Senin, 24 Maret 2008

bengkelkata

THE WAY TO FIND ALI

I. KAMPUS DAN CERITA DI DALAMNYA
“Assalamualaikum wr wb. Nama saya Fathima Hasyim. Kalian bisa memanggil saya Fathima. Di sini saya adalah MABA jurusan Filsafat”, aku mengawali masa OSCAR (Orientasi Studi Cinta Almamater) di IAIN.
“Terimakasih, Fathima. Apakah ada yang bertanya”, Tanya salah seorang panitia OSCAR.
Hening menyeruak ruang yang kira-kira memiliki panjang 12 meter dan lebar 8 meter itu. Dari sorot mata MABA, nampaknya mereka memang masih malu-malu kucing bereksistensi. Hingga pada akhirnya dua telunjuk terangkat tinggi-tinggi.
“Ya, mas yang anggota kelompok Soe Hok Gie, silahkan?”, Lagi-lagi panitia memoderatori.
“Saya hanya ingin bertanya. Apakah jurusan filsafat adalah pilihan pertama Anda? Dan apa motivasi Anda memilih jurusan yang konon mayoritas mahasiswanya adalah mahasiswa buangan ini?”
“Ya Fathima, silahkan dikomentari”.
“Yang anda katakan barusan sangat benar. Jurusan filsafat adalah pilihan pertama saya. Yah meski itu juga karena accident. Maksudnya, saat berangkat dari rumah untuk mendaftar, yang terfikirkan oleh saya adalah saya akan masuk Ushuluddin. Titik. Tapi, begitu mendapatkan formulir, saya menjumpai bahwa Ushuluddin bukanlah jurusan melainkan fakultas yang notabene memiliki beberapa jurusan. Saya pun bingung. But at least, saya memilih Aqidah Filsafat sebagai pilihan pertama dan Qur’an Hadits sebagai pilihan kedua”. Aku berhenti sejenak, berusaha memberikan jeda agar kalimat terfahami secara sempurna. “Motivasi saya masuk jurusan yang bisa dikatakan tidak favourit ini antara lain ialah salah satu indikasi tokoh besar yaitu pemikirannya yang logis, sistematis, dan kritis. Dengan kata lain model pemikiran yang demikian itu bisa ditemukan dalam filsafat. Memang banyak stereotip yang dilabelkan masyarakat pada jurusan AF, entah jurusan yang menyesatkanlah, jurusan yang tak jelas prospeknya lah, jurusan sisa-sisalah, dan lain sebaginya. Namun saya percaya, itu bukanlah jurusan dan ilmunya yang salah, melainkan individu-individunya yang kurang benar. Maka dengan masuknya saya di dalamnya, saya berharap bisa merubah image tersebut, meski hanya sedikit”.
“Waw terima kasih Fathima. Jawaban-jawaban barusan pasti sangat membantu meningkatkan rasa PD MABA Aqidah Filsafat. Ya sekarang , silahkan bagi mas dari kelompok Karl Marx untuk bertanya”.
“Pertanyaan saya simple doang kok. Apakah kamu sudah punya pacar atau belum?”
Wajahku yang awalnya berusaha kuseriuskan, tiba-tiba lumer mendengar pertanyaan barusan. Hmm, pertanyan klasik dan kurang berbobot, batinku. Akupun hanya tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut.
*********---------------------------*********

Waktu terus berjalan. Tak terasa satu semester telah aku lalui di kampus IAIN ini, tepatnya di Fakultas Ushuluddin, fakultas yang identik dengan warna biru sebagai lambang kedalaman intelektualitas.
Aku melewati pintu gerbang kampus IAIN dengan langkah cepat. Oh ya tentang yang satu ini, aku juga heran kenapa sejak menjadi mahasiswa aku yang dulunya lelet jadi bisa berjalan dengan sangat ringan dan cepat. Kutengok jam dinding di gedung Pasca Sarjana. Hah, jam 07. 15? Gawat beribu gawat!!! (Hm... kayaknya ini dia jawaban pertanyaaanku barusan). Tanpa babibu lagi aku semakin cepat mengayunkan langkah, bahkan sesekali aku berlari-lari kecil.
Nafasku masih ngos-ngosan saat tiba di balik pintu ruang kosmaku. Kurapikan bajuku, kuatur nafasku, dan kuatur mimikku dengan raut penyesalan.
“Assalamualaikum. Afwan Ustadz, kuntu mutaakhirron ”, aku malu sekali saat mengatakan ini. Senyum yang kutahan dari tadi, sedikit demi sedikit menyeruak. Mukaku juga mulai menghangat.
“Wa’alaikum salam wa rahmatullah. Limadza taakhorti? Alam taro kaifa nidhomuna taf’al liman taakhor khatta rubu’ sa’ah? ”, Ustadz Hammis Syaffaq, dosen drill bahasa Arabku benar-benar telah hafal kebiasaanku. Mepet bahkan terlambat datang setiap kuliah jam pertama.
“Na’am. Laqod ro’aitu. Layajuzu an yadkhula al fashla liman ta’akhor khatta rubu’ sa’ah ”, aku mengucapkannya lamat-lamat. Aku merasa semua mata dalam ruangan itu ingin menelanku hidup-hidup.
“Toyyib. Adzunnuki lam rubu’ sa’ah fi taakhor ”.
Yes! Aku berhasil lagi memenangkan hati nih Ustadz. Ye.. ustadz yang satu ini mah memang aslinya sabar.

********---------------**********

“Fath, aku tuh heran banget sama kamu”, Sulhah teman sekosmaku tiba-tiba duduk di sampingku.
“Heran? kenapa?”
“Kamu itu kan orangnya disiplin. Hampir semua jam kuliah kamu masuki tepat waktunya. Hadir dalam rapat-rapat juga tepat waktu. Tapi….. kalau urusan jam pertama…… telatmu itu gak tanggung-tanggung. Super duper mepet , bahkan kadang-kadang sampai setengah jam. Emang kenapa sih?”
“Duh , perhatian banget sih temanku ini. Aku jadi geer…….”
“Iya. Kamunya aja yang baru ngerasa. Dasar gak punya perasaan… he..he.he….udah ah , jadi gimana?”
“He…he…he… iya nih, aku juga gak tahu kenapa. Tapi, kayaknya sih gara-gara macet. Surabaya kalau jam berangkat dan pulang kerja kan selalu macet”
“Huh alasan klasik. Dari dulu alasanmu macet dan macet. Sudah saatnya kamu ganti alasan”
“For example?”
“Ya..mungkin kamu ketemu sama cowok ganteng di jalan, terus kamu buntutin ia kemanapun ia pergi”
“Hah, kamu kok tahu sih? Aku sering telat tuh emang karena mbuntutin cowok-cowok kece yang kutemui di jalan”
“Gak mungkin. Kamu bukan tipe-tipe seperti itu”
“He..he...ternyata kamu tuh emang bener-bener terobsesi sama aku ya? Buktinya kamu tahu aku luar dalam”
“Maksudnya?”
Kami berdua lantas tertawa. Tanpa membahana. Anggun… Cie…….narsis!
“Btw ,apakah kamu sudah punya pacar?”
“Emang dalam Islam ada yang namanya pacaran? Kamu sendiri?”
“Ye ditanya malah balik nanya”
“Oke. Aku sudah kok”
“O ya, siapa?”
“Namanya ALI. Ayah lan Ibu”
“Capek ya ngomong sama kamu. Kalau itu sih aku juga punya. Namanya ADI. Ayah dan Ibu”
Kami kembali tertawa, tapi sudah tidak anggun lagi. Terbukti beberapa pasang mata memandang penasaran kearah kami.
“Tapi serius lho, aku ingin suamiku itu Ali”, aku mencoba menghentikan tawa kami yang tak kunjung reda.
“Namanya Ali begitu?”
“Boleh Ali dalam nama, boleh Ali dalam sifat”
“YA udah aku doain kamu dapatkan Alimu itu. Kan cocok Ali dan FAthimah. Seperti ahli bait saja”
Aku segera mengamini dalam hati perkataan Sulhah barusan. Kalau kamu tahu Sulhah, itulah mimpiku sedari kecil.
********-------------------*********

Kampus semakin marak dengan umbul-umbul, selebaran, dan stand. Pasalnya, ini adalah bulan perekrutan anggota baru. Semua organisasi kampus, baik yang intra maupun yang ekstra, mencoba menarik massa sebanyak-banyaknya. Segala cara dilaksanakan, mulai dari membagikan selebaran, mengajak diskusi alias ngobrol berjam-jam, bahkan sampai dipacari. Masalah yang terakhir ini aku benar-benar prihatin. Betapa West hegemony telah mencuci otak generasi-generasi muda Islam. Masa ta’aruf yang bersih diganti dengan pacaran yang tak jelas juntrungnya.
********--------------------**********

II. ADA ALI DI HMI

Pandanganku menyapu seisi ruangan. Sebuah ruangan loss seperti aula menyambut kami, di sudut kanan ada tumpukan kasur, selebihnya loss. Disamping ruanganku, terdapat ruangan serupa untuk kamar panitia dan kesertariatan. Disampingnya lagi, ruangan yang agak luas untuk peserta laki-laki.
“Oke adik-adik, gimana perjalanannya? Masih capek ya? Kalian boleh sholat dulu. Setelah itu terserah mau istirahat atau makan. Tapi jangan sampai terlambat masuk aula jam 20.00, oke?”, Mbak Azka, salah seorang panitia mengakrabi kami.
“Mbak, kalau gak salah HMI itu ada sejak proklamasi Indonesia ya? Lalu apa sih tujuan HMI?”, Nadine, peserta berkaca mata bertanya.
“Yap hampir betul! HMI yang lahir pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta mempunyai motivasi dasar untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia mempunyai derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam. Sedangkan tujuannya sendiri ialah terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata ’ala”.
”Apaan tuh mbak?”, kali ini Selfi yang bertanya.
”Kelima hal tadi adalah tujuan HMI yang disebut juga dengan insan cita. Standart pertama Insan yang dicitakan HMI adalah insan yang mampu berprestasi dalam akademiknya. Kenapa? Karena dengan ilmu kita bisa berfikir maju ke depan, kita bisa bermimpi, kita bisa melakukan perubahan. Ilmu membuat kita berharga.. Islam sendiri juga sangat mennghargai orang yang berilmu. Ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa”, Urai Mbak Azka penuh semangat. Anak-anak seangkatanku hanya mengerjap-ngerjap. Sesekali juga mengangguk atau mengerutkan kening.
”Standart kedua adalah ia mampu menciptakan sesuatu, kalau bisa sesuatu itu adalah yang baru. Mengapa? Karena pionerla yang akan dikenang. Katakanlah air mineral. Bagaimana orang tua kita bahkan beberapa anak muda kita menyebutnya? Aqua bukan? Mengapa? Karena yang memproduksi air mineral pertama di Indonesia adalah Aqua. Contoh yang lain adalah mie. Bagaimanakah orang tua dan beberapa anak muda kita menyebutnya? Indomie bukan? Maka dari itu HMI ingin mencetak banyak inovator handal dari kader-kadernya”. Mabak Azka menghela nafas sambil memandang wajah kami satu persatu. Di luar daun mulai berguguran disapu angin senja yang bertiup lembut. Lembab. Untaian kabut mengintip tipis laksana kapas lebar di balik remang yang kian merayap.
”Standart ketiga adalah pengabdi. Dua standart sebelumnya takkan berarti selama tidak untuk diabdikan. Pengabdian tentu saja harus dilandasi dengan niat baik. Pegabdian yang tanpa pamrih. Di sinilah standart keempat dan kelima dibutuhkan, yaitu Islam yang berarti ikhlas sebagai motivasi semua itu. Dan pada akhirnya ini semua dapat dipertanggung jawabkan”, Imbuhnya lagi.
Diam kami yang sedari tadi tiba-tiba pecah karena tawa Mbak Azka. ”Serius amat sih. Aku jadi merinding melihat ekspresi kalian”.
”Habis Mbak Azka seperti sales profesional sih”.
”Terimakasih. Kalian nanti juga bisa kok jadi sales profesional. Semua materinya akan kalian dapatkan selama tiga hari ini”
Kamipun tertawa bersama.
”Wah sepuluh menit lagi kita harus di aula untuk Opening Ceremony nih,Mbak”
”O iya. Padahal kalian kan belum makan?”
Tanpa diinstruksi, kami berlomba melahap nasi bungkus dari panitia. Terdorong rasa takut mendapat hukuman bila terlambat datang ke forum, aku mengunyah lima sampai tujuh kali tiap suapnya. Dasar, anak baru lulus SMA, batinku menertawai sikapku yang ketakutan itu. Angin malam menemani makan malam sederhana kami.
Dengan beriringan kamipun berangkat menuju aula. Setiba di sana ternyata peserta laki-laki sudah berkumpul. Kami lalu memilih tempat duduk masing-masing.
”Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”, Kak Bagus selaku MC membuka acara yang lantas dijawab serentak oleh seluruh yang hadir. Acara Opening Ceremony berlangsung hikmat dan padat, sehingga setelah dua puluh menit acara selesai sudah. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan kontrak forum, dimana antara peserta dan panitia akan membuat kesepakatan bersama untuk forum-forum selanjutnya. Hasil kesepatan yang dihasilkan beragam antara lain, tidak boleh merokok selama forum, HP harus disilent, pakaian harus rapi, boleh memakai kaos asal berkerah, hadir 10 menit sebelum forum dimulai, dan lain sebagainya.
Gelap terus merambat. Bias terang matahari yang telah menemani seharian telah tergantikan bias cahaya lampu neon. Mata dengan 5 watt mulai telihat di sana-sini. Mulut menguap dan aura kelelahan juga menyeruak diantara penjelasan pemateri. Aku sendiri sudah tidak bisa berkonsentrasi pada materi. Mataku sungguh sangat berat dan akhirnya semua gelap.
”Fath, ayo bangun. Materi sudah habis. Kamu mau tidur di sini ta?”, Aku mendengar sebuah suara. Tubuhku juga seperti digoyang ke sana kemari. Tapi aku tak tahu siapa sosok itu. Akhirnya dengan kesadaran yang belum penuh seratus persen aku mengikuti sosok di depanku menuju lorong-lorong yang panjang, sangat panjang, hingga aku tiba di suatu ruangan. Disana sudah ada banyak orang yang tengah serius mendengarkan pemateri. Dan benar saja kehadiranku membuat konsentrasi mereka pecah. Beribu-ribu mata kini tengah tertuju ke arahku. Seakan memenjarakanku dalam labirin tak bertepi. Ya aku seperti seorang terdakwa pesakitan di antara beribu-ribu korban kejahatanku dan para hakimnya. Mata-mata itu menuntunku menuju sebuah satu-satunya kursi kosong di tengah ruangan yang sangat luas itu. Aku mengaduh dalam hati, kenapa aku harus dihadapkan pada situasi seberat ini? Apa kesalahanku pada mereka sehingga kilat-kilat dendam menyala-nyala di antara sorot mata mereka?. Aku menunduk tak berani menatap wajah-wajah yang kian menyeramkan di sekitarku. Kumohon bebaskan aku dari situasi ini?.
Sebuah tangan kekar putih tapi berjari kecil-kecil dan lurus mengusap kepalaku. Aku menengadah. Sebuah wajah teduh di hadapanku. Tak ada kilat dendam di sorot matanya. Tak kurasakan pula sorot menghakimi di dalamnya. Malah seakan-akan mata itu ingin berbicara bahwa ia akan melindungiku selamanya. Selamanya.
Tiba-tiba bumi bergetar. Tangan yang begitu hangat itu turun mengikuti helai-helai rambutku yang menjuntai, kemudian mengelus lembut pipiku mengesankan memberikan rasa aman. Tangan itu terlepas kini, kemudian menjauh dan menjauh. Semakin jauh kemudian mengecil. Aku ingin berteriak agar sosok itu jangan pergi. Tapi percuma. Suaraku tercekat oleh kerongkonganku yang kering dan mulutku yang masih menutup rapat. Aku menangis tersedu. Bumi bergetar semakin hebat.
”Fath, bangun! Sudah Subuh!”, Selfhi membangunkanku. Ah, rupanya Cuma mimpi. Ah, ternyata gempa barusan adalah gerakan-gerakan yang dibuat Selfhi untuk membangunkanku.
”Eh iya. Makasih ya, Self. Susah ya bangunin aku?”
”Iya susah sekali. Ada lima menitan mungkin aku membangunkanmu”
”He..he...he... iya aku kalo tidur tuh memang kayak orang mati”. Biasanya begitu aku berargumen begini reaksi lawan bicaraku adalah ngakak atau mengelus dada. Tapi tidak kali ini. Aku tak menemukan reaksi serupa. Aku melihat gurat khawatir dalam air muka Selfhi yang sangat manis itu.
”Em apa aku tadi menyakitimu? Soalnya kulihat kamu tadi sempat nangis saat kubangunkan”
”Masak sih? Kan sudah kubilang aku kalo tidur itu seperti orang mati. Jadi dunia gempa atau kebakaran mungkin gak akan berefek apa-apa”
”Begitu ya? Kamu itu unik ya...”
HAH unik? Aneh iya. Aku berkata dalam hati. Tapi tak urung aku memberikan senyum terhangatku untuk menentramkan dan meyakinkan Selfhi bahwa aku memang sedang tidak apa-apa. Tapi siapa ya yang menuntunku ke kamar tadi malam?
”Fath, sudah bangun ya? Temani aku mandi ya. Kan aku sudah bangunin kamu tadi malam”, Nadien tiba-tiba muncul di balik pintu.
”Ooo. Oke. Keburu antri ya Non”, Aku bangkit dan menyambar handuk serta peralatan mandi lainnya.
*********-----------------------**********

Tak terasa sudah tiga hari kami di Vihara Agung Mojokerto yang notabene adalah tempat berlangsungnya Latihan Kader (LK) I HMI ini. Tak seperti bayanganku yang mengira sebagaimana pelatihan-pelatihan sewaktu SMP dan SMA akan ada banyak waktu senggang dalam pelatihan ini. Nyatanya tak ada waktu untuk nyantai-nyantai. Paling waktu senggangnya saat Ishoma, saat istirahat malam, dan saat bangun tidur sampai jam 08.00 pagi. Nah, waktu senggang favouritku itu adalah sehabis Subuh. Dimana aku bisa membelai nafas pagi yang segar, berjalan-jalan mengitari vihara, dan melihat ibadah pagi umat Budha. Ya dalam agama Budha ada ritual sembahyang pagi-pagi buta. Sembahyangnya berupa membaca do’a, mengetuk-ngetukkan kayu ke sebuah batok, dan membakar dupa. Yang mereka sembah adalah Budha-budha, salah satunya adalah Budha Gautama. Ajaran utana mereka terkenal dengan Budha Dharma yang berisi tentang Tri Ratna yang berisi budha, dharma, dan sangha.
Pada malam terakhir pelatihan, panitia mengadakan acara api unggunan. Semua peserta dan panitia berkumpul tanpa sekat siapa senior dan siapa junior. ”Semua adalah partner, tak ada senior dan junior. Kebetulan kami lebih dahulu berkader di HMI sehingga berkewajiban mengarahkan dan memfasilitasi kalian. Tapi, bukan berarti kami lebih tahu dari kalian. Bisa jadi kalian yang lebih lihai dalam beberapa hal, maka kalian bisa bagi itu dengan kami. Kan kita partner. Kita semua sedang berkader di sini”, Begitu jawab mbak Azka saat kutanya tentang hal ini. Malam itu semua menyanyi dan tertawa. Kadang kala kami saling memberikan kritik dan saran. Aku memilih bergerumbul dengan kelompok cewek, makan jagung sambil mendengar cerita pengalaman-pengalaman mbak Azka. Sesekali ada anak putera yang ikut bergabung, lalu pergi dan diganti anak yang lain. Saat itu ada tiga anak laki-laki yang kutahu bernama Ibnu Ali, Adam, dan Eqbal ikut menyeruak diantara kami para KOHATI (istilah kader perempuan dalam HMI). Ketiga-tiganya berasal dari Padang. Awalnya tak ada kejadian yang luar biasa. Semuanya biasa-biasa saja. Hingga sesaat sebelum acara usai, di tengah keriuhan tawa, Ibnu Ali mendekatiku.
”Hai Fath, kulihat kamu kok terus mojok sih, gak gabung ma yang lain?”
”E, perasaan dari tadi aku juga gabung ma anak-anak”
”Iya, tapi anak cewek, gak sama anak cowok”
”Memang harus?”
”Ya iyalah. Setelah malam ini kita kan akan sering ketemu karena organisasi, jadi kita harus saling kenal dan akrab dong”
”Okelah, tapi nanti aja ya. Aku lagi gak mood kesana”
”Gak papa kok. Kalo gitu aku temani kamu ya? Boleh?”
Aku hanya tersenyum kecut sambil mengangguk dengan lesu. Aduh nih anak. Apa dia nggak ngerasa kalo aku malas bergabung sama anak laki-laki salah satu alasannya adalah karena ada dia. Aku agak malas aja berdekatan sama dia setelah dia kemarin malam memandangku dari jauh sambil memoncongkan mulutnya, ciuman jauh.
”Echa, sini! Gabung sama kita yuk!”, Aku melambaikan tanganku pada Eka yang tengah melintas di depanku.
”Makasih. Apa gak ganggu kalian?”, Echa menggoda.
”Gak kok. Iyakan Ali? Semakin ramai semakin asyik”. Kulirik Ibnu Ali sekilas, ia kelihatan sedikit syok tapi lantas ngakak. Hmm, Aneh!
”Eh saat OSCAR dulu kamu kelompok apa?”, Echa bertanya pada Ibnu Ali.
”Aku kelompok Karl Marx. Kalau Fathima dulu kelompok Hassan al Banna ya?”
”Iya. Kok tahu”, dengan wajah penuh penasaran dan penuh rasa bersalah pada Echa yang terkesan dicuekin aku mengucapkan ini. Melihat ekspresiku begitu, nampaknya ia cukup puas dan ia menjawab pertanyaanku cukup dengan tersenyum penuh kemenangan.
”Eh iya aku ingat. Kamu kan yang dulu tanya pada salah seorang MABA apa ia sudah punya pacar?”, Echa kembali mencairkan suasana.
Ibnu Ali hanya mengangguk pasti. Sedangkan kini aku yang gantian syok mendengar perkataan Eka barusan. Jadi......
Echa, kupikir kamu akan menyelamatkaku ternyata tanpa kita semua sadari kamu malah membuatku sedikit terpojok kini.
Malam itu aku tak bisa segera tertidur. Aku masih sedikit terguncang. Aku belum siap kalau ada anak yang menambatkan hati padaku. Aku tak mau itu. Aku tak suka itu. Meski yang di depanku saat ini adalah anak yang kebetulan bernama Ali. Aku tak mau. Belum pasti ini Aliku.

