, bahwa ia mengacu pada analisis kelas yang mendominasi sosialisme sebagai faham, termasuk jenis-jenis sosialisme yang tidak Maarxis-Leninnis. Pilihan Hassn Hanafi jatuh pada sosialisme yang bertumpu pada Marxis-Leninisme yang dimodifikasikan, seperti sosialisme Arab. Dikatakan dimodifikasikan, karena hakekat materialistik dari Determinisme-Historik, yang niscayakan kebebasan manusia itu diberi roh non-materialistik, seperti pemunculan unsur-unsur progresif dalam agama dan pra-nata laian yang bersifat kerohanian atau kesejarahan. Dengan demikian Determinisme-Historistik versi ini, Hassan Hanafi lalau mengambil posisi ke-kiri-an (Al-Mauqif Al-Yasari). Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia membawakan gagasan pembahasan melalui pengahancuran konstruk lama yang serba reaksoner dari Feodalisme Kapitalistik yang menguasai masyarakat-masyarakat dunia yang sedang berkembang. Karena kaum reaksioner dinilai sebagai kaum ”kanan”, dengan sendirinya lawan mereka, termasuk yang tidak komunis, dianggap sebagai “kaum kiri”.
Pemikiran Universalistik Hassan Hanafi itu dapat dilihat atau ditopang dari dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upayah penegakan kedaulatan hukum; pengahargaan kepada hak-hak asasi manusia; dan penguatan (enpowerment) bagi kekuasaan rakat jelata. Langkahlangkah itu seharusnya didudukkan pada sendi-sendi kultural ekonomis dan politis yang teguh. Karenanya sejumlah prinsip lalu menjadi penting dalam penciptaan paradigma baru pembebasan itu, seperti penolakan terhadap kekerasan (violence).
Di sudut pandang lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hassan Hanafi itu harus melalui dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam tidak hanya butuh hanya sekedar menerima dan mengambil alih paradigma-paradigma ilmu pengetahuan modern yang dibawakan oleh orang Barat, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban pengetahuan orang Arab. Kareana ilmu pengetahuan dan peradaban Barat bertumpu pada Materialisme, maka haruslah dikembangkan pengertian yang tepat bagi kaum muslimin tentang khasanah peradaban Barat itu sendiri.
Kita dapat menengarai tiga wajah dalam rangka memantapakan posisi pemikirannya dalam dunia Islam terutama dalam kaitannya dengan kiri Islam. Wajah pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Segera setelah revolusi Islam iran menang, ia meluncurkan kiri Islam. Salah satu tugasnya adalah untuk mencapi Revolusioner Tauhid (keesaan, pengesaan; konsep inti dlam pandangan dunia Islam). Wajah kedua adalah sebagai seorang reformasi tradisi intelektual Islam klasik. Dalam hal ini, ia mirip posisi Muhammad Abdu. Wajah ketiga adalah penerus gerakan Al-afghani. Ia adalah pendiri gerakan Islam modern .
Saya telah memberi kesan bahwa pemikiran Hassan Hanfi dapat didefinisikan lebih kurang modern, tetapi sebagai layaknya sebuah definisi ia tidak seluruhnya benar, terutama karena Hanafi menggunakan pisau anlisis fenomenologi yang muncul di Barat untuk melawan modernisme. Kendatipun ia menyerap modernitas dan pra-postmodernitas, tapi ia belum merambah pada gerakan pemikiran paling beru di Barat, yaitu posmodernisme.
Sebagai seorang reformis (pembaru) pemikir Islam, Hanfi mengunggulkan satu bagian dari khazanah Islam yang berbasis rasionalisme, dan ini tidak kompatibel dengan postmodernisme. Ini menjadi problema yang cukup serius dalam pemikiran Hassan Hanafi.

Gari Besarnya;
Kiri Islam adalah sebuah manifesto berbasis Islam yang dianggap sebagai ajaran sempurna dari Tuhan kepada umat manusia. Semua muslim percaya bahwa ajaran Islam adalah suatu norma yang dapat diadaptasi oleh setiap bangsa apa saja dan kapan pun saja. Ajaran Islam itu bersifat universal, dan tidak bertentangan dengan rasio. Semua Muslim harus selalu membangun peradapan Islam degan keparcayaan itu, dan mereka harus mencoba membangun peradaban mereka bertumpu pada pesan-pesan abdi.
Sebuah pertanyaann mungkin muncul; mengapa peradaban Islam menjadi lemah dibandingkan Barat padahal mereka percaya akan ajaran universal? Apakah Islam benar-benar Universal? Bukankah Barat lebih Universal karena ia telah menjadi peradaban yang paling kuat dalam sejarah kekuasaan? Al-afghani mencoba menjawabnya; “kristen berkembang pesat karena gereja berkembang di dalam tembok Imperium Romawi dan bekerjasam dengan penyembah berhala. Uamat nislam lemah karena kebanaran Islam telah dibusukkan oleh kesalahan yang turun temurun. Kristen kuat karena mereka tidak sungguh-sungguh Kristen, dan Islam lemah karena mereka tidak sungguh-sungguh Islam” .
Persoalannya, bagaimana kita mesti mendekati dan mengakaji aspek-aspek peradaban, kesejarahan, politik, ekonomi dan sosial dunia Islam yang dibangun di atas “universalitas” itu? Bagaimana membangun kritik atas wacana Muslim? Orientalis tradisional selalu gagal meliahat masalah itu .
Pertama-tama basis pemikiran Hassan Hanafi harus dilacak melalui ajaran paling inti dari Islam, untuk menguji kiri Islam. Ajaran paling inti Islam adalah Tauhid. Tauhid adalah basis Islam. Menurut Hassan Hanafi, untuk membangun kembanli peradaban Islam tak bisa tidak dengan membangun kembali semnagat Tauhid itu. Tauhid adalah pandangan dunia, asal seluruh pengetahuan. Karena itu kita harus mengkaji konsep Tauhid dan kita akan melihat bagaiman pandangan dunia Tauhid itu berfungsi untuk membangun umat Islam. Kita berupaya menemukan bahwa Tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya mempunyai kaitan tali temali yang erat. Hassa Hanfi menegaskan bahwa membangkitkan semangat Tauhid merupakan suatu keniscayaan .

Tinjauan dari Modernita ke Postmodernitas.
DR. Hassan Hanafi adalah seorang filsuf hukum Islam, seorang pemikir Islam dan guru besar di Fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia banyak menyerap pengetahuan dari Barat. Ia mengkosentrasikan diri pad kajian pemikiran Barat pra modern dan modern. Meskipun ia menolak dan mengkritik Barat tetapi tak terelka lagi, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah mempengaruhi pemikirannya. Mka ia tergolong seorang modernis-liberal seperti Luthfi al-Sayyid, Taha Husain dan Al-Aqqad.
Kita kan memulai pembahasan ini dari istilah yang abstrak: modernitas. Saya mengunakan istilah ini sebagai epistemologi yang mengatur bentuk-bentuk pandangan dunia dan sistem pemikiran . Pada saat yang sama bisa di katakan, bahwa sisitem sosial dan kultural membentuk epistemologi. Betuk-bentuk yang mengatur pandangan dunia kita juga nampak dalam pandanagn ilmu pengetahuan; ilmu politik, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Ia juga bisa tampak dalam bentuk-bentuk intuisi sosial, kebijakan, teknolohi dan norma sosial modernitas, kata laian dari Barat modern, yang menjadi dalang fenomena itu:
1. Pemisahan antara bidang sakral dan bidang dunawi. Dalam kehidupan sehari-sehari, hal terermin dalam pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik. Lembaga-lembaga sosiala juga berwatak demikian. Pemisahan ini juga diberlakuakn pada materi dan ruh.
2. Kecenderungan ke arah reduksionaisme. Materi dan benda direduksime. Materi dan benda direduksi pada elemen-elemennya. Ini dnampak dalam fisika Newton, sama halnya dengan homo-ekonomikus dalam ekonomi modern.
3. Pemisahan antara subyektifitas dan obyektifitas. Hal ini tak pelak lagi mengahasilkan suatau kecenderunga dalam ilmu sosial untuk mengkalim bahwa suatu obyektifitas dalam mengambarkan sesauatu sebagai keniscayaan, dan secara alami mengarah kepada pengenalan bahwa “ deskripsi Obyektif” selalau terkait dengan relaitas yang pasti.
4. Antroposentrisme. Ini nampak dalam sejarah Barat semenjak masa pencerahan, dan tampak dalam konsep-konsep demokrasi dan individualisme.
5. Progresivisme. Progresivime sejarah diwakili sangat baik oleh Marx dan Marxisme. Dalam bidang ilmu pengetahuan, hal itu diyakini secara luas seperti pada kemajuan ilmu pengetehuan dan obat-obatan.

Kecenderungan-kecenderungan epistemologi modernitas di atas dapat saling berkait, bisa pula berkombinasi, atau muncul dan berekspresi dengan wajah lain. Hal itu tidak penting, tetapi yang jelas apa yang dapat kita amati adlah divisionisme, redusionisme, dan Erosentrisme.


Daftar Refrensi

Kazuo Shimogaki. Kiri Islam, LKis,Yogyakarta, 1993.
M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembahruan Dalam Dunia Islam, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996.
Jurnal Islamika, Pemikiran Kritis Hassan Hanfi. No 1, Juli-Sebtember 1993

Sekilas tentang al Ghozali

KEHIDUPAN AL GAZALI SEBAGAI SEORANG FILOSOF
Al Gazali menjalani hidup seorang sufi selama kurang lebih 10 tahun. Di dalam kesufiannya ia banyak menemukan jawaban terhadap hal-hal yang menjadi problem dalam dirinya, yaitu ingin mencari kebenaran. Ia berhasil menghimpun sebuah karya monumentalnya, yaitu Ihya’ Ulumuddin, suatau kitab yang berisi tentang pedoman hidup bermasyarakat, yang merupakan buku petunjuk bagi sementara kalangan dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat .
Ia adalah seorang yang mempunyai pengaruh besar di dunia yang menjadikan tasawuf sebagai jalan mengenal Allah, sehingga banyak sekali yang ingin mengungkap dan mengkaji pribadinya, baik orang Barat maupun orang Timur. Dalam hal ini, Nur Cholish Madjid menngatakan bahwa Dunia Timur dikuasai oleh Al Gazali dan dunia Barat dikuasai oleh Ibnu Rusyd .Misalnya, A.J. Arbesy yang mengatakan bahwa Al Gazali di dalam kesufiannya selalu belajar dan menyusun serangkaian kitab yang di dalamnya menerangkan tentang aspek tatanan sufistik, meafisis, dan moral yang di dalamnya ia mencoba menunjukkan tasawuf kepada ajaran sunni, sembari membuktikan bahwa kehidupan seorang muslim di dalam pengabdian kepada Allah yang Esa takkan dapat dicapai sempurna, kecuali dengan mengikuti para sufi .

