Rabu, 14 Januari 2009

GLOBAL WARMING; MENGKADALI AMERIKA


“Climate is an ill-tempered beast, and we are poking it with sticks.”
~ Professor Wally Broecker, Columbia University

Tak bisa dipungkiri, inilah isu sains paling agung abad ini. Tak cuma berkutat soal ilmiah, ia juga bermain di segi ekonomi, sosiologi, geopolitik, sampai gaya hidup. Sayangnya, walau telah dideteksi sejak awal, isu ini baru mendapat coverage luas di tahun 1990-an. Di Inggris, The Times dan Guardian membahas soal ini baru sejak tahun 1989—-tetapi masih berkutat soal perdebatan ilmiah.

Global warming disebabkan karena peningkatan gas rumah kaca—-seperti karbon dioksida—-dalam skala masif di atmosfir sebagai akibat dari pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi. Akibatnya, temperatur global naik 0,6ºC dan permukaan air laut naik 20 cm. Kalau dibiarkan saja, tahun 2100 nanti temperatur global naik antara 1,4ºC hingga 5,8ºC dan permukaan laut bisa bertambah sampai 80 cm.

Kenapa bisa begitu? Bumi, sepanjang yang saya tahu, merupakan kesetimbangan antara energi (panas) yang dipancarkan matahari dan energi yang dilepaskan kembali ke luar angkasa. Secara alamiah, sekitar sepertiga energi dilepaskan kembali, sementara sisanya diserap atmosfir, daratan, dan lautan. Inilah yang membuat bumi menjadi hangat. Tapi, ketika komposisi atmosfer berubah sebagai akibat penambahan karbon dioksida, maka temperatur bumi pun ikut berubah.

Pada tahun 1958 dilakukan pengujian kadar CO2 di pegunungan Manua Loa, Hawaii. Hasilnya kandungan CO2 di atmosfir meningkat jadi 316 ppmv—-dibandingkan 200 ppmv di jaman es dan 280 ppmv di jaman sebelum industrialisasi modern. Belakangan, kadar CO2 sudah meningkat jadi 370 ppmv dan diperkirakan ada penambahan sekitar 160 milyar ton CO2 di atmosfir dalam 100 tahun terakhir.

Oke, cukup. Ini bukan bidang keahlian saya, jadi pembahasan teknisnya dihentikan. Kita bahas saja soal ekonopolitik global warming.

Well, kalau boleh melempar kesalahan, tersangka global warming adalah industrialisasi yang dilakukan negara-negara maju, terutama Amerika Utara dan Eropa. Mereka menyumbang sekitar 22 milyar ton karbon per tahun—-terutama dari konsumsi BBM, industri, dan penebangan hutan. Di antara negara maju, penyumbang emisi terbesar adalah Amerika (36,1%) disusul Rusia (17,4%), Jepang, dan negara Eropa lainnya dalam persentase kurang dari 10%. Bandingkan dengan negara-negara berkembang seperti Asia, Amerika Selatan, dan Afrika yang “cuma” menyumbang sekitar 4 milyar karbon per tahun—-itu pun bukan dari industri, melainkan perubahan penggunaan lahan.

Dus, masalah ekonopolitik muncul karena negara-negara berkembang punya hak dan keinginan untuk meningkatkan standar hidup mereka. Mau tak mau mereka akan mengkonversi hutan, menggalakkan industrialisasi, yang pada akhirnya akan menyumbang emisi lebih banyak ke atmosfir bumi. Sementara di sisi lain, negara-negara maju ngotot menekan agar hal-hal semacam ini ditekan—-seolah-olah seperti melempar tanggung jawab.

Lucunya, walau 186 negara sudah sepakat untuk meratifikasi Protokol Kyoto, Amerika malah mangkir. Padahal Amerika punya reputasi penyumbang emisi terbanyak. Runyamnya lagi, Amerika justru yang paling santer berkoar soal global warming dan menyeru negara-negara berkembang supaya jangan mengeksploitasi hutan mereka. Maklum, hutan di Amerika sudah bablas dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sama saja mematikan perekonomian mereka. Kalau sudah begini, ibaratnya tetangga kita enak-enak memanggang ayam, kita yang kena asapnya. Orang Jawa bilang, “gelem nangkane ora gelem pulute.”

Akan tetapi, sebenarnya situasi ini melahirkan permintaan dan penawaran (baca: peluang bisnis). Andaikata saja kita mau “berbisnis”, pemerintah sebenarnya bisa mengajukan proposal clean development mechanism (CDM) sesuai ratifikasi Protokol Kyoto. Kita tahu bahwa negeri ini punya hutan yang cukup luas. Pemerintah juga telah bekerja keras menekan penebangan liar dan menggalakkan revitalisasi lahan perhutanan.

Menteri Kehutanan dulu pernah berencana menagih insentif dari negara-negara maju sebesar Rp 6 trilyun karena Indonesia tidak menebang 5,5 juta meter kubik hutan per tahun. Nilai itu terhitung konservatif karena cuma menghitung nilai guna (use value) kayu semata, belum termasuk nilai lain yang jauh lebih besar. Tapi sejauh mana kelanjutannya, saya belum tahu.

Kalau mau, pemerintah sebenarnya bisa menegosiasikan pelestarian hutan kita untuk “ditukar” dengan pelunasan hutang luar negeri, atau investasi pembangunan infrastruktur, atau pengiriman pelajar-mahasiswa Indonesia ke luar negeri, atau opsi lainnya yang bisa menguntungkan bangsa ini jangka panjang.

Brazil cukup berhasil menjual “carbon credit” kepada negara-negara industri sebagai kompensasi karena sudah menjaga kawasan hutan Amazon. Hitung-hitungan Protokol Kyoto, uang yang mengalir ke negara-negara seperti Brazil per tahun minimal $150 milyar. Ongkos ini terhitung “murah” karena kerugian atas efek global warming disinyalir mencapai $8 trilyun per tahun.

Mumpung sekarang Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi PBB mengenai perubahan iklim dengan tamu dari sekitar 180 negara, barangkali ini momen yang tepat. Jangan sampai anggaran perhelatan yang mencapai Rp 29 M itu menguap begitu saja tanpa membawa keuntungan buat bangsa ini.

Dilihat dari sudut manapun, negara berkembang seperti kita jelas kalah pintar dengan negara-negara maju seperti Amerika. But plis deh, jangan bego-bego amat gitu loh. :)

taken from: http://nofieiman.com/2007/12/