********---------------********

III. ALI YANG LAIN
Peristiwa di LK HMI itu tak lama bersemayam dalam benakku. Tugas dan aktivitas yang berjibun tak membiarkanku memikirkan hal-hal di luar keduanya, selain fikiran untuk melowongkan waktu ekstra untuk keluargaku yang kian sulit mendapatiku diam di rumah. Intensitas pertemuanku yang limit dengan Ibnu Ali serta kurangnya respect yang kutunjukkan secara samar padanya membuat kami semakin seperti partner saja. Jadi, kupikir ia memang tak sungguh-sungguh saat itu.
Semester dua hampir berakhir. Ujian segera tiba. Tugas-tugas menggunung. Perpus yang setiap harinya lumayan longgar, di detik-detik terakhir semester seperti ini pasti penuh dengan kepala yang penuh nafsu untuk meminjam buku sebanyak-banyaknya. Tak tahu nasib buku-buku itu selanjutnya. Apakah ia benar-benar akan dibaca atau hanya sebagai pelega hati bahwa kami sudah membawa buku yang berisi jawaban-jawaban untuk ujian ke depannya. Memikirkan hal ini kepalaku sedikit pusing. Mahasiswa apa aku ini? Mau jadi apa aku kelak? Apakah benar aku bisa menjadi Agent of Change atau malah menjadi Agent of Rubbish alias sampah masyarakat?
Hari itu aku tengah berada di antara rak-rak perpus. Hunting buku, karena seringkali di saat menjelang ujian begini perpus kehabisan stok buku. Jadi mahasiswa harus saling mendahului dalam meminjam buku. Mataku terus menelusuri rak-rak filsafat sambil sesekali memandang kertas di tanganku unuk mencocokkan indeks rak dan buku. Benar-benar serius lagakku .... hingga sebuah mata di seberang rak memecahkan konsentrasiku.
”Afik kamu ngagetin aku saja. Cari buku apa?”, aku mengelus data
”Ini aku mau cari buku Islam dan Tata Negara-nya Munawir Sadjali”
”Lho itu kan di rak bagian politik. Kok kamunya di sini?”
”Iya aku juga mau cari buku yang membahas tentang tentang para filosof skolastik . Kamu tahu buku yang cocok?”
”Belum sih, tapi kita cari dulu saja. Kalau buku Abad Idiologi, cocok gak?”
”Gak tahu juga. Memang mana bukunya?”
”Ya kita cari dulu lah. Mungkin saja itu tadi cocok”
Kami berduapun kembali asyik menelusuri jejeran rapi buku-buku perpus.
”Fath”
”Ya?”
”Kamu ingat aku dulu pernah bilang kalau ada temanku yang ingin berkenalan denganmu?”
”Siapa? Kapan? Aku benar-benar lupa”
”Namanya Ali Mahmoed. Ia lulusan fakultas Tarbiyah tahun ini. Sekarang satu asrama denganku di Al Jihad Boarding Schooll. Dia tanya nomor telefonmu”
Aduh. Kenapa aku harus menghadapi masalah seperti ini lagi. Aku masih semester dua. Aku masih kecil. Aku tidak cantik. Aku juga tidak pintar-pintar amat. Masih banyak anak yang lebih berkredibilitas di atasku. Mana namanya Ali lagi. Kupikir momentnya juga kurang tepat untuk bertemu dengan Ali-ku. Jadi, belum tentu ia Ali-ku. Aku masih belum mengharap Ali-ku datang. Mana yang membawa ’proposal’nya itu teman sekosmaku. Aku kan gak biasa ngecewain orang. Kalau kulawan, pasti aku yang merasa bersalah dan tertekan. Aduh pusing.
”Gak usah aja ya. Aku takut sama ayahku”, aku berargumentasi.
”Ayahmu galak ta? Gak papa biar nanti dia yang putusin bakal telefon kamu apa tidak. Yang jelas dia sudah lama minta nomor kamu”,Afik menghela nafas. Aku menatapnya dengan putus asa.
”Aku juga butuh nomor kamu. Soalnya aku sepertinya akan banyak bertanya tentang materi kuliah kita”
Mendengar ini keputus asaanku menjadi sebuah keniscayaan.Aku takut bila aku memberi nomor telefon itu akan memberinya harapan, itu akan memberi peluang setan untuk memanas-manasi kami. Tapi?
”Baiklah. Kuberi nomor ini untukmu. Usahakan agar ia tidak menerima nomorku dulu, baru kalau memang tidak bisa dicegah kamu boleh memberi tahunya. Karena jujur saja aku tidak nyaman bila ditelefon cowok”
”Iya, aku usahain”
”Ini nomorku 031 *******”
”Kalau HP?”
”Aku gak punya HP kan?”
”O iya aku lupa!”, Afik menepuk jidatnya
”Fik apa buku ini yang kamu cari?”
”Wah betul banget. Iya ini yang aku cari. Komplit lagi. Makasih ya”
”Sama-sama”
”Tuh kan aku lupa lagi. Dia nitip foto. Mau dikasihkan ke kamu. Ini”
Kuterima foto yang disodorkan Afik. Seraut wajah memenuhi kertas ukuran poscard itu. Lumayan cakep, tapi aku memang sedang tak berminat memikirkan hal demikian. Targetku aku baru akan memikirkan masalah yang satu ini pada semester enam atau tujuh, sehingga kami tak perlu berlama-lama menahan godaan iman, alias bila memang sudah saling cocok aku takkan takut menikah kok. Tapi, entahlah keadaanya nanti, bukankah aku juga punya segudang mimpi yang ingin aku wujudkan sebelum benar-benar menikah?
”Makasih ya Tapi apa gak terlalu dini? Biar semua mengalir apa adanya aja. Oke?”, Aku berkata demikian sambil berpamitan untuk ke ruang internet dengan alasan takut giliranku diserobot orang. Taufik mengiyakan.

********--------------********

Telefon berdering. Ibu yang mengangkatnya.
”Iim ada telefon”, Ibu berteriak memanggil nama kecilku. Spontan aku yang sedang ’berkontemplasi’ dengan adikku di depan TV terlonjak dan segera berlari menuju pesawat telefon.
”Di rumah itu mbok ya jangan lari-lari”
”Inggih Bu. Dari siapa ya Bu?”
` ”Ndak tahu”
Ibu menydorkan gagang peawat telefon.
”Assalamu’alikum”
”Wa’alikum salam warahmatullah”, suara di seberang menjawab salamku. Hmm, salam yang baik, mungkin orang ini ngerti kalu menjawab salam itu diusahakn lebih baik (komplit) dari pemberi salam. ”Fathima ya? Ini aku Ali Mahmoed”
”Ali Mahmoed siapa ya?”
”Itu temannya Taufik”
Waduh. Mother help me!
”Ooo. Iya aku ingat”
”Gimana kabarnya?”
”Baik”
”Lagi ngapain, ganggu gak”
”Emm nggak juga. Aku lagi nonton TV sama adik”
” Oooh. Kamu punya adik berapa?”
”Dua. Aku anak pertama”
”Sama dong aku juga tiga bersaudara, tapi anak terakhir”
”Emmmm”, kubingung mau ngomong apa. Aku sebetulnya tidak mood, apalagi dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Tapi apa sopan memutus pembicaraan?
”Kamu suka nonton Film ya? Film apa?”
”Aku suka semua film, terutama film yang berbau science, history, dan mimpi masa depan. Kamu?”
”Aku suka film-film epik heroisme”
”Wah cocok dong. Kamu kan cowok”
”Masa? Kalau kamu kesannya ilmiah dan imaginatif sekali ya? Film Romantis suka?”
Hem, hem, mulai deh. Dasar cowok!!! Kesel banget ngikuti omongan kayak gini.
”Ya lihat lihat dulu. Kalau India versi lama aku gak suka, sinetron yang garing hikmah dan science juga gak suka”
”Tuh kan kamu itu memang ilmiah banget kayak yang diomong Afik”
”Memang afik bilang apa aja?”, aku menyelidik
”Ya banyak. Kepintaran kamu, kecantikan kamu, kesholehan kamu, kekuatan prinsip kamu untuk gak mau bersentuhan dengan laki-laki, pokoknya kamu unik di mataku. Jarang ada cewek yang masih seperti itu”
Mendengar ulasannya, aku bukannya tersanjung malah meradang. Tapi kunormalkan juga nada suaraku.
”Kata siapa sudah jarang cewek seperti itu. Coba deh ke UNAIR atau ke ITS, pasti banyak akhwat-akhwat yang kriterianya seperti kamu bilang. Kalu aku sih gak ada apa-apanya. Gak cantik, gak pintar...”, Aku menggantung kata-kata, tak berani meneruskan kriteria lainnya untuk kunegatifkan. Bukankah kalamud dua’, perkataan itu do’a. Tiba-tiba di seberang kudengar ia tertawa. Ku membayangkan ia meringis seperti Malfoy menertawakan Harry Potter yang dihukum Profesor Snape. Duh, kok kujadi negative thinking terus sih sama para cowok.
”Kenapa? takut ya ngelek-jelekin diri sendiri terus”. Sok tahu, batinku. ” Takut sama Kalamud du’a ya?”, ia menambahkan. Hah?. ”Tahu tidak kamu itu lucu dan unik”, tambahnya lagi.
Sebel!Sebel!Sebbellll! Ingin ku menutup telepon atau sekalian kumaki-maki ia dalam hati. Dia memang berhak menilaiku, tapi ia tak berhak sok tahu tentang aku karena nilai itu memang absurd dan relatif. Dan terutama lagi, aku paling tak suka dipuji cowok yang punya maksud lain di balik pujiannya. Begitu juga dengan dia. Meski aku tahu maksud ia itu baik.
”Katanya kamu ustadz ya di al Jihad Boarding School?”, Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Gak juga. Aku Cuma bantu-bantu di situ”
Nah gini dong. Cowok itu juga perlu berendah hati, jangan melambung terus.
”Bantu apa?”
”Ngajar adik-adik TPQ sama panti asuhan”
”Wah pahalanya besar tuh. Ya semoga segala amal ibadahmu diterima disiNya dan segala dosamu diampuniNya”
Dia ngakak mendengar tanggapanku. Waduh aku salah omong. Jangan-jangan dia bakal makin lama nutup telefonnya.
”Kamu lucu. Memang kamu ndoain aku mati ya?”
Mulai deh. Capek banget nanggapin omongan kayak begini. Apa orang ini gak capek sama omonganku yang kebanyakan kata-kata pendek dan sedikit ketus?.Akupun membiarkannya berbusa-busa membicarakan adik-adik asuhnya, teman-temannya, hobinya. Aku sendiri banyak berdiam diri saja, kecuali untuk menjawab Oooo, Emm, iya,, Gimana ya, atau Jadi begitu ya.
”Kamu terganggu ya sama telefonku?”, Mungkin ia menangkap maksudku.
”Lho aku pakai telefonku sendiri lho. Dan telefon kamu bukannya sama kamu?”, aku mencoba mencairkan suasana. Gak enak juga mendengar ia memelas dan merasa bersalah seperti itu.
”Maybe, karena dari tadi kamu jawab pertanyaanku dengan jawaban cekak-cekak sih”
”Gimana ya? Ibuku sudah mondar-mandir dari tadi. Kayaknya beliau mau suruh aku sesuatu deh. Lagian, pulsamu gak sudah banyak yang keluar apa?”. aku menatap ibu yang memang sedari tadi mondar-mandir mengikuti Meme, anak tetanggaku yang berusia satu tahu. He...he...he... dan belum tentu ibu mau menyuruhku. Kan aku tadi bilangnya Kayaknya, jadi gak bohong kan?
”Iya bener. Ya sudah kalo begitu. Kapan-kapan aku telefon lagi boleh?”
”Boleh, tapi aku jarang di rumah lho”
”Ya aku ngerti. Salam buat ibu. Asslamualaikum”

********--------------********

Semester dua terlewati dengan mulus. Nilai IP ku tidak terlalu buruk, bahkan mencukupi untuk pengajuan beasiswa. Sebetulnya aku sempat menanyakan masalah beasiswa pada akademik, tapi katanya beasiswa hanya untuk semester lima ke atas karena memang harus gantian. Sedangkan kami yang masih semester tiga masih punya kesempatan dapat di semester-semester berikutnya.
”Fath nanti ada rapat Kepanitiaan LK I untuk adik-adik. Kamu bisa datang kan?”, Nadien memberikan selembar undangan.
”Insyaallah aku usahain gak datang”
”Maksudnya”
”Iya aku usahain gak datang. It’s mean kedatanganku itu sesuatu yang gampang dan tidak memerlukan usaha, sedangkan untuk gak datang aku harus berusaha keras”
”Ooo”, Nadien berOoo, tapi raut mukanya nampak masih sedikit bingung.
Begitulah semester tiga kulewati dengan aktifitas yang makin berjubel. Tak ada waktu untuk memikirkan apa-apa selain mengejar prestasi teman-teman sekosmaku. Nilaiku memang lumayan baik sampai-sampai cukup untuk menjadi syarat pengajuan beasiswa, tapi nilai teman-teman kosmaku banyak yang lebih baik dari aku. Katakanlah Muhammad Abduh. Aku sangat heran pada anak yang satu ini ia begitu lugas menjawb dan menerangkan sesuatu. Anak yang memiliki nama sama dengan salah satu pemikir Arab dan Islam ini faham benar tiap partikel terkecil suatu pemikiran (teori) seorang tokoh. Ia begitu jeli sehingga seringkali melontarkan kritik pada pemikiran tersebut. Tak heran pula hampir semua penghuni Ushuluddin kenal dia, mulai dari dekan, kajur, pegawai, senior, bahkan tukang kebun dan ibu kantin fakultas.
Adapula yang bernama Ismail. Ia setingkat di bawah Muhammad Abduh. Gayanya katrok, tapi kecerdasan dan wawasannya tak perlu diragukan lagi. Pernah suatu kali ia menskak mati seorang dosen. Benar-benar memory yang menyakitkan dan memalukan untuk si Bapak, tapi membanggakan buat kami para mahasiwa. Menurut kami, Bapak tersebut terlalu ngeyel dan gengsi menerima kebenaran yang berasal dari salah seorang mahasiswa yang baru semester dua, sehingga kengeyelan yang ditujukan balik oleh Ismail menjadi lambang perlawanan kepada suatu sistem, bahwa dosen selalu lebih benar dari mahasiswanya, bahwa yang tua pasti lebih arif daripada yang muda. Meskipun demikian Ismail tetap rendah hati. Ia masih konyol seperti saat OSPEK dulu. Ya, ada satu kejadian dalam OSPEK yang sanggup melambungkan nama Ismail ke jajaran daftar orang yang patut diwaspadai sekaligus juga diincar sebagai kader. Saat OSPEK, bukan rahasia lagi senior bisa semena-mena pada MABA yang mayoritas masih lugu, takut dan menurut saja instruksi senior. Nah, diantara semua senior ada satu yang paling galak dan disiplin, namanya Iqbal. Semua pasti tak kuasa memandang tatapannya. Setiap yang bergerak dari arah MABA pasti tak luput dari sorot matanya yang tajam menghujam dan membuat si pembuat ’keonaran’ tak bekutik lagi. Tapi dasar Ismail tengil, saat senior ini khusyuk memberikan materi kedisiplinan, saat para MABA mulai hang fikirannya karena forum yang terlalu hening dan kaku, Ismail mengangkat tinggi-tinggi tangannya.
”Iya, apa ada yang ingin Anda tanyakan?”, suara Iqbal dingin seakan-akan mengatakan jangan ganggu forumku, bila tidak mau berurusan dengan Iqbal, Sang Eksekutor.
”Iya kak. Dimana ya letak toilet? Saya sudah tidak tahan”, Ismail menjawab dengan mimik muka seperti orang yang benar-benar kepingin. Kontan anak-anak tertawa. Sedangkan Iqbal merasa dikerjai. Ia ingin sekali memarahi Ismail habis-habisan, tapi apa boleh buat massa sedang berpihak pada Ismail. Dan memarahi Ismail tanpa alasan yang jelas, pasti membuat wibawanya lansung turun pamor.
”Masak sudah kebelet? Ini kan masih jam pertama”, Iqbal dengan cerdas dan cekatan mengembalikan perhatian massa kepadanya. MABA kembali tertawa.
”Iya kak aku juga heran kenapa? Permisi....”, Iapun ngeloyor pergi.
Simple tapi mantap. Karena ulah Ismail itu pula maka forum menjadi cair. Ismailpun bak superhero. Ia menjadi selebriti dadakan. Banyak orang yang mencarinya, terutama para kru majalah fakultas edisi OSCAR.
Adapula temanku yang bernama Sulhah. Gadis yang satu ini awalnya biasa-biasa saja. Namun, seiring bertambahnya semester, ia semakin digandrungi para dosen dan kaum adam. Pasalnya, semakin lama keenceran otaknya, kecantikannya, dan keluwesan sosialisasinya semakin kentara. Bahkan dua semester ini, nilai kami bersaing ketat. Adakalnya ia lebih unggul di mata kuliah tertentu, adakalanya aku yang lebih unggul di mata kuliah yang lain, dan pada akhirnya tanpa kami sengaja IP kami selalu sama.

********-------------********

IV. CERITA-CERITA IBU
10 Oktober 2006,
Dear al Kutayb,
Aku mendengar namanya, mendapati kisah-kisah hitam putihnya, dari ibuku semenjak dua bulan yang lalu. Tiada hari tanpa cerita tentangnya. Tidak hanya saat kami ngobrol santai berdua, tapi juga saat masak, saat ibu merevieu kejadian-kejadian di sekolah, saat kami berkebun atau saat kami menyelesaikan pekerjaan rumah tangga berdua. Entah apa maksud ibu. Tapi kurasa ibu ingin menanamkan image baik tentang temannya yang satu ini di otakku, di hatiku. Dan aku tahu bahwa ibu mengerti bagaimana kriteria suami impianku.
Kau tahu Al, entah tersugesti entah memang murni insting nurani terdalamku, namun seakan-akan kini aku benar-benar jadi yakin bahwa dialah jawaban do’a-do’a panjangku selama ini. Dialah yang sejak SD ku dulu kumintakan pada Allah. Ah, entahlah. Mengapa juga aku jadi sebegini yakin, padahal aku juga belum melihatnya. Apa ia yang dulu pernah ikut ke Telaga Sarangan? Apa ia dulu yang pernah kulihat dalam mimpi masa kecilku? Ah, entahlah. Tapi yang jelas, tak baik memikirkan sesuatu yang belum pasti, iya kan Al?