KONSEPSI FILSAFAT TASAWUF AL GHAZALI

Menurutnya, jalan menuju tasawwuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Didalam tasawufnya Al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi dengan doktrin ahlussunnah waljamaah. Dari faham tasawufnya itu ia menilai negative terhadap Sathonat. Menurutnya sathonat mempunyai dua kelemahan, yaitu kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mmengungkapkan kata-kata yang sulit sipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan dan sathonat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imaginasi sendiri.
Al-Ghozali juga menolak fahan Hulul dan Ittihad, sebagai gantinya ia menghadirkan faham baru tentang ma’rifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah (Taqorrub Ilaa Allah )tanpa diikuti penyetuan dengannya. Jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmu dan amal sedang buahnya adalah moralitas, ia menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa sampai pada ma’rifat yang membantu menciptakan ass’a

a. Pandangan Al-Ghozali tentang Ma’rifat.
Ma’rifat adalah jiwa taqorrub yang merupakan sesuatu yang diserap dan pengaruh dalam kalbu dan kemudian pada seluruh anggota badan. Menurut bahasa , Ma’rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan lagi. Sedang menurut istilah sufi, ma’rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan.
Di dalam kitab Al-Munkid Al-Ghozali menyebut Ma’rifat sebagai ilmu yaqini yaitu tersingkapnya sesuatu yang jelas, sehingga tidak ada ruang untuk ragu-ragu, takmungkin salah atau keliru. Disisi lain ia mengatakan bahwa Ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan peraturan-peraturannya tentang segala yang ada. Sedang sarana ma’rifat seorang sufi menurutnya adalah kalbu bukan perasaan dan bukan pula akal budi. Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh yang terletak pada bagian kiri dada seorang manusia. Jadi kata kalbu dapat berarti dua macam, yaitu dalam arti jasmani dan rohani,. Sedangkan kalbu sebagai sarana ma’rifat menurut Al-Ghozali adalah dalam pengertian kalbu yang kedua yaitu dalam arti rohani. Kalbu menurutnya bagaikan cermin, sementara ilmu adalah pantulan realitas yang ada didalamnya .Jadi jika kalbu tidak beningadalah hawa nafsu tubuh, sedang ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntunan hawa nafsu itulah yang justru membuat kalbu berlinang dan cemerlang .
Ma’ rifat yang hakiki adalah ma’rifat yang diperoleh melalui ilham. Ilham dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan yang diberikan Tuhan secara langsung kepada manusia-manusia tertentu tanpa proses pengetahuan dan penalaran atau proses belajar. Jika pengetahuan indra dan pengetahuan akal sangat tergantung pada keadaan dan kesadaran seseorang maka mungkin keadaan dan kesadaran yang lebih tinggi telah dicapai oleh kawan, yang dalam keadaan tertenu dapat menyaksikan hal-hal yang berlainan dengan apa yang dicapai oleh akal.
Jadi menurut Al Gazali, pengetahuan yang meyakinkan telah diperoleh kaum sufi. Kaum sufi dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh orang awwam. Hal ini dicapai melalui nur yang dipancarkan Tuhan kepada orang yang dikehendakinya. Nur adalah kunci pembuka sebagian besar ilmu ma’rifat. Jadi ma’rifat yang sebenarnya menurut Al Gazali didapat melalui ilham atau iluminasi yaitu Allah memancarkan nur ke dalam kalbu untuk mengenal hakikat Allah dan segala ciptaanNya.Sedangkan nur hanya dapat diterima apabila kalbu dalam keadaan bersih. Syarat pertama yang harus dilakukan untuk bisa menerima nur dari Allah sehingga bisa mengenal sesuatu dalam arti yang hakiki adalah mensucikannya dari dosa-dosa dan tingkah laku yang tercela, kemudian membersihkannya dari yang selain Allah. Kunci kesucian ini adalah dengan melibatkan kalbu secara total untuk berdzikir kepada Allah. Dan akhir semua ini adalah fana’ secara total menuju Allah. Dampaknya adalah Al Mukasyafah dan Al Musyahadah, sehingga mereka melihat (melalui kalbunya) para malaikat dan ruh para nabi dan dari sana mereka suara-suara dan dapat mengambil manfaat daripadanya .

b. Pandangan Al Gazali tentang Metafisika
Al Gazali memberikan reaksi keras terhadap Neo Platonisme Islam, di antaranya adalah al Farabi, Ibnu Sina, dkk. Al Gazli beranggapan bahwa banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, karena ketidak telitian seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Dalam bukunya yang berjudul Tahafut al Falasifah, disebutkan bahwa terdapat 20 persoalan (16 dalama bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika) yang dinyatakan 17 diantarana adalah bid’ah dan 3 yang lain dimasukkan hal pengkafiran. Yang dua puluh itu adalah:
1. Alam qadim (tidak bermula)
2. Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak
3. Konsep Tuhan sebagai Pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaanNya; ungkapan ini bersifat metaforis
4. Demonstrasi/pembuktian eksistensi Penciptaan alam semesta
5. Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkinnya pengandaian dua wajib al wujud
6. Penolakan akan sifat-sifat Tuhan
7. kemustahilan konsep genus (jins) keada Tuhan
8. Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi
9. Argumen rasional bahwa Tuhan itu bukan tubuh (jism)
10. Argumen rasional tentang Sebab dan Pencipta alam (hokum alam tak dapat berubah)
11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diriNya, dan Tuhan Mengetahui species dan secara universal
12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diriNya sendiri
13. Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juz’iyyat) melainkan secara umum
14. Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya
15. Tujuan yang menggerakkan langit
16. Jiwa-jiwa langit mengetahui particular-partikular ang bermula (al juz’iyyat al haditsah)
17. Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa
18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang , tidak terpateri pada ubuh, dan bukan tubuh
19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya
20. Penolakan terhadap kebangkitan jasmani

Tiga persoalan fisuf dipandang kafir adalah:
1. Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang particular (juz’iyyat) yang terjadi di alam
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al ajsad) di akhirat.

Aborsi dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Mukaddimah
Pertama-tama harus dideklarasikan bahwa aborsi bukanlah semata masalah medis atau kesehatan masyarakat, melainkan juga problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu masyarakat. Paham asing ini tak diragukan lagi telah menjadi pintu masuk bagi merajalelanya kasus-kasus aborsi, dalam masyarakat mana pun. Data-data statistik yang ada telah membuktikannya. Di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat, dua badan utama, yaitu Federal Centers for Disease Control (FCDC) dan Alan Guttmacher Institute (AGI), telah mengumpulkan data aborsi yang menunjukkan bahwa jumlah nyawa yang dibunuh dalam kasus aborsi di Amerika — yaitu hampir 2 juta jiwa — lebih banyak dari jumlah nyawa manusia yang dibunuh dalam perang mana pun dalam sejarah negara itu. Sebagai gambaran, jumlah kematian orang Amerika Serikat dari tiap-tiap perang adalah: Perang Vietnam 58.151 jiwa, Perang Korea 54.246 jiwa, Perang Dunia II 407.316 jiwa, Perang Dunia I 116.708 jiwa, Civil War (Perang Sipil) 498.332 jiwa. Secara total, dalam sejarah dunia, jumlah kematian karena aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua perang jika digabungkan sekaligus .
Data tersebut ternyata sejalan dengan data statistik yang menunjukkan bahwa mayoritas orang Amerika (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain, sah-sah saja dilakukan. Mereka beralasan toh orang lain melakukan hal yang serupa dan semua orang melakukannya .
Bagaimana di Indonesia? Di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, sayang sekali ada gejala-gejala memprihatinkan yang menunjukkan bahwa pelaku aborsi jumlahnya juga cukup signifikan. Memang frekuensi terjadinya aborsi sangat sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa dilaporkan kecuali jika terjadi komplikasi, sehingga perlu perawatan di rumah sakit. Akan tetapi, berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu . Pada 9 Mei 2001 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (waktu itu) Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dalam Seminar “Upaya Cegah Tangkal terhadap Kekerasan Seksual Pada Anak Perempuan” yang diadakan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim di FISIP Universitas Airlangga Surabaya menyatakan, “Angka aborsi saat ini mencapai 2,3 juta dan setiap tahun ada trend meningkat.” Ginekolog dan Konsultan Seks, dr. Boyke Dian Nugraha, dalam seminar “Pendidikan Seks bagi Mahasiswa” di Universitas Nasional Jakarta, akhir bulan April 2001 lalu menyatakan, setiap tahun terjadi 750.000 sampai 1,5 juta aborsi di Indonesia .
Dan ternyata pula, data tersebut selaras dengan data-data pergaulan bebas di Indonesia yang mencerminkan dianutnya nilai-nilai kebebasan yang sekularistik. Mengutip hasil survei yang dilakukan Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul binaan Yayasan Pelita Ilmu Jakarta, Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis pada Simposium Menuju Era Baru Gerakan Keluarga Berencana Nasional, di Hotel Sahid Jakarta mengungkapkan ada 42 % remaja yang menyatakan pernah berhubungan seks; 52 % di antaranya masih aktif menjalaninya. Survei ini dilakukan di Rumah Gaul Blok M, melibatkan 117 remaja berusia sekitar 13 hingga 20 tahun. Kebanyakan dari mereka (60 %) adalah wanita. Sebagian besar dari kalangan menengah ke atas yang berdomisili di Jakarta Selatan .
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa aborsi memang merupakan problem sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang lahir dari paham sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan.
Terlepas dari masalah ini, hukum aborsi itu sendiri memang wajib dipahami dengan baik oleh kaum muslimin, baik kalangan medis maupun masyarakat umumnya. Sebab bagi seorang muslim, hukum-hukum Syariat Islam merupakan standar bagi seluruh perbuatannya. Selain itu keterikatan dengan hukum-hukum Syariat Islam adalah kewajiban seorang muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Islam. Allah SWT berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan di antara mereka.” (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).
“Dan tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Qs. al-Ahzab [33]: 36).
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi aborsi?
2. Bagaimana pembagian dalam aborsi?
3. Bagaimana pelaksanaan aborsi?
4. Bagaimana aborsi Menurut Hukum Islam
5. Apakah dalil yang digunakan untuk aborsi? Bagaimana pula analisisnya?
C. Tujuan
1. Melengkapi tugas mata kuliah Masailul Fiqh
2. Mengetahui Aborsi lebih konprehenship