30 Oktober 2006, Syawal 1428 H
Dear Al Kutayb,
Hari ini ia datang ke rumah dengan guru-guru SMP. Pasalnya ia adalah salah satu guru di sekolah ibuku. Ia datang tidak bersama rombongan mobil, tetapi berboncengan dengan Bu Aulia, disertai Pak Fadhil dan putra kecilnya. Menurut cerita ibu, ia tidak mau berboncengan dengan wanita kecuali sangat terpaksa, bahkan ia sempat keluar dari sebuah SMK karena risih dengan tindakan beberapa murid perempuannya yang selalu menggandeng tangannya ketika datang. Makanya saat itu aku sanksi apakah ini orang yang dimaksudkan ibu?. Akupun menyambut mereka. Bersalaman dengan Bu Aulia, dan mendekapkan tangan di dada untuk Pak Fadhil dan ia. Sungguh, aku tak pernah tahu wajahnya sebelum ini, tapi kala mata kami bertemu untuk pertama kalinya, hatiku serasa berhenti berdegup. Inikah dia? Tapi segera kutepis rasa itu. Memalukan Syawal-Syawal sudah berzina hati!, batinku.
Di dalam ibu membetulkan kesangsianku. Dia? Aku sedikit kecewa mendengar ini, karena selintas ia tak seindah cerita ibu yang kubayangkan selama ini. Ia tidak terlalu ghodhul bashor, ia duduk dekat sekali dengan Bu Aulia, terutama lagi ia mau berboncengan dengan Bu Aulia. Kalau ia suka pada Bu Aulia nampaknya tak mungkin, Bu Aulia nampak lebih berumur darinya. Jangan-jangan Bu Aulia adalah ibunya? Wajah mereka cukup mirip! Tapi masa iya ibunya semuda itu?. Ia pun pulang. Meninggalkan kesan kosong sepanjang siang itu dan mengeluarkan kesan indah pada malam harinya.
********--------------*********

Begitulah, sejak aku bertemu dengan Muhammad Alimin al Yamani, aku terus saja menghiasi diaryku dengan namanya, serta membasahi lisanku dengan do’a untuknya. Sebuah sosok yang pertama kalinya menggetarkan hatiku padahal kami belum saling bertemu, sebuah sosok yang pertama kalinya kumintakan langsung pada Allah untuk menjadi suamiku kelak, sosok yang kuyakini dapat diterima keluarga besarku sekaligus mau menerima segala kekurangan dan kelebihanku, sosok yang complicated, unik, dan mampu membuatku imgin mengenalnya lebih dekat, sosok yang takkan mampu membuat penaku berhenti untuk menceritakannya.
*********-------------*********

Dua minggu berlalu sejak pertemuan pertama itu. Aku mulai meredam rasa yang terus membuncah. Aku mulai tersadar bahwa sulit untuk ada pertemuan selanjutnya. Aku mulai teringat akan prinsip-prinsipku, antara lain aku takkan ’bermain-main dengan cinta’ hingga semester tujuh dan aku takkan meyakini seseorang itu jodohku sebelum ada ijab qabul diantara kami. Sebuah prinsip yang tidak lazim, tapi kulekatkan dalam-dalam di antara relung hatiku dan albamus otakku.
”Iim apa kamu masih ingin komputer?”, Ayah mendekatiku dan segera membuyarkan kontemplasiku.
”Nggih purun . Memangnya ayah mau beli komputer?”, Aku menjawab dengan penuh antusias.
”Jadi ada tetangga teman ayah yang membutuhkan uang secepatnya, sehingga mau tidak mau ia harus menjual komputernya. Bagaimana menurut kamu?”
”Memangnya kita punya uang, Yah”, Aku mengingatkan ayah pada kondisi ekonomi keluarga kami yang tak biasa -karena tak bisa- berlebih-lebihan dalam berbelanja.
”Alhamdulillah, kemarin Pakdemu melunasi hutangnya disamping juga ada sisa jatah lebaran . Nah nanti bisa kita tambah dengan uang gaji bulan ini”
”Ibu dan adik-adik, bagaimana?”
”Sudah. Mereka sudah tahu dan setuju. Tinggal kamu saja yang belum urun pendapat. Habis kamu jarang di rumah sih”
”Ya aku sih seneng sekali kalau kita beneran beli komputer, asal tidak memaksakan keungan kita saja”
”Alhamdulilah berarti semua sepakat ya untuk beli komputer?”
Aku menganggukkan kepala dengan pasti untuk menegaskan jawabanku.
”Terus kapan dan siapa yang akan berangkat membelinya?”
”Ayah, ibu, dan Alimin”
”Hah? Kenapa harus dengan mas Alimin?”, Aku benar-benar kaget mendengarnya. Apa ini berarti akan ada pertemuan kedua?
”Iya. Ibu dan ayah kan tidak faham tentang komputer. Makanya kami minta bantuan Alimin. Kamu tahu kan kalau dia alumni Tekhnik Mesin yang juga pernah megang rental komputer di UNESA?”
Aku mengangguk pelan. Kombinasi dari rasa bahagia dan tidak percaya. Aku juga bingung cara menemuinya nanti. Ibu keluar dari dapur.
”Ada apa? Kamu ndak mau beli komputer ta Im?”, Ibu menggodaku.
”Iya. Aku ndak mau..... nolak”, Aku tersenyum malu. Jelas-jelas selama ini aku yang paling seru bila bercerita tentang perkembangan IT, aku juga yang awalnya ingin dibelikan komputer.
”Apa nantinya Mas Alimin akan mampir ke rumah, Bu?”
”Ya iya. Kan rutenya lewat sini”, ibu menatapku heran.
”Ndak usah mampir saja ya Bu”, Aku merajuk.
”Kenapa?”
’Ndak papa. Ya Ndak usah saja”Aku belum siap ketemu dia lagi, Bu. Aku takut tak bisa menjaga hatiku, menjaga izzahku sebagai muslimah, menjaga prinsip-prinsipku. Aku takut benar-benar jatuh cinta nantinya.
”Ya sudah kalau begitu. Ndak usah kan?”
”Iya. Ndak ...usah!”

********--------------**********

V. SEBUAH KUNJUNGAN
Langit memerah, awan berarak-arak ke Barat ditiup semilir angin sore, burung-burng pipit dan bangau kembali ke sarang sambil berkeok, ayam-ayam tak mau ketinggalan untuk kembali ke peraduannya sebelum matanya benar-benar hilang fungsi. Aku di sini. Di balik pintu dapur yang remang-remang. Memandang Mas Alimin yang sedang rebahan di lantai ruang tengahku. Santai sekali. Hatiku berdebar kencang. Telah kusiapkan rumahku, minuman dan cemilan istimewaku untuk menyambutnya, tapi aku terlupa untuk menyiapkan hatiku. Aku tak berani mendekatinya. Tak berani menatap wajahnya yang hari itu kelihatan begitu tampan. Mungkin di pertemuan pertama kami dulu, ia sedang capek, ia habis kepanasan, ia memakai jaket yang sangat rapat, ia tak berkaos oblong santai seperti hari ini. Aku lari. Aku tak berani. Aku tak berani mengakui bahwa aku kini tengah tertawan oleh auranya. Aku tak berani menemuinya dan hanya berkutat di dapur hingga ba’da maghrib. Padahal, biasanya aku sangat antusias dan ingin tahu tentang ilmu-ilmu baru, termasuk tentang komputer. Tapi sungguh kini aku benar-benar malu dan tak mampu menghentikan debar ini.
Akhirnya setelah sholat maghrib berjama’ah di masjid, Mas Alimin, adikku Pa’ul, dan ibu ngobrol di teras. Penuh canda keakraban. Ia tertawa bebas kepada seluruh keluargaku. Ia juga masuk kamar mandi serta mengambil kue-kue tanpa malu-malu. Ia adalah laki-laki pertama di luar keluarga besar ayah ibuku yang begitu santai menganggap rumah kami layaknya rumahnya sendiri. Ditambah lagi setelah ia tahu bahwa banyak mantan muridnya saat PPL di desaku dulu yang masih ingat dan berakrab-akrab ria saat di masjid tadi, ia berkata, ”Di sini saya seakan-akan sedang di rumah. Rumah ini adalah rumah kedua saya”. Dan aku hanya tersenyum melihat ulah-ulahnya yang kocak, penuh percya diri dan keakraban dari balik keremangan dapur. Benar-benar menyedihkan, batinku menyesali kepercayaan diriku yang tak mau keluar seperti biasanya.
”Iim, keluar gih”, Ibu tiba-tiba memanggilku. Akupun bergabung dalam obrolan mereka.
”Pak Amru kok tidak kelihatan ya Bu?”, Mas Alimin bertanya.
”Iya, kan ikut sholat jenazah di masjid”, Ibu menjawab dengan rona yang berbahagia.
”Pa’ul, kamu kok gak ikut sholat jenazah. Takut ya?”, Ia menggoda adikku yang terpaut 18 bulan denganku itu.
”Bukannya takut sama jenazahnya, Mas. Tapi aaku khawatir orang-orang gak jadi nyolatin, malah minta tanda tangan ke akulah, minta aku imaminlah,dan banyak kekhawatiran yang lainnya”.
”Ha..ha... termasuk khawatir sama jenazah, khawatir gak hafal do’anya, khawatir ditagih hutangnya, dan banyaaakkk kekhawatiran yang lainnya. Iya tho?”, Mas Alimin mencoba meledek Pa’ul lagi.
”Iya. Tahu aja”, jawab Pa’ul yang segera disambut derai tawa kami bersama. Kamipun melanjutkan obrolan tentang keluarganya. Tak lama kemudian suara adzan bertalu-talu, dari satu masjid diikuti masjid-masjid yang lainnya. Mas Alimin dan Pa’ul meminta izin berangkat ke masjid.
Sholat isya’pun usai. Satu persatu jama’ah pulang. Ayah, Pa’ul, dan mas Alimin juga. Mereka segera masuk rumah. Makan bersama sambil ngobrol sedikit, diteruskan dengan acara merakit komputer. Sedangkan aku, seperti biasa harus menemani adik-adik binaanku belajar di teras rumah. Mereka heboh sekali saat mengetahui mantan guru favorit mereka itu datang ke rumahku. Tak jarang mereka membuat sensasi untuk merebut perhatiannya yang ada di ruang tengah. Tapi tak digubris. Aku hanya tertawa saja melihat kepolosan mereka itu. Kalau aku juga membuat kehebohan begitu, apa ia akan jadi perhatian lalu jatuh cinta padaku, atau malah ketakutan lantas segera lari. Aku menertawakan imaginasiku yang konyol. Kepalaku menggeleng ke kanan dan ke kiri. Saat tersadar, aku melihat berpasang-pasang mata melihat heran ke arahku.
”Ada apa. Kok semua pada bengong? Terusin gih belajarnya!”, Aku mencoba menutupi kegugupan dan rasa maluku. Belajarpun mulai kembali tertib.
”Affan, tolong lihat jamnya dong”, Aku membuyarkan konsentrasi adik-adik itu.
”Jam 20.20, Mbak Iim”
”Wah berarti kita sudah korupsi lima menit nih”, Aku mencoba mencairkan suasana. Teori komunikasi yang kubaca menyebutkan, berikan kesan hangat dan ingin tidak berpisah saat Anda harus berpisah dengan seseorang.
”Ndak apa-apa kok Mbak Iim. Pak Alimin kok ndak keluar sama sekali ya, Mbak?”, Ojik bertanya. Aku hanya tersenyum dan mengangkat bahu. Mereka tertawa. Aku benar-benar heran, mengapa anak kecil selalu tertawa, padahal yang ditertawakan itu menurutku tak lucu.
”Wah, malam ini akan menjadi malam yang panjang ya, Mbak”, Umi menyahut.
”Malam yang Indah”, yang lain menambah. Aku mengerutkan dahi. What’s they mean?
”Kenapa sih? Oh, Mbak tahu. Kalian mau bertemu sama Pak Alimin, kan?”, tawaranku diangguki kepala-kepala kecil itu. ”Tapi, kayaknya Pak Alimin sibuk. Kalian titip salam saja, barangkali?”. Kepala-kepala itu sedikit lesu. Tapi binar di mata mereka masih ada. ”Bagaimana, mau?”. Kontan mereka menjawab ”Mauuuu”. Aku melepas mereka dengan tertawa.
Aku merapikan karpet, papan tulis, serakan kertas, pakaianku, hatiku. Setelah ini aku pasti mau tidak mau harus ngobrol dengannya. Aku tak mau kecolongan hati.
”Assalamualaikum”, Aku menyapa semua yang ada di ruang tengah.
”Wa’alaikum salam’
”Sudah selesai ngajarnya, Bu Guru”, Mas Alimin menyapaku terlebih dulu.
”Sudah”, Aku tersenyum malu.
”Pak guru sendiri sudah sampai mana ngajarnya?” , Aku tak mau kalah.
”Oh. Sudah sampai Jakarta. Bu Guru mau ikut gabung?”
”Mm...m..maau”, Aku menjawab ini dengan pucat. Aduh, dia menang. Sebetulnya tak boleh ada kalah menang di sini, karena memang tak ada perang dalam hal ini.
Akupun bergabung dalam obrolan mereka. Memperhatikan tangannya yang begitu cekatan merakit komponen ini dan itu. Aku bertanya apa ini apa itu. Ia menerangkan ini itu juga.
”Ini chipset, yaitu nama untuk sekumpulan chip yang di gunakan di motherboard”
”Motherboard seperti akalnya komputer. Betul begitu?”
”Yap betul sekali.Terus yang berupa lempengan ini disebut sirkuit. Antara satu sirkuit dengan sirkuit yang lain dihubungkan dengan bridge, memory bus, dan apa ya aku lupa....”. Aku ber-Ooooh panjang.
”Yang ini pasti Mbak Iim dan Pa’ul tahu”
”Ini PC, monitor, salon, keyboard, dan printer kan? Kalau hard disk sih insyaallah kita tahu”, Pa’ul menjawab.
”Iya ya, kok aku gak tahu perkembangan kurikulum sekarang ya?’, Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan lucu. Aku tahu dia bercanda. Diakan guru komputer di salah satu STM dan salah satu universitas swasta.
”Kalau yang ini apa? Kok ketinggalan?”, Ia menunjuk lubang tipis di PC. Pa’ul mengerutkan dahi. Kedua alisnya jadi bertemu. Setelah diam agak lama tanpa hasil, ia melirikku.
”Ini CD RAM Memory alias CDR kan?”. Ia mengiyakan.
”Terus bedanya CDR dengan DDR itu apa ya, Mas?’’
”Wah aku belum tahu. Itu tools baru barangkali”, kulihat matanya berbinar-binar.
”Oooh. Terus bedanya Intel, ASUS, ECS, MSI, dan Chaintech itu apa?”
”Semuanya sama, yaitu nama produsen motherboard saat ini. Makanya kan ada istilah Intel inside kan? Itu berarti motherboard atau otak yang ada di dalam komputer tersebut adalah prduksi Intel. Dan sebetulnya ada beberapa nama produsen motherboard lainnya, antara lain Gigabyte, DFI, dan PCChips”, urainya panjang lebar. Kali ini gantian mataku yang berbinar-binar takjub. Ih, kok ada ya orang sesempurna ini. Sudah tampan, pintar, sholeh, dermawan, rendah hati, selalu ingin menjadi sosok yang lebih baik, ....wah, gawat. Ada yang tidak beres dengan memoriku. Kenapa motherboardnya penuh dengan pujian untuknya?Aku harus mendelete banyak hal dalam memoryku!
”Wah sudah pukul 21.00. Mas Alimin apa tidak dicari ibu?”, Ibuku memecah keheningan.
”Emm, iya sih tapi ini belum selesai lho, Bu”, Ia menjawab. Wah, ilmu komunikasinya bagus juga.
”Kira-kira masih lama tidak merakitnya. Karena kalau masih lama biar kapan-kapan Mas Alimin ke sini lagi. Bagaimana? Sampeyan keberatan tidak?”. Aku merasa lega dengan pertanyaan ibu. Kupikir pertemuan kedua ini adalah pertemuan terakhir kami. Dengan selesainya perakitan hari ini, maka berakhir pula mimpi indah ini. Meskipun demikian, pertanyaan itu masih meninggalkan kecemasan dalam batinku. Mas Alimin nampak berfikir keras. Mungkin ia juga sama khawatirnya denganku tentang arah kelanjutan pertemuan-pertemuan ini. Karena menurut cerita ibu ia sangat membatasi diri dengan guru-guru perempuan yang lain. Apabila ada jam kosong, maka ia lebih suka menghabiskan waktu di luar. Entah kemana.
”Iya. Insyaallah begitu lebih baik”, Putusnya. Rasanya hatiku sangat plong mendengarnya. ”Kalau begitu saya pamit dulu ya, Bu, Pak?”
”Iya. Tapi sebentar berapa ya nomor sampeyan biar saya gampang menghubungi kapan-kapan?”, Ibuku bertanya. ’Iim, catat gih”
Ia menyebutkan sederet nomor cantik. Pilihan yang bagus, batinku. Seusai menulis nomor-nomor itu aku menuliskan namanya, P. Alimin.
”Wah, kok ditulis P. Alimin sih Mbak?”, Aku mengerutkan dahi. Kupandangi tulisanku. Tak ada yang salah.
”P-nya diganti M aja, Mbak”. Mendengarnya aku tersipu-sipu. Ternyata kamu suka mendramatisir suasana juga ya?
”Oh. M-nya itu Muhammad kan?”, Aku berpura-pura tak tahu maksudnya bahwa M itu berarti Mas. Ia seperti ingin meralat, tapi diurungkannya.
”Iya”, Jawabnya cekak dan sedikit syok.
Maaf ya aku ngecewain kamu. Aku tak mengimbangimu. Aku terlau malu. Aku memang terlalu naif dalam urusan yang satu ini. Urusan cinta.
Iapun pulang, menyisakan sesak di dada. Aku telah meredupkan sedikit binar yang mulai ada. Tapi memang ini kan yang aku inginkan? Apa aku terlalu ketat membentengi diri? Tapi ini juga terlalu cepat. Malam itu aku berdialog dengan diriku. Mungkin, puisi ini mampu menggambarkan perasaanku malam itu.

Jiwaku adalah perang
Dalam Siang
Dalam malam
Dan aku tepat berada di tengah-tengahnya.

*********--------------*********

VI. BIDADARI DALAM MIMPINYA
Lusanya, aku sibuk menyiapkan surprise untuk ulang tahun sahabatku yang sedang belajar di UIN Malang, yaitu dengan kedatanganku di asramanya tanpa konfirmasi sebelumnya sambil membawa blackforest, kesukaannya. Aku gembira sekali sepanjang pagi hingga sore itu. Tapi tidak, seusai magribnya.
Saat ayah dan Pa’ul pergi kemasjid, dan tinggal aku dan ibu di rumah, ibu bercerita bahwa tadi siang Mas Alimin bercerita tentang alasannya bisa menjadi sosok sebaik saat ini.
”Ternyata Mas Alimin bisa sebaik ini baru-baru ini saja”, ibu mengawali cerita.
”Maksudnya?”
”Tadi di sekolah Mas Alimin bercerita kalau dulu ia adalah anak yang sangat nakal. Bahkan sampai meragukan keberadaan Tuhan pula”
”Masa sih, Bu”
”Tapi menurut ibu itu adalah proses. Nyatanya ia berhasil melewati masa-masa berat itu. Dan pencerahan itu datang saat ia melihat mimpi yang sama selama tiga hari bahwa dinding kamarnya jebol. Setelah itu ada sorot cahaya yang sangat menyilaukan matanya. Di balik cahaya itu nampak sosok wanita yang semakin lama semakin jelas. Posisi perempuan itu miring. Dalam artian Mas Aliimin melihat permpuan itu dari arah samping. Wanita itu sangat cantik, sehingga Mas Alimin menyangkanya bidadari”, Ibu berhenti sejenak. Mataku memanas, hatiku sesak, tapi aku tak mau ibu tahu bahwa aku menyimpan rasa yang asing ini. Aku sendiri tak berani menyebut rasa macam apa itu. Karenanya aku tak mau seorangpun tahu. Untuk menyembunyikan mataku yang kian memerah, aku mencoba rebahan di paha ibu. Setidaknya bila aku harus menangis nanti ibu takkan melihat derainya.
”Saat itu Mas Alimin ingin mendekatinya. Tapi wanita itu seakan-akan mengisyaratkan bahwa belum waktunya ia mendapatkan wanita itu”
”Apakah Mas Alimin masih ingat wajah wanita itu?”, Aku bertanya untuk meredam perasaanku yang makin berantakan.
”Iya. Masih. Katanya, wanita itu seperti non Asia, ya mungkin kelompok Arab atau Eropa begitu. Bahkan rambutnyapun masih diingatnya dengan jelas”
Air mataku benar-benar berderai kini. Tapi ibu tetap tak tahu.
”Saat Mas Alimin bangun, ia mentakwilkan bahwa wanita itu adalah bidadari yang akan didapatnya bila ia tetap dalam kondisi baik. Dia juga mengartikan kalau usianya saat itu mungkin hanya menghitung hari. Karenanya ia bertaubatan nasukha”
Aku mencoba menghentikan tangisku. Aku juga mencoba menhapus sisa-sisa air mataku dengan usapan yang samar.
”Ya sudah. Ayo jangan malas-malasan. Kamu atau ibu yang ambil kue pesananmu kemarin?”, Ibu menggoyang-goyang badanku. Akupun bangkit. Untung airmataku sudah kuhapus, kuharap mataku tak sedang sembab sehingga ibu tahu rahasia ini.
”Ibu sajalah. Kan habis ini ada Rendra. Kalau Pa’ul pergi aku pergi siapa yang akan mengajari Rendra?”, Aku berargumen agar tidak usah keluar.
”Ya sudah. Nah itu Pa’ul sudah datang”
Tak berapa lama ibu dan Pa’ul berangkat mengambil kue, disusul Rendra yang datang di belakang mereka. Aku dan Rendra segera tenggelam dalam angka-angka dan kalimat demi kalimat.
”Mbak Iim, kenapa?”, Rendra mebuyarkan lamunanku yang tanpa kusadari hadir.
”Eh kenapa?”, Aku balik bertanya
”Itu matanya memerah dan berkaca-kaca. Mau nangis ya”
”Masa’ sih. Mataku panas, mungkin”
”Ya sudah, kita belajarnya sudahan saja ya, Mbak”
”Lho, memangnya tugas-tugasmu sudah?”
”Yang untuk besok sudah. Yang sedang kita kerjakan ini untuk minggu depan. He..he...he...”
”Ya terserah kamunya saja. Bener ndak mau diteruskan belajarnya?”
”Iya. Cukup. Mbak Iim juga biar istirahat dulu”
”Alah, alasan. Mbak Iim lho ndak apa-apa. Kamunya saja yang mau pulang cepat”
”Iya..he...he...he...”
Setelah membereskan peralatan tulisnya, Rendra kuantar ke depan rumah. Tanpa menunggu bayangannya menghilang di balik tikungan depan, aku segera masuk rumah. Di situ aku langsung menangis selama lima belas menit. Karena takut ketahuan ayah, ibu, atau Pa’ul, aku memutuskan untuk menyudahi acara menangis ini. Aku menuju kamar mandi untuk berwudhu. Tapi ternyata aku masih belum mampu membendung derasnya pedih hatiku yang termanifestasi menjadi air mata. Aku menangis lagi selama kurang lebih sepuluh menit. Setelah agak lega, aku berwudhu. Setelah berwudhu aku menangis lagi. Kemudian sholat Isya’. Dalam sholat aku masih sesengukan. Bahkan tangisku akhirnya pecah seusai sholat tanpa bisa kuhentikan lagi. Kenapa aku harus menangis? Kenapa hatiku sesakit ini? Padahal beberapa jam lalu aku masih ragu perasaan apa ini! Padahal beberapa jam yang lalu aku masih bertahan bahwa ini bukanlah cinta! Ini hanya efek sensasi cerita-cerita ibu! Dan mungkin aku bukan jodohnya! Aku tidak secantik wanita dalam mimpinya! Dan kalau memang kecantikan itu hanya sebuah simbol, belum tentu derajat, hatiku, kualitasku secantik dan sebaik wanita itu! Aku terus menangis sepanjang petang itu.
Di luar kudengar deru motor Pa’ul. Akupun membersihkan jejak-jejak air mata dan menata riak wajahku. Ini kulakukan bukan lantaran karena takut orang melihatku menangis, tapi Lantaran aku tak ingin orang-orang di sekitarku menjadi sedih karenaku.

********---------------*********


VII. KUNJUNGAN KEDUA
Bila pertemuan kedua kemarin berlangsung hari Rabu, pertemuan ketiga dan insyaallah selanjutnya akan dilakukan setiap hari Kamis. Pasalnya, ia telah menyetujui tawaran ibu untuk memberikan les komputer pada Pa’ul. Seperti yang lalu-lalu aku sibuk membersihkan rumah dan mempersipkan makanan yang nikmat dan cocok untuk perutnya. Karena aku tahu ia mengidap penyakit maagh bahkan juga memiliki gejala hepatitis.
”Nah selesai sudah rakitannya. Sekarang kita coba nyalakan ya?”, ujarnya setelah berhasil menyelesaikan rakitan.
”Alhamdulillah bisa”, Ibuku berbahagia. ”Sekalian dicoba gih. Lumayan kan ilmunya sudah bisa dicicil”
”Kredit dong”, Pa’ul menimpali.
Aku tersenyum dari arah teras mendengarkan percakapan mereka bertiga.
”Nah, kita bisa memulai program dari Windows start ataupun dari menu di desktop ini, ngeklik mouse-nya juga ada dua macam, yaitu kanan dan kiri, kanan untuk..bla..bla..bla..”
”Mbak Iim, PR kita sudah selesai. Kita main games yuk”
”Oke. Kalian mau main apa?”, Aku menawari mereka. Selain untuk mengasah daya inovasi dan kreativitas mereka, tawaran atau bargain ini bisa menjadi feedback agar mereka merasa dihargai dan berani.
”Gimana kalau kita main Binggo aja?”, Tawar Ojik.
”Oke” Yang lain mengamini berjama’ah.
Suasana yang semula hening berubah secara drastis. Riuh rendah suara anak-anak memecah kegelapan malam. Kompleks rumahku seakan lebih hidup karenanya. Jam 20.15 kusudahi permainan dan anak-anak segera pulang secara beriringan.
”Assalamu’alaikum, Ya Ahlal Jannah ”, Aku mengucapkan salam
”Wa’alaikum salam wa rahmatullah, Ya Ahlal Qubur ”, Jawab Pa’ul dan Mas Alimin secara bersamaan. Mendengarnya aku menjadi malu sekali. Pasti mereka sepakat untuk menggodaku sebelumnya.
”Maksudnya?”, Aku pura-pura marah.
”Hi..hi..Maksud loeh”, Mas Alimin menirukan ucapanku. Meralat mungkin. Tapi aku tak biasa memakai kata elo dan gue, makanya aku memilih kata Maksudnya. Aku masih berpura-pura marah. Kini, bibirku ku manyun-manyunkan.
”Idih.. gitu aja marah. Kalau suka marah lama-kelamaan jadi tua terus jadi ahli kubur lho”, Imbuhnya kemudian. Ya iyalah, semua orang lama-kelamaan pasti akan tua, tanpa harus marah sekalipun dan setelah tua akan meninggal dunia.. Aku yang manyun jadi tersenyum dengan sukses. Hmm, jadi kesitu toh arah gurauannya tadi.
”Makasih ya sudah mengingatkan aku”, Ucapku singkat.
”Ya sudah gih, kok jadi bercanda mulu sih. Ini cara menebalkan garis tabel di Microsoft Excel itu gimana caranya?”, Pa’ul pura-pura ikutan marah. Kamipun tertawa bersama. Aku masuk ke dapur dan kulihat ibu sedang membuat jus alpukat.
”Iim bantu ya, Bu”
”Ndak usah. Ini sudah selesai kok. Habis ini kamu yang bagian anterin aja, terus ikut belajar ya”
”Lho, tapi akadnya untuk memberi les pada Pa’ul saja. Masak aku ikut-ikutan Bu”
”Kamu takut kita korupsi ya. Kamu tahu ndak, ini dia sendiri yang nawarin”
”Oooohhh”
”Ya sudah tolong ini kamu kasih susu kental manis cokelat, terus kamu bawa ke depan, oke?”, Ibu menjentikkan telunjuknya ke bahuku lalu membuat bulatan tanda OK. Aku tertawa melihat tingkah ibuku yang terkadang masih terasa gaul.
”Ini, diminum dulu”, Aku tidak memberikan jus alpukat itu secara langsung, tapi hanya menaruhnya di meja dekat komputer.
”Terimakasih. Ini tidak beracun kan?”
”Tidak. Hanya sedikit dimantrai”, Kulihat wajahnya kaget mendengar uraian ibu yang tiba-tiba muncul. Aku tertawa. ”Ya ndak lah’, tambah beliau.
”Tidak harus bayar juga kan?”
”Ya Ndak lah”
”Ini pasti jus spesial”
”Iya karena ada susu krim cokelatnya kan?”
”Iya. Tapi ada yang lainnya juga, yaitu saya melihat kalau jus ini ada telurnya”
”Mas Alimin tidak sedang mengindoktrinasi kami kan?”
”Maksud Ibu?”
”Ya Mas Alimin tidak sedang memberi kami endok , teri, dan nasi kan?”
”Ya ndak lah”.
Aku dan Pa’ul tertawa geli mendengar dialog ibu dan Mas Alimin yang mulai ngaco.
”Monggo , belajarnya diteruskan”, Ibu menutup canda.
Kamipun kembali belajar. Belajar yang serius, tapi penuh canda tawa keakraban. Mas Alimin juga menceritakan seputar dunia kampusnya dulu yang memiliki dua super power, blok kanan dan blok kiri, blok agamis dan blok agak atheis. Dia menceritakan bahwa ia sempat masuk di blok kiri hingga sampai sedikit meragukan keadaan Tuhan, untungnya ada kejadian tawuran antara dua blok. Parang, linggis, dan batu-batuan melayang di udara mencari korban, ia salah satunya. Pelipisnya sempat terhujami batu tajam. Ia meringis memandang sekitar, berharap teman-teman se bloknya menyelamatkannya. Tapi semua sibuk melarikan diri sendiri. Bloknya kalah. Ia putus asa. Matanya mulai mengabur saat ia melihat bersosok-sosok musuh memapah dirinya. Dan saat dirinya siuman, ia tersadar bahwa teman-temannya bukanlah teman yang baik. Sejak saat itu ia bergaul dan ikut dalam liqo’-liqo’ kampus yang notabene garapan anak-anak Blok Kanan. Kesadaran yang sejatipun akhirnya menyentuh hatinya. Ia bertaubatan nasukha.
”Hik.. hik...hik...”, Kami mendengar suara tersedu. Kami mencari asal suara, tapi nihil.
”Suara siapa ya?”, Kami saling pandang dengan ngeri. Bertiga kami komat-kamit membaca ta’awudz.
”Oh ya ini aku bawa CD baru tentang sakaratul maut sekalian kita praktek cara membakar atau burning, bagaimana?”
Aku dan Pa’ul mengangguk yang disusul langsung dengan praktek. Sebagian isi CD membahas tentang seorang anak yang berubah wujud menjadi ikan pari karena durhaka pada ibunya, adapula anak yang berubah wujud seperti tikus karena dikutuk ibunya pula.
”Kemungkinan anak yang dikutuk ini adalah perempuan”, Mas Alimin menerangkan.
”Tahu dari mana?”, Pa’ul bertanya dengan mimik heran. Ia mendekatkan kepalanya pada layar monitor.
”Dari ini. Dari susunya”, Mas Alimin menunjuk gambar tanpa malu-malu.
Pa’ul semakin mendekatkan matanya pada monitor. Mimiknya serius memperhatikan garis-garis gambar, lalu disusul dengan anggukan-anggukan. Nampaknya ia puas sekali bisa menemukan garis yang dimaksud Mas Alimin. Tapi tak demikian halnya denganku. Aku yang dasarnya pemalu, segera menunduk menyembunyikan rona wajahku yang entah memerah atau memucat.
Tlululut ...tlululut...thululut.....
Aku beranjak menuju meja telepon yang tak masih satu ruangan dengan komputer dengan perasaan lega dan suka cita. Ah, akhirnya selamat juga aku keluar dari forum yang sempat membuat adrenalinku kacau.
”Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikum salam”, Suara dari seberang menjawab.
”Iim ya? Aku Nadien. Kamu lagi sibuk?”, Suara Nadien memelas. Sontak aku terkejut. Nadien yang biasanya cerah ceria kini layu, apakah ia ada masalah?
”Ng.. nggak apa-apa. Ada apa?”
”Aku mau curhat. Aku kesal sekali sama eyang putriku. Beliau itu ngelarang aku untuk beraktifitas sesudah maghrib. Padahal kamu tahu kan aku di rumah itu sendirian Tak ada teman sebayanya. Makanya aku sering bengong sendiri, bahkan kadang-kadang aku juga suka ngomong dengan bayanganku sendiri di cermin. Di rumah aku juga selalu disuruh-suruh dan disalahkan. Aku kesal sekali Im. Rasanya aku tak dianggap di sini”, Suara Nadien semakin lama semakin serak lalu terdengar pula isak tangis di ujung pembicaraan. Aku berfikir keras sebelum menjawabnya. Aku harus tahu perasaan dan latar belakang Nadien sebagai seorang anak yang lahir dari orang tua yang kurang rasa saling cintanya, sibuk dengan karirnya, sehingga harus ditipkan kepada kedua eyangnya sejak kecil.
”Emm gimana ya? Kali aja itu perasaanmu. Karena ada kalanya kasih sayang tak ditunjukkan dengan sesuatu yang lembut dan menyenangkan, tapi sebaliknya. Dan mungkin eyang putrimu termasuk orang yang demikian, agak sulit mengekspresikan rasa sayangnya seperti orang pada umumnya”
”Tapi itu gak sekali Im. Ini berulang-ulang kali terjadi. Aku capek. Aku jadi berfikir, jangan-jangan aku phobia pada banyak hal juga karena salah asuhan mereka”, Nadien meninggikan suaranya sedikit sambil terus menangis.
” Ya sulit juga sih kalau seperti ini. Tapi kata ibuku, memang banyak orang dewasa yang berkonfrontasi dengan anaknya atau cucunya karena jarak usia yang terpaut sangat jauh. Sedangkan pengalaman keduanya sudah banyak berbeda karena zaman yang berbeda pula. Bila tidak ada usaha untuk saling mengalah dan memahami, maka situasinya memang bisa sangat sulit”, Aku berkata dengan hati-hati.
”Jadi, maksud kamu aku harus mengalah dan berusaha memahami eyang? Itu sudah sering aku lakukan Im. Tapi eyang aja yang tak pernah mau melihat dari sisi aku”
Aduh, kok yang ditangkap dari kalimatku yang itu saja ya? Terus kaliamt sebelumnya masuk gak ya? Atau memang timingnya yang kurang tepat? Nadien mungkin masih perlu merasa dibela.
”Berarti saat ini eyangmu yang salah. Kamu boleh berontak dalam hal ini. Tapi kamu harus ingat, jangan sampai sikap berontakmu itu anarkis, seperti banting meja, banting piring, banting gelas, atau banting tulang”
”YA nggak lah. Kamu ini ada-ada aja”
”Ya pokoknya tetap ambil hati eyangmu dengan sikap manismu. Kali aja eyangmu bisa luluh lihat ketawadhu’anmu. Banyak lho yang bilang kalau kemarahan bisa diluluhkan dengan kelembutan dan air mata”
”Itu kan yang biasa dipakai wanita untuk meluluhkan pria?”
”He..he..he...iya juga sih. Tapi banyak juga yang mempraktekkannya pada sesama jenis dan hasilnya topcer”
”Hi...hi...hi... nggak tahu lah Im. Tapi makasih ya kamu sudah mau dengerin curhatku”
”Iya sama-sama”
”Tapi nggak biasanya kamu sebijak ini. Ada apa? Lagi bahagia ya?”
”Pertama, makasih buat pujian sekaligus penghinaannya. Kedua, ya.. mungkin kamu betul, aku lagi bahagia kali ya?”
”Bahagia kenapa?”, Suara diseberang mulai terdengar cerah. Nampaknya mendung sudah tak menghalangi mentari untuk bersinar lagi.
”Top secret dong”
”Fall in love ya? Ma siapa hayo?”
”Nggak la! Ini lho aku cuman ada tamu yang dari tadi beri aku banyak ilmu, kenyamanan, dan kebahagiaan”
”Cowok atau cewek? Kenalin dong”
”Ya, do’ain aja one day I can do it!”
”Oke deh. Amin. Oh ya hampir lupa Jum’at depan ada rapat presidium HMI jam 13.30 ontime di DPR. Ya sudah ya Im, aku tutup dulu teleponnya, takut dimarahi eyang kalau tahu pulsanya membengkak”. Aku tersenyum mendengar istilah DPR ala IAIN, yaitu Di bawah Pohon Rindang alias di lapangan depan masjid kampus.
”Iya, makasih juga kamu sudah percaya sama aku sekalian maaf kalau aku gak bisa kasih solusi manjur buat masalahmu”
”Nggak apa-apa, ini sudah lebih dari cukup. Sudah ya. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikum salam”
Kuletakkan gagang telepon, lalu sedikit termenung. Ah, alhamdulillah Allah meletakkanku di keluarga dan lingkungan yang kondusif. Pasti berat sekali kalau aku jadi Nadien, meski banyak juga sih tokoh-tokoh besar yang hidupnya memang berat. Lalu bagaimana pula dengan orang-orang yang tak pernah belajar agama sehingga menjadi pencuri, pengkorupsi, penjudi, dan sebagainya untuk mempertanggung jawabkan amalannya di akhirat kelak? Apa mereka dibebaskan karena ketidak tahuannya? Kok enak sekali? Kenapa pula ia tidak berusaha mencarinya? Dan bukankah memang sunnatullah ada kebaikan dan kejahatan? Ah, pusing sekali aku memikirkannya.
”Duh serius amat teleponnya! Sampai termenung-menung segala! Dari pacar ya? Kok aku gak ada yang telepon ya?”, Mas Alimin mencerocos menggoda.
Aku tidak menjawabnya lantaran malu. Aku hanya tersenyum lalu ke dapur untuk mengambil jus.
”Yah, lari. Dasar cewek pemalu!”, Pa’ul mengolok-olokku. Hrrr, nih anak pakai bongkar rahasia lagi! Aku kan malu! Jangan-jangan nanti hubungan kami kurang nyaman lagi karena ia curiga atau khawatir lagi!

********--------------**********


VIII. BERJUBAH
Jum’at aku tiba di kampus tepat jam 13.30. Tapi, lho kok masih sepe-sepi aja ya?
”Lho, Yang lainnya mana Mbak? Kok hanya tiga ekor?”, aku menyapa Mbak Azka dan Nadien setelah mengucap salam tentunya. Pertanyaanku hanya dijawab dengan bahu yang diangkat.
”HAH!!Im, beneran itu kamu? Kenapa pakai jubah?”, Nadien memelotot tak percaya.
”Iya”, Aku menjawab cekak tanpa menanyakan pendapat mereka karena memang aku merasa ingin memakainya tanpa harus ada pendapat orang di sekitarku. Toh, ini hanya ’perkenalan’ untuk mereka, sehingga bila suatu hari nanti aku sudah mantap untuk berjubah insyaallah aku ingin memakainya untuk seterusnya. Lagipula aku tak punya alasan yang sangat penting kenapa aku berjubah hari itu selain dari kereflekan mengikuti naluri. Dan alasan sedemikian akan sulit diterima komunitasku yang serba rasional ini.
”Eh, itu Kak Irham cs sudah datang”, Aku mengalihkan pembicaraan.
Dan ternyata tatapan serta pertanyaan seperti Nadien barusan bukanlah yang terakhir. Semua pengurus HMI yang hadir hari itu juga berlaku demikian.
”Ini untuk sementara atau seterusnya, neng?”, Kak Samson bertanya.
”Mungkin hanya sesekali dulu, Kak”.
Yang bertanya hanya ber-Ooooh. Ada pula yang berkomentar:
”Kamu pantes lho kalau berjubah, Im”
”Iya, soalnya kan kamu kalem. Coba kalau Tantri yang pakai. Kampus pasti bakal heboh”
Ah, senangnya. Mereka memang teman-teman yang selalu mendukung anggota.

*********--------------*********

Sabtu itu aku sendiri. Pa’ul sedang ke rumah temannya, ayah sedang bekerja, ibu yang bisanya libur mengajar harus datang ke sekolah karena ada rapat. Aku terpekur dalam sujud istikhoroh. Aku menangis panjang di dalamnya.
Ya Azizu, ya Quddus, ya Salam, ya Lathief, ya Alim, ya Hakim, ya Sami’ud Du’a’. Jagalah izzahku dan izzahnya. Jangan biarkan kami terperdaya fitnah dunia akhirat yang menyilaukan kami dari jalanmu. Berikanlah petujukMu agar kami tak melanggar syariatMu.
Aku bangkit dari sujud. Bersimpuh menggapai khusyuk dalam tasyahud akhirnya. Menutupnya dengan dua salam. Lalu berdzikir dan melafalkan do’a istikhoroh.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohonkan pilihan menurut pengetahuanMu dan memohonkan penetapan dengan kekuasaanMu, juga memohonkan karuniaMu yang sangat besar. Karena sesungguhna Engkaulah Yang Maha Berkuasa sedangkan aku tidak.Engkaulah Yang Maha Tahu sedangkan aku tidak mengetahui apa-apa. Engkau mengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jikalau Engkau mengetahuai bahwa urusanku untuk menikah dengan alimin ini baik untukku dalam agamaku, kehidupanku, beserta akibatnya di waktu dekat dan belakangan, maka taqdirkanlah ia untukku dan mudahkanlah serat berkahilah aku di dalamnya.
Sebaliknya jikalauEngkau mengetahui, bahwa urusan menikah dengan Alimin ini jelek untukku, dalam agamaku, kehidupanku, beserta akibatnya di waktu dekat maupun masa depan, maka jauhkanlah hal itu daripadaku dan jauhkanlah aku daripadanya, serta takdirkanlah untukku yang lebih baik dari itu di mana saja adanya, lalu jadikanlah aku ridho dengan takdirMu itu.
Aku menangis dalam diam lisan, namun bergemuruh dalam jiwa. Aku merajuk Rabb-ku. Aku khawatir bila anganku tidak sama dengan anganNya. Aku terus berdzikir dan berdzikir. Tapi, tak ada yang terjadi. Tak ada kemantapan dalam hati untuk cenderung pada salah satunya. Aku masih merasa bahwa aku masih ingin merenda hari dengan Mas Alimin, bersama bermunajat panjang tiap sepertiga malamya, saling menguatkan di kala lemah, dan saling berbagi dalam suka dan duka. Kucoba untuk menepis rasa walau sementara demi menangkap hidayah dari istikhoroh barusan. Tapi hanya asa kudapat sia-sia. Rasa itu tak juga hilang.
Aku gelisah tak bisa menetralkan suasana hati, maka kuambil al Qur’an. Kata ustadz-ustadzahku, kita bisa beristikhoroh dengan al Qur’an. Bila kita membuka al Qur’an dengan terserah, lalu mendapati arti ayat baris pertamanya baik, maka baiklah urusan kita menurut Allah, sebaliknya bila ayat itu berarti jelek, maka jeleklah urusan itu. Aku mantapkan hati untuk menyerahkan segalanya pada Rabbku. Apapun hasilnya nanti. Akan kuaslamkan diri di dalamnya. Dengan gemetar tanganku mulai membuka dan membaca barisan arti. Baik. Aku belum mantap. Kucoba lagi, buruk. Kenapa berbeda? Kucoba lagi, buruk. Dan kucoba untuk terakhir kalinya, buruk. Allah, ridhokanlah aku untuk menerima keputusanMu. Aku tersenyum di sela-sela derai tangis. Telah kuketahui jawabanMu. Jadikanlah aku mampu menjaga amanatMu. Karena itu pastilah berat. Karena pastilah aku akan sering bertemu dengannya sejak saat ini.