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan. (JNPK-KR, 1999) . Secara lebih spesifik yaituPengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram . Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh .
Aborsi adalah berakhirnya kehamilan-dapat terjadi secara spontan akibat kelainan fisik wanita atau akibat penyakit biomedis internal atau mungkin disengaja melalui campur tangan manusia . Dalam hal ini bisa dilakukan dengan cara meminum obat-obatan tertentu dengan tujuan mengakhiri kehamilan atau mengunjungi dokter dengan tujuan meminta pertolongan untuk mengakhiri kehamilan, baik dengan cara mengosongkan rahim (kuret), meminum cairan amniotik dicampur dengan larutan garam, sehingga menyebabkan keguguran.
B. Pembagian
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1. Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus Spontaneus
2. Aborsi Buatan/ Sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis
3. Aborsi Terapeutik/ Medis atau Abortus Provocatus Therapeuticum
Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
Aborsi buatan atau sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
Aborsi terapeutik atau Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa .
C. Pelaksanaan
Pelaksanaan aborsi adalah sebagai berikut. Kalau kehamilan lebih muda, lebih mudah dilakukan. Makin besar makin lebih sulit dan resikonya makin banyak bagi si ibu, cara-cara yang dilakukan di kilnik-klinik aborsi itu bermacam-macam, biasanya tergantung dari besar kecilnya janinnya.
1. Abortus untuk kehamilan sampai 12 minggu biasanya dilakukan dengan MR/ Menstrual Regulation yaitu dengan penyedotan (semacam alat penghisap debu yang biasa, tetapi 2 kali lebih kuat).
2. Pada janin yang lebih besar (sampai 16 minggu) dengan cara Dilatasi & Curetage.
3. Sampai 24 minggu. Di sini bayi sudah besar sekali, sebab itu biasanya harus dibunuh lebih dahulu dengan meracuni dia. Misalnya dengan cairan garam yang pekat seperti saline. Dengan jarum khusus, obat itu langsung disuntikkan ke dalam rahim, ke dalam air ketuban, sehingga anaknya keracunan, kulitnya terbakar, lalu mati.
4. Di atas 28 minggu biasanya dilakukan dengan suntikan prostaglandin sehingga terjadi proses kelahiran buatan dan anak itu dipaksakan untuk keluar dari tempat pemeliharaan dan perlindungannya.
5. Juga dipakai cara operasi Sesaria seperti pada kehamilan yang biasa .
Dengan berbagai alasan seseorang melakukan aborsi tetapi alasan yang paling utama adalah alasan-alasan non-medis. Di Amerika Serikat alasan aborsi antara lain:
1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir menggangu karir, sekolah, atau tanggung jawab yang lain (75%)
2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)
3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)
Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam kandungannya. Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia yang mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada di dalam kandungannya adalah boleh dan benar. Semua alasan-alasan ini tidak berdasar. Sebaliknya, alasan-alasan ini hanya menunjukkan ketidak pedulian seorang wanita, yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Data ini juga didukung oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch Forrest (1998) yang menyatakan bahwa hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan atau incest (hubungan intim satu darah), 3% karena membahayakan nyawa calon ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius. Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri termasuk takut tidak mampu membiayai, takut dikucilkan, malu, atau gengsi.
D. Aborsi Menurut Hukum Islam
Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh .
E. Dalil dan Analisis
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-An’aam [6]: 151).
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (Qs. al-Isra` [17]: 31).
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (Qs. al-Isra` [17]: 33).
“Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam. Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini.
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi Saw berikut:
“Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” [HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud r.a.].
Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda:
“(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…”
Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete¬lah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari. Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah Saw bersabda :
“Rasulullah Saw memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…” [HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah r.a.] (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah Saw telah membolehkan ‘azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah Saw bersabda kepa¬danya:
“Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka!” [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].
Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:
“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. al-Maa’idah [5]: 32) .
Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah Saw telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” [HR. Ahmad].
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
“Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima”
“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Dr. Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.
Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah Saw. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits yang membolehkan ‘azl.
Selain Islam, agama-agama yang lain juga melarang aborsi. Salah satu yang penulis ketahui ialah agama Kristen. Dimana dalam al Kitab disebutkan tentang Maryam yang tidak menggugurkan anaknya, Kisah kelahiran Ismael dan Ishak keturunan Ibrahim, jaminan Allah terhadap janin, dan lain sebagainya.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada peradaban Barat dengan menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi dan adil.
Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin. Untuk janin yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat. Jadi ini memang masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa.
disamping itu semua, nampaknya ada sesuatu yang lebih urgent lagi, yaitu sikap preventif yang asasi dan shohih berupa mengurangi hal-hal yang merangsang libido, melegalkan peraturan yang mengatur hubungan laki dan perempuan, dan lain sebagainya , bukannya malah melegalkan ATM kondom yang bukannya memberi solusi malah polusi. Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Ghanim, 1963, Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah, t.p., t.tp
Al Baghdadi, Abdurrahman, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta
Fadl, Abul ME, 1997. Aborsi, Kontrasepsi, dan Mengatasi Kemandulan, Mizan, Bandung
Hakim, Abdul Hamid,1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Sa’adiyah Putera, Jakarta
Hasan, M. Ali, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta
Uman, Cholil, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel Suci, Surabaya
Zallum, Abdul Qadim, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, Al-Izzah, Bangil
Zuhdi, Masjfuk, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Haji Masagung, Jakarta
www.genetik2000.com.
Patterson, James, dan Peter Kim, 1991, The Day America Told The Thruth dalam Dr. Muhammad Bin Saud Al Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, 1995, hal. 19.
Aborsi.net.
www.jender.or.id
Ensiklopedia Indonesia
Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260

Ilmu dan Agama dalam Bingkai Fil. Ilmu

HUBUNGAN ILMU DAN AGAMA


A. Pendahuluan
Kiranya sudah sejak dua Abad silam perkembangan dunia sains berikut turunannya tekhnologi cenderung berwatak ateistik-materialistik, hasilnya pun kerap kali mengancam eksistensi agama. Dengan berlandaskan pada metafisika yang bertentangan dengan agama, teori-teori ilmiah sains cenderung menyudutkan agama, seperti teori penciptaan alam semesta, asal-usul manusia, hubungan alam dengan Tuhan dan sebagainya.
Fenomena ini mencapai titik puncaknya tatkala Charles Darwin mempopulerkan teori evolusi, lewat karyanya “The Origin of Species”. Sebuah penemuan baru yang banyak mendapatkan cekaman dan penuh kontroversial, namun mampu meruntuhkan doktrin dan keyakinan kuat kaum beragama mengenai misteri kemunculan manusia. Gagasan ini kemudian diikuti oleh pandangan para Darwinisme mengenai fenomena alam, yang keberadaannya dianggap hanya faktor kebetulan belaka, dan tidak ada agen atau kreator yang menciptakannya (termasuk Tuhan).
Keradikalan sains modern dengan coraknya yang ateistik-materialistik itu dianggap oleh kaum agamawan sebagai sesuatu yang membahayakan. Dari kaum agamawan, paling tidak ada tiga corak dalam merespon atau menanggapi keradikalan paradigma sains modern yang ateistik-materialistik ini. Pertama, kelompok agamawan yang berusaha mempertahankan doktrin dan kepercayaannya dengan tidak memperdulikan penemuan sains modern (mereka mengisolasi diri dari dunia sains modern), kedua, meninggalkan tradisi dan mencoba mencari titik temunya dengan sains modern, dan ketiga berusaha merumuskan kembali konsep keagamaan secara ilmiah dan kontemporer (upaya untuk menyatukan ilmu dan agama yang dilakukan oleh integralisme ).
Selanjutnya isu tentang perdebatan atau perjumpaan antara sains dan agama adalah turunan dari permasalahan ini, dan menjadi genre tersendiri di dunia keilmuan. Di tangan para teolog/agamawan dari Barat, perdebatan antara sains dan agama menghasilkan gagasan “sains teistik”, yaitu: sains yang sensitive terhadap keyakinan dan ajaran agama. Sementara dalam konteks Kristen kontemporer, Ian Barbour mendasarkan pendekatan “integrasi” (integrasi teologis) dalam upayanya mempertemukan sains dan agama dengan empat tipologinya yaitu; konflik, independensi, dialog dan integrasi. Juga John F. Haught yang menggunakan pendekatan konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi.
Sementara dalam Islam hubungan antara sains dan agama telah menjadi topik menarik selama lima puluh tahun terakhir ini. Gagasan mengenai “sains Islami” atau “Islamisasi sains” merupakan reaksi atas sains modern yang ateistik-materialistik tersebut. “Sains Islami” ini pada mulanya dipopulerkan oleh para pemikir muslim seperti Sayyed Hossein Nasr, Ziauddun Sardar, Ismail al-Faruqi, al-Attas dan akhir-akhir ini Mehdi Golshani. Di mana pemikiran mereka kerap kali dilabeli dengan “islamisasi ilmu”. Meskipun gagasan mereka berebeda, semuanya bergerak pada lapangan dan tingkat yang sama yaitu tingkat epistemologi dan sedikit menyentuh aspek metafisika.

B. Hubungan Ilmu dan Agama

Sesungguhnya ide dan kontroversi tentang integrasi ilmu dan agama di berbagai kalangan umat Islam tidak bisa dipungkiri. Kalau kita telaah ulang ternyata gagasan integrasi ilmu dan agama sudah lahir bersamaan dengan munculnya Islam, hal tersebut dibuktikan dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban Islam. Namun lambat laun hal tersebut pudar dan bahkan hilang dari umat Islam, kita lihat bagaimana kemudian Barat merangkak menuju kebangkitannya melalui penerjemahan karya ulama-ulama klasik Islam, namun sayang di saat yang sama justru umat Islam diam bahkan mundur dari kemajuan.

Melihat kondisi tersebut gagasan integrasi tersebut sungguh amat terasa urgensinya sekarang ini, ia tidak hanya sekedar mempertegas bahwa pandangan dikotomis antara ilmu dan agama (Islam) tidak lagi produktif. Namun juga untuk menegaskan bahwasanya Islam sesungguhnya bisa difahami melalui berbagai perspektrif, karena Islam bukan ajaran yang tertutup dan menutup diri. Ia bisa didatangi dan difahami oleh siapapun melalui berbagai jalan variatif sekalipun. Karena itu perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern ini sangatlah bermanfaat sebagai salah satu alat untuk memahami keluasan dan kemahabesaran Tuhan dan ajaranNya; Islam .