**********--------------**********

”Iim, ada telepon!”, Suara ibu mengusik tidurku. Aku bangun, mengucek-ngucek mata, dan melihat jam weker. Jam 20.00. Kepalaku terasa pening dan berat.
”Kamu masih pusing, Im?”, Ibu bertanya lembut. Aku mengangguk.
”Makanya jangan terlalu memforsir tenaga untuk kuliah dan organisasi, belum lagi begitu sampai di rumah kamu harus belajar dengan anak-anak. Nanti obatnya diminum lagi ya?”. Aku kembali mengangguk dengan lemah. Bayangan hasil istikhoroh, seabrek kegiatan HMI selama seminggu terakhir ditambah agenda dua minggu kedepan kembali hadir.
”Assalamualaikum”, Aku menyapa penelpon.
”Wa’alaikum salam. Fathima ya? Ini aku Ibnu Ali”
”Oh”
”Bagaimana kabarmu, kata teman-teman kamu sakit?”
”Iya, tapi hanya pusing mungkin gejala flu”
”Kamu jangan terlalu capek, jangan terlalu mikir yang berat-berat!”
”Iya, terimakasih”
”Apa yang bisa aku bantu saat ini?”
”Tidak. Tidak ada. Perhatianmu saat ini sudah sangat cukup buatku. Terimaksih”
”Tapi aku ingin membantu”
”Tapi tak ada yang perlu dibantu. Mungkin lain kali. Kamu tidak keberatan kan kalau lain kali aku mintai tolong?”
”Untuk kamu kapanpun aku siap membantu”
Nyut...nyuuuttt...nyuuuuttttt.....kepalaku semakin berat.
”Terimakasih. Kamu memang teman yang bisa diandalkan”
Hening.
”Fath, boleh aku tanya?”
Apa ya yang akan dia tanyakan? Apa ia akan mempertanyakan status hubungan kami? Apa dia berkeberatan kusebut teman barusan itu?
”Iya. Boleh”
”Kenapa kemarin itu kamu berjubah?”
Duenggg!
”Kenapa?”
”Aku takut kamu berubah”
”Berubah bagaimana?”
”Ya... nanti kamu jadi jauh sama aku. Aku kan cowok. Aku kan tidak alim”
Aku tertawa mendengarnya.
”Subhanallah. Kalau masing-masing bisa menjaga diri, tak ada alasan aku memutus silaturrahmi. Makanya aku ingin bisa menjaga diri kita masing-masing. Lagipula aku berjubah masih kemarin saja, aku belum bisa istiqomah sekarang”, Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Tanganku juga memijat-mijat kening yang kian berat.
”Syukur dech kalau begitu. Aku akan mencoba membantumu untuk menjaga diri”
”Seperti?”
”Aku akan ikut bela diri untuk menjaga diri kita”
Aku tertawa lagi. Aku tahu dia bercanda.
”Terimakasih ya. Dengan tidak berlebihan dalam bercanda, tidak memaksaku untuk dibonceng, menjaga jarak saat kita duduk, tidak menyentuhku, itu adalah bantuan yang sangat berarti buatku”. Meski aku tahu ia faham maksudku menjaga diri masing-masing, tak urung aku harus mempertegasnya di sini.
Lagi-lagi hening.
”Jadi, kenapa kemarin itu kamu berjubah?”
”Emmm... jujur saja, aku sendiri tak tahu pasti alasanku ke kampus dengan berjubah. Aku hanya mengikuti nuraniku. Padahal kemarin-kemarin aku sangat enggan untuk berjubah dan cita-citaku saat SMA dulu aku akan ke kampus dengan berjubah bila sudah semester lima saja”
”Untuk seterusnya?”
”Inginku seperti itu. Tapi, entahlah....”
”Apa ada pihak-pihak tertentu yang membuatmu berjubah kemarin itu?”
”Maksudnya?”
”Karena ada kalanya seseorang bisa berubah saat dia mencintai seseorang”. Aku mendengar suara diseberang sana seakan berat mengucapkan kalimat ini. Ah, Ibnu Ali, aku tahu kamu baik dan perhatian kepadaku. Apa benar dugaanku selama ini kalau kamu ada i’tikad baik kepadaku? Ali! Hmmm... Alimin.....Alim....Ali....Ali......?! Hah! Kenapa aku baru menyadarinya. Meskipun kata dasar Alimin itu Alim, tapi kalau direka-reka itu bisa membentuk kata Ali juga kan? Mungkinkah Mas Alimin yang hanief, pemberani dan cerdas adalah Ali yang selama ini kutunggu?
”Fath, kenapa diam?”, Suara di seberang menyadarkanku. Ah, jahat sekali aku ini. Aku kan sedang berbicara dengan Ibnu Ali yang sangat perhatian padaku, kenapa aku malah memikirkan orang lain.
”Ah, tidak. Hanya saja kepalaku terasa sakit sekali”. Aku tidak berbohong, kepalaku memang sangat sakit.
”Ya sudah kamu istirahat saja dulu”
”Tapi, pertanyaanmu?”
”Tidak usah. Mungkin kamu sendiri belum bisa menjawabnya. Lagipula saat ini kesehatanmu lebih mengkhawatirkanku daripada pertanyaan barusan”
”Terimakasih banyak ya”
”Sama-sama. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikum salam warahmatullah”. Dengan terhuyung aku rebah di atas kasur dan segera terlelap tanpa minum obat.
Tak berapa lama tubuhku terguncang.
”Mbak Iim, ada telephone”
”Eh?”, dengan kesadaran yang masih sangat limit aku berusaha mencerna kata-kata Pa’ul.
”Dari Ali Mahmoed”, Pa’ul mengguncang-nguncang tubuhku lagi. Aku terbatuk-batuk. Kepalaku berat sekali. Badanku panas dingin.
”Bilang aku sakit atau apa gitu”
”Bener?”, Aku mengangguk. ”Ya sudah”. Pa’ul siap-siap beranjak saat kuminta ia bawakan juga obat dan air putih dengan segera.
Selang beberapa menit, Paul kembali dengan obat dan air putih.
”Amoxcilin dan Ampicilin kan?”, dia bertanya.
”Iya. Makasih ya!”, Kuterima obat dan air putih yang segera raib kemudian. Pa’ul memandangiku. Aku balik memandangnya.
”Iya..aku tahu...aku harus istirahat dari aktivitas-aktivitasku kan?”, Aku mengulang nasehat yang banyak kudengar hari itu.
”Sok tahu. Aku bukannya mau ngomong itu”
”Terus?”
”Ali Mahmoed tadi titip salam dan do’a. Katanya semoga lekas sembuh”
”Ooooh”
”Dia juga pamit. Katanya ia diterima bekerja di sebuah universitas swasta Poso”
”Poso? Bukannya di sana sedang konflik?”
Pa’ul megangkat bahu.
”Ya. Makasih ya”. Kenapa ya dia menerima pekerjaan di daerah konflik?Semoga Allah selalu menjaganya lahir dan bathin. Amin.
Pa’ul masih memandangiku.
”Kenapa lagi? Kepalaku pusing nih”, Aku memberikan gelas padanya sebagai tanda pengusiran secara halus. He...he...he....
”Aku heran, kenapa ya akhir-akhir ini mbakku banyak yang telefon. Padahal mbak Iim kan ndak ada cantik-cantiknya sama sekali?”. Matanya menyipit, ibu jari dan telunjuk berbentuk huruf V ia taruh di dagu. Pa’ul berlagak berfikir keras.
”Iihhh, bawa gelasnya gih. Kurang asem kamu ya! Mbaknya dijelek-jelekin. Kalau aku jelek, adiknya tambah jelek”
”Nyatanya, ndak tho. Ya...aku harus sadar lah orang jelek akan marah bila dibilang jelek”
”Huh, dasar adik durhaka. Kukutuk jadi orang paling tampan di dunia baru tahu rasa kamu nanti”
”Ho..ho...ho...orang jelek lagi ngamuk. Pergi ah.....”.
Aku tertawa melihat ulah adikku yang satu ini. Kupandangi punggungnya yang berlalu. Aku benar-benar bersyukur ada di keluarga ini.
Mataku menyapu seisi kamar, menekuri langit-langit dan ubinnya. Semuanya serba putih. Bagaimana kalau kucat warna soft pink atau merah marun ya? Lumayan kan ganti suasana. Tapi, kenapa ya aku ingin dua warna itu. Jangan-jangan....
Aku mengambil diary. Kutulis beberapa penggal kalimat.
13 Oktober 2007
Dear Al kutayb.
Jum’at kemarin aku ke rapat HMI dengan berjubah. Aku tak tahu pasti kenapa aku seberani itu hari itu. Tapi, Ibnu bilang bahwa adakalanya orang berubah karena mencinta seseorang. Apa aku termasuk kategori ini? Tidak! Ini menyalahi prinsipku!
Al Kutayb, aku juga sempat kepikiran apakah Mas Alimin adalah Ali yang selama ini kutunggu? Ali yang selalu kupinta di ujung do’a sejak SMP dulu? Karena sungguh banyak sekali kesamaan diantara kami, juga banyak sekali kebetulan-kebetulan yang membuatku tidak mudah untuk mencuekkannya. Ya, kebetulan-kebetulan yang entah benar adanya atau hanya aku yang menghubung-hubungkannya. Katakanlah, kami bertemu di awal Syawal di awal November yang notabene adalah tanggal lahirku. Bukankah dulu aku berkeinginan untuk menikah di bulan Syawal atau di hari ulang tahun salah satu dari kami. Lalu, meskipun aku belum pernah tahu wajahnya, di pertemuan yang pertama dulu aku bisa langsung mengenalinya hanya dengan memandang matanya, mata yang hitam tajam hingga membuatku tertawan lekat dalam pekatnya. Pandangan yang sangat lama bila dibandingkan dengan pandanganku pada orang laki-laki lainnya. Dia juga membawa banyak wacana dan cita-cita yang dulu juga milikku. Hanya saja di hadapannya aku sering tidak mengakui kesamaan-kesamaan pola berfikir kami.
Aku takut bila benar-benar jatuh cinta padanya, Al, padahal kan hasil istikhorohku kemarin jelek.

Kepalaku kian berat. Lalu semuanya menjadi gelap lenyap. Dan aku terlelap senyap. Di luar burung hantu hinggap di atap. Malampun kian merayap.


*********---------------**********

IX. AISITERU!!!
Siluet merah, mega-mega jingga berarak, dan camar-camar yang sesekali lewat adalah hiburan tersendiri setiap kali aku terjebak macet Surabaya sore. Polusi yang berasal dari asap knalpot dan bising deru knalpot maupun suara geram ibu-ibu yang satu bis denganku membuat kepalaku yang belum sembuh betul kian pening.
Ah, manusia. Kamu sungguh unik. Bukankah kamu yang mencipta semua polusi, kebisingan, dan macet ini, lalu mengapa kini kamu yang harus marah? Bukankah semua keputusan ada akibat, dimana ada aksi disitu akan ada reaksi. Apa yang kamu marahkan? Kondisi kinikah? Bukankah bubur tak bisa menjadi nasi? Mengapa tidak merubah pola pikir bahwa apa yang akan kita lakukan dengan bubur itu? Kita buang, kita makan langsung, atau kita tambah racikan supaya tambah nikmat saat disantap? Mengapa tidak kamu matikan sejenak knalpotmu saat lampu merah atau macet yang sangat padat? Mengapa kamu tak meredam sedikit saja amarahmu saat stress terjebak macet? Ah, manusia, kamu memang unik. Aku menutup kaca bus. Asap knalpot ramah lingkungan yang kian disosialisasikan pemerintah tetap terlihat mengepul samar.
Aku bersorak dalam hati, hari ini hari Kamis, Mas Alimin akan datang ke rumah. Aku bahagia bercampur gelisah. Aku teringat mimpiku tiga hari yang lalu, dimana aku digigit seekor ular besar tapi ular itu lalu aku putuskan kepalanya. Saat itu aku berfikir seseorang akan megungkapkan rasa padaku, tapi setelah kutunggu hingga hari ketiga kini, dugaanku tak terjadi, maka kupikir itu memang takhyul. Aku berfikir topik apa yang akan aku sampaikan nanti? Aku tak ingin forum kami nanti jadi ritualitas yang garing.
Suara adzan maghrib menggelegar memecah bising jalan saat aku beranjak turun dari bus. Dari kejauhan ayah yang sedari tadi menungguku mulai menghampiri.
”Kok, lama perjalanannya?”
”Inggih, macet”.
Di belakang ayah, aku mulai dilajukan menuju rumah. Sesampai di rumah, kudapati sepeda dengan plat nomor yang sangat kuhafal -W 40 NE- terpakir manis di salah satu sudut halaman. Ayah langsung berangkat ke masjid.
”Assalamu’alaikum”, Aku mendo’akan seisi rumah.
”Wa’alaikum salam warahmatullah”, Ibu menyahut dari dapur.
Aku menuju arah suara. Kulihat ibu sedang menggoreng pisang yang dibalur tepung dan telur. Aku mencium tangannya.
”Kok baru datang?”
”Inggih, rapatnya agak lama. Jalan juga macet”
”Ya sudah, mandi dan sholat sana. Nanti gantian nggorengnya!”
”Lho, nggak jama’ah dong?”
”Kan hormat tamu lebih utama dari sholat berjamaah yang sunnah”
”Ooooohhh. Ya sudah, Iim mandi dulu ya, Bu?”
Akupun mandi kilat, tapi sholat tidak aku kilatkan juga lho. Setelah itu aku menggantikan ibu menggoreng pisang.
”Assalamu’alikum”, suara Pa’ul dan Mas Alimin yang baru pulang dari masjid terdengar. Aku menjawabnya dari dapur.
”Kita akan belajar apa hari ini, Mas?”, Pa’ul bertanya.
”Kita akan belajar mengoperasikan semua toolbar dan juga cara meng-copy musik ke dalam komputer kita”
”Nih, pisang gorengnya dicicipi dulu. Biar belajarnya makin semangat!”, Aku mengusik mereka berdua yang baru asyik belajar.
”Terimakasih. Tapi, jus wortel dan ayam goreng pesanan saya kok belum diantar ya, Mbak?”, Mas Alimin menggodaku.
”Tapi, di catatan saya tidak tertulis daftar pesanan seperti itu. Mungkin Masnya yang lupa”
Kami tertawa bersama. Aku mengaduh dalam hati, saat separuh kesadaranku mendapati rasa itu masih ada di sudut hatiku dan separuh kesadaranku yang lain teringat akan hasil istikhorohku.
”Memangnya sampeyan suka jus wortel dan ayam goreng ta?”, Aku menepis perasaanku dengan mencoba bersikap wajar padanya.
”Wah, sampeyan ini bakat untuk meramal ya, kok sampeyan bisa tahu?”. Hatiku perih mendengar gurauannya. Aku tersenyum dan berlalu menuju teras dimana adik-adik tengah menungguku dengan celotehannya yang riang. Gundahku hilang bersama keceriaan mereka.
Jam 20.15 WIB. Satu persatu adik-adik pamit.
”Assalamualaikum”, Aku menyapa penghuni rumah yang segera menjawab salam yang sarat do’a itu. Aku ke dapur, mengambil pisang goreng untukku sendiri.
”Yah, kok ambil pisangnya untuk diri sendiri sih? Kita yang belajar ini butuh tenaga juga kan?”, Pa’ul menggerutu. Aku melirik piring yang sudah kosong. Apa mereka berdua sedang kelaparan? Kasihan. Apalagi mas Alimin kan begitu pulang ngajar di STM langsung ke rumahku. Pasti, dia belum makan andai saja ibu tak selalu menyiapkan nasi untuknya. Aku beranjak dan mengisi ulang piring kosong mereka. Hatiku bahagia bukan kepalang setiap kali aku bisa meladeninya. Aku duduk di lantai tak seberapa jauh dari mereka berdua yang sedang duduk di kursi depan komputer dan ayah serta ibu yang sedang ngobrol di kursi makan beberapa langkah di sampingku.
”Wah, ini lagu Jepang ya Mas?”, Aku tak bisa menahan rasa penasaranku saat ia mengajari Pa’ul meng-copy musik. Suara musik Jepang mengalun lembut. Dia ikut menyanyi. Nampaknya, ia hafal liriknya.
”Iya, ini lagu soundtrack Mangga Inuyasha. Mbak Iim bisa bahasa Jepang ta?”
”Tidak. Sampeyan bisa ya?”, Aku balik bertanya. Aku ingat ibu pernah bilang kalau ia sedang ingin belajar bahasa Mandarin dan Jepang. Hmmm, andai ia tahu itu adalah cita-citaku saat kecil dulu, juga sudah dua bulan ini aku berkutat mencari info tentang kursusan bahasa Jepang karena ingin mengikuti beasiswa penelitian di Jepang tentang masyarakat akar rumput (grass root).
”Tidak juga. Aku hanya bisa bilang Aisiteru”, Ia menatapku lekat. Aku menunduk gerogi dan segera mengangkat gelas di depanku.
”Ooohh. Apa artinya?”
”I love you”. Aku hampir tersedak dibuatnya. Pintar sekali ia menggunakan situasi dan mendramatisirnya. Ia mengucapkannya saat aku meneguk airku. Aku memucat. Aku bisa saja mengimbanginya dengan bepura-pura tersedak seperti di sinetron-sinetron atau di novel-novel, tapi saat itu aku terlalu gengsi. Aku juga terlalu bingung untuk terus mengimbanginya, padahal istikhorohku jelek.
Aku memberanikan diri meliriknya sekilas lalu cepat-cepat menunduk lagi. Ia masih memandangku penuh kemenangan, tapi ada sedikit kekecewaan di riak wajahnya. Aku jadi bingung. Apa ia mengharap aku tersedak? Tapi, aku tak mau sama dengan perempuan-perempuan lain yang mungkin pernah ia perlakukan seperti ini sebelumnya. Aku mungkin pantas curiga begini, karena wajahnya yang teramat tampan itu pasti membuatnya didekati banyak perempuan dan bukannya tidak mungkin ia terkadang mengerjai mereka, apalagi sifatnya yang kurang bisa menolak permintaan orang akan sering membuatnya dalam keadaan terjepit. Wajahku, semakin pucat, antara bingung dan syok. Apa maksudnya berkata demikian? Berani sekali ia mengucapkannya di tengah-tengah keluargaku? Ibuku saja masih nampak kagetnya, meskipun hanya samar. Apa ia hanya bercanda? Atau mencoba mengetesku, tipe perempuan seperti apakah aku?
Dia tertawa renyah mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba beku. Aku tersenyum melegakannya, tapi tetap pucat kurasa. Aku meminum dengan tergesa sisa air dalam gelas. Ia kembali menerangkan pada Pa’ul.
Sejam berlalu, aku masih membisu di tempat semula. Aku tak mungkin berpindah atau sembunyi, itu malah mentransparankan perasaanku pastinya. Aku juga tak mungkin duduk bersamanya dan Pa’ul seperti biasa karena aku khawatir degup jantungku dapat didengarnya ’-’ ?!
”Pa’ul, bahasa Arabnya saya tidak tahu itu apa ya?”, Mas Alimin bertanya.
”La A’rif”
”Kalau saya tahu, A’rif?”
”Iya. Mas, bentar ya aku mau piece of cure (Maksudnya piss of cur, alias pipis)
”Oke, enam puluh detik saja ya!”
”Heh, itu kan satu menit! Emoh ah”. Kami semua tertawa. Aku beranjak hendak mengambil piring yang sudah kosong lagi. Aku berjalan sedikit grogi.
”Kalau bahasa Arabnya I love you itu apa ya, Mbak?”, tiba-tiba Mas Alimin bertanya kepadaku yang saat itu tepat beberapa puluh centimeter saja darinya. Piring yang baru kusentuh hampir saja terlepas dari tangnku. Hatiku berdegup kencang. Wajahku yang tadi mulai hangat, serasa dingin lagi, mungkin kini memucat lagi. Allah, aku kena lagi.
”Ndak tahu, apa ya Bu?”, aku melemparkan jawaban pada ibu yang baru masuk ruangan itu. Aku benar-benar tak bisa menahan malu.
”Ndak tahu. Lha kamu yang pernah belajar bahasa Arab, bagaimana lho”, Ibu berusaha melempar balik kesempatan baik itu. Aku hanya tersenyum pahit sambil mengangkat bahu. Kulirik Mas Alimin untuk kedua kalinya sekilas. Lagi-lagi kudapati gurat kecewa dalam riak wajahnya. Allah, andai ia tahu betapa inginnya aku meniadakan riak seperti itu dari wajahnya selamanya, tapi....
Aku berlalu ke dapur lalu kembali lagi dengan piring penuh gorengan pisang. Kini ibu berada di kursi Pa’ul tadi yaitu di sisi kiri Mas Alimin, sedangkan Pa’ul mengambil kursi baru di sisi yang lain. Aku duduk di sofa sebelah ibu. Mendengarkan dengan cermat baik obrolannya dengan ibu, maupun penjelasannya tentang materi pada Pa’ul. Dia bercerita tentang obsesinya baru-baru ini pada Pa’ul, bahwa ia ingin bisa Bahasa Jepang dan Mandarin. Aku tersipu sendiri.
”Iim kan juga sedang mengincar apa beasiswa ke Jepang ya? Makanya ia sedang sibuk mencari kursus bahasa Jepang”, Ibu membocorkan rahasiaku. Oh my beloved mother, mau ditaruh mana muka anakmu ini?
”Oh iya ta, Mbak?”
”Ah, Cuma iseng-iseng kok, Mas. Ndak tahu nanti bisa beneran apa tidak, soalnya aku kan nol potol dalam bahasa Jepang”, Aku mencoba mengelak.
”Beasiswa apa? Siapa yang menyelenggarakan?”, Ia bertanya dengan mimik serius.
”Beasiswa penelitian tentang masyarakat akar rumput atau grass root. Dan diadakan oleh Dispora (Dinas Pemuda dan Olahraga) bekerja sama dengan beberapa universitas Jepang”.
”Masyarakat jenis apa yang akan sampeyan bidik?”
”Lha itu aku juga belum tahu. Tapi, keherananku tentang adakah anak usia sekolah yang terputus sekolahnya di negara Jepang yang sangat memperhatikan pendidikan itu, nampaknya cukup menarik. Bagaimana menurut Mas Alimin?”
”Emm, boleh juga. Tapi rumusan masalah seperti itu membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya ekstra karena masalah yang terlalu global”
”Begitu ya?”
”Menurutku sih seperti itu”, kami berdua manggut-manggut.
”Sampeyan sendiri ingin belajar bahasa Jepang dan Mandarin untuk apa?”
”Aku ingin mencari tambahan ilmu tekhnik mesinku di Jepang. Tapi ya nggak tahu juga”, Ia menghela nafas berat.
”Kalau sampeyan sih aku percaya bisa. Sampeyan kan sudah melewati masa kuliah di dua unversitas dengan sukses, juga sudah menjadi guru di tiga sekolah, karyawan dan dosen di satu universitas dalam waktu bersamaan dengan sukses pula. Lalu kenapa ragu untuk melangkah lagi?”
”He...he...he....bisa saja sampeyan ini. Aku ndak sehebat itu”
”Ya memang ndak sehebat Superman, Batman, atau Spiderman sih. Tapi sampeyan tetap hebat kok di mata...kami”
”Lho kok aku jadi disamakan dengan hewan sih, Dik?” Adik?Adik yang bagaimana?
”Siapa?”, aku bertanya bingung.
”Lha itu ada Batman si manusia kelelawar dan Spiderman si manusia laba-laba”
Lagi-lagi kami tertawa.
”Kalau bahasa Mandarinnya untuk apa?”, Nampaknya ibu juga penasaran.
”Ya untuk tambahan ilmu saja. Apalagi zaman sekarang kan perusahaan-perusahaan banyak yang menjadikan bahasa Mandarin sebagai kualifikasi rekrutmen”
Kami semua manggut-manggut.
”Berarti sampeyan bisa bahasa Mandarin dong?”
”Ndak. Aku hanya bisa mengucapkan I love you di berbagai bahasa”
”Iya, wo ai ni kan?”, Aku berakata dalam hati.
”Mas Alimin ini jangan mudah mengucapkan kalimat I love you ke sembarang orang, nanti kalau salah dimengerti, bagaimana?”, Ibu mencoba menegur keanehan-keanehannya hari itu.
”Ha..ha...ha...iya...iya...Bu. Saya jadi ingat kalau ayah sering menyebut saya semut kecil”
”Kenapa?”, Ibu kembali bertanya.
”Soalnya setiap kali kami rapat bersama, ayah tidak pernah menyebut saya nak, tetapi Pak atau Saudara Alimin, begitu pula sebaliknya saya tidak pernah memanggil ayah tetapi Pak Sa’id. Dan itu tidak pernah salah, seperti semut yang tak pernah lupa untuk berbaris atau bersalaman setiap kali berjumpa temannya”, Dia menghela nafas sambil memandang kami yang masih antusias mendengar lanjutan ceritanya.
”Tapi, semut kecil itu kan lemah. Diinjak, langsung mati dech!”, Ibu menanggapi.
”Lho, jangan salah! Meskipun semut kecil, tapi kalau menggigit bikin bentol lho! Kalau anak Ibu bentol digigit semut kecil, aku nggak tanggung jawab lho...”, lanjutnya lantas tertawa.
Aku merasa tak tahan untuk membendung bahagia yang membuncah. Aku berjalan cepat ke kamar mandi. Berwudhu. Masuk kamar dan melakukan sujud syukur. Allah, apa yang sedang ingin Engkau ketahui dariku? Mengapa Engkau berikan dua fakta berbeda dalam waktu sesingkat ini? Pantaskah aku bersyukur atau aku harus beristighfar? Inikah takwil mimpi itu? Dan aku benar-benar telah memutus kepala ular itu kini! Dia-kah Ali ku? Ali Kecil yang penuh keberanian untuk berjihad, Ali yang sangat cerdas, Ali yang dermawan, Ali yang kkanak-kanakan tapi bisa segera mendewasa saat dibutuhkan! Ah, Ali Kecilku, akhirnya kau datang juga!

********---------------**********

X. CELOTEH DALAM DIARY
Arbia’, 20 Desember 2006
Dear Al Kutayb,
Berat sekali ya menjilbabi hati? Hari ini kumendapat penjelasan dari banyak teman dan dosenku kalau ternyata jawaban istikhoroh itu tidak berlaku mutlak. Maksudnya, bila hasil istikhoroh itu jelek, masih ada kemungkinan itu jelek untuk saat ini dan baik di waktu yang tepat kelak asal kita mau berusaha dan berdo’a agar hasil istikhoroh tersebut bisa berubah menjadi baik. Meskipun begitu, teman-teman dan para dosen tersebut menyarankan agar kita memilih yang aman-aman saja, yaitu apa yang dikatakan baik oleh istikhoroh kita. Kau tahu Al, Aku langsung bertahmid dalam hati mendengarnya! Berarti masih ada harapan dong! Makanya aku bertekad untuk rajin berdo’a di waktu-waktu yang mustajab, meskipun untuk ikhtiar secara tindakan aku belum berani, takut keblablasan!
Kedua, hari ini aku mendengar kisah kedekatan Mas Alimin dengan anak SMP yang dikursusinnya. Katanya dia cantik, tinggi, dan pintar. Getir sih, tapi tidak pahit. Ingin berontak sih, tapi hatiku santai-santai saja tuh. Alhamdulillah dech kalau begitu, batinku saat menyadari hatiku yang masih tenang-tenang saja.
Ya Allah, terus ajari aku menjilbabi hati. Terus temani aku menjaga izzah. Jagalah izzahku dan izzahnya, Ya Maha Penjaga Segala. Jangan sampai kami terjerumus ke dalam jurang kenistaan di dunia dan di akhirat. Di mata makhlukMu, terutama lagi di mataMu.
Ya Maha Bijak lagi Adil, kutitipkan hatiku untuknya padaMu dan kutitipkan pula hatinya untukku padaMu. Karena sesungguhnya tak ada lagi ruang yang lebih aman dibanding ruang penjagaan dan penitipanMu. Karena tak ada lagi pemilik hati Yang Lebih Berkuasa selainMu.
Sempurnakanlah proses kami. Sempurnakan proses kami. Sempurnakan proses kami...........................
Persiapkan kami menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan kuat lahir batin, duniawi ukhrowi. Sehingga dari kami akan lahir pula generasi-generasi yang mulia dan tangguh, siap membela kebenaran agamaMu yang haq. Amin.





********----------------*********

*************************
POLIGAMI!
Seharian ini hujan turun. Senang sekali rasanya saat melihat bunga-bungaku bermekaran sebagai ungkapan rasa syukur mereka, disamping juga merasa kasihan karena mungkin saja bunga-bungaku itu mengalami stress akibat perubahan cuaca akhir-akhir ini, terbukti dengan daun-daun mereka yang tak begitu sehat. Saat hujan begini, aku sangat suka sekali mencium kesegaran khas tanah yang basah, merasakan belai anginnya, serta menyentuh tetes-tetes permatanya yang masih bersih dan murni, tapi konon kurang baik untuk kulit dan logam karena bisa mengkorosi itu. Rasanya hati jadi lapang, tubuh terisi jiwa yang baru, menyatu dengan alam.
Aku menarik tanganku dari rintik yang tak lagi rapat dan berat. Mataku melirik sekali lagi pada pelangi yang berlatarkan langit merah. Mencuci tangan, lalu duduk di samping ayah yang sedang membaca koran. Pikiranku menerawang ke acara PBNU di Bangkalan, Madura, yang gagal aku ikuti hari ini lantaran timing yang berbenturan. Padahal aku ingin sekali ikut. Jauh-jauh hari yang lalu aku sudah membayangkan akan bertemu dengan orang-orang baru dari kalangan cendekiawan NU, aku akan mendapatkan ilmu baru, pengalaman baru tentang kota Bangkalan, plus uang dan kaos gratis pula. Huh....aku benar-benar tergiur oleh bayanganku yang agak ngaco itu. Dari acara PBNU di Bangkalan, pikiranku berpindah ke pembicaraan Ibu dengan Mas Alimin tadi siang untuk menanyakan tentang kerusakan pada komputerku. Aku mereka-reka apakah ia akan datang? Kapan? Bukankah hari terus diguyur hujan sedari subuh tadi?
Tok...tok...tok....
”Assalamu’alaikum”
Aku terlonjak dari kursiku. Kakiku terantuk meja. Aku meringis sakit dan malu saat ayah melihatku heran. Suara itu.....
”Wa’alaikum salam warahmatullah”, Ayah menyahut. Aku berlari menuju kamar untuk mengenakan jilbab. Kudengar ayah mempersilahkan tamu istimewa itu. Aku berjalan menuju dapur dan segera membuatkan teh hangat. Kupersilahkan ia meminumnya lalu ikut dalam perbincangan ayah dan dia.
”Jadi, Ibu dan Pa’ul masih keluar?”, Mas Alimin bertanya.
”Iya. Katanya cari sesuatu”, Ayah menjawab. ”Bapak tinggal dulu untuk sholat Ashar ya? Nak Alimin sudah sholat?”, lanjut ayah.
”Oh, sudah Pak. Monggo kalau mau sholat”, Mas Alimin mempersilahkan dengan hormat. Ayah berlalu, tinggal aku dan dia. Batinku bergejolak. Aku risih harus berduaan saja dengannya, aku ingin meniru Sarah dalam serial Kiamat Sudah Dekat, tapi apa ia kutinggal sendirian?. Kulirik ia sekilas. Ia nampak letih. Hatiku mengaduh mengingat aku belum bisa berbuat lebih untuknya. Ia tersenyum sopan. Aku juga membalasnya. Ya, Allah lindungi kami berdua dari fitnah dunia dan akhirat. Jagalah izzah kami. Jilbabilah hatiku.
”Kelihatannya sampeyan capek?”, Aku membuka percakapan.
”Iya. Dari kemarin saya ngurusi anak-nak SMA yang mau mengadakan Bazar. Dan ini tadi saya baru dari sana”.
”Kenapa harus dibela-belain ke sini. Harusnya sampeyan juga memikirkan diri sendiri?”, Aku mengatakan sesuatu yang masih kuperangkan dalam hati. Aku ingin dia selalu lama di sini, tapi aku juga ingin dia punya dunianya sendiri.
”Oh tidak masalah. Karena setiap kali pulang dari rumah ini, saya merasa di-charge ulang. Hati dan pikiran rasanya plong. Mungkin karena rumah ini penuh berkah”, jawabnya. Aku mengamini, tersenyum, lalu diam. Diam datang mengendap-mengendap lalu menyergap kami berdua.
”He...he...he...saya jadi ingat kata teman-teman”, Mas Alimin memecah hening.
”Apa?”
”Kata mereka saya terlalu baik. Saya tidak bisa menolak permintaan orang lain. Kata mereka, saya seharusnya belajar menolak., he....he...he...”
Aku ikut tertawa sambil manggut-manggut membenarkan.
”Berapa lama perjalanan dari rumah ke sini?”, Aku berinisiatif bersuara lagi setelah kami agak lama saling bungkam. Nampaknya ia benar-benar letih. Aku kembali mengaduh.
”Kurang lebih lima belas menit lah”
”Hah? Aduh, jangan setor nyawa dengan cara begini dong. Kan masih banyak cara yang lebih terhormat?”, Hatiku ketar-ketir saat dia menyebutkan kata lima belas menit. Dia tertawa lagi. Aku malu. Aku memilih bersembunyi untuk sementara. Di dapur, selain mencari-cari makanan yang bisa kusuguhkan -tapi ternyata tak ada apapun yang bisa disuguhkan- aku juga berusaha menguatkan benteng iman yang nampaknya mulai goyah. Setelah merasa cukup kuat, aku kembali ke ruang tamu dimana kutinggalkan ia termenung-menung sendiri.
”Kok ngelamun? Nanti ayam sampeyan mati lho”. Dia kembali menertawakanku yang menirukan kalimat sebuah iklan TV.
”Iya, Mbak. Saya sedang memikirkan kondisi umat Islam dewasa ini”
”Memangnya kenapa?”, Aku penasaran juga.
”Menurut saya, orang Islam sekarang banyak yang salah kaprah. Mereka melarang sesuatu yang di zaman Rasul boleh. Salah satunya, yaitu masalah poligami yang sekarang dipandang orang-orang sebagai sesuatu yang tabu”. Aku semakin tertarik untuk mengetahui bagaimana jalan pikirannya mengenai masalah yang sedang hangat setelah peristiwa Aa’ Gym, seorang da’i muda yang santun, baik dan sedang naik daun, tiba-tiba mengumumkan berpoligami.
”Aku sudah dengar kalau sampeyan ingin sekali berjihad dan berpoligami dari ibu”.
”Begitu ya? Menurut sampeyan sendiri bagaimana?”
”He...he...he... aku belum terlalu faham masalah ini. Aku masih cari-cari referensi”, Aku mengelak untuk menjawab sesuatu yang sebetulnya juga menjadi salah satu cita-citaku saak kecil dulu, tapi kuragukan kemampuanku saat dewasa kini.
”Sudah dapat?”, Ia bertanya mengejar.
”Lumayan sih. Tapi hanya foto copy-foto copy . Mau kuambilkan?”
”Tentu”.
Aku beranjak ke meja belajar untuk mengambil foto copy-foto copy mengenai bab poligami yang baru kudapat kemarin siang dari perpus kampus. Dan sebetulnya aku cari referensi itu juga untuk dirinya, hanya saja aku tak tahu cara memberikannya. Untung ada pembicaraan ini. Kusodorkan kertas-kertas yang belum sempat kustaples itu.
”Referensi-referensi yang sampeyan dapat kebetulan dari orang-orang yang kurang setuju dengan poligami. Coba kalau sampeyan membaca buku-buku saya”, komentarnya.
”Oke. Selama ini, dasar yang digunakan kelompok pro poligami kan QS. An Nisa’ ayat 3. Tapi, bukankah dalam ayat yang sama ada kalimat ”Jika kamu takut tidak mampu berbuat adil, maka kawinilah satu wanita saja”, sehingga apakah ini bukan bukti pelarangannya, karena tak ada manusia yang bisa adil? Selain itu apakah itu bukan bukti pembatasan poligami yang sebelumnya tak terbatasi?”, Aku benar-benar bertanya tentang kebingunganku selama ini, meskipun konsekwensinya mungkin ia akan menilaiku agak berseberangan darinya. Dan itu sering aku lakukan. Banyak hal yang sebetulnya sama di antara kami, tapi aku terlalu malu untuk jujur, bahkan terkadang aku malah memposisikan diri sebagai oposisinya. Kelak di kemudian hari, aku baru sadar bahwa ini adalah kesalahan terbesarku dalam proses ini.
”Memang tak ada orang yang bisa berlaku adil seadil-adilnya. Kalau begitu kenapa ada sifat adil?”, Dia diam sejenak, memandangiku dengan muka serius. ”Menurut saya, adil di sini berarti mau berusaha untuk bisa adil. Dan juga benar, salah satu hikmah poligami dalam Islam adalah pembatasan jumlah istri yang sebelumya tak terkontrol, dan ini tetap menjadi bukti bahwa poligami itu dibolehkan”, lanjutnya.
”Sebagai pintu darurat?”, aku mengejar.
”Darurat di sini bisa dikesampingkan, terkait dengan ayat sebelumnya yaitu ” Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat ”, jawabnya lagi.
”Bukankah usia pernikahan monogami Rasulullah dengan Khadijah selama dua puluh lima tahun dibandingkan dengan pernikahan-pernikahan beliau yang poligami selama lima tahun juga patut difikirkan?”
”Karenanya hanya wanita-wanita pilihan saja yang mau berlapang dada melaksanakan sunnah yang satu ini”.
” Apakah Fathimah putri rasul bukan wanita pilihan karena tidak mau dipoligami Ali ra?”
”Oh, tidak! Saya yakin seratus persen kalau Fathimah binti Rasulillah adalah wanita pilihan nan agung. Mungkin sudut pandang kita saja yang agak berbeda dalam hadits yang menyatakan bahwa .....................
Menurut saya Rasulullah melarang Ali mempoligami Fathimah karena wanita yang akan dinikahi Ali itu adalah putri Abu Jahal, musuh bebuyutan Islam. Tentu saja menurut Rasulullah dan kita umat Islam, ini adalah penghinaan. Seorang putri kekasih Allah dimadu dengan putri musuh Allah. Ya, meskipun tidak ada dosa warisan, tapi tetap saja ini menurut saya pribadi tidak pantas dilakukan”, jelasnya panjang lebar.
Mulutku yang terkatup rapat dan hatiku yang berbunga-bunga melihat keaslaman dan kehanifannya membenarkannya, meskipun juga belum terpuaskan dengan obrolan kami. Masih banyak pertanyaan yang bergelayut dalam benakku. Masih banyak yang ingin aku diskusikan dan lakukan bersamnya, tapi kurasa bukan sekarang saatnya.
”Kenapa sampeyan mencari referensi tentang poligami?”, katanya tiba-tiba.
”Oh. Kemarin aku sedang baca-baca di perpus, kebetulan aku menemukan bab itu. Aku tertarik, tapi tidak sempat untuk membacanya, akhirnya kufoto copy dech!”, jawabku asal.
”Apakah sampeyan siap semisal dipoligami kelak?”, kejarnya.
”Kujawab besok-besok sajalah, kan masih cari referensi...”, lagi-lagi aku memberikan jawaban yang sama sekali tidak memuaskannya. Kupikir, selain karena aku memang masih malu dan labil untuk masalah yang satu ini, bila kujawab sekarang tentu itu membuatnya tak penasaran lagi. Bukankah tak ada yang tahu apa yang akan terjadi kelak?. Kami berdua lantas tertawa.
”Sampeyan sendiri, mengapa sangat ingin berpoligami?”, Ganti aku yang melempar umpan.
”Ya...ingin saja”, Jawabnya asal juga. Aku merasa cegek sekali mendengarnya. Aku akan kecewa sekali bila memang ini motivasinya berpoligami. Dan dia menangkap ekspresiku. Dengan segera ia meneruskan jawaban cekak nya. ”Kalau banyak istri, umat Islam akan semakin banyak”.
Nah lho! Kalau sudah pakai alasan begini aku tak bisa membantahnya. Setidaknya saat itu. Karena setelah kupikir-pikir bisa kok dengan satu istri buat banyak anak. Eits....
”Memang, bagaimana tipe isteri yang sampeyan inginkan?”, Aku mencoba mengorek.
”Tipe dua satu”. Aku memekik kecil mendengar jawabannya.
”Yang jelas kalau dia kaya, cantik, pintar, baik, apalagi sholihah aku pasti mau”, imbuhnya.
”Yeeee, maunya.............”
”Iya, sungguh! Aku nggak bohong!”, Dia memasang muka sangat serius untuk menggodaku. Tangannya membentuk huruf V.
”Masak sih? Aku kok ragu”
”Apalagi yang perlu diragukan?”
”Jangan-jangan di toko tidak ada stok seperti itu”
”Lho, kalau di toko memang meragukan, tapi kalau di mal, apalagi mal milik pondok pesantren, mungkin saja kan aku menemukan bidadari sedang menyamar di situ”
”Udah ah. Kok malah ngelantur. Ingat kan Islam tidak menyukai sesuatu yang berlebihan?”
”Astaghfirullahhal adzim”, kami beristighfar bersama. Diam. Hanya ada saling senyum. Tiba-tiba saling memucat. Entah apa yang dipikirkannya, tapi yang jelas aku baru teringat bahwa kami hanya berdua. Aku takut ini khalwat. Aku memandangnya. Ia nampak gelisah dan tak nyaman. Apakah ia juga tersadarkan bahwa kami hanya berdua saja. Aku menata riak wajah kembali normal.
”Jadi sesempurna itu ya istri idaman sampeyan”, Ujarku sambil bangkit.
”Tidak juga. Dia tidak harus cantik, yang penting kami sefaham sefikiran”
”Oh.......................Ya sudah aku tinggal dulu ya?”
”Iya, silakan”
Aku benar-benar beranjak meninggalkannya sendiri. Hatiku yang tadinya tidak nyaman karena kekhilafan kami berdua, mulai mencair berganti dengan rasa lega setelah mengetahui isteri tipikalnya. Namun, tak urung juga aku ragu, apakah ia serius dengan jawabannya, atau sekedar bersopan santun? Apakah kalimat itu tertuju padaku atau apa ada orang lain? Tapi apa iya ia berpacaran? Ia kan ikhwan?. Kucari ayah yang tak kunjung menemui. Belum sempat aku menemukan ayah, derum motor Pa’ul terdengar memasuki halaman. Ibu dan Pa’ul membawa nasi padang dan beberapa snack. Setelah makan dan shalat magrib, pelajaran les komputerpun segera dijalankan. Sedangkan aku seperti biasa ada di teras bersama adik-adik.