Hubungan ilmu dan agama bisa seperti yang disebutkan oleh Einstein, yakni "ilmu tanpa agama lumpuh dan agama tanpa ilmu buta". Karena agama adalah jiwa ilmu adalah empirisnya, agama adalah cahaya ilmu adalah lampunya, agama yang memberi kebahagiaan ilmu yang memberi kemudahan, dan lain sebaginya. Ini menunjukkan relasi yang sangat bertautan, mengembangkan ilmu pengetahuan tanpa landasan agama, manusia bisa melakukan apa saja, kesadaran eistein setelah teorinya tentang atom telah menciptakan malapetaka di dunia ini dengan di jatuhkannya bom atom di Hiroshima dan nagasaki. Penemuan tekhnologi atom di satu sisi mendatangkan dampak yang baik (Peradaban yang maju), di sisi yang lain dapat menimbulkan bencana (menghancurkan peradaban)

Nalar atau logika dan hasilnya yang berupa ilmu pengetahuan memang bisa berkembang dan liar tapi untuk menerapkannya perlu moralitas atau tanggung jawab terhadap kehidupan alam semesta serta isi alam itu sendiri. Karena fungsi kemajuan ilmu pengetahuan bukan untuk tujuan destructive tapi constructive di sinilah peran agama harus benar-benar sejalan dengan ilmu pengetahuan.

Contoh yang sederhana adalah penggunaan kondom itu, tujuan utama adalah untuk menurunkan angka kelahiran agar pertumbuhan umat manusia dapat terkendali sehingga dapat menyeimbangkan antara kebutuhan dan priduksi pangan dunia. tapi bagi orang-orang yang tidak bermoral (tidak bertanggung jawab) di salah gunakan untuk couple yang belum sah dalam perkawinan ...

Jadi ilmu pengetahuan dalam perkembangannya harus di tuntun oleh agama agar tidak terjadi kehancuran, karena ilmu pengetahuan bagaikan pisau beda yang dapat dipergunakan untuk membunuh atau memperpanjang kehidupan seseorang, tergantung pemakai pisau tersebut, bermoralkah atau tidak? Sehingga dokter yang tidak bermoral (bertanggung jawab) akan menggunakan pisau bedah untuk menggugurkan kandungan dan membunuh janin di dalamnya tanpa belas kasihan.

Tentu saja yang dimaksud dgn "ilmu dan agama" di sini adalah bagian2 dari agama yang berhubungan dengan ilmu itu sendiri. Agama itu cakupannya memang sangat luas. Seorang ahli Biologi, ahli fisika, ahli kelautan, ahli perbintangan (dgn masing2 kapasitasnya) akan menyatukan ilmunya dengan agama yg haq. Agama yang menyinggung biologi, fisika, laut, bintang, bumi..etc . Perbedaan antara agama dan sains tentu ada dan dalam beberapa hal perbedaan itu memang diperlukan agar tidak terjadi kekacauan epistimologis dalam menguraikan suatu permasalahan .Ukuran sains harus dibuktikan secara empiris, namun kebenaran agama tidak harus. Namun realita bahwa banyak orang yang taat beragama, banyak melakukan dzikir dan ibadah sehingga hidupnya menjadi tenang dan berarti adalah bukti ilmiah juga. Oleh karena itu, pada titik tertentu keduanya akan beseberangan jauh dan pada titik tertentu keduanya saling bertemu.
Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah pertama, ilmu dan agama memiliki empat hubungan, meliputi: konflik, independen, dialog dan integrasi . Integrasi juga memiliki beberapa tipe, yaitu integrasi teologis (Ian Barbour), agama sebagai konfirmasi ilmu (John Haught), integration of knowledge (Oliver L. Reiser), Islamisasi ilmu (Naquib Al Attas dan Ismail Raji Al Faruqi), dan pengilmuan Islam (Kuntowijoyo).
Kedua, konsep integrasi ilmu dan agama dalam perspektif Filsafat Mullâ Sadrâ merupakan integrasi filosofis yang dibangun di atas landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Secara ontologis hubungan ilmu dan agama adalah integratif-interdependentif, yaitu ilmu dan agama saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan tidak ada agama tanpa ilmu. Secara epistemologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-komplementer, yaitu seluruh metode yang diterapkan dalam ilmu dan agama (panca indera, rasio, intuisi dan wahyu) secara sinergis diterapkan dalam menemukan kebenaran. Secara aksiologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-kualifikatif, artinya seluruh nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang lain. Ilmu tidak bebas nilai, ilmu tidak hanya berhubungan dengan nilai kebenaran, tetapi juga dengan nilai kebaikan, keindahan dan keilahian .

C. Scientiesme Vs Agama

Meskipun agama dan ilmu pengetahuan bisa disimpulkan saling berintegritas, namun jika agama dipandang sebagai tujuan hidup satu-satunya (mutlak untuk semua), maka para pemeluknya bisa saling membakar sarana ibadah agama lain atau hal-hal lain demi tercapainya kebenaran agama yang dianutnya. Demikian juga science, jika dianggap sebagai tujuan hidup maka ada kemungkinan saling membunuh jika melihat teori orang lain hampir berhasil. Tetapi jika dianggap sebagai alat maka bisa saling membantu .
Dengan kata lain, scient oke, scient bisa diterima agama, tapi scientisme tidak bisa kita dan agama terima. Bagaimanapun juga sains dan tekhnologi tidak dapat bebas milai, sebab keinginan manusia bersifat subyektif.

Mengenal Hasan Al Banna Lebih Dekat

KATA PENGANTAR


Segala puja dan puji syukur senantiasa terpanjatkan kehadirat Allah swt. yang berkat rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nyalah makalah sederhana ini terselesaikan dengan baik, insyaallah.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan tabiin beliau.
Makalah ini merupakan makalah pembanding dari makalah kami yang pertama dengan judul yang sama. Oleh karena itu, isi yang ada di dalamnyapun takkan jauh berbeda, kecuali beberapa tambahan referensi dan sekedar komentar atas pengamatan penyusun.
Pertama kali mendengar nama sekaligus mengenal sedikit tentang Hassan Al- Banna adalah sewaktu penulis membaca novel Diorama Sepasang Al-Banna buah karya Ari Nur. Dan penulispun langsung jatuh cinta pada Al Banna. Sebuah sosok dengan ciri dakwah profesionalisme, terencana, dan totalisme. Pembaharu yang penuh gebrakan di dunia Islam, baik dalam hal pemikiran maupun masalah politik sosialnya. Namun sayang sekali, banyak penulis yang kurang tertarik pada sosok kharismatik ini dan lebih suka untuk membahas Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, atau Fazlur Rahman. Terbukti dengan sedikitnya buku-buku referensi tentang al Banna. Kecintaan itu semakin bertambah manakala penulis menyusun makalah pembanding ini Untuk membuktikan dan membagi kecintaan pada lelaki yang terpancar dari wajahnya cahaya kesalehan dan ketakwaan itulah, maka makalah ini disusun.
Sebenarnya seseorang dianggap besar tidak berdasarkan ukuran khusus. Kadang-kadang orang dianggap besar karena ia adalah orang berilmu, penakluk, penemu suatu karya, pembina ruhani, atau seorang pemimpin politik. Tetapi orang yang paling pantas abadi adalah orang yang berjuang membangun umat dan mampu mengubah perjalanan sejarah. Dan Hasan al Banna adalah salah satu tokoh abadi lagi terkemuka dalam sejarah Islam pada abad 20. Bukan karena dia sebagai seorang ulama atau orator ulung atau politikus piawai, karena pada zamannya banyak juga orang-orang yang lebih pintar atau lebih hebat retorikanya. Tetapi al Banna adalah orang yang membangun sebuah pergerakan organisasi dakwah, membentuk generasi, dan telah mengguncang sejarah Mesir, Timur Tengah, atau bahkan dunia. Ini terlihat dari fakta sejarah yang masih bergulir dari setengah abad yang lalu sampai sekarang.
Dan jika pada zaman sekarang terdapat sebagian orang yang mengecilkan peran sang pembaharu agung ini, hal itu tidaklah aneh. Karena pada masa hidup al Banna telah ada juga kelompok orang yang mengecilkan penannya. Bahkan membunuhnya. Memang demikianlah pada umumnya nasib yang dialami oleh tokoh besar, di setiap waktu dan tempat.
Kepada Drs. Muktafi Fahal M.Ag selaku dosen pembimbing penulis sampaikan terimakasih.
Akhirnya tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan makalah pembanding ini. Kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Semoga bermanfaat.



Surabaya, 20 Januari 2007



Penulis


















BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Hasan al Banna adalah pendiri dan pemimpin umum Ikhwan al Muslimin di Mesir. Latar belakang al Banna mendirikan Ikhwan al Muslim tidak terlepeas dari keadaan atau krisis yang melanda Mesir dalam bidang agama, sosial, pendidikan , ekonomi, dan politik. Krisis itu sendiri terjadi setelah meninggalnya Sa’ad Zaghlul pada tahun 1927 M yang menimbulkan pertarungan politik yang tidak sehat, menurunnya semangat nasionalisme, dan lemahnya bangsa Mesir.
Dalam bidang agama dan moral terjadi krisis, masyarakat mulai melupakan Islam sebagai “The Way of Life”. Di samping itu ulama-ulama Al Azhar dipandang kurang berfungsi dalam pembinaan agama dan moral masyarakat. Dalam bidang pendidikan terjadi dualisme sistem. Di satu pihak pemerintah lebih mementingkan pelajaran umum dibandingkan pelajaran agama. Di pihak lain sekolah-sekolah agama lebih mementingkan pendidikan agama dibandingkan pendidikan umum. Sehingga terjadi kepincangan pendidikan.
Di segi politik luar negeri, dunia Islam terpecah ke dalam negara-negara kecil. Sementara atheisme subur dan kaum imperialisme merampas negara-negara Arab untuk dieksploitasi sumber bahan mentahnya dan menjadikan negara terjajah sebagai tempat pemasaran barang produksinya.
Bertitik dari keprihatinan dan keinginan untuk memperbaiki tatanan masyarakat dan pemerintahan Mesir dalam segala aspek kehidupannya berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits serta sirath Nabi SAW, Al Banna akhirnya mendirikan Ikhwan al Muslimin. Menurut al Banna Islam memiliki ajaran yang luas dan lengkap.
Adapun gerakan Ikhwanul Muslimin tertuju pada gerakan-gerakan modernisasi yang kebablasan. Usaha dan kegiatan Ikhwan al Muslimin meliputi lima sektor, yaitu: 1) Bidang dakwah 2)Bidang Pendidikan 3)Bidang ekonomi 4)Bidang politik 5)Bidang sosial, yang itu semua akan dibahas lebih lanjut pada bab dua.

B. Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Siapakah Hasan al Banna?
2. Bagaimana Ide dan Gerakannya?