************************


XII. KABAR DARI BU AULIA
Aku telah membersihkan rumah dan mempersiapkan soup spesialku saat kuterima telefon bahwa ia tidak jadi datang ke rumah sore itu. Aku memandang surya senja yang nampak kemilau. Aku mencoba meraba-raba hatiku, apakah aku kecewa atau sakit hati? Ternyata tidak. Kuraba-raba lagi, mengapa tidak? Kudapatkan jawaban bahwa ini sebanding dengan kelalaianku tidak membersihkan rumah selama sepekan ini dengan dalih sibuk. Ya, sudah. Aku bersyukur dalam hati.
”Mbak Iim, komputernya ini kenapa?”, Pa'ul berteriak.
Aku mendekatinya dan segera mengutak-atik. Tapi nihil, aku tak tahu mengapa programnya tak bisa dibuka sama sekali, apalagi membetulkannya.
”Wah, kayaknya dia mulai rewel”, komentarku.
”Duh, padahal aku sedang dapat banyak tugas”, Katanya.
”Aku juga”, kataku lemas.
Pa’ul menceritakan kerusakan itu dan segera direspon ibu dengan sigap.
”Kita tanya dokternya saja”, usul beliau. Dokter yang dimaksud beliau, tentu saja Mas Alimin. Ibu menelfonnya, menanyakan kabarnya, alasannya tidak datang, lalu menceritakan kasus kerusakan komputer.
”Nanti malam kamu disuruh bawa CPUnya kesana. Sekalian ikut Mas Alimin ngaji, mengerjakan tugas, dan tidur sana”, Jelas ibu pada Pa’ul.
”Hah? Tidur di sana? Kalau besok jam 07.00 aku masih tidur, gimana?”, Pa’ul agak keberatan, namun pertanyaan konyol ini segera dibantah oleh ibu hingga Pa’ul tak berkutik lagi.
Pada malam harinya ayah, ibu, dan Pa’ul ke rumah Mas Alimin dengan membawa CPU yang sekarat.
************************

Pagi yang masih remang-remang sunyi tiba-tiba berubah, saat suara cempereng Pa’ul menggelegar. Aku yang sedang menggoreng tempe mendatanginya sambil mengacung-acungkan sotel.
”Kamu ini datang-datang, merusak citra rasa masakanku”, Gurauku. ”Katanya Jam tujuh masih tidur, lha kok jam enam sudah ada di sini?”.
”Im, tempemu dibalik gih”, Seru ibu dari dapur.
Aku kembali sibuk di dapur. Ibu dan Pa’ul bercengkerama. Pa’ul menceritakan pengalamannya semalam. Anehnya, aku yang biasanya sangat antusias mendengar apapun tentang Mas Alimin, kini tidak demikian halnya. Aku malas mendengarkan cerita-cerita Pa’ul. Aku memilih di dapur dengan sedikit bengong saat membalikkan tempe-tempe, atau juga aku lebih suka menyapu daripada harus duduk manis mendengarkan Pa’ul. What’s wrong with me? Apakah karena mimpiku semalam? Pa’ul bilang ia dan Mas Alimin tidur jam satu dini hari, aku bangun karena mimpi itu juga jam satu dini hari. Ah, semoga ini bukan pertanda buruk.
**********************

Setelah tiga hari tubuhku panas dingin karena demam, sejak membuka mata pagi ini aku merasa teramat sangat rindu pada Mas Alimin. Perasaan yang sudah lama hilang. Ya, aku memang banyak terinspirasi dan kepikiran tentang Mas Alimin, tetapi selama ini aku mencoba menahan perasaanku sebagai seorang muslimah agar tak menjadi cinta buta, sehingga secar otomatis aku jarang memiliki perasaan rindu seperi pagi ini.
Setelah sholat subuh, aku segera mengambil diary untuk menceritakan perihal rinduku yang menggelora ini. Tapi sayang, aku tak menemukan bopoint sehingga aku harus menunda keinginanku itu. Saat aku tiduran sambil mencoba meredam perasaan yang aneh itu, tiba-tiba terdengar derum motor berhenti di halamnku. Aku kenal derum itu. Hatiku senamg bercampur aduk dengan kaget dan haru. Tak lama kemudian aku mendengar suara yang selama ini memantul di tiap dinding kamarku. Kusambar jilbab dan melihat ke depan sekedar memastikan. Begitu yakin, aku menjarang teh.
”Perlu dibuatkan sarapan, gak ya? Tapi kalau hanya ingin mengantarkan CPU dan pamit ke Bangil mungkin ia hanya sebentar saja”, Aku berkata dalam hati.
Aku lega sekali. Ia datang saat perasaan ini datang. Aku juga merasa sangat dihargai karena ia mencoba menyempatkan ke rumah sebelum berangkat ke Bangil selama seminggu ke depan. Pamitkah? Entahlah!
Ya Allah, terus jilbabi hati kami. Jagalah izzah kami. Lindungilah kami dari fitnah dunia dan akhirat. Sempurnakanlah proses kami. Ridhoi proses belajarnya di Bangil dan berkahi. Amin.
************************
”Apakah ada yang salah dengan saya, Bu? Kok dari tadi pagi ibu memandngi saya terus?”, Aku membuka percakapan petang itu. Saat rumah sedang sepi.
”Ndak”, Ibu terdiam agak lama. Aku masih menunggu. Aku tahu perkataan ibu barusan masih menggantung dan akan ada kelanjutannya. Aku menatap wanita yang telah membesarkanku dengan kasih sayang itu.
”Kamu tahu kan kalau seminggu ini para guru banyak lembur untuk mengisi raport para murid?”, Ibu terdiam lagi sambil memandangiku. Aku mengiyakan. ”Nah, tadi pagi ibu telefon ke Mas Alimin. Ibu pikir kesibukannya yang berjibun mungkin sedikit bisa kita bantu dengan mengerjakan nilai atau raport tanggungannya”, Aku tersenyum malu. Selama ini aku selalu terbuka dalam segala hal pada ibuku, kecuali masalah cowok. Maka meskipun aku tidak menceritakan perasaku terhadap Mas Alimin kepada ibu, tapi aku yakin, ibu bisa mengetahui dengan nalurinya sebagai ibu. ”Ternyata yang mengangkat telefon adalah Bu Auliya, kakaknya. Ibu utarakan niat ibu utuk sedikit membantu. Tapi, Bu Auliya bilang kalau sudah ada yang membantu menilai dan mengisi raport-raport tanggungan Mas Alimin. Ibu tanya, siapa. Bu Auliya hanya tertawa dan berkata, ada anak sekitar runah yang bersedia. Perasaan ibu tidak enak. Ibu pikir jangan-jangan anak itu adalah orang dekat mas Alimin”.
Perasaanku terasa terhempaskan oleh puting beliung. Aku mencoba mengumpulkan rasa yang terserak itu kemudian menyusun dan membacanya. Aku teringat kebersamaan kami selama ini. Aku merasa malu karena terlalu GR dan PD menganggap mas Alimin tengah menjajakiku selama ini, seandainya memang ia telah memiliki calon yang lain. Aku juga merasa terheran-heran mengapa aku tidak merasa cemburu sama sekali pada wanita ini, maupun wanita-wanita yang pernah ia ceritakan dulu, sebagaimana cemburuku pada wanita bidadari yang ia mimpikan dulu.
Semenjak ibu mengatakannya petang itu, aku terus menunggu jawabannya maupun jawaban dari Allah. Aku menunggu esok sorenya, lusa pagi siang sore, tapi tak kutemui apa-apa. Ya...aku menunggu dan menunggu tapi tak ada yang terjadi. Padahal aku ingin sekali tahu bagaimana sikap dan reaksinya saat seperti ini. Aku ingin sekali tahu bagaimana Allah menjawab do’a-do’aku selama ini lalu memutuskan yang terbaik untukku. Aku ingin sekali tahu, tapi tak ada yang mau memberi tahu. Aku bertanya pada manusia, tak ada jawabnya. Aku bertanya pada langit jua, langit tak mendengar. Lirik lagu Peterpan itu nampaknya cocok sekali dengan situasiku sekarang.
Akhirnya aku tak tahan. Aku tak tahan harus meredam dan menghibur hatiku untuk sesuatu yang belum pasti baik untuk hidupku, jiwaku, keluargaku, bahkan agamaku. Aku teringat pesan ibu, bahwa dengan mencintai seseorang pada waktu yang salah hanya akan menghilangkan beribu-ribu ilmu dan energi kita. Semua orang berhak bahagia, termasuk dia. Makanya, tak akan ada orang yang boleh menyalahkan atau melarangnya pilih siapa. Tak boleh ada sikap apatis, posesif, dan anti, atau sebaliknya. Biarlah. Biarlah semua mengendap-endap dengan anggunnya. Ya, mungkin begitu baiknya.
Di hari penantian ketiga, aku memutuskan istikhoroh lagi. Istikhoroh selain untuk memantapkan hatiku apakah memang ia yang terbaik untukku atau tidak, juga untuk menenangkan jiwaku kembali. Aku tak mau keputusan sepenting ini kuambil dengan memperturutkan egoku, apalagi sejalan dengan rencana syaitan. Naudzubillah. Dan aku berazam bahwa aku harus melakukannya sebagai bukti aku ini lemah, aku butuh kekasih haqiqiku, untuk menuntunku kembali pada jalur para nabi dan orang-orang saleh. Tanda bahwa aku sudah berhukum dan berserah diri padaNya. Kupercayakan dan tak kuragui apapun hasilnya, insyaallah. Lalu aku kembali menunggu. Malam bergulir tanpa ada mimpi-mimpi yang berarti. Aku menunggu paginya, nihil.
Jarum jam menunjukkan pukul 14.15, saat aku mulai tertidur. Aku letih. Luar dan dalam. Tak kusangka aku bermimpi. Aku dan teman-teman ada di rumahku. Halamannya jelek sekali, tapi dalamnya bagus dan lapang sekali.Tak berapa lama Mas Alimin datang sebagai partner satu timku untuk mengajukan proposal. Dia membawaku kepada seorang kepala sekolah. Ada ibu juga disana. Aku duduk dengan kurang PD seperti biasanya sehingga menyenggol tangan kursiku sendiri, sedang Mas Alimin enak-enakan tiduran di sofa panjang di sampingku. Seakan-akan ia sudah akrab dengan kepala sekolah itu. Dalam mimpi aku berfikir kalau itu wajar karena memang sifatnya yang grapyak . Setelah bangun aku tak bereaksi apa-apa. Baru bereaksi setelah sholat maghrib, apakah itu jawaban istikhorohku? Mengapa tidak terlalu membekas dan memberi arti baik atau buruknya, menurutku? Mengapa aku merasa masih ngambang?

XIII. IKHWANUL MUSLIMIN

Sinar mentari pagi menyilaukan mataku. Samar kulihat sosok Mas Alimin yang muncul dari arah silau itu. Mas Alimin tersenyum ke arah keluargaku yang turut mengaji rutin setiap Ahad. Saat melihat senyum itu, ada perasaan lega menyergapku. Aku juga tersenyum membalas. Aku Cuma ingin dia juga merasa lega, merasa aman, tidak perlu takut bertemu kami lagi untuk selanjutnya. Selebihnya... entahlah. Akan kubiarkan mengalir saja, mungkin. Aku tak mau terlalu berharap ataupun memutus silaturrahmi kami. Biarlah untuk sementara ini kami menjadi saudara seiman. Ya, ikhwanul muslimin, istilahnya. Itu juga yang pernah ia ucapkan padaku dulu.
Aku menghempaskan tubuhku pada sofa begitu sampai di rumah. Thululut...thululut.....dering telepon memaksaku beranjak dari tempat yang sangat nyaman itu.
”Asslamualaikum. Bisa bicara dengan Fathima?”
”Wa’alaikum salam warahmatullah. Ya saya sendiri”
”Alhamdulillah. Fath, ini aku Mahfoed”
”Subhanallah. Bagaiman kabar Poso?”
”Kok Poso yang ditanyakan? Akunya?”
”Ups, sory just kidding! Bagaimana kabar sampeyan di sana?”
”Alhamdulillah, baik. Katanya kamu habis sakit. Sekarang sudah sehat?”
”Alhamdulillah, sudah. Terima kasih”, Aku diam sejenak. ”Kata adikku, sampeyan kerja di universitas sana....”
”Iya. Alhamdulillah di sini sedang butuh beberapa dosen”
”Waw, jadi ceritanya sampeyan sekarang jadi dosen nih?”
”Hanya kebetulan. Lagipula hanya dosen universitas swasta kok”
”Tapi, tetap dosen kan?”
”Alhamdulillah”, Hmm...nih anak kok jadi agak down to the earth ya? Dulu kan sukanya yang melambung-melambung begitu?
”Tapi, daerah sampeyan kena imbas konflik juga?”
”Iya sih. Suasananya masih agak mencekam, tapi sudah mendingan. Satu persatu DPO mulai ditemukan pemerintah”
”Kenapa ya mereka melakukannya? Kabar yang kudengar tidak semua orang tersebut mengaku beraksi karena faktor agama, melainkan juga karena dendam. Ini benar-benar mengejutkan, menyakitkan, dan membuatku malu. Bagaimana mungkin mereka mengatasnamakan agama untuk melegitimasi niat balas dendam mereka?’, Curhatku berapi-api.
”Sama sih, aku juga kaget dan sedih. Tetapi itu hanya beberapa dari mereka kok”, jawab Ali Mahfoed tenang setelah terdiam agak lama.
”Iya, karena beberapa yang lainnya termotivasi faktor politik kan? Itu sih sama saja”, Aku masih panas. Kudengar ada nafas panjang di seberang sana, diikuti dengan tawa kecil.
”Kamu sepertinya geram sekali. Memangnya kenapa?”
”Karena aku sangat mengagungkan jihad. Aku sangat menghargai dan bangga melihat orang yang memiliki semangat jihad. Jika ada fihak yang mencoba menodai kesucian jihad, apakah pantas aku tidak terluka?”
”Tapi aku percaya kok. Politik ataupun motivasi lainnya itu hanya efek samping. Dan niat untuk membela dienul haq ini pasti menjadi motivasi utama mereka. Aku melihatnya sendiri dalam sorot mata mereka. Mereka pasti suka geram setiap kali melihat non Islam menganiaya minoritas muslim di sini”
”Oh ya?”, aku mulai melunak.
”Ya tentu saja. Meskipun aku juga percaya masih ada jalan damai yang bisa diinisiatifkan, seperti mempertebal keimanan, ketaqwaan, dan pengetahuan agama umat muslim, sehingga minoritas tidak menjadi orang yang lemah. Mereka bisa memperbaiki status sosial dan ekonomi, sehingga tak ada pula muslim yang mudah dihasut atau dibujuk rayu dengan mudahnya. Dan sebetulnya ini tidak hanya berlaku di Sulawesi saja”
”Iya. Di Jawa dan pulau-pulau lainnya seharusnya juga mulai melakukannya. Betapa miris hatiku melihat CD tentang kristenisasi di Jawa Tengah. Dari fisik mereka memang tidak melakukan apa-apa terhadap umat Islam, tetapi dari dalam mereka memasukkan doktrin-doktrin dan faham-faham yang merusak generasi umat Islam”, Semangatku berapi-api lagi.
”Mungkin di sini bisa aku istilahkan mereka tidak mengerasi Islam, tetapi mereka juga tidak akan membiarkannya berkembang. Mereka menina bobokkan umat muslim dengan kilauan-kilauan dunia, dengan janji-janji perdamaian, dan lain sebagainya. Mereka menjadikan negara-negara Islam sebagai boneka yang bisa dimainkan”, Tambahnya. Hening. Hanya desahan nafas panjang dan berat yang terdengar beberapa dari kami. Dadaku terasa penuh dengan semangat. Hmm, betapa kompleks permasalahan umat saat ini.
”Ya agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi juga salah bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan. Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas dan juga rinci. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman”, Urainya lagi dengan diplomatis.
”Cieee... kata-kata Dosen benar-benar dalam ya?!”, Aku menggodanya.
”Ha...ha...ha...bisa saja! Ya iyalah dosennya pintar lha wong sekarang sedang telepon orang pintar sekalius sedang membaca kalimat-kalimat bijak dari orang pintar juga”
”Hah?”, Aku syok. Lucu sekali sih orang ini.
”Tapi, kamu bangga kan?”
”Yeee GR. Tapi iya sih...”
Hening lagi.
”Ya sudah, temanku sudah nyusul mau cari makan, katanya”
”Iya, pulsanya juga keburu mahal. Terima kasih ya”
”Buat apa?”
”Buat segalanya”
”Kembali”
”Ya sudah. Semoga sehat selalu dan betah di sana”
”Amin. Tapi aku gak selamanya di sini lho. Bila sudah waktunya, aku ingin kembali ke Jawa”. Hening. ”Ya sudah, assalamualaikum”, imbuhnya.
Aku menjawab salam itu. Kuletakkan gagang telepon pada tempatnya. Lalu menuju dapur.
”Kelihatannya senang betul?”, Ibu bertanya.
”Iya. Hari ini saya merasakan betapa manisnya ikhwanul muslimin. Betapa indahnya Islam”
”Oh ya? Syukurlah. Ibu senang kamu ceria lagi”
Aku memandang ibu dengan sorot penuh tanya.
”Iya...kamu kan sedih terus akhir-akhir ini”, Ibu balik memandangku.
”Begitu ya, Bu?”, Aku kembali lesu. Ibu menangkap gelagatku.
”Tiap Ahad dan Selasa malam sekolah ibu mengadakan pengajian intern di masjid sekolah. Selasa depan pengurus akan menghadirkan pembicara dari Gresik. Kabarnya beliau sudah melalang buana. Beliau juga beberapa kali mengisi acara kepresidenan. Nah, kebetulan beliau sedang di Sidoarjo pekan ini. Kamu mau ikut Ibu?”
Aku berfikir sejenak. Kalau aku ikut, berarti aku akan bertemu Mas Alimin. Apa yang harus aku lakukan dihadapannya? Ah, bukankah kami sekarang adalah ikhwanul muslimin?
”Insyaallah”, Aku memutuskan.
”Bagus. Sekarang bantu ibu memasak nasi goreng. Mau?”
Aku mengangguk mantap.
***********************