C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini antara lain:
1. Memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Pemikiran Teologi Islam Modern
2. Memperdalam pengetahuan mahasiswa mengenai riwayat hidup, ide, dan gerakan Hasan al Banna.
3. Meneladani dan mengaplikasikan ide dan gerakan Al Banna yang sesuai
dengan situasi saat ini



















BAB II
PEMBAHASAN

A.Riwayat Hidup

Hassan Al Banna (selanjutnya ditulis Al Banna), lahir pada tanggal 17 Oktober 1906 bertepatan dengan tahun 1323 H di Distrik Mahmudiyah, Mesir . Ia berasal dari kelurga yang taat beragama dan terpandang . Ayahnya bernama Syeikh Akhmad bin Abdur Rahman As Sa’ati, seorang yang alim di bidang ilmu agama. Disebut as Sa’ati karena ia bekerja sebagai tukang jam di samping mengajar dan berdakwah.
Al Banna kecil telah dididik dan diajari ayahnya dengan sungguh-sungguh berbagai ilmu agama, seperti fiqh, hadits, dan al Qur’an. Ia belajar di sekolah persiapan dan pendidikan guru di Damanhur. Kemudian melanjutkan studinya di Darul Ulum selama 4 tahun. Adapun pendidikan kerohanian ia dapat dari Tarekat Hasyafiyah semenjak ia berusia 12 tahun. Ia juga seorang anak dengan kesungguhan dan kecerdasan yang luar biasa lagi disertai dengan fasilitas perpustakaan pribadi yang memadai. Semua itu memberi pengaruh dalam pembentukan pribadi al Banna. Al Banna kecil senantiasa melakukan shalat malam, puasa Senin–Kamis, serta menghafal Qur’an (hafidz sempurna saat akil baligh). Selain itu al Banna juga aktif dalam aktifitas dakwah sewaktu belajar di Sekolah Menengah Atas dan Dar al-Ulum. Dia merupakan mahasiswa paling berprestasi, dan saat ujian akhir ia telah hafal 17.000 bait syair dan kata-kata hikmah. Tak ayal lagi cumlaude pun diraihnya.
Setelah menyelesaikan studinya di universitas, al Banna ditunjuk sebagai pengajar di sebuah sekolah di provinsi Ismailiyah. Di Ismailiyah, pengaruh Inggris sangat kuat. Hal ini dikarenakan banyak masyarakatnya yng bekerja di perusahaan terusan Suez milik Inggris. Menurutnya, Inggris telah memandang hina masyarakat Mesir karena ia melihat para pekerja Mesir nampak bagai hamba berwajah merah.. Sementara itu ia memandang kebebasan dan kerusakan moral telah mewabah seantero dunia Islam, khususnya saat keruntuhan Attaturk pada tahun 1924M. Kegelisan dan keprihatinan al Banna menjadikannya terjun diri dalam Ikhwanul muslimin, organisasi baru yang dibentuknya.
Sebab-sebab lahirnya Ikhwanul Muslimin secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Kegagalan Barat
Faktor pertama adalah kegagalan prinsip-prinsip kemasyarakatan yang merupakan landasan peradaban Barat. Pandangan hidup Barat cepat mendatangkan hasil dalam mengembangkan pengetahuan yang bersifat praktis dan tehnis, penemuan-penemuan dan membanjirnya produk-produk mekanis ke pasaran, tetapi tidak mampu memberikan kepada fikiran manusia suatu cahaya kebenaran, harapan, keyakinan, ataupun jalan keluar bagi orang-orang yang mengalami kesulitan untuk memperoleh ketenangan dan ketentraman. Manusia bukan sekedar alat bagi sesamanya. Manusia muak dengan keadaan yang serba materialistik itu. Kehidupan ala Barat hanya mampu memberikan kenikmatan lahiriyah. Makin hari manusia semakin haus akan jiwa yang bebas. Dan agama adalah jawabannya.
2. Kesempurnaan Islam
Faktor kedua ialah penemuan para pemikir Musllim akan adanya prinsip-prinsip dan aturan-auran yang luhur, terhormat, manusiawi, dan agama sempurna, yaitu Islam. Dalam waktu yang lama sekali kaum muslimin telah mengabaikan ini semua, namun setelah Allah memberi petunjuk kepada para pemikir di kalangan mereka dan kemudian mereka membanding-bandingkan,merekapun sadar akan kesenjangan antara nilai-nilai pendahulu dengan nilai-nilai Barat.
3. Corak Perkembangan
Faktor ketiga adalah perkembangan kondisi-kondisi sosial di antara masa-masa dua perang dunia yang merenggut nyawa , yang menelorkan pengamatan dan penelitian untuk kembali lagi kepada al Qur’an hadits.
Dunia telah lama dikuaasai oleh sistem demokrasi, dan di mana-mana orang mengagungkan dan memberi penghormatan kepada kemenangan sistem itu. Hitler, Nazi di Jerman dan Musolini di Italia adalah ikon system ini.

B. Ide dan Gerakan

Ide dan gerakan Al Banna merupakan hasil responnya dari konteks sosial politik Mesir saat itu sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sebuah fenomena yang menimbulkan rasa keprihatinan yang sangat mendalam pada jiwa al Banna. Sebuah kondisi yang membentuk jiwanya menjadi jiwa yang selalu kritis dan revolusioner . Adapun bidang-bidang yang “disentuh” oleh al Banna yaitu:
1) Bidang dakwah
Kata dakwah merupakan isim masdar dari kata yang berarti menyeru, memanggil, mengajak, menjamu , atau lebih konkritnya adalah mengajak pada kebenaran dan kebaikan . Aktifitas dakwah bagi Al Banna sendiri merupakan suatu kegiatan rutin yang sudah digelarnya sejak masa remaja. Dalam dakwahnya ia menekankan pada aspek amar bil ma’ruf nahhy ‘an munkar, Wujud nyata darinya adalah kedisiplinannya dalam mengumandangkan adzan untuk sholat berjamaah, bahkan ia pernah menyampaikan protes kepada guru lembaga pendididkan Islam yang tidak menghiraukan waktu shalat . Dakwah bagi Al Banna merupakan sarana yang tepat untuk dijadikan sebagai media penyampaian pesan-pesan Islam, dan gagasan-gagasannya. Karena itu, aktifitas dakwah ia gelar pada moment-moment yang tepat, tanpa terikat oleh waktu dan tempat.
Sebagai hasilnya, pada tahun 1928 terbentuklah organisasi Ikhwanul Muslimin yang selanjutnya menjadi wadah bagi misi pembaharuan Al Banna. Jika sebelumnya dakwah Al Banna terbatas pada lisan, setelah terbentuknya organisasi ini kemudian dakwahnya dikembangkan lewat berbagai media, seperti Koran, tabloid, majalah, di samping aktifitas-aktifitas sosislnya .
Ciri dakwah Al Banna adalah profesionalisme, terencana, dan totalisme. Dengan demikian, dakwah yang dijalankan Al Banna tidak bersifat insidentil, tetapi ia terprogram dengan materi-materi dan tahapan-tahapan tertentu (classification), yaitu: pertama,, tahap propaganda, pengenalan, dan penyebaran ide (at-Ta’rif) ; kedua, tahap pembentukan, seksi, pendukung (at-Takwin) ; ketiga, pelaksanaan dan kerja nyata (at-Tanfidz). Tahapan-tahapan ini mengindikasikan profesionalisme dakwah Al Banna .
2) Pendidikan
Kejumudan berfikir merupakan masalah yang bukan lagi isu, melainkan realita dari umat muslim hingga dewasa ini. Hal ini bisa jadi ada hubungannya dengan kemenangan kaum Asy’ari atas Mu’tazillah. Taqlid ada di mana-mana. Sehingga tidak salah bila dikatakan masa-masa ini sebagai masa ditutupnya pintu ijtihad. Aspek lainnya adalah mayoritas masyarakat Mesir memahami agama sebagai aspek ritual saja, tanpa bersentuhan dengan realitas hidup. Kondisi lingkungan semacam inilah yang dihadapi Al Banna.
Pendidikan dan pembinaan (tarbiyah) adalah kata kunci masalah ini, atau merupakan kalimat rahasia kalau boleh diistilahkan. Pendidikan merupakan instrument terpenting bagi terwujudnya suatu perubahan dan pembinaan umat. Pendidikan Mesir saat itu sedang mengalami dikotomi , dimana pendidikan umum dikelola pemerintah dan pendidikan agama dikelola oleh swasta.. Untuk mengatasinya, Al Banna menggagaskan adanya sekolah khusus Al Ikhwan Al Muslimun dengan kurikulum yang ekslusif-sebagai follow up gagasan tersebut, didirikan Madrasah Al Tahdzib li Ikhwan al Muslimun dengan materi yang mencakup: al Qur’an, hadits, aqidah, ibadah, akhlaq, sejarah Islam, dan tokoh-tokoh salaf, latihan pidato. Kedua, ia menggagaskan agar di sekolah pemerintah maupun di sekolah swasta diadakan pendidikan agama, yang mencakup: pembangkitan semangat nasional, pembinaan moral yang luhur, dan sejarah. Usulan lainnya ialah dimasukkannya pendididkan agama di semua tingkatan pendidikan, pemisahan tempat peserta didik laki-laki dengan perempuan, serta dimasukkannya ilmu pengetahuan praktis yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi agama dan negara . Selanjutnya gagasan ini disebut dengan Pendidikan Khuluqiyyah.
Tujuan akhir dari program pendidikan ala Al Banna ini adalah terbentuknya pribadi muslim dengan dedikasi tinggi, daya pikir tinggi, moral mulia, dan fisik yang kuat, serta punya semangat untuk melakukan perubahan dimanapun ia berada, dan tidak menyerah pada kondisi yang ada.
Kualitas paripurna pelaksaanaan pendidikan yang saling terkait dan terintegral ini, diharapkan dapat melahirkan individu-individu muslim yang konsis dalam mengamalkan ajaran Islam. Kualitas ini kata Al-Banna secara berkesinambungan akan melahirkan mode keluarga Islam, masyarakat Islam dan negara Islam. Dengan demikian , secara makro peembaruan Al-Banna dilakukan dari lapisan masyarakat terbawah sampai pada lapisan teratas secara bertahap.

3) Ekonomi
Seperti negara-negara Islam lainnya, Mesir termasuk negara berkembang dimana mayoritas penduduknya berpenghasilan di bawah rata-rata standar. Kondisi ini tidak terlepas dari faktor geografis, yaitu lahan pertanian yang tandus, sementara mata pencaharian pokok mereka bertumpu pada pertanian. Di pihak lain, adanya monopoli pihak asing , yaitu Inggris di Terusan Suez
Sebagai antitesa (respon) atas permasalahan tersebut, Al Banna mengembangkan sistem ekonomi kemitraan di antara sesama umat Islam, yang sahamnya sama-sama dimiliki oleh rakyat . Sistem ini diharapkan dapat menandingi sistem perekonomian asing maupun para politisi besar Mesir. Wujud follow up dari kemitraan ini yaitu berdirinya syarikat dagang bernama Syarikat Mu’amalat Al Islamiyat. Selain itu Al Banna juga mengembangkan model pertanian baru di seluruh pelosok negeri Mesir.
Bagi Al Banna selam kemiskinan belum bisa diberantas, maka sikap ketergantungn masyarakat tetap tinggi kepada pihak asing

4) Politik
Inggris mulai menduduki Mesir pada tahu 1882. Dalam pada itu terjadi gejolak besar-besaran, dalam bidang ipoleksosbudhankam, sehingga muncul tiga teori yang ditawarkan dalam perumusan dasar negara. Tiga teori itu ialah patriotisme, nasionalisme, dan Pan Islamisme. Ketiga teori tersebut menginspirasikan Al Banna untuk memformulasikan sistem politik Mesir. Ide patriotisme dan nasionalisme menurut al Banna tidak bertentangan dengan Islam, karena bertujuan untuk memperoleh kebenaran, dan lain-lain.
Adapun nasionalisme, menurut al Banna, harus didasarkan pada jiwa kebangsaan dan ikatan aqidah Islam, pelestarian tradisi lama dan tidak bertentangan dengan Islam.
Al Banna sebagai seorang pembaru yang orientasinya salafi, berupaya untuk menghidupkan kembali model pemerintaha salafi, yaitu model khilafat seperti Al Khulafa’ al Rasyidun. Karena pada masa inilah sistem politik Islam benar-benar diterapkan secara utuh. Meskipun demikian ia dan ikhwanul muslimun tidak berlaku arogan guna mencapai cita-citanya. Karena baginya, kepada sesama muslim yang saling mengishlah, pendekatan damai lebih disenangi. Tapi dalam kaitannya dengan penjajah kafir, al Banna tidak memberikan tawaran lain, yaitu berjihad (baik gerilya maupun terang-terangan) untuk mengusir mereka dari wilayah Mesir. Bagi Al Banna, penjajah yang hanya bisa mengeksploitasi harus dilawan agar hengkang segera dari Mesir. Kesimpulan dari percobaan al Banna di lapangan sosial politik adalah bahwa ia menekankan dua aspek mendasar, yaitu:
1. Sesungguhnya “metode damai” yang digunakan di dalam negeri atau “metode tahapan” (tadarruj) yang dilaksanakan untuk membangun kekuatan dari bawah sangat sesuai dengan sifat aktivitas gerakan social-politik yang mengacu pada perbaikan (ishlah). Adappun metode revolusi yang mengarah pada pengaruh kekuasaan politik-dari atas- biasanya tidak direspon masyarakat yang sesuai dengan harapan. Ini pula yang menuruut pengamatan penyusun, pelaksanaan praktek metode ikhwanul muslimun di tiap Negara berbeda disesuaikan dengan kebiasaan di negara tersebut di samping tergantung dengan faham aliran ikhwanul muslimunnya (karena lagi-lagi menurut pengamatan peyusun , faham-faham ala ikhwanul muslimun yang berkembang pesat dewasa ini tak semuannya menggunakan metode-metode dan ide-ide Hasan al Banna selaku mursyid am ataupun pendirinya). Sebagai contoh, di luar Indonesia, aliran-aliran ala ikhwanul muslimun terkesan keras dan tegas, salah satunya HT (Hizbut Tahrir), dan lain sebagainya. Sedangkan aliran-aliran ala ikwanul muslimun di Indonesia selain ada yang keras dan tegas (HTI), ada kecenderungan masyarakat lebih percaya bahwa PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang lebih lunak dan fleksibel adalah salah satu aliran sah ikhwanul muslimun.
2. Kombinasi antara dua metode yang berlawanan dalam perubahan(metode damai dan metode revolusi) dalam satu kerangka organisasi adalah keadaan yang diliputi oleh berbagai macam bahaya, sehingga dalam banyak hal dapat menghilangkan aspek manfaat dari metode itu. Perubahan social seharusya mendapatkan prioritas yang paling utama dari perubahan politik, dan ini merupakan prinsip dasar untuk kesuksesan dan jaminan bagi kelangsungan pergerakan.

5) Sosial
Pendudukan Prancis, Lalu Inggris atas Mesir berakibat pada hancurnya kehidupan sosial masyarakat. Sebagai dampak nyata dari dominasi tersebut adalah terjadinya dekadensi moral, manipulasi,dsan kehancuran dalam berbagai aspek kehidupan. Konsekwensi lain dari penjajahan Inggris adalah kebodohan, rendahnya tingkat kesehatan, dekadensi moral. Gagasannya di bidang sosial antara lain adalah pengadaan sarana kesehatan, rumah penampungan, poliklinik, pemberian makan kepada fakir miskin dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi para penganggur .









BAB III
PENUTUP
Dunia telah melahirkan banyak tokoh dengan pemikiran dan perjuangan yang berbeda pula. Dalam gerakan Islam muncul nama-nama terkenal karena pemikiran dan aktivitasnya yang cukup menonjol dalam memperjuangkan Islam, salah satunya adalah Hasan al Banna. Dialah pendiri gerakan Ikhwanul Muslimun yang sampai sekarang terus menggema di berbagai pelosok bumi. Pemikirannya yang cukup luas dan aktivitasnya di berbagai tempat telah melahirkan penafsiran yang beragam tentang metode (manhaj) dan model dari gerakan Ikhwanul Muslimun.
Boleh dikatakan Hasan al Banna mengemas dakwahnya secara apik, sebagaimana obat yang pahit dikapsuli agar enak diminum tapi khasiat tetap sama. Revolusi yang dilakukannya benar-benar jauh dari darah, sebagaimana revolusi-revolusi kebanyakan. Aspek perilaku dan amaliah yang produktif menjadi titik tekan dan lebih mendapatkan prioritas dibandingkan dengan aspek lainnya dalam perjuangan Islam. Aspek lainnya, seperti pollitik, hanya dapat dijadikan pijakan perjungan ketika kondisi yang ada memungkinkannya dan dianggap sangat efektif.
Kesimpulan yang bisa ditarik di sini, antara lain: metode yang digunakan al Banna adalah kombinasi secar mendalam dan rinci antara dua metode perubahan, yaitu metode Syaikh Jamalludin al Afghani dan metode Syaikh Muhammad Abduh.Kesimpulan kedua, posisi al Banna diantara para pemikir Islam dapat dikategorikan pemikar Tradisional Modern. Dikatakan tradisional karena pemikirannya berorientasi ke masa silam (salaf), masa nabi, dan khulafaur rasyidun sebagai model yang ideal. Dikatakan modern, karena ide-ide pembaharuannya menggunakan perangkat-perangkat modern. Revolusi pemikiran yang ditawarkan al Banna adalah bahwa Islam merupakan agama yang universal, mencakup segala aspek kehidupan. Islam merupakan tatanan hidup, dan atas dasarnya (Islam) semua aktivitas kehidupan harus dijalankan. Maka, solusi yang ditawarkan al Banna dalam merespon krisis yang melanda Mesir dan sekitarnya adalah mengembalikan dan mengorientasikan segala persoalan pada al Qur’an dan al Hadits serta sirath nabi Muhammad Saw.


DAFTAR PUSTAKA

Fahal, Muktafi, dan Achmad Amir Aziz. Teologi Islam Modern.Surabaya: Gitamedia Press.1999.
Qordhowy,Yusuf. 70 Tahun Al Ikhwan Al Muslimun . Jakarta : Pustaka al Kautsar. 1999.
Rais, Amin. Islam dan Pembaharuan . cet 5. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1995.
Yakan, Fathi. Revolusi Hasan al Banna. Jakarta: Harakah, 2002.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia .Jakarta : PT. Hidakarya Agung. 1989.

Mengenal Hasan Al Banna Lebih Dekat

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur senantiasa terpanjatkan kehadirat Allah swt. yang berkat rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nyalah makalah sederhana ini terselesaikan dengan baik, insyaallah.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan tabiin beliau.
Makalah ini merupakan makalah pembanding dari makalah kami yang pertama dengan judul yang sama. Oleh karena itu, isi yang ada di dalamnyapun takkan jauh berbeda, kecuali beberapa tambahan referensi dan sekedar komentar atas pengamatan penyusun.
Pertama kali mendengar nama sekaligus mengenal sedikit tentang Hassan Al- Banna adalah sewaktu penulis membaca novel Diorama Sepasang Al-Banna buah karya Ari Nur. Dan penulispun langsung jatuh cinta pada Al Banna. Sebuah sosok dengan ciri dakwah profesionalisme, terencana, dan totalisme. Pembaharu yang penuh gebrakan di dunia Islam, baik dalam hal pemikiran maupun masalah politik sosialnya. Namun sayang sekali, banyak penulis yang kurang tertarik pada sosok kharismatik ini dan lebih suka untuk membahas Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, atau Fazlur Rahman. Terbukti dengan sedikitnya buku-buku referensi tentang al Banna. Kecintaan itu semakin bertambah manakala penulis menyusun makalah pembanding ini Untuk membuktikan dan membagi kecintaan pada lelaki yang terpancar dari wajahnya cahaya kesalehan dan ketakwaan itulah, maka makalah ini disusun.
Sebenarnya seseorang dianggap besar tidak berdasarkan ukuran khusus. Kadang-kadang orang dianggap besar karena ia adalah orang berilmu, penakluk, penemu suatu karya, pembina ruhani, atau seorang pemimpin politik. Tetapi orang yang paling pantas abadi adalah orang yang berjuang membangun umat dan mampu mengubah perjalanan sejarah. Dan Hasan al Banna adalah salah satu tokoh abadi lagi terkemuka dalam sejarah Islam pada abad 20. Bukan karena dia sebagai seorang ulama atau orator ulung atau politikus piawai, karena pada zamannya banyak juga orang-orang yang lebih pintar atau lebih hebat retorikanya. Tetapi al Banna adalah orang yang membangun sebuah pergerakan organisasi dakwah, membentuk generasi, dan telah mengguncang sejarah Mesir, Timur Tengah, atau bahkan dunia. Ini terlihat dari fakta sejarah yang masih bergulir dari setengah abad yang lalu sampai sekarang.
Dan jika pada zaman sekarang terdapat sebagian orang yang mengecilkan peran sang pembaharu agung ini, hal itu tidaklah aneh. Karena pada masa hidup al Banna telah ada juga kelompok orang yang mengecilkan penannya. Bahkan membunuhnya. Memang demikianlah pada umumnya nasib yang dialami oleh tokoh besar, di setiap waktu dan tempat.
Kepada Drs. Muktafi Fahal M.Ag selaku dosen pembimbing penulis sampaikan terimakasih.
Akhirnya tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan makalah pembanding ini. Kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Semoga bermanfaat.