Mataku mengekor Bu Auliya yang baru masuk masjid. Beliau menyalami ibu-ibu dan semakin mendekati tempatku.
”Lho, ikut tho?”, Beliau menyapaku.
”Iya. Ingin tahu”, Aku membalas senyumnya. ”Bersama siapa, Bu?”, lanjutku setelah Bu Auliya duduk di sebelahku.
”Bersama Pak Sa’id”
”Oooh”, Mataku kemudian menangkap sosok senja yang masih terlihat gurat-gurat ketampanannya memasuki ruangan di barisan lelaki. Mataku masih berkelana, mencari sosok yang lain, tapi nihil.
”Sudah lama mulainya?”, Bu Auliya menjawilku.
”Oh, ya lumayan”, Aku tergagap.
”Apa saja materinya?”
”Ya, macam-macam. Intinya sih tentang rukun Islam dalam al Qur’an. Terutama distressingkan pada syahadatnya”
”Pematerinya betul dari Gresik?”
”He...he...he...bukan. Beliau tidak bisa hadir karena ada undangan di Jakarta. Ini adalah adiknya Bu Iroh”
”Ohhhh. Wah pasti beda materi maupun metode penyampaiannya dong?”
”Insyaallah, saya kira juga begitu. Padahal saya ikut kan karena penasaran dengan pemateri yang katanya beberapa kali ngisi acara kepresidenan sekaligus telah melanglang buana ke seluruh Indonesia itu”
”Iya. Saya juga. Bagaimana penyampaian pemateri yang ini?”
”Bagus sih. Beliau selalu mengaitkan segala sesuatu dengan ayat-ayat al Qur’an yang telah beliau hafal secara sistematis. Tapi, saya pribadi merasa penjelasannya terkesan masih dangkal karena hanya settingan sekilas yang dihafal. Selain itu metodenya juga keras dan otoriter karena kurang mau menerima masukan beberapa hadirin....Ups...kok saya jadi menilai ya?”, Aku menutup mulutku yang terus mencerocos dengan tangan. Bu Auliya tertawa.
”Begitu ya?”
”Maaf saya kelepasan bicara. Saya tidak tahu apa-apa kok masalah seperti ini”
”Lho, kan wajar kalau seseorang punya penilaian terhadap orang lain, apalagi anak jurusan filsafat seperti kamu yang kritis ini”, Beliau diam sejenak memandang lembut aku yang sedang mengerjap-ngerjapkan mata. ”Hanya saja tidak semua penilaian kita benar. Adakalanya kita menilai seseorang itu jahat pada kita, padahal tak terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk menjahati kita. Sebaliknya adakalanya kita mengira seseorang mencintai kita, nyatanya dia hanya mengasihi kita”, Imbuhnya. Mulutku tecekat oleh kata-kata Bu Auliya. Apakah kata-kata wanita berhidung beo yang sudah kuanggap kakakku sendiri barusan memiliki makna atau hanya sekedar kata-kata biasa. Akupun hanya mengangguk dan tersenyum.
Aku menggeliat. Punggungku terasa capek harus ditegakkan begitu. Mataku menangkap sosok yang sedang mengantuk di teras depan masjid. Menarik sekali posisinya. Kepala yang terantuk-antuk, padahal tubuh duduk dalam keadaan tegak. Aku membayangkan apakah posisiku juga sedemikian lucu saat aku mengantuk di kelas atau forum-forum lainnya.
”Astaghfirullah”, desisku saat sosok itu terhuyung agak kuat. Sosok itu terkesiap sadar.
”Astaghfirullah”, desisku sedikit lebih keras saat kutangkap seraut wajah diangkat oleh sosok yang baru tersadar itu. ”Ali kecil....mas....???”, bisikku dalam sunyi hati. Aku segera berpaling. Hatiku bergemuruh senang mengetahui kehadirannya malam itu, meskipun nampaknya ia sedang sangat letih. Semoga Allah senantiasa memberimu kekuatan, Mas.
Mengaji rasanya semakin ringan dan menyenangkan setelah kulihat wajah Ali kecilku. Dia memang penyemangatku saat ini.
Ngajipun selesai. Satu persatu hadirin meninggalkan masjid. Ada pula yang tetap tinggal untuk berbincang dengan pemateri. Aku mengekor ibu. Mataku bersiborok dengan sosok Mas Alimin yang sedang berdiri di pintu gerbang masjid. Bukankah Pak Sa’id sudah pulang? Apakah dia sedang menunggu Bu Auliya? Tapi, kulihat Bu Auliya juga sudah pulang dengan suaminya barusan? Lalu sedang menunggu siapa ia?
”Nggak pulang, Mas?”, Ibu menyapanya.
’inggih, sebentar lagi Bu. Pa’ul kok tidak kelihatan Bu?”
”Iya. Dia tidak ikut”
”Ohhh”
”Ya sudah kami pulang duluan ya?!”, Ibu mengajak pamit.
”Oh inggih, monggo. Tapi bagaimana caranya?”, Ia bertanya heran saat melihat jumlah kami yang bertiga sedangkan sepeda hanya satu.
”Oh itu masalah mudah. Insyaallah tetap bisa sampai di rumah kok”, Ibu menjawab lagi, lalu mengucap salam. Ia lantas membalas salam.
Aku hanya diam. Mataku berkeliaran tanpa fokus memandang ke arah selain dia. Hanya sesekali aku memandang wajahnya, mencoba menangkap apa arti arti mukanya. Aku melemparkan senyum tulus saat di penghujung perjumpaan malam itu. Ia membalas tersenyum sopan. Aku lega. Serasa sebuah batu besar yang sedari kemarin menghimpit dadaku terangkat sudah.
XIV. FEBRUARI PENUH WARNA

Isnain, 12 Februari 2007
Dear Pink,
Dia sakit. Kudengar berita itu dari ibu tadi sore. Padahal baru tadi pagi aku bongkar-bongkar kotak harta karunku dan mengeluarkan koleksi prangko, kartu telepon, uang dari beberapa negara baik yang kuno maupun yang baru, juga dua lembar kartu ucapan semoga lekas sembuh. Padahal semenjak kulihat keletihan-keletihannya akhir-akhir ini aku senantiasa mendo’akan kesehatannya di penghujung sholat-sholatku. Kenapa kamu masih harus sakit, Mas? Kamu harus lekas sembuh Mas! Bukan hanya karena dan untuk dirimu, dirinya, dan keluargamu arti penting kesehatanmu itu, tapi lebih dari itu.... umat membutuhkan orang sepertimu. Fikrah, ghirroh, dan pendirianmu.
Btw tentang kuatnya pendirian sampeyan untuk berpoligami, aku tadi mendapatkan cerita dari ibu tentang obrolan kalian berdua di sekolah hari ini. Bahwa sampeyan mengatakan sudah sreg dengan mbak yang sekarang, tapi tidak mau berjanji untuk tidak mencintai orang lain, aku sungguh kecewa dan sakit hati. Ditambah lagi sampeyan menambahkan bahwa itu sudah menjadi begroud sampeyan? Tidak pernah tidak lebih dari satu wanita? Keterlaluan! Kupikir sampeyan teguh pendirian untuk berpoligami itu untuk menghidupkan dan itba’ sunnah nabi seperti yang sampeyan bilang ke aku dulu, But.....???!!!Oke, mungkin itu hanya guyonan sampeyan dengan ibu. Tapi, tetap saja aku akan sangat kecewa bila itu yang mendasari kuatnya keinginan sampeyan berpoligami.
Back to point,
Aku sangat sedih mendengar sampeyan sakit. Sempat terfikirkan olehku untuk sekedar menelefon atau membawakan lili putih milik tetanggaku yang kebetulan mekar hari ini saat keluargaku menjengukmu nanti. Di situ nanti akan kuselipkan kartu semoga lekas sembuh yang baru kutemukan pagi tadi. Bukamkah iyadhoh al maridh (menjenguk orang sakit) adalah hobiku sejak kecil? Jadi wajar dong kalau aku menjengukmu kini, tapi juga apakah wajar bila situasinya seperti sekarang? Ah entahlah.
Allahumma anta syafi’ la syifa’an illa syifauka, syifa’an la yughodiru saqoman. Sesungguhnya tak ada obat yang lebih baik dari obatMu, ya Rohman. Sesungguhnya tak ada kekuasaan yang lebih agung dari kekuasaanMu, Ya Qodir. Maka aku mohonkan berikanlah kesehatan pada Ali kecilku. Berikan kelapangan kesempatan baginya untuk terus berkarya memperjuangkan agamaMu yang haq ini. Ridhoi, rahmati, barokahi, dan bimbinglah segala amal usahaNya. Amin.

Aku menutup diaryku. Aku sudah membaca halaman itu berulang-ulang sejak selesai kutuliskan bait-bait hatiku kemarin itu. Aku merasa ada asa tertinggal dalam rasa saat semua itu menjadi keniscayaan yang nihil. Ibuku telah berangkat menjenguk Mas Alimin petang tadi bersama ayah dan Pa’ul dengan hanya membawa salam, do’a, dan pesan agar ia lekas sembuh karena umat sangat membutuhkannya. Aku merasa sedih sekaligus lega karenanya. Aku merasa inilah keputusan terbaik yang dipilihkan Tuhan untukku. Tetap di rumah. Tanpa kunjungan.
Mataku telah setengah terpejam lantaran kantuk ketika sesuatu membuatku mengalihkan bayangan. Teman-teman dan adik-adik kelasku tengah berlarian dan tertawa di lapangan IAIN. Aku memandang sekilas mereka. Kejora, adikku yang paling kecil mendekatiku. Saat jarak kami hanya terpaut beberapa inci, aku bisa mencium anyir darah dari tubuh Kejora.
”Apakah kamu sedang haid?”, Aku bertanya.
”Iya. Kok Mbak Iim tahu?”, Ia balik bertanya.
Aku tak sempat menjawab pertanyaannya lantaran sibuk menahan muntah. Aku berlari meninggalkannya. Mencoba mencari kamar mandi atau sejenisnya di masjid kampus. Saat itu yang aku tahu untuk ke masjid kampus bisa ditempuh melalui dua jalan. Yang pertama adalah jalan layang yang mulus dan sering dilintasi orang, tetapi akan membutuhkan waktu cukup lama agar sampai di masjid. Yang kedua adalah jalan tikus di bawah jalan layang yang agak becek dan agak rimbun, tetapi relatif lebih sepi dan lebih cepat untuk mencapai masjid. Dan aku memilih jalan kedua. Aku berlari, meloncat dari satu batu ke batu lain, dan merapat ke rerumputan saat ada genangan air sambil menahan isi perut yang saat itu sudah memnuhi mulutku.
Jantungku melompat kaget, saat seseorang menegurku yang baru menuntaskan petualangan kecil di jalan tikus.
”Kenapa kamu lewat jalan ini?”, perempuan berparas cantik itu bertanya. Aku hanya melongo dan sedikit merasa nelangsa mendengar pertanyaannya. Muntahan telah hilang dari mulutku. Mual juga sudah tak terasa lagi. Apakah aku salah memilih jalan?, batinku.
”Tapi, gara-gara itu kamu jadi tahu kalau di ujung jalan ini sedang diadakan pembagian sembako”, Ujarnya lagi lantas pergi meninggalkanku yang masih sedikit takjub, atau lebih tepatnya heran dan gak mudeng, dengan semua ini. Baru beberapa detik kemudian mataku berbinar, pertanda syaraf-syaraf di otakku mulai berfungsi. Aku memutar haluan dari masjid menuju ke antrian panjang pembagian sembako dan membaur di salah satu barisan.
”Ya Rasulallah, ada nama ahlul bait di sini!”, Seorang panitia berteriak. Entah benar atau tidak, tetapi perasaanku saat itu mengatakan ada suara Rasulullah menyahut setelah itu.
”Sesungguhnya aku dan ahlul baitku tidak menerima sodakoh”, Kata suara yang kuyakini sebagai suara Rasulullah. Aku terperanjat. Rasa ngeri membelah jantungku. Dunia kemudian terlihat berbeda. Semuanya mengeluarkan simbol, warna dan bunyi yang aneh. Mataku menyipit saat sinar yang paling terang tertuju lurus menyilaukan mataku, seakan mengejekku.
”Apa ini?”, Aku mencium lagi bau anyir. Bukan lagi dari badan Kejora, tetapi dari mulutku.
”Astaghfirullah, jadi aku ketiduran tho?! Dan bau darah dalam mimpiku tadi ternyata berasal dari gigiku yang baru tanggal tadi siang”, Aku meringis mengusap darah yang belum berhenti dengan tissue.
”Lalu...apa betul aku tadi bermimpi mendengar suara Rasulullah? Masa iya? Memangnya siapa aku ini? Hanya gadis kecil yang tak memiliki keistimewaan tertentu? Siapa yang dimaksud dengan ahlul bait? Apa makna mimpi barusan?”, Aku terus bertanya dalam diam. Pikiranku melayang mencoba mengurutkan puzle-puzle mimpi yang sudah lima tahun terakhir terhitung sejak 19 Mei 2002 aku rindukan.
Siang terus bergerak merayu senja agar menggantikan tugas rutinnya. Aku merengsek turun dari peraduan untuk mulai bersih-bersih rumah. Di dapur kudapati ibu yang sedang bersiap memasak. Aku menceritakan mimpiku pada ibu. Tak ada reaksi berlebihan dari ibu, hanya dari binar mata dan senyum beliau aku tahu ia menaruh harapan agar mimpi itu pertanda baik karena ia sempat mengkhawatirkan Kejora. Memang, budeku pernah bercerita bahwa beliau sempat bermimpi mbak sepupuku mengalami haid yang hebat. Semua anggota keluarga membantu mengambilkan pembalut, kecuali dua orang sepupuku yang lain. Selang tiga hari, ternyata sepupuku itu mengalami kecelakaan dan semua anggota keluarga bergantian menjaganya di rumah sakit, kecuali dua saudaranya yang kebetulan sedang di Jakarta.
***********--------------------------************

Arbia’, 15 Februari 2007
Dear Pink,
Cinta. Takkan habis kata ungkapkannya. Takkan pernah masa terlewati tanpa keberadaannya. Karena ia adalah fitrah, gharizah. Karena ia adalah talenta. Karena ia memang ada. Dan karena cinta pulalah kita semua ada.
Kita ada karena sifat Raman Rahim Allah. Kita ada karena cinta kasih kedua orang tua kita. Kita bisa tumbuh dewasa dengan pendidikan dan kondisi baik juga karena cinta antar sesama yang diselipkan Allah di antara beludru hati.
Namun sayang, cinta terkadang jadi salah makna. Cinta yang ada sekarang lebih dididentikkan dengan nafsu dan libido. Terutama di kalangan remajanya. Ironis. Dengan mengatas namakan cinta para remaja putri kita rela dibonceng, dipeluk, dicium, bahkan di-ML. Astaghfirullah. Dan mereka bangga bila bisa melakukan itu semua demi pembuktian cinta.
Valentine Day (VD), Subhanallah, ternyata benar-benar membudaya. Tiga hari atau lebih bahkan stasiun-stasiun TV sudah sibuk menggembor-gemborkan kedatangannya, mulai dari persiapannya, tips-tipsnya, pernak-perniknya, cerita para selebriti, dan sebagainya. Kemudian hendak dibawa kemana alur moril dan pikiran remaja kita?.
Cinta. Aku sendiri masih belum tahu apa cinta itu pastinya. Dan mungkin saja di luar sana banyak pula orang yang bingung saat ditanya apa itu cinta.
Mungkin cinta adalah simfoni indah dari beberapa ritme tinggi dan rendah, atau mungkin juga ia adalah kombinasi antara bahagia dan duka. Cinta mungkin juga bisa dimaknai dahaga yang sempurna , tanya tanpa batas, pencerahan, inspirasi yang memabukkan, dan lain-lain. Aku yakin ada bermilyar kata yang dapat digunakan untuk mewakili arti cinta. Tapi aku sendiri lebih suka memaknainya dengan ibadah!.

Sampai di sini, penaku berhenti menari. Dadaku terasa sesak memikirkan kondisi remaja bangsaku di detik-detik VD seperti hari ini. Aku menghirup jiwa alam kuat-kuat. Berharap alam akan membagikan sinerginya pada jiwaku yang lelah. Sedikit demi sedikit rongga dadaku terasa mulai lapang kembali. Aku juga tersadar bahwa aku merasa sangat lega karena Allah telah memenangksn nurani dan akalku dari nafsuku. Aku telah berhasil menahan gejolak untuk menelfon dan menghibur Mas Alimin yang sedang sakit. Meski dengan susah payah.
Ya bagaimana tidak susah payah? Sempat terbersit perasaan bahwa dengan mendiamkannya akan membuatku semakin jauh saja darinya. Dengan membuang kesempatan ini, berarti aku menyia-nyiakan moment terbaik yaitu sebagai pegucap semoga Lekas sembuh di detik-detik menjelang VD. Astaghfirullah. Alhamdulillah.
Selain itu, aku ingin mengajarkan pada Mas Alimin, bahwa tidak semua wanita bisa ditundukkan dengan ketampanannya secara mudah. Ya Khafidz, terus ajari kami menjilbabi hati. Jangan hukum kami karena kelalaian dan ketidaktahuan kami. Sesengguhnya Engkaulah Yang Maha Menjawab Do’a.

*********---------------------*********

Mas Alimin sembuh dengan segera sehingga dapat melakukan kunjungan rutinnya ke rumah kami. Sudah dua kunjungan ia berikan setelah masa istirahatnya itu. Dan selama itu pula hubunganku dengan Mas Alimin sedikit menegang. Tanpa sebab. Atau karena aku yang begitu kuat mencegah diriku untuk mencintainya. Ya.. aku terlalu gengsi untuk mengaku –bahkan kepada diriku sendiri- bahwa aku yakin telah teramat sangat mencintainya.
Di penghujung Februari, aku menangis dalam simpuh dan sujud. Aku merasa sedikit kecewa tapi selebihnya bahagia dan lega setelah menangkap makna hubunganku dengan Mas Alimin. Aku juga merasa lega karen Allah telah membukakan dan mempermudah aku untuk belajar lebih menata hati, padahal baru beberapa hari terakhir ini aku berdo’a agar Allah mengembalikan suasana hatiku seperti bulan Syawal yang lalu. Bersih. Putih.
”Bagaimana pendapat sampeyan tentang masalah harta istri dari hasil bekerja, Ukhti?”, Ucapnya di pertemuan terakhir.
”Saya ditanya siapakah anak yang akan kamu ajak itu? Saya menjawab saudaraku”, Ucapnya saat ia menawarkan sebuah kajian untuk kuikuti pada pertemuan terakhir.
Mataku kembali basah tiap kali mengingatnya. Entah benar entah hanya aku yang mencocok-cocokkan bahwa banyak tebakanku tentang Mas Alimin terbukti benar seiring sejalannya waktu. Karena itu, Mas, segeralah menikah agar tak lebih banyak lagi fitnah, baik di hati sampeyan maupun di hati para ’simpatisan’ sampeyan. Di luar kabut mulai turun. Tak lama kemudian tetes-tetes hujan menghiasi cendela kamarku. Dingin mulai menelusup di antara pori-pori kulit yang kian membesar. Aku meringkuk dalam mihrabku.

*********---------------**********

XV. APRIL YANG LUAR BIASA

Aku merasa April tahun ini adalah bulan favoritku dimana pada tanggal satu April lalu aku merasa cintaku pada Rasulullah yang terkesan kuanak tirikan selama enam bulan terakhir ini hadir kembali. ”Ummatiii....Ummatiiii...Ummatiiiii....”, Betapa rintih cinta Rasul untuk kami, umatnya, masih selalu saja menggetarkan hatiku, membasahkan mataku, mengobarkan semangatku, dan membuatku menunduk malu. Membuatku tersadar betapa hinanya aku, mengaku mencintainya, sementara sunnah masih banyak yang belum aku lakukan. Betapa aku masih saja berkubang dalam dosa dan dalam cinta dunia. Lalu masih bisakah aku kelak mendongakkan kepala, menatap, aplagi berjabat tangan lalu menciuminya, seandainya Allah mengizinkakanku bertemu Rasulullah di akhirat kelak.
Selama bulan April kali ini, aku juga sering bermimpi kalau Mas Alimin seakan tengah mengawasiku lekat. Tapi ia tak pernah menampakkkan diri. Aku hanya mendapatkan cerita bahwa orang-orang dalam mimpiku mengatakan ia ada di sana bersama Mas Alimin.
Ali kecilku, aku mendengar kabar bahwa sampeyan sedang sangat risau kini setelah beberapa teman sampeyan hilang –disinyali keluarga dan kenalan hialangnya mereka karena diculik Amerika. Ah, dengan begini rasanya aku semakin mantap untuk menemani dan menjagamu, jihadmu, dakwahmu, dan ibadahmu saja. Aku kembali semangat dalam berdo’a agar Allah berkenan menyatukan kita tanpa harus ada catatan hitam sebelum kita menikah. Semoga tak sampai di sini jihadmu. Semoga engkau masih bisa mewariskan ruh dan semangat seorang laskar Allah pada generasimu. Semoga engkau dan keturunanmu termasuk penegak dan pengibar panji Islam yang utama.
Kau tahu Ali kecil, di sela derai air mata ku membuka al Qur’an. Sepotong ayat berbunyi:
”Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka, dan janganlah(dadamu) merasa sempit terhadap apa yang mereka tipudayakan. Dan orang-orang kafir berkata: ’Bilakah datangnya azab itu, jika memang kamu orang-orang yang benar’. Katakanlah: ’ Mungkin telah hampir datang kepadamu. Katakanlah: ”Mungkin telah hampir datang kepadamu sebagian dari (azab) yang kamu minta supaya disegerakan itu. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunya yang besar (yang diberikanNya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan. Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyta (lauh mahfuzh)” (QS: 27:70-75).

********-----------------*********
maaf segini dulu aja ya. kalau mau tahu terusannya, silahkan tinggalkan komentar dan alamat e-mail. jzk