Surabaya, 20 Januari 2007
Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hasan al Banna adalah pendiri dan pemimpin umum Ikhwan al Muslimin di Mesir. Latar belakang al Banna mendirikan Ikhwan al Muslim tidak terlepeas dari keadaan atau krisis yang melanda Mesir dalam bidang agama, sosial, pendidikan , ekonomi, dan politik. Krisis itu sendiri terjadi setelah meninggalnya Sa’ad Zaghlul pada tahun 1927 M yang menimbulkan pertarungan politik yang tidak sehat, menurunnya semangat nasionalisme, dan lemahnya bangsa Mesir.
Dalam bidang agama dan moral terjadi krisis, masyarakat mulai melupakan Islam sebagai “The Way of Life”. Di samping itu ulama-ulama Al Azhar dipandang kurang berfungsi dalam pembinaan agama dan moral masyarakat. Dalam bidang pendidikan terjadi dualisme sistem. Di satu pihak pemerintah lebih mementingkan pelajaran umum dibandingkan pelajaran agama. Di pihak lain sekolah-sekolah agama lebih mementingkan pendidikan agama dibandingkan pendidikan umum. Sehingga terjadi kepincangan pendidikan.
Di segi politik luar negeri, dunia Islam terpecah ke dalam negara-negara kecil. Sementara atheisme subur dan kaum imperialisme merampas negara-negara Arab untuk dieksploitasi sumber bahan mentahnya dan menjadikan negara terjajah sebagai tempat pemasaran barang produksinya.
Bertitik dari keprihatinan dan keinginan untuk memperbaiki tatanan masyarakat dan pemerintahan Mesir dalam segala aspek kehidupannya berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits serta sirath Nabi SAW, Al Banna akhirnya mendirikan Ikhwan al Muslimin. Menurut al Banna Islam memiliki ajaran yang luas dan lengkap.
Adapun gerakan Ikhwanul Muslimin tertuju pada gerakan-gerakan modernisasi yang kebablasan. Usaha dan kegiatan Ikhwan al Muslimin meliputi lima sektor, yaitu: 1) Bidang dakwah 2)Bidang Pendidikan 3)Bidang ekonomi 4)Bidang politik 5)Bidang sosial, yang itu semua akan dibahas lebih lanjut pada bab dua.

B. Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Siapakah Hasan al Banna?
2. Bagaimana Ide dan Gerakannya?

C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini antara lain:
1. Memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Pemikiran Teologi Islam Modern
2. Memperdalam pengetahuan mahasiswa mengenai riwayat hidup, ide, dan gerakan Hasan al Banna.
3. Meneladani dan mengaplikasikan ide dan gerakan Al Banna yang sesuai
dengan situasi saat ini


BAB II
PEMBAHASAN

A.Riwayat Hidup

Hassan Al Banna (selanjutnya ditulis Al Banna), lahir pada tanggal 17 Oktober 1906 bertepatan dengan tahun 1323 H di Distrik Mahmudiyah, Mesir . Ia berasal dari kelurga yang taat beragama dan terpandang . Ayahnya bernama Syeikh Akhmad bin Abdur Rahman As Sa’ati, seorang yang alim di bidang ilmu agama. Disebut as Sa’ati karena ia bekerja sebagai tukang jam di samping mengajar dan berdakwah.
Al Banna kecil telah dididik dan diajari ayahnya dengan sungguh-sungguh berbagai ilmu agama, seperti fiqh, hadits, dan al Qur’an. Ia belajar di sekolah persiapan dan pendidikan guru di Damanhur. Kemudian melanjutkan studinya di Darul Ulum selama 4 tahun. Adapun pendidikan kerohanian ia dapat dari Tarekat Hasyafiyah semenjak ia berusia 12 tahun. Ia juga seorang anak dengan kesungguhan dan kecerdasan yang luar biasa lagi disertai dengan fasilitas perpustakaan pribadi yang memadai. Semua itu memberi pengaruh dalam pembentukan pribadi al Banna. Al Banna kecil senantiasa melakukan shalat malam, puasa Senin–Kamis, serta menghafal Qur’an (hafidz sempurna saat akil baligh). Selain itu al Banna juga aktif dalam aktifitas dakwah sewaktu belajar di Sekolah Menengah Atas dan Dar al-Ulum. Dia merupakan mahasiswa paling berprestasi, dan saat ujian akhir ia telah hafal 17.000 bait syair dan kata-kata hikmah. Tak ayal lagi cumlaude pun diraihnya.
Setelah menyelesaikan studinya di universitas, al Banna ditunjuk sebagai pengajar di sebuah sekolah di provinsi Ismailiyah. Di Ismailiyah, pengaruh Inggris sangat kuat. Hal ini dikarenakan banyak masyarakatnya yng bekerja di perusahaan terusan Suez milik Inggris. Menurutnya, Inggris telah memandang hina masyarakat Mesir karena ia melihat para pekerja Mesir nampak bagai hamba berwajah merah.. Sementara itu ia memandang kebebasan dan kerusakan moral telah mewabah seantero dunia Islam, khususnya saat keruntuhan Attaturk pada tahun 1924M. Kegelisan dan keprihatinan al Banna menjadikannya terjun diri dalam Ikhwanul muslimin, organisasi baru yang dibentuknya.
Sebab-sebab lahirnya Ikhwanul Muslimin secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Kegagalan Barat
Faktor pertama adalah kegagalan prinsip-prinsip kemasyarakatan yang merupakan landasan peradaban Barat. Pandangan hidup Barat cepat mendatangkan hasil dalam mengembangkan pengetahuan yang bersifat praktis dan tehnis, penemuan-penemuan dan membanjirnya produk-produk mekanis ke pasaran, tetapi tidak mampu memberikan kepada fikiran manusia suatu cahaya kebenaran, harapan, keyakinan, ataupun jalan keluar bagi orang-orang yang mengalami kesulitan untuk memperoleh ketenangan dan ketentraman. Manusia bukan sekedar alat bagi sesamanya. Manusia muak dengan keadaan yang serba materialistik itu. Kehidupan ala Barat hanya mampu memberikan kenikmatan lahiriyah. Makin hari manusia semakin haus akan jiwa yang bebas. Dan agama adalah jawabannya.
2. Kesempurnaan Islam
Faktor kedua ialah penemuan para pemikir Musllim akan adanya prinsip-prinsip dan aturan-auran yang luhur, terhormat, manusiawi, dan agama sempurna, yaitu Islam. Dalam waktu yang lama sekali kaum muslimin telah mengabaikan ini semua, namun setelah Allah memberi petunjuk kepada para pemikir di kalangan mereka dan kemudian mereka membanding-bandingkan,merekapun sadar akan kesenjangan antara nilai-nilai pendahulu dengan nilai-nilai Barat.
3. Corak Perkembangan
Faktor ketiga adalah perkembangan kondisi-kondisi sosial di antara masa-masa dua perang dunia yang merenggut nyawa , yang menelorkan pengamatan dan penelitian untuk kembali lagi kepada al Qur’an hadits.
Dunia telah lama dikuaasai oleh sistem demokrasi, dan di mana-mana orang mengagungkan dan memberi penghormatan kepada kemenangan sistem itu. Hitler, Nazi di Jerman dan Musolini di Italia adalah ikon system ini.

B. Ide dan Gerakan

Ide dan gerakan Al Banna merupakan hasil responnya dari konteks sosial politik Mesir saat itu sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sebuah fenomena yang menimbulkan rasa keprihatinan yang sangat mendalam pada jiwa al Banna. Sebuah kondisi yang membentuk jiwanya menjadi jiwa yang selalu kritis dan revolusioner . Adapun bidang-bidang yang “disentuh” oleh al Banna yaitu:
1) Bidang dakwah
Kata dakwah merupakan isim masdar dari kata yang berarti menyeru, memanggil, mengajak, menjamu , atau lebih konkritnya adalah mengajak pada kebenaran dan kebaikan . Aktifitas dakwah bagi Al Banna sendiri merupakan suatu kegiatan rutin yang sudah digelarnya sejak masa remaja. Dalam dakwahnya ia menekankan pada aspek amar bil ma’ruf nahhy ‘an munkar, Wujud nyata darinya adalah kedisiplinannya dalam mengumandangkan adzan untuk sholat berjamaah, bahkan ia pernah menyampaikan protes kepada guru lembaga pendididkan Islam yang tidak menghiraukan waktu shalat . Dakwah bagi Al Banna merupakan sarana yang tepat untuk dijadikan sebagai media penyampaian pesan-pesan Islam, dan gagasan-gagasannya. Karena itu, aktifitas dakwah ia gelar pada moment-moment yang tepat, tanpa terikat oleh waktu dan tempat.
Sebagai hasilnya, pada tahun 1928 terbentuklah organisasi Ikhwanul Muslimin yang selanjutnya menjadi wadah bagi misi pembaharuan Al Banna. Jika sebelumnya dakwah Al Banna terbatas pada lisan, setelah terbentuknya organisasi ini kemudian dakwahnya dikembangkan lewat berbagai media, seperti Koran, tabloid, majalah, di samping aktifitas-aktifitas sosislnya .
Ciri dakwah Al Banna adalah profesionalisme, terencana, dan totalisme. Dengan demikian, dakwah yang dijalankan Al Banna tidak bersifat insidentil, tetapi ia terprogram dengan materi-materi dan tahapan-tahapan tertentu (classification), yaitu: pertama,, tahap propaganda, pengenalan, dan penyebaran ide (at-Ta’rif) ; kedua, tahap pembentukan, seksi, pendukung (at-Takwin) ; ketiga, pelaksanaan dan kerja nyata (at-Tanfidz). Tahapan-tahapan ini mengindikasikan profesionalisme dakwah Al Banna .
2) Pendidikan
Kejumudan berfikir merupakan masalah yang bukan lagi isu, melainkan realita dari umat muslim hingga dewasa ini. Hal ini bisa jadi ada hubungannya dengan kemenangan kaum Asy’ari atas Mu’tazillah. Taqlid ada di mana-mana. Sehingga tidak salah bila dikatakan masa-masa ini sebagai masa ditutupnya pintu ijtihad. Aspek lainnya adalah mayoritas masyarakat Mesir memahami agama sebagai aspek ritual saja, tanpa bersentuhan dengan realitas hidup. Kondisi lingkungan semacam inilah yang dihadapi Al Banna.
Pendidikan dan pembinaan (tarbiyah) adalah kata kunci masalah ini, atau merupakan kalimat rahasia kalau boleh diistilahkan. Pendidikan merupakan instrument terpenting bagi terwujudnya suatu perubahan dan pembinaan umat. Pendidikan Mesir saat itu sedang mengalami dikotomi , dimana pendidikan umum dikelola pemerintah dan pendidikan agama dikelola oleh swasta.. Untuk mengatasinya, Al Banna menggagaskan adanya sekolah khusus Al Ikhwan Al Muslimun dengan kurikulum yang ekslusif-sebagai follow up gagasan tersebut, didirikan Madrasah Al Tahdzib li Ikhwan al Muslimun dengan materi yang mencakup: al Qur’an, hadits, aqidah, ibadah, akhlaq, sejarah Islam, dan tokoh-tokoh salaf, latihan pidato. Kedua, ia menggagaskan agar di sekolah pemerintah maupun di sekolah swasta diadakan pendidikan agama, yang mencakup: pembangkitan semangat nasional, pembinaan moral yang luhur, dan sejarah. Usulan lainnya ialah dimasukkannya pendididkan agama di semua tingkatan pendidikan, pemisahan tempat peserta didik laki-laki dengan perempuan, serta dimasukkannya ilmu pengetahuan praktis yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi agama dan negara . Selanjutnya gagasan ini disebut dengan Pendidikan Khuluqiyyah.
Tujuan akhir dari program pendidikan ala Al Banna ini adalah terbentuknya pribadi muslim dengan dedikasi tinggi, daya pikir tinggi, moral mulia, dan fisik yang kuat, serta punya semangat untuk melakukan perubahan dimanapun ia berada, dan tidak menyerah pada kondisi yang ada.
Kualitas paripurna pelaksaanaan pendidikan yang saling terkait dan terintegral ini, diharapkan dapat melahirkan individu-individu muslim yang konsis dalam mengamalkan ajaran Islam. Kualitas ini kata Al-Banna secara berkesinambungan akan melahirkan mode keluarga Islam, masyarakat Islam dan negara Islam. Dengan demikian , secara makro peembaruan Al-Banna dilakukan dari lapisan masyarakat terbawah sampai pada lapisan teratas secara bertahap.

3) Ekonomi
Seperti negara-negara Islam lainnya, Mesir termasuk negara berkembang dimana mayoritas penduduknya berpenghasilan di bawah rata-rata standar. Kondisi ini tidak terlepas dari faktor geografis, yaitu lahan pertanian yang tandus, sementara mata pencaharian pokok mereka bertumpu pada pertanian. Di pihak lain, adanya monopoli pihak asing , yaitu Inggris di Terusan Suez
Sebagai antitesa (respon) atas permasalahan tersebut, Al Banna mengembangkan sistem ekonomi kemitraan di antara sesama umat Islam, yang sahamnya sama-sama dimiliki oleh rakyat . Sistem ini diharapkan dapat menandingi sistem perekonomian asing maupun para politisi besar Mesir. Wujud follow up dari kemitraan ini yaitu berdirinya syarikat dagang bernama Syarikat Mu’amalat Al Islamiyat. Selain itu Al Banna juga mengembangkan model pertanian baru di seluruh pelosok negeri Mesir.
Bagi Al Banna selam kemiskinan belum bisa diberantas, maka sikap ketergantungn masyarakat tetap tinggi kepada pihak asing

4) Politik
Inggris mulai menduduki Mesir pada tahu 1882. Dalam pada itu terjadi gejolak besar-besaran, dalam bidang ipoleksosbudhankam, sehingga muncul tiga teori yang ditawarkan dalam perumusan dasar negara. Tiga teori itu ialah patriotisme, nasionalisme, dan Pan Islamisme. Ketiga teori tersebut menginspirasikan Al Banna untuk memformulasikan sistem politik Mesir. Ide patriotisme dan nasionalisme menurut al Banna tidak bertentangan dengan Islam, karena bertujuan untuk memperoleh kebenaran, dan lain-lain.
Adapun nasionalisme, menurut al Banna, harus didasarkan pada jiwa kebangsaan dan ikatan aqidah Islam, pelestarian tradisi lama dan tidak bertentangan dengan Islam.
Al Banna sebagai seorang pembaru yang orientasinya salafi, berupaya untuk menghidupkan kembali model pemerintaha salafi, yaitu model khilafat seperti Al Khulafa’ al Rasyidun. Karena pada masa inilah sistem politik Islam benar-benar diterapkan secara utuh. Meskipun demikian ia dan ikhwanul muslimun tidak berlaku arogan guna mencapai cita-citanya. Karena baginya, kepada sesama muslim yang saling mengishlah, pendekatan damai lebih disenangi. Tapi dalam kaitannya dengan penjajah kafir, al Banna tidak memberikan tawaran lain, yaitu berjihad (baik gerilya maupun terang-terangan) untuk mengusir mereka dari wilayah Mesir. Bagi Al Banna, penjajah yang hanya bisa mengeksploitasi harus dilawan agar hengkang segera dari Mesir. Kesimpulan dari percobaan al Banna di lapangan sosial politik adalah bahwa ia menekankan dua aspek mendasar, yaitu:
1. Sesungguhnya “metode damai” yang digunakan di dalam negeri atau “metode tahapan” (tadarruj) yang dilaksanakan untuk membangun kekuatan dari bawah sangat sesuai dengan sifat aktivitas gerakan social-politik yang mengacu pada perbaikan (ishlah). Adappun metode revolusi yang mengarah pada pengaruh kekuasaan politik-dari atas- biasanya tidak direspon masyarakat yang sesuai dengan harapan. Ini pula yang menuruut pengamatan penyusun, pelaksanaan praktek metode ikhwanul muslimun di tiap Negara berbeda disesuaikan dengan kebiasaan di negara tersebut di samping tergantung dengan faham aliran ikhwanul muslimunnya (karena lagi-lagi menurut pengamatan peyusun , faham-faham ala ikhwanul muslimun yang berkembang pesat dewasa ini tak semuannya menggunakan metode-metode dan ide-ide Hasan al Banna selaku mursyid am ataupun pendirinya). Sebagai contoh, di luar Indonesia, aliran-aliran ala ikhwanul muslimun terkesan keras dan tegas, salah satunya HT (Hizbut Tahrir), dan lain sebagainya. Sedangkan aliran-aliran ala ikwanul muslimun di Indonesia selain ada yang keras dan tegas (HTI), ada kecenderungan masyarakat lebih percaya bahwa PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang lebih lunak dan fleksibel adalah salah satu aliran sah ikhwanul muslimun.
2. Kombinasi antara dua metode yang berlawanan dalam perubahan(metode damai dan metode revolusi) dalam satu kerangka organisasi adalah keadaan yang diliputi oleh berbagai macam bahaya, sehingga dalam banyak hal dapat menghilangkan aspek manfaat dari metode itu. Perubahan social seharusya mendapatkan prioritas yang paling utama dari perubahan politik, dan ini merupakan prinsip dasar untuk kesuksesan dan jaminan bagi kelangsungan pergerakan.

5) Sosial
Pendudukan Prancis, Lalu Inggris atas Mesir berakibat pada hancurnya kehidupan sosial masyarakat. Sebagai dampak nyata dari dominasi tersebut adalah terjadinya dekadensi moral, manipulasi,dsan kehancuran dalam berbagai aspek kehidupan. Konsekwensi lain dari penjajahan Inggris adalah kebodohan, rendahnya tingkat kesehatan, dekadensi moral. Gagasannya di bidang sosial antara lain adalah pengadaan sarana kesehatan, rumah penampungan, poliklinik, pemberian makan kepada fakir miskin dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi para penganggur .



BAB III
PENUTUP
Dunia telah melahirkan banyak tokoh dengan pemikiran dan perjuangan yang berbeda pula. Dalam gerakan Islam muncul nama-nama terkenal karena pemikiran dan aktivitasnya yang cukup menonjol dalam memperjuangkan Islam, salah satunya adalah Hasan al Banna. Dialah pendiri gerakan Ikhwanul Muslimun yang sampai sekarang terus menggema di berbagai pelosok bumi. Pemikirannya yang cukup luas dan aktivitasnya di berbagai tempat telah melahirkan penafsiran yang beragam tentang metode (manhaj) dan model dari gerakan Ikhwanul Muslimun.
Boleh dikatakan Hasan al Banna mengemas dakwahnya secara apik, sebagaimana obat yang pahit dikapsuli agar enak diminum tapi khasiat tetap sama. Revolusi yang dilakukannya benar-benar jauh dari darah, sebagaimana revolusi-revolusi kebanyakan. Aspek perilaku dan amaliah yang produktif menjadi titik tekan dan lebih mendapatkan prioritas dibandingkan dengan aspek lainnya dalam perjuangan Islam. Aspek lainnya, seperti pollitik, hanya dapat dijadikan pijakan perjungan ketika kondisi yang ada memungkinkannya dan dianggap sangat efektif.
Kesimpulan yang bisa ditarik di sini, antara lain: metode yang digunakan al Banna adalah kombinasi secar mendalam dan rinci antara dua metode perubahan, yaitu metode Syaikh Jamalludin al Afghani dan metode Syaikh Muhammad Abduh.Kesimpulan kedua, posisi al Banna diantara para pemikir Islam dapat dikategorikan pemikar Tradisional Modern. Dikatakan tradisional karena pemikirannya berorientasi ke masa silam (salaf), masa nabi, dan khulafaur rasyidun sebagai model yang ideal. Dikatakan modern, karena ide-ide pembaharuannya menggunakan perangkat-perangkat modern. Revolusi pemikiran yang ditawarkan al Banna adalah bahwa Islam merupakan agama yang universal, mencakup segala aspek kehidupan. Islam merupakan tatanan hidup, dan atas dasarnya (Islam) semua aktivitas kehidupan harus dijalankan. Maka, solusi yang ditawarkan al Banna dalam merespon krisis yang melanda Mesir dan sekitarnya adalah mengembalikan dan mengorientasikan segala persoalan pada al Qur’an dan al Hadits serta sirath nabi Muhammad Saw.


DAFTAR PUSTAKA

Fahal, Muktafi, dan Achmad Amir Aziz. Teologi Islam Modern.Surabaya: Gitamedia Press.1999.
Qordhowy,Yusuf. 70 Tahun Al Ikhwan Al Muslimun . Jakarta : Pustaka al Kautsar. 1999.
Rais, Amin. Islam dan Pembaharuan . cet 5. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1995.
Yakan, Fathi. Revolusi Hasan al Banna. Jakarta: Harakah, 2002.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia .Jakarta : PT. Hidakarya Agung. 1